Sunday, September 27, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 43

43
ROMANTISME MATA BIRU

"ADA yang berubah darimu, Yash!" Kak Laisa memainkan matanya. Menahan tawa. "Apanya?"
"Kau tidak sibuk lagi — " Muka Kak Laisa terlihat jahil.

Yashinta menyeringai, sejak kapan cqba Kak Laisa macam Kak Ikanuri. Ikutan menggodanya. Mereka sedang duduk di ruang depan rumah panggung. Beramai-ramai. Delima dan Juwita yang baru enam bulan tertidur lelap di ayunan. Wulan dan Jasmine sebenarnya membawa box bayi. Tapi Mamak sudah memasang dua ayunan dari kain, disambung dengan tali. Menjuntai dari atap ruang depan. Di dalamnya diberikan bantal-bantal lembut. Kata Mamak, bayi lebih senang tidur di ayunan kain, dibandingkan kotak. Lagipula di lembah, cara-cara pedesaan lebih menyenangkan.

"Sibuk apanya?" Yash yang sedang memangku Intan bingung. Mengangkat bahu. Bukannya semua terlihat biasa-biasa saja.
"Sudah sehari kau pulang, tapi kau tidak sibuk Lagi bilang Goughsky yang menyebalkan. Goughsky yang sok tahu. Goughsky yang sok pintar." Kak Laisa tertawa. Menggoda.

Cepat sekali muka Yashinta memerah. Seperti lembayung senja. Membuat Cie Hui, Wulan, dan Jasmine ikut tertawa.
"Dia tetap menyebalkan, kok. Tetap sok tahu."

Yashinta menukas cepat. Berusaha mengalihkan perhatian dan muka merah padam dengan memainkan tangan Intan.
"Tetap memanggilmu, 'Miss Headstone'? 'Miss Headstone'!" Kak Laisa menirukan intonasi Yashinta selama ini saat mengulang kata-kata ini. Bahkan Mamak ikut tertawa.

"Ada apa ini? Ada sesuatu yang kami tidak tahu?" Ikanuri yang baru melangkah masuk dari pintu depan bertanya. Diiringi Wibisana dan Dalimunte. Mereka baru pulang dari acara syukuran kecil di rumah Bang Jogar. Kebetulan lagi di lembah.

"Tidak ada apa-apa, kok!" Yashinta menjawab sebelum yang lain membuka mulut. Melotot kepada Kak Laisa.
"Ya, tidak ada apa-apa.... Hanya bertanya kabar rekan kerja Yash di Gunung Gede. Mahkhluk setengah-setengah itu, kan Yash?"
Malam itu menyenangkan menggoda Yashinta. Melihat Yash salah tingkah. Berkali-kali menghindar. Mengancam Kak Laisa dan yang lain agar berhenti bertanya. Tapi semakin ia rnembantah dan menghindar, semakin ia menunjukkan perasaannya. Membuat ruang depan rumah panggung dipenuhi tawa. Baru terhenti saat Delima yang tidur di ayunan merengek.
"Tuh, kan, Pada berisik, sih." Yashinta buru-buru melangkah mendekati ayunan. Tangisan Delima menyelamatkannya.

Esok hari, saat berjalan bersisian dengan Kak Laisa menemani Intan mengelilingi lereng perkebunan. Berdiri membiarkan Intan yang sudah empat tahun berjalan sendiri tidak tahu arah. Memetik buah-buah strawberry. Memenuhi kantong-kantongnya. Kak Laisa memegang lengan Yashinta lembut.
"Kau menyukainya?"

"Menyukai apaan sih, Kak?" Yashinta yang segera tahu kemana arah bicara pura-pura tidak mengerti.
"Kau menyukai Goughsky?"

Muka Yashinta langsung tersipu. Wajah cantik itu kebas, meski matanya terlihat sekali bercahaya, ditimpa cahaya matahari pagi,
"Kalau begitu, apalagi yang kau tunggu? Umurmu sudah 33 tahun, Bahkan di bagian dunia manapun, kau sudah terhitung 'gadis tua' seperti Kakak!"
Kak Laisa tersenyum.

Yashinta tidak menjawab. Wajahnya yang menjawab. Semakin tersipu. Berusaha menunduk.
"Akan menyenangkan sekali jika Kakak, Mamak, dan kami semua bisa berkenalan langsung dengan mahkluk setengah-setengah itu. Ajaklah dia ke lembah ini. Kakak ingin melihat mata birunya. Apakah itu seindah yang sering kau ceritakan!"

Yashinta terbatuk pelan. Entah hendak bilang apa. Beruntung Intan mendekati mereka, berseru, memutus pembicaraan,
"Tante, Tante, buahnya besal-besal... Kantong Intan sudah penuh semua.... Tante dan Wawak pegang sepaluh, deh!"
Enam bulan kemudian, akhirnya Goughsky ikut pulang ke Lembah Lahambay. Si mata biru itu menyetujui ide Kak Laisa. Jadi saat Yashinta malu-malu mengajaknya, malu-malu menyampaikan undangan itu, Goughsky mengangguk mantap.

Kabar ikut pulangnya Goughsky ke perkebunan membuat basecamp ramai oleh seruan, "Wah, ada yang mau ketemu dengan calon mertua!" Goughsky ikut tertawa lebar. Yashinta masih saja tersipu malu. Urusan mereka sama seperti Dalimunte dan Cie Hui, atau Ikanuri-Wibisana dengan Wulan-Jasmine. Mereka tidak saling mengungkapkan perasaan secara langsung. Tapi bukankah perasaan itu tidak selalu harus dikatakan? Cara menatap, cara bertutur sungguh cermin dari isi hati. Lagipula sama seperti kakak-kakaknya, Yashinta tidak mengenal proses pacaran. Mereka tahu batas-batasnya.

Jadilah itu kunjungan pertama Goughsky, kunjungan yang ditunggu-tunggu Kak Laisa. Yang celakanya, ternyata justru sekaligus menjadi kunjungan terakhir Goughsky.

Pria Uzbek itu seperti biasa cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Menjawab gurauan Kak Laisa dengan baik. Membantu Yashinta lebih santai, yang mukanya sepanjang hari memerah. Mengerti benar menempatkan diri di hadapan Mamak, akrab dengan Ikanuri dan Wibisana. Dan cepat nyambung bicara dengan Dalimunte,

"Tentu saja aku tahu, Yash.... Aku sudah mengenal Profesor Dalimunte ketika kuliah di Belanda. Membaca banyak penelitiannya.... Yang aku tidak tahu dan benar-benar tidak menduga selama ini, ternyata Profesor punya adik sekeras kepala kau!"

Tertawa. Dan sebelum senja tiba, Goughsky sudah menjadi 'paman' yang hebat buat Intan. Hanya satu yang keliru. Yang membuat kunjungan itu menjadi kacau-balau. Saat berjalan

dengan Kak Laisa, menggendong Intan di bahu, melewati jalur-jalur batangstrawberry. Saat Kak Laisa bilang tentang: apalagi yang kalian tunggu. Goughsky mengangguk. Dia sudah mengenal dengan baik keluarga ini dari cerita-cerita Yashinta di basecamp. Dan keluarga itu juga sudah mengenal baik dirinya juga melalui cerita-cerita Yashinta di perkebunan setiap pulang. Dia menyukai Yashinta, bahkan sejak pandangan pertama di London.
Goughsky menyetujui ide Kak Laisa, apalagi yang mereka tunggu?

Maka malam itu Goughsky melakukan kesalahan fatal. Karena dia amat yakin Yashinta juga menyukainya. Mereka sudah lebih dari dewasa. Sudah lebih dari siap untuk berkeluarga. Tanpa bicara terlebih dahulu dengan Yashinta, ketika mereka berkumpul di ruang depan rumah panggung, sambil menyentuh takjim lengan Mamak, Goughsky meminang Yashinta.
Saat Goughsky mengatakan kalimat,
"Umurku enam tahun saat Ayah-Ibu pergi ditelan badai salju.... Bertahun-tahun hidup tanpa keluarga.... Sesak atas kerinduan memiliki ayah, ibu, kakak, adik, sebuah keluarga... Baru sehari di sini, tidak pernah kubayangkan, seperti menemukan kembali makna keluarga yang utuh.... Mamak, aku sejak kecil tidak pemah belajar dengan baik arti kasih sayang keluarga....

Malam ini, ijinkan aku belajar kata-kata itu, ijinkan aku menjadi bagian dari keluarga ini....

Ijinkan... ijinkan aku memperistri Yashinta. Aku sungguh mencintainya...."
Ruang depan itu senyap. Bahkan Intan yang tadi sibuk merengek minta dibuatkan ukiran beruang salju juga diam. Mamak menatap wajahGoughsky lamat-lamat. Lantas menoleh ke arah Yashinta. Kak Laisa menyeka pelupuk matanya, terharu. Cie Hui menggenggam jemari Dalimunte.Tersenyum. Ikanuri dan Wibisana sih nyengir lebar, lumayan, tapi masih saktian kalimat mereka dulu waktu melamar Wulan dan Jasmine.

Mamak menunggu anggukan dari Yashinta. Menatap Yashinta yang entah mengapa justru diam seribu bahasa. Sejak dulu, bagi Mamak, urusan perjodohan tergantung anak-anaknya. Ia tidak melarang, tapi juga tidak menyuruh. Sepanjang calon pasangan mereka berakhlak baik, bertanggung-jawab, pandai membawa diri, dan saling menyukai, itu sudah cukup. Sisanya bisa dicari saat menjalani pernikahan.
Lima belas detik senyap. Sekarang semua menoleh ke arah Yashinta. Dan celakanya, gadis itu mendadak berdiri. Melangkah keluar, melewati pintu depan. Menuruni anak tangga. Berlarian menuju lereng perkebunan.

"YASH!" Goughsky terkesiap, bangkit berdiri, hendak mengejar. Bingung. Tidak mengerti. Bagaimanalah jalan cerita berubah jadi seperti ini? Ada apa dengan Miss Headstone-nya? "Biar.... Biar aku yang menyusulnya!" Kak Laisa menahan lengan Goughsky. Tentu saja Kak Laisa tahu permasalahannya. Biar ia yang mengajak bicara Yashinta. Goughsky yang tidak terlalu paham masalahnya justru akan membuat semuanya menjadi puing tidak terselamatkan. Membuat rasa suka itu menjadi kebencian.

Yashinta keras kepala. Gadis itu sejak kecil amat keras kepala. Sekali ia mengambil keputusan, maka butuh waktu lama melunakkannya. Kak Laisa tahu betul itu. Urusan ini benar-benar tidak akan mudah seperti Dalimunte, seperti dua sigung nakal itu.

"Kau menyukainya?" Kak Laisa bertanya tegas. Memegang lengan Yashinta yang duduk menjeplak di lembabnya tanah.
Bulan sabit seperti digelantungkan menghias langit. Bintang-gemintang. Wangi semerbak perkebunan menyergap hidung.Yashinta hanya diam. Menyeka matanya yang basah.

"Kau menyukainya atau tidak?" Kak Laisa mendesak.Yashinta tetap diam seribu bahasa. "Kakak tahu sekali apa yang kau pikirkan, Yash.... Tahu sekali.... Apa yang dulu Kakak sering bilang? Kau tidak usah menunggu Kakak.... Menunggu sesuatu yang mungkin tidak akan—"
"Tapi harusnya Goughsky bilang ke aku.... Bilang sebelum menyampaikannya ke Mamak!" Yashinta memotong.
"Apa bedanya, Yash? Kau jelas menyukai Goughsky. Bukan itu masalahnya, kan? Bukan soal bilang dulu masalahnya hingga kau lari begitu saja dari ruang depan?"
Yashinta diam kembali. Menyeka pipinya.

"Kalau kau marah Goughsky tidak bilang dulu, kau sepatutnya marah pada Kakak... Karena Kakak lah yang memintanya melakukannya segera."
Kak Laisa mendekap lembut bahu adiknya.Menatap hamparan perkebunan. Senyap. Menyisakan kerlip lampu gudang pengalengan. Ada tiga truk di sana. Berjejer.

"Kau sudah 33 tahun, Yash.... Sudah saatnya menikah—"

"Aku tidak akan menikah sebelum Kak Lais menikah!" Yashinta memotong. Suaranya serak. "Kau tidak perlu menunggu Kakak? Ya Allah, berapa kali lagi Kakak harus bilang hingga kau akhirnya mengerti?"

"Yash tidak akan menikah...." Gadis itu memotong keras kepala.

"Tidak ada yang tahu kapan Kakak akan menikah, Yash. Tidak ada yang tahu.... Bahkan mungkin Kakak ditakdirkan tidak akan pernah menikah.... Kau harusnya tahu persis itu." Suara Kak Laisa serak. Menatap wajah adiknya lamat-lamat. Adiknya yang sekarang mulai terisak.
Membuat Kak Laisa tertunduk dalam. Menggigit bibir, pelan mendesah ke langit-langit, " Ya Allah, setelah Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana, apa aku harus selalu menanggung penjelasan ini kepada mereka.... Ya Allah, apa aku harus selalu menjadi penghalang pernikahan adik-adikku.... Lais sungguh ihklas dengan semua keterbatasan ini, Ya Allah. Sungguh,... Biarlah seluruh bukit dan seisinya menjadi saksi, Lais sungguh ihklas dengan tegala takdirMu.... Tapi setiap kali harus mengalami ini, menjadi penghalang kebahagiaan mereka...." Suara Kak Laisa menghilang di ujungnya. Getir.

Dan Yashinta seketika menangis tertahan. Memeluk Kak Laisa erat-erat. Untuk pertama kalinya, kalimat seperti itu meluncur dari mulut Kak Laisa. Kalimat penjelasan. Sepenuh hatinya. Semua ini memang benar-benar sederhana baginya. Kesendirian. Rasa sepi. Kerinduan. Semua itu benar-benar sederhana baginya. Ia merasa cukup dengan segalanya....

Lihatlah, malam itu ia justru hanya mengeluh telah menjadi penghalang jalan kebaikan adik-adiknya....
Tetapi pembicaraan di lereng perkebunan itu tidak berguna. Meski tahu secara utuh apa yang ada di kepala Kak Laisa, tidak membuat Yashinta berubah pikiran sedikitpun. Keras kepala. Apa yang dulu dibilang Ikanuri benar. Yashinta belum mengalami sendiri betapa susahnya memutuskan untuk menikah, melintas Kak Laisa. Apalagi dengan fakta menikahnya Yashinta, maka sempurna sudah Kak Laisa dilintas oleh seluruh adik-adiknya. Itu sungguh bukan keputusan mudah. Dengan semua yang telah dilakukan Kak Laisa demi mereka. Kak Laisa yang selalu menganggap Yashinta sebagai adik tersayangnya.

Besok pagi, Goughsky yang mendapatkan penjelasan dari Kak Laisa dan Dalimunte pulang lebih dulu. Rekan-rekan peneliti di basecamp urung menggodanya saat tiba. Wajah lelah dan kusut Goughsky menjelaskan banyak hal, Yashinta tiba tiga hari kemudian. Langsung mengemasi barang-barang. Memutuskan keluar dari proyek konservasi. Lebih banyak diam. Matanya sembab. Mereka berdua sempat bicara sebentar di malam sebelum kepulangan Yashinta ke Bogor.
"Maafkan aku yang tidak mengajakmu bicara lebih dulu." Goughsky menatap bulan yang mulai penuh.
Yashinta hanya diam. Merapatkan syal di leher. Mengusir rasa dingin di kulit. Juga dingin di hati. Ia dari tadi ingin sekali menatap wajah si mata birunya. Tapi mati-matian menahan diri.

"Maafkan aku yang tidak mengerti situasinya.... Meski mungkin aku tidak akan pernah mengerti, tapi penjelasan Profesor Dalimunte membantu banyak.... Kau mungkin benar, tidak pantas mendahului Kak Laisa menikah.... Tidak pantas...."
Yashinta tetap diam.
"Yash, aku akan tetap menunggu.... Aku sungguh mencintaimu, entah bagaimana aku harus melukiskan perasaan tersebut karena teramat besarnya cinta ini.... "
Yashinta menggigit bibir. Bagaimanalah? Kalau saja ia tidak menahan diri, dari tadi ia sudah menghambur di pelukan mahkluk setengah-setengahnya. Bilang betapa ia juga amat
mencintainya. Tapi ia tidak akan pernah bisa melintas Kak Laisa. Hubungan ini tidak akan berhasil. Jika mereka tidak bisa bergerak ke fase komitmen, pernikahan, maka lebih baik ia mundur. Lebih baik mereka saling menjauh. Menunggu. Menunggu hingga kapanpun, Yashinta tertunduk. Bagaimanalah ia akan melintas? Setelah begitu banyak kebaikan Kak Laisa?

Kenangan-kenangan itu melintas di kepalanya. Kak Laisa yang menggendongnya pulang dari jembatan kayu. Tersuruk-suruk sambil menangis, cemas. Kak Laisa yang berteriak-teriak memanggil Mamak. Gemetar meletakkannya di bale bambu. Berbisik.

"Kakak mohon, bangunlah Yash" Kak Laisa yang bahkan tulus menukar nyawanya demi kesalamatan adik-adiknya.
Kak Laisa yang mengajarinya tentang alam,
"Itu kukang, Yash!" Tertawa melihatnya ketakutan saat seekor kukang melompat.
"Kau tahu? Saat ada ular pemangsa yang mengancam sarangnya, saat ada hewan buas lain yang mengincar anak-anaknya, induk kukang akan habis-habisan mempertahankan sarang. Sampai mati. Dan ketika ia mati, sekarat, induk kukang akan mengambil cairan di ketiak kiri dan kanannya, menjadikannya satu, mengusapkannya ke seluruh tubuh. Jika dua cairan ketiak kukang digabungkan, itu menjadi racun mematikan. Yang akan membunuh ular atau pemangsa lain saat memakan tubuhnya.... Kau tahu apa gunanya pengorbanan itu? Agar anak-anaknya tetap selamat. Induk kukang mati bersama dengan pemangsanya!"

Saat itu Yashinta kecil hanya tertawa. Apalagi saat Kak Laisa bilang soal cairan di ketiak. Tapi saat kuliah di Belanda, bahkan prof esor biologi di sana tidak tahu fakta tentang kukang tersebut. Juga beberapa reporter senior National Geographic. Hanya orang seperti Kak Laisa, yang mewarisi kebijakan alam Lembah Lahambay yang tahu. Belajar langsung dari alam liar. Dan mungkin kebijakan seperti itulah yang dimiliki Kak Laisa, mengorbankan seluruh hidupnya demi adik-adiknya. Yashinta menelan ludah.

"Kaubawa ini, Yash!" Goughsky yang berdiri di sebelahnya mengulurkan sesuatu. Seuntai kalung, berhiaskan delima.
"Itu milik Ibu-ku. Satu-satunya yang tersisa di rumah kami saat badai salju itu pergi.... Aku akan selalu menunggumu... Hingga kapanpun..."
Dan Yashinta sudah menangis terisak. Itu pembicaraan mereka enam bulan lalu.

Enam bulan sebelum SMS Mamak terkirimkan. Yashinta memutuskan untuk memulai proyek sendiri. Konservasi alap-alap kawah. Peregrin. Pergi ke Gunung Semeru. Goughsky juga berhenti dari proyek konservasi elang mereka. Tidak kuasa melihat jejak Yashinta di mana-mana. Membuat Mr dan Mrs Yoko berteriak-teriak tidak mengerti. Kabar baiknya proyek mereka sudah selesai di bulan kedua belas. Hanya tinggal masa transisi sebelum diserahkan kepada petugas Taman Nasional Gunung Gede.

Kak Laisa sejak pembicaraan di lereng itu tidak banyak lagi membujuk Yashinta. Dia sudah amat lelah. Kalimat terakhir yang diucapkarmya di lereng waktu itu menjelaskan betapa lelahnya Kak Laisa. Kanker paru-paru nya sudah stadium III. Semakin ganas. Susah payah Kak Laisa menyembunyikan penyakit itu di hadapan adik-adiknya. Meminum obat berkali-lipat dosis normal menjelang jadwal pulang dua bulanan mereka. Ia selalu tngin terlihat baik-baik saja. Tidak ada yang tahu kalau Kak Laisa bolak-balik ke rumah sakit kota provinsi.

Tetapi energi yang hebat itu, kecintaan atas adik-adiknya, rasa cukup dan syukur atas hidup dan kehidupan, akhirnya tidak kuasa mengalahkan fisik yang semakin lemah. Sebulan yang lalu, ia terjatuh di lereng perkebunan. Di tandu pulang. Kak Laisa menolak dirawat di rumah sakit, jadi peralatan, dokter, dan suster yang didatangkan dari sana.

Dua hari lalu, setelah bertahan selama seminggu dengan infus dan belalai plastik, SMS itu terkirimkan.

"Pulanglah. Sakit kakak kalian semakin parah. Dokter bilang mungkin minggu depan, mungkin besok pagi, boleh jadi pula nanti malam. Benar-benar tidak ada waktu lagi. Anak-anakku sebelum semuanya terlambat, pulanglah...."



NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 44

No comments:

Post a Comment