Friday, September 25, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 9


9

CRAYON 12 WARNA

ANGIN MALAM bertiup lembut. Menyelisik sela-sela dinding anyaman bambu.

Malam beranjak datang. Rumah panggung kecil itu akhirnya lengang, setelah sejak maghrib tadi terdengar riuh oleh hardikan-hardikan. Hanya suara burung hantu dari kejauhan yang menghias malam, ditingkahi derik jangkrik bernyanyi. Langit terlihat cerah. Gemintang menunjukkan berjuta formasinya. Di sana ada Taurus, ada Pisces, ada Leo, Gemini, dan lebih banyak lagi rasi yang tidak memiliki nama.
Tadi siang, hingga sore benar-benar ribut.
Kak Laisa setiba di rumah panggung langsung menyiapkan bekal makanan seadanya, kemudian menyusul Mamak Lainuri di ladang bersama Dalimunte —yang tetap lebih banyak berdiam diri setelah dimarahi di sungai tadi, menunggu rumah. Ia belum pernah diajak-ajak ke ladang… Kata Mamak ia masih terlalu kecil. Ladang itu tidak jauh hanya satu kilo dari
kampung. Seperti tetangga lainnya, Mamak bertanam padi. Musim ini kabar baik, hujan datang teratur. Maksudnya, saat nugal (masa tanam) hujan turun, saat akan panen seperti sekarang, hujan justru berkurang. Kalau sebaliknya, bisa celaka. Bisa urung tanam, atau gagal panen karena busuk.

Menjelang ashar Mamak Lainuri, Kak Laisa dan Kak Dalimunte pulang. Biasanya Mamak langsung ke hutan, menghabiskan dua jam sebelum maghrib mencari damar, rotan, atau apalah. Tapi hari ini tidak. Mamak sudah mendapatkan laporan Kak Laisa soal kejadian tadi siang, jadi wajah Mamak terlihat marah sepanjang sore. Mamak sebenarnya tidak suka marah. Lebih banyak berdiam diri. Melotot, dan anak-anaknya langsung mengerti. Bagaimanalah Mamak akan sempat marah? Mamak sudah terlanjur lelah dengan jadwal harian. Bangun jam empat shubuh, menanak nasi, membuat gula aren, menyiapkan keperluan ladang. Lantas berangkat ke ladang. Nanti, baru lepas isya, setelah anak-anaknya tidur baru bisa istirahat. Itupun setelah menyelesaikan anyaman, rajutan atau apalah.

Tapi sore ini Mamak tidak dapat menahan marah. Bukan karena Dalimunte, Ikanuri, dan Wibisana sekaligus bolos sekolah, kasus bolos itu sudah biasa. Sudah bebal dua sigung itu diceramahi Tetapi lebih karena baru selepas maghrib Ikanuri dan Wibisana pulang ke rumah. Selama ini, meski suka bolos, Ikanuri dan Wibisana paling hanya bermain-main ke manalah. Pulang sebelum lembah gelap. Tapi apa yang dilakukan mereka seharian ini? Mereka baru pulang setelah yang lain selesai shalat maghrib. Ikanuri dan Wibisana, berani sekali ikut menumpang mobil starwagoon tua ke kota kecamatan, membantu tauke desa atas menjual sayur-mayur di sana.

Mereka pulang sambil tersenyum lebar membawa bungkusan dari kota, upah kerja seharian, tapi Mamak tidak peduli. Terlanjur marah. Maka kena omellah Ikanuri dan Wibisana. Tentang mau jadi apa mereka? Sekolah! Sekolah jauh lebih penting daripada bekerja. Kalian tidak akan jadi apa-apa kalau bodoh sepertiMamak! Kalian pikir hidup susah itu menyenangkan? Hanya karena menyadari adzan isya akan segera berkumandang dari suraulah omelan Mamak akhirnya terhenti. Menyuruh mereka ambil wudhu. Shalat maghrib! lantas makan bersama di hamparan tikar. Lebih banyak berdiam diri. Padahal Kak Laisa masak ikan asap. Menu yang terhitung istimewa buat keluarga miskin mereka. Tapi itu tidak cukup membantu suasana.

Lepas isya, setelah Dalimunte mengajak Ikanuri dan Wibisana shalat di surau; dan kali ini dua sigung nakal itu menurut barulah ruang tengah rumah panggung itu terasa lebih lega. Lampu canting besar di dinding kerlap-kerlip. Ikanuri dan Wibisana belajar di atas tikar pandan. Membaca, entah benaran membaca atau hanya pura-pura agar tidak kena marah lagi. Mereka sekali dua saling berbisik pelan,

"...iya, itu katanya jalan pintas menuju kota kecamatan..." "...aku dengar dari pemburu harimau di kota kecamatan tadi...". Terdiam saat Mamak menoleh.

"...lewat jalan itu lebih cepat..."

Yashinta asyik menggambar berang-berangnya tadi pagi. Dalimunte entah mengerjakan apa dengan kertas-kertas besar diujung tikar satunya. Kak Laisa dan Mamak duduk di sebelah Yashinta, menganyam topi pesanan.

Malam beranjak matang.
"Eh, Kak Lais, Yashinta nanti boleh sekolah, kan?"
Yashinta mendadak menghentikan gerakan tangannya, menoleh ke Kak Laisa. Ia teringat kata-kata Kak Laisa tadi siang di sungai bawah cadas.
"Apa?" Kak Laisa yang sibuk dengan anyaman bertanya balik, "Eh, nanti Yashinta boleh sekolah, kan?"
Yashinta bertanya sekali lagi, ragu-ragu. Ah, kalau ia sekolah, Mamak dan Kak Laisa pasti lebih repot lagi mencari uangnya.
"Sekolah! Lepas panen ladang musim ini Yashinta masuk sekolah!" Mamak Lainuri yang menjawab.

Beneran? Yashinta menyeringai. Matanya membulat. Mamak mengangguk selintas, tetap konsentrasi menganyam. Yashinta sudah tersenyum riang. Tadi kan, Kak Laisa bilang anak lelaki harus sekolah. Kalau anak perempuan? Lihat, Kak Laisa kan anak perempuan. Makanya ia tidak sekolah. Yashinta berpikiran pendek. Jadi dipikirkan sepanjang hari. Ia tidak tahu kalau sebenarnya Kak Laisa yang memutuskan mengalah untuk tidak sekolah agar adik-adiknya bisa sekolah.
Asyik, asyik, ternyata ia juga akan sekolah.

Biasanya, kalau bicara soal sekolah begini, Ikanuri dan Wibisana otomatis akan nyeletuk sama seperti tadi pagi,
"Memangnya asyik sekolah?"

Tapi karena mereka berdua malam ini lagi alim, mereka hanya sibuk belajar, berbisik-bisik. Meneruskan membaca buku.
"Kak Laisa, lihat gambar berang-berangnya, deh! Bagus, kan?"

Yashinta menghentikan gerakan tangannya lagi. Menyeringai sambil menyodorkan kertas gambarnya,
Kak Laisa menoleh, menyimak. Tersenyum. Mengangguk. Yashinta menyeringai senang, kan jarang-jarang Kak Laisa tersenyum. Mamak Lainuri juga beranjak mendekat melihat gambar Yashinta. Ikut tersenyum. Yashinta memang berbakat melukis. Meski hanya dengan pensil, gambarnya tetap bagus. Lima berang-berang itu terlihat begitu nyata. Andai saja ia bisa membelikan putri bungsunya crayon warna. Mamak menghela nafas pelan, meneruskan menganyam. Sejak dulu Yashinta sudah minta dibelikan.

Ikanuri dan Wibisana juga melirik selintas, meski lantas sok serius kembali lagi ke buku. Dalimunte masih sibuk dengan kertas-kertasnya. Entah membuat apa.
Sejurus, Yashinta menguap. Beranjak membereskan pensil dan kertas gambar. Sudah hampir pukul 21.00. Saatnya tidur. Hanya ada satu kamar di rumah panggung itu. Mamak, Kak Laisa dan ia tidur di kamar, beralaskan kasur butut. Sementara, Dalimunte, Wibisana dan Ikanuri tidur di ruang tengah. Pakai tikar pandan dan sarung.
"Ah-iya, Ikanuri lupa —"

Entah kenapa Ikanuri tiba-tiba bangkit dari belajarnya. Semua menoleh. Langkah Yashinta tertahan.
Ikanuri mengambil bungkusan kecil dari kota kecamatan tadi. Lantas menyerahkannya ke Yashinta.
"Buat, Yashinta!"

" Apa-an?" Yashinta bertanya sambil menguap. "Buka saja—"
Ikanuri nyengir.

Yashinta tanpa perlu diperintah dua kali, membuka ikatan kantung plastik kecil. Sekejap terdiam memegang kotak berwarna itu. Seperti tidak percaya. Satu detik. Dua detik. Lantas berseru senang sekali.
"CRAYON 12 WARNA—"
Yashinta tertawa lebar. Ikanuri ikut tertawa. Mengusap jidatnya. "TERIMAKASIH, KAK!"
Ah, malam itu, di tengah sejuknya angin malam menilisik lubang.-lubang dinding. Di tengah gemerlap sejuta bintang di angkasa sana. Malam itu, Mamak Lainuri setelah seharian bekerja, setelah sepanjang malam mengkal melihat ulah anak lelakinya, akhirnya bisa tersenyum lebar. Juga Kak Laisa....
"Abi, Tante Yashinta juga pulang, kan?"

Dalimunte yang mendorong koper sepanjang lorong garbarata pesawat mengangguk pelan. Ummi berjalan di belakang.
Asyik. Asyik. Kalau begitu ia bisa lihat-lihat kamera keren Tante Yashinta. Lihat-lihat foto yang indah. Dulu waktu Intan masih kecil, Tante Yashinta yang suka ngajarin melukis. Makanya Intan suka dengan pelajaran itu di sekolah.

"Oom Ikanuri? Oom Wibisana juga pulang, Bi?"

Dalimunte mengangguk lagi. Teringat sesuatu. Urusan ini benar-benar membuatnya tak sempat berpikir panjang. Bagaimana mungkin dia belum menghubungi mereka satu pun? Sejak menerima SMS di konferensi fisika. Itu berarti tiga jam berlalu, dan dia belum tahu apa yang sedang dilakukan adik-adiknya. Juga kabar Kak Laisa dan Mamak Lainuri di perkebunan strawberry. Dalimunte mengeluarkan HP dari sakunya. Antrian penumpang keluar dari pintu garbarata membuat langkah terhenti. Menyalakan telepon genggam.

"Kalau begitu Delima dan Juwita juga datang.... Horee!"
Intan tertawa lebar. Meraba tasnya. Ia bisa memaksa mereka berdua memakai empat gelang karet "Safe The Planet". Meski sedikit nyengir ketika kemudian membayangkan Oom Ikanuri dan Oom Wibisana. Pasti mereka lagi-lagi suka jahil ngerjain Intan.

Dulu pernah hamster belang Intan disembunyikan di tong belakang perkebunan. Untung ada Wak Laisa yang belain. Perasaan Oom Ikanuri dan Oom Wibisana nurutnya hanya sama Wak Laisa, deh, Sekarang? Kata Abi tadi kan Wak Laisa lagi sakit. Jadi tidak ada yang belain Intan kalau lagi dikerjain Oom Ikanuri dan Oom Wibisana. Ah, Wak Laisa paling sakit perut atau mencret-mencret, tidak bakal serius ini. Masih bisa menemani Intan jalan-jalan di kebun strawberry. Intan sibuk mikir sambil memperhatikan Abi yang menunggu nada sambung.


Orang dewasa tuh rumit, ya? Kenapa pula coba tampang Abi tegang begini sejak tadi dari sekolah. Cemas karena Wak Laisa sakit? Lah? Kan dikasih oralit, mencret Wak Laisa paling juga sudah sembuh. Intan jago kok bikin minuman itu.


NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 10

No comments:

Post a Comment