Sunday, September 27, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 37


37
KAU ADIK TERSAYANG
"ABI, Tante Yash ikut pulang, kan?" Intan yang duduk di ranjang besar menoleh, bertanya pada Dalimunte.
Dalimunte yang sedang berbicara dengan dokter tentang kondisi terakhir Kak Laisa mengangguk seadanya.

"Sudah sampai di mana, sih? Kok nggak ada kabar-kabarnya seperti Oom Ikanuri dan Oom Wibisana?" Intan bertanya lagi. Lebih serius, ingin tahu.
Dalimunte kali ini benar-benar menoleh ke putrinya. Terdiam. Sudah sampai di mana? Menelan ludah. Malam tiba untuk ke sekian kalinya di lembah itu. Hujan gerimis turun sejak maghrib. Mereka sudah shalat berjamaah (kecuali Juwita dan Delima yang memaksa ikut shalat gaya duduk Wawak Laisa). Sudah makan malam, meski makannya di kamar Wak Laisa. Menghampar sembarang di lantai. Yang penting tetap bersama.

Kondisi Wak Laisa tidak memburuk, juga tidak membaik. Ia sepanjang pagi bisa duduk bersandarkan bantal, tapi setelah siang, karena lelah, kembali tiduran. Batuknya masih. Juga bercak darah yang ikut keluar. Intan telaten membersihkan dengan tissue. Juwita dan Delima sih dari tadi ingin ikut-ikutan, tapi Kak Intan melotot. Menyuruh mereka menyingkir. Siang itu Bang Jogar menghentikan membaca yasin di surau dan beranda rumah. Mereka masih berkumpul di bawah panggung, tapi satu dua menjelang malam kembali ke rumah masing-masing. Semoga Laisa terus membaik.... Begitu masing-masing berdoa dalam hati.

"Yeee, Abi kok malah melamun?" Intan berseru, nyengir. Dalimunte mengusap wajahnya. Menelan ludah sekali lagi. "Tante Yash masih di jalan, sayang —"

Kak Laisa yang justru menjawab. Suaranya sedikit serak. Matanya yang tadi terpejam, perlahan terbuka.
Tersengal. Menatap Intan lamat-lamat.

Dalimunte yang masih berdiri di depan dokter terdiam. Apa yang hendak dikatakan Kak Laisa? Apa maksud kalimat Kak Laisa baru saja. Dia tahu persis, Kak Laisa sengaja menahan diri sejak kemarin untuk bertanya di mana Yashinta sekarang. Setelah lebih sehari semalam, tanpa kabar pasti di mana posisinya, orang yang paling ingin tahu di mana Yashinta sekarang jelas adalah Kak Laisa.

"Emangnya Wak Laisa tahu? Kan Wawak sejak tadi tidur;'" Intan menyeringai. Beringsut mendekat.
Laisa berusaha mengangguk. Tersenyum.

Tentu saja ia tahu. Kedekatan adik-kakak itu sungguh menembus batas-batas akal sehat. Tentu saja Laisa tahu.... Itulah kenapa dia tidak bertanya ke Dalimunte di mana Yashinta, adik terkecilnya, berada sekarang.

Karena Laisa tahu persis di mana Yashinta saat ini.

Bagaimana tidak? Lima belas jam ]alu, tepatnya saat ia shalat shubuh sambil duduk tadi pagi, ia baru saja membangunkan adiknya. Membelai lembut dahi Yashinta yang cemerlang. "Ia bukan kakak kita!" Ikanuri berbisik kasar. Mukanya terlihat sekali sebal,

"Kenapa ia harus sibuk melarang-larang. Bah!"

Wibisana yang berdiri di sebelahnya hanya diam. Tidak cakap apapun. Hanya tertunduk. Malam itu Ikanuri dan Wibisana dihukum tidur di bale bambu bawah rumah panggung. Malam beberapa bulan setelah kejadian di Gunung Kendeng itu. Dua sigung nakal itu lagi-lagi bolos sekolah, padahal Mamak, Kak Laisa, dan Dalimunte sibuk mengurus kebun strawberry. Tidak hanya sibuk, tapi cemas apakah kali ini mereka akan berhasil atau gagal total. Dua sigung bebal itu malah asyik bermain ke kota kecamatan.

"Kenapa sih ia harus sibuk lapor Mamak.... Sok ngatur. Lihat, dua tiga tahun lagi, pastilah kita lebih tinggi dibanding tubuh pendeknya...."
Ikanuri bergelung, terus ngomel. Gerimis membasuh lembah. Deru angin lembah membawa rinai air. Membasahi tubuh mereka yang sejak tadi sore berusaha tidur.
"Pendek! Hitam! Jelek!" Puas sekali Ikanuri mendesis.
Desisan yang membuat langkah Yashinta terhenti.

Yashinta saat itu sembunyi-sembunyi hendak mengantarkan selimut buat kakaknya, biar tidak kedinginan di luar. Desisan yang membuat Yashinta membeku. Saat itu usia Yashinta delapan tahun, sudah bisa mengerti banyak hal. Malam itu Yashinta akhirtiya tahu satu fakta yang akan ia simpan seumur hidupnya. Gemetar Yashinta kembali menaiki anak tangga, ke atas. Urung memberikan selimut. Nafasnya tersengal. Kak Ikanuri jahat. Jahat sekali. Menghina Kak Laisa seperti itu. Ingin rasanya Yashinta berteriak. Menimpuk Kak Ikanuri dengan bongkahan tanah. Tapi ada hal lain yang membuatnya lebih sesak: Ia bukan kakak kita. Ia pendek. Hitam. jelek. Yashinta berlari masuk ke dalam kamar.

Malam itu ingin sekali Yashinta langsung bertanya pada Mamak, bertanya pada Kak Dalimunte, apa maksud kata-kata Kak Ikanuri barusan. Apa benar Kak Laisa bukan kakak mereka. Tapi mulutnya bungkam. Yashinta tidak pernah kuasa bertanya. Malam itu saat yang lain sudah jatuh tertidur (termasuk dua sigung nakal di bawah rumah), Yashinta masih terjaga. Ia merangkak mendekati Kak Laisa.

Lembut jemari Yashinta mengusap wajah Kak Laisa. Rambut gimbalnya. Wajah dengan kulit hitam. Hidung pesek. Mulut Kak Laisa yang sedikit terbuka, memperlihatkan gigi-gigi besar, tidak proporsional. Yashinta menelan ludah, Membandingkan wajah itu dengan wajahnya melalui cermin peraut pensil. Kak Laisa sungguh berbeda.... Tapi bagaimann mungkin Kak Laisa bukan kakaknya?

Dan Yashinta entah oleh kekuatan apa, tidak pernah kuasa menanyakan soal itu kepada yang lain. Tidak pada Mamak. Tidak pada Kak Dalimunte. Tidak pada dua kakaknya yang nakal itu. Pernah ia hampir terlepaskan bertanya pada Wak Burhan, tapi segera menutup mulutnya. Bagaimanalah kalau itu semua benar? Bagaimanalah kalau Kak Laisa memang bukan kakaknya? Yashinta, sejak sekecil itu sudah amat menghargai Kak Laisa. Ketakutannya atas kemungkinan jawaban tersebut, membuatnya bungkam selama puluhan tahun.Bahkan memutuskan untuk tidak akan pernah bertanya.Tidak akan ada bedanya.

Apapun jawabannya, Kak Laisa tetap menjadi kakaknya.

"Tapi Tante Yash sekarang sudah di mana, Wak? Kok nggak nyampe-nyampe, sih?" Intan bertanya ingin rahu.
Yang ditanya tidak menjawab. Mata Wak Laisa sudah kembali terpejam. Tertidur.
Di manakah Yashinta?

Seekor peregrin melenguh.

Melintas kabut yang menutupi lereng terjal Semeru. Kepakan sayapnya terlihat elok. Bagai pesawat tempur F-16. Menderu membelah senyap. Menerabas pucuk-pucuk pohon. Lantas bagai ballerina sejati, berhenti tepat sebelum menghantam salah satu dahan, anggun mendarat. Perfecto, Peregrin itu melenguh lagi. Kemudian loncat menuruni dahan kayu satu demi satu. Hingga tiba di semak-semak. Satu meter dari tanah basah lereng Semeru. Kepalanya bergoyang-goyaitg. Ekornya bergerak-gerak. Suaranya mendesis, tapi sekarang terdengar seperti cicitan iba, menatap ke bawah. Menatap ke tubuh yang terbanting, tidak sadarkan diri di atas belukar. Tubuh yang tidak sadarkan diri selama dua puluh jam terakhir.

Di sekitar tubuh itu, dua ekor bajing juga ikut mendekat. Kepala mereka naik turun. Mendesis. Berlari kesana-kemari. Berhenti. Berlari lagi kesana-kemari.

Berhenti. Ikut menatap tubuh yang tergolek lemah itu. Dan, ya Allah, siapa bilang tidak ada lagi harimau jawa di Gunung Semeru? Penelitian itu, yang menyimpulkan spesies langka itu sudah punah di rimba Semeru seperti sebuah kesia-siaan besar. Lihatlah, seekor harimau jawa, yang lebih besar dibandingkan penguasa Gunung Kendeng, berjalan memutari belukar itu. Berhenti sejenak. Mendengkur.
RRR.

Tapi itu bukan dengkuran bahaya. Itu dengkuran penuh rasa iba. Seperti induk melihat anaknya terluka. Menatap tubuh yang tergolek lemah. Lantas berpulang lagi. Seperti seekor penjaga. Begitu saja yang dilakukan harimau besar itu dua puluh jam terakhir. Ya Allah, hanya Wak Burhan yang pernah tahu sejatinya apakah penduduk Lembah Lahambay pernah memiliki kemampuan mengendalikan binatang liar. Ilmu Pesirah itu.
Tubuh itu adalah Yashinta. Gadis manis, 34 tahun. Yang dua puluh jam lalu bergegas menuruni lereng terjal Semeru demi mendengar kabar Kak Laisa sakit keras.

Nahas, setetah rekor mendaki 27 gunung di seluruh dunia dengan seluruh stamina fisik yang luar biasa, dua puluh jam lalu, kakinya terperosok ke batuan ringkih. Batu itu merekah. Yashinta kehilangan keseimbangan. Lantas tubuhnya mental. Bagai burung tanpa sayap, menghujam masuk ke dalam lembah menganga. Sekali. Dua kali. Berkali-kali tubuhnya menghantam dahan-dahan kayu. Terus jatuh berdebam Semakin dalam. Sangkut-menyangkut di ranting pohon, Jatuh lagi. Sangkut di semak belukar. Jatuh lagi. Terjepit. Lantas meluncur ke dasar lembah. Menghantam rerumputan dangkal.

Seketika tak sadarkan diri.
Telepon genggam satelit itu sudah sejak lima belas detik lalu jatuh menghajar bebatuan. Pecah berhamburan. Dan gadis cantik itu tergolek tak berdaya di atas rumput. Sempurna terputus dari hingar-bingar dunia. Tidak ada yang tahu. Dua rekan penelitinya tertinggal dua ratus meter di belakang. Tidak melihat saat Yashinta jatuh. Dua rekan penelitinya terus saja turun sambil mengomel soal betapa cepatnya kaki Yashinta. Lupa memperhatikan dahan kayu yang patah. Lupa memperhatikan jejak kaki Yashinta sudah tidak ada lagi di jalan setapak.

Yashinta dengan muka luka, kaki patah, tergolek tak berdaya. Dua puluh jam lamanya, hingga keajaiban itu terjadi. Hingga kecintaan pada saudara karena Allah, rasa berserah diri yang tinggi kepada kuasa langit, ritual ibadah yang penuh pemaknaan, kebaikan dengan sesama, proses bersyukur yang indah, mampu membuat manusia menembus batas-batas akal sehat itu.

Ya! Kak Laisa-lah yang membangunkan Yashinta dari pingsannya. Yashinta kecil berangsur-angsur sembuh.
Pertolongan mahasiwa kedokteran yang sedang KKN itu tepat waktu. Panasnya mereda. Batuknya berkurang. Muka pucatnya kembali memerah. Satu minggu kemudian gadis kecil itu malah sudah bisa kembali sekolah. Tetapi Kak Laisa belum. Mata kakinya yang bergeser setelah menghajar tunggul kayu di lereng lembah, membuatnya tersiksa hampir sebulan. Diurut berkali-kali oleh Wak Burhan. Benar-benar ngeri melihat Kak Laisa diurut. Bagaimanalah? Persendian itu dipaksa kembali ke tempat semula. Kak Laisa menggigit gumpalan baju. Matanya berair. Tubuhnya mengejang. Tapi ia tidak berteriak.

Dua sigung kecil itu saja yang selama ini tidak peduli dengan Kak Laisa ikut jerih melihatnya. Dalimunte hanya diam. Yashinta menangis. Ia tahu kalau kaki Kak Laisa begitu karena memaksakan diri malam-malam menjemput mahasiswa KKN di kampung atas. Tapi Kak Laisa tidak mau membicarakan kejadian malam-malam di tengah hujan Itu ia sudah kembali sibuk. Meski kakinya belum sembuh benar, Kak Laisa tetap memaksakan diri bekerja di kebun. Makanya butuh waktu sebulan untuk sembuh total, karena lagi-lagi persendian itu bergeser.

Pagi datang menjelang di Lembah Lahambay.

Burung berkicau bagai orkestra. Kabut putih mengambang. Ditembus sinar matahari. Berlarik-larik seperti lukisan, elok melihatnya. Uwa di kejauhan sibuk berteriak. Meningkahi desis jangkrik dan ribuan serangga lainnya.

"Kau benar kuat mengangkat segitu, Yash?" "He-eh."
Yashinta mengangguk, merengkuh dua belas batang umbut rotan (ujung rotan yang masih muda). Di potong potong sepanjang enam jengkal. Bisa disayur. Bisa juga dijual ke kota kecamatan. Harganya lumayan mahal.

Kak Laisa pagi ini mengajak Yashinta mencari umbut rotan di pinggir hutan. Sekalian melihat lima anak berang-berang itu lagi.
Sebenarnya Yashinta tidak terlalu yakin apa ia cukup kuat mengangkat dua belas potong umbut rotan itu. Kak Laisa kakinya kan masih sakit, masih dibebat kain, jadi ia memutuskan mengangkut segitu. Biar beban Kak Laisa banyak.

Terhuyung. Tubuh kedl Yashinta terhuyung. "Kau benaran kuat, Yash?"
"He-eh."

Yashinta mengangguk lagi. Berpegangan kokoh ke ranting semak belukar. Menggigit bibir. Lantas mulai melangkah. Sebentar lagi ia juga terbiasa kok dengan berat ini. Awalnya bergetar, tapi perlahan kakinya mulai mantap menyusuri jalan setapak. Tuh kan, Yashinta kuat kok. Nyengir. Kak Laisa yang berjalan di belakangnya tersenyum.

Suara burung semakin ramai menjemput pagi. Saling sahut. Dua ekor bajing berlarian di dahan-dahan tinggi. Kecipak suara air mengalir di sungai kecil terdengar menyenangkan, Yashinta mulai ikut bersenandung. Tadi seru sekali melihat kembali berang-berangnya.
"Kau minggu depan mau ikut Kakak lagi ambil umbut rotan?" "He-eh."
Yashinta langsung menjawab. Tertawa. Kak Laisa ikut tertawa.

Mereka tiba di anak sungai yang lebih lebar. Harus meniti jembatan kayu kecil untuk menyeberanginya. Yashinta kembali bersenandung. Semakin lama, dua belas potong umbut rotan di pundaknya semakin terasa ringan.

Sayang, seekor kodok yang sedang mematung di jembatan kayu itu tiba-tiba loncat. Yashinta berseru kaget. Kodok itu cueknya justru loncat ke perut Yashinta. Gadis kecil itu reflek menghindar. Celaka! Kakinya kehilangan keseimbangan. Berdebum. Tubuhnya yang melintir terjatuh dari atas jembatan.
"YASH!" Kak Laisa berseru tertahan.

Tinggi jembatan itu hanya satu meter. Masalahnya air sungai di bawah dangkal, hanya sejengkal. Dipenuhi bebatuan pula. Dan kesanalah tubuh kecil itu terhujam. Dua belas potong umbut rotan itu berhamburan. Dan dalam gerakan lambat yang mengerikan, kepala Yashinta menghantam bebatuan.
"YASH! YA ALLAH!" Kak Laisa pias sudah.
Tersadarkan dari pemandangan itu. Melempar bawaan di pundaknya. Gemetar menuruni jembatan. Gemetar meraih tubuh adiknya yang basah.

"YASH.... YASH!"

Tubuh adiknya, ya Allah, pelipis adiknya berdarah. Luka. Cairan merah itu menggenangi sungai. Membuat garis panjang. Kak Laisa pias. Sungguh pias. Tangannya patah-patah merengkuh Yashinta. Menggendong ke tepi sungai Tidak peduli persendian mata kakinya bergeser lagi. Tidak peduli rasanya amat sakit. Kak Laisa benar-benar takut. Lihatlah. Adiknya seketika pingsan.

"Yash.... Yash, bangun—"

Gemetar Kak Laisa memeriksa seluruh tubuh Yashinta. Tidak ada yang luka, hanya pelipis. Tapi lukanya besar. Robek.
Melepas bebat kain di kepala. Mengelap darah. Percuma. Darah kembali mengucur deras. Aduh, Kak Laisa semakin gugup.
"Yash.... Kakak mohon, bangunlah..." Kak Laisa menangis.

Ketakutan itu tiba-tiba mencengkeram jantungnya. Ia sungguh lebih takut
dibandingkan saat kejadian di Gunung Kendeng  lalu.  Ini  semua  salahnya. Tidak
seharusnya mengajak Yashinta yang baru sembuh dari sakit ikut mencari umbut rotan

sekalian  melihat  anak  berang-berang.  Tidak  seharusnya  ia  membiarkan
Yashinta
menggendong lebih banyak potongan umbut rotan.

Tubuh Yashinta mulai dingin.

"Yash...."  Kak  Laisa  panik  menciumi  pipi  adiknya.  Suaranya  mencicit.
Ya  Allah,
bagaimanalah ini? Apa yang harus ia lakukan? Menggendong Yashinta pulang? Ya Allah, kenapa jemari adiknya semakin dingin. Apa yang akan ia bilang ke Mamak? Lais jaga adikmu. Mamak selalu berpesan begitu, bahkan meski untuk urusan sepele saat mengajak Yashinta mandi di sungai cadas.
Tubuh Laisa ciut oleh perasaan takut. Amat gentar. Darah semakin banyak keluar. Tubuh itu semakin dingin.

"Yash.... Ya Allah..."Kak Laisa tersungkur sudah, suaranya mendecit penuh permohonan, "Lais mohon.... Ya Allah, jangan ambil adik Lais — "
Kak Laisa kalap memeluk tubuh adiknya. Menciumi rambut basah adiknya.

"Lais mohon, ya Allah... Jika Engkau menginginkannya, biarkan Lais saja, biarkan Lais saja...."
Kalimat itu begitu ihklas terucap. Oleh rasa sayang yang tak terhingga.

Harimau besar itu menghentikan putarannya.

Ekornya berkibas pelan. RRR. Menggerung pelan. Lantas terdiam.
Menatap tubuh Yashinta yang tergolek di atas belukar. Semburat cahaya matahari pagi yang menerobos dedaunan menyinari tubuh itu. Kabut mengambang. Tadi malam berjaganya harimau itu membuat seekor beruang gunung mengurungkan niat mencabik-cabik tubuh tak berdaya Yashinta. Harimau itu sekarang mematung, seperti bisa menatap siluet indah yang sedang mengungkung tubuh Yashinta.

Dua bajing yang juga mengawasi tempat itu ikut terdiam Naik turun, celingak-celinguk kepalanya terhenti, Menatap siluet indah yang sedang mendekat. Mengambang turun.

Burung peregrin itu melenguh lemah. Kemudian senyap. Cahaya indah itu menguar di atas tubuh Yashinta.

Seperti parade yang turun membelah kabut. Kemilau tiada tara. "Ya Allah, Lais mohon, jangan ambil adik Lais...."
Siluet cahaya itu membungkuk, mencium kening Yashinta lembut Senyap. Lereng Gunung Semeru hening.
"Bangunlah adikku, Kakak menunggu di rumah...." Lantas sekejap kemudian sirna.
Menghilang.


Tubuh yang sudah dua puluh jam pingsan itu pelan membuka mata. Mengerjap-ngerjap. Yashinta berseru terbata "Kak Lais...?"


NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 38

No comments:

Post a Comment