Saturday, September 26, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 20


20
KAU HARUS TETAP SEKOLAH!

"DALIMUNTE baru saja tiba di perkebunan strawberry..."

Wibisana memasukkan telepon genggamnya ke saku. Ikanuri mengangguk. Terbatuk pelan. Kerongkongannya sedikit sakit. Ini mungkin gara-gara kehujanan di Pegunungan Alpen, Swiss semalam. Atau karena kelelahan, kurang tidur, setelah belasan jam tanpa jeda melanglang buana. Atau juga karena dia terlalu banyak sesak mengenang masa kecil itu.

"Jasmine dan Wulan juga sudah tiba di kota kabupaten. Lancar. Perjalanan mereka tidak banyak masalah. Kata Jasmine; Juwita dan Delima tertidur di mobil."
Wibisana menghela nafas. Jelas perjalanan akan lebih lancar jika kedua putri mereka sudah tertidur. Biasanya mereka berdua sibuk minta berhenti setiap kali melihat apalah. Sibuk berteriak-teriak, bertengkar. Pernah Juwita dan Delima membuat rombongan dari kota provinsi terhenti total hanya gara-gara mereka melihat ada burung kwao yang melintas di depan mobil, lantas hinggap di pohon. Memaksa Abi mereka menangkap burung itu, tidak mau mendengarkan penjelasan kalau tinggi pohonnya saja hampir dua puluh meter.

Ikanuri mengusap wajah lelahnya.
Layar raksasa penunjuk jadwal dan status penerbangan di langit-langit gedung ultra-modern Paris International Airport memamerkan kecanggihannya. Tidak kurang tiga puluh baris jadwal penerbangan terpampang otomatis di layar tersebut. Merah. Hijau. Kuning. Display yang mengagumkan.

Moskow, Departure 07.30. California, Departure 07.35. Riyadh, Arrive 07.40. Singapore, Departure 07.40. Hongkong, Delay 07.45. Jakarta, Departure 07.45.
Ikanuri melirik jam di pergelangan tangan, masih satu setengah jam lagi jadwal penerbangan mereka. Mengusap wajah sekali lagi. Masih lama, seharusnya mereka masih punya waktu untuk sarapan. Menikmati sepotong donut dan segelas kopi gaya Perancis. Tapi perutnya tidak lapar. Dia penat itu benar, lelah tentu saja. Tapi dia tidak mengantuk atau lapar. Tadi kereta Eurostar tiba di stasiun Gare de Nord, Paris pukul 05.30 (hanya terlambat setengah jam, meski terhenti oleh longsoran itu selama dua jam). Mereka shalat shubuh di kabin kereta. Lantas langsung meluncur menuju bandara. Menumpang subway Paris-Bandara. Segera check-in.
"Kau sudah menelepon Yashinta, lagi?" Ikanuri bertanya. Wibisana mengangguk, "Tetapi, tetap tidak ada nada sambungnya…." menelan ludah.

Ikanuri menghela nafas panjang. Nah, setelah nyaris sepuluh jam tidak berhasil menghubungi Yashinta, dia akhirnya ikut cemas. Tidak ada nada sambung? Selama itu kah? Kemana pula anak itu di waktu sepenting dan semendesak ini? Apa masih di puncak Semeru? Mengamati alap-alap kawah? Tidak mungkin sinyal telepon genggam satelitnya tidak menjangkau daerah tersebut. Lantas kemana anak ini hingga telepon genggamnya tidak aktif? Kehabisan baterai? Tidak mungkin. Yashinta pendaki gunung profesional. Ia selalu membawa baterai cadangan.
"Kau sudah telepon Goughsky?" Ikanuri teringat
Wibisana seperti tersadarkan. Kenapa tidak terpikirkan sejak tadi? Semua kepanikan ini membuat kepala mereka tumpul. Ya! Goughsky. WNI keturunan Uzbekistan itu kolega Yashinta di lembaga konservasi, Bogor. Tiga tahun terakhir, di mana ada Yashinta, di situ juga ada Goughsky. Dan sebaliknya. Mereka kompak tidak hanya urusan konservasi. Lebih dari itu.... Meski sayangnya enam bulan terakhir hubungan mereka berantakan. Bermasalah. Ah, Goughsky pasti tahu di mana Yashinta. Kalau pun tidak, anak itu rela menukarkan nyawa untuk memastikan di mana Yashinta sekarang

Wibisana buru-buru menarik HP dari saku celana.
Sebenarnya inilah urusan paling pelik dari hubungan kakak-adik yang mengesankan tersebut. Saat kehidupan lebih baik datang menjemput, janji-janji kesempatan lebih besar di luar Lembah Lahambay tiba, saat itulah mereka menyadari jika Kak Laisa semakin 'tertinggal' dibelakang. Bukan. Bukan soal pendidikan, toh, meski tidak sekolah Kak Laisa tetap seperti tahu segalanya. Bukan pula soal kesempatan melakukan hal-hal besar, toh meski tetap di lembah, Kak Laisa sungguh tetap bisa melakukan hal-hal besar, Kak Laisa bahkan berhasil merubah wajah seluruh lembah. Kesejahteraan penduduk, pendidikan anak-anak, akses atas kesempatan. Dan tentu saja juga bukan soal materi dan sebagainya, karena jelas Kak Laisa boleh menguasai seluruh Lembah Lahambay dengan perkebunan strawberry-nya.

Dua bulan setelah kejadian sakit Yashinta, instalasi listrik pertama akhirnya terpasang di rumah-rumah kayu. Mahasiswa KKN itu membuktikan kalau bantuan dari kampus tidak omong-kosong. Maka terang-benderanglah lembah tersebut. Bukan main. Anak-anak yang selama ini hanya terbiasa dengan lampu canting dan ribuan larik kunang-kunang mengerjap-ngerjap menatap bohlam lampu belasan watt. Berpendar-pendar. Seperti melihat pesawat UFO mendarat, dengan mahkluk angkasa di dalamnya (ini celetukan Ikanuri yang asal ngarang saat pertama kali melihat bohlam lampu di surau). Kincir air itu berfungsi ganda, dengan generator yang terpasang, sekarang sekaligus menjadi pembangkit tenaga listrik. Dalimunte belajar banyak dari kakak-kakak mahasiswa Semakin menyukai membuat sesuatu. Sesuatu yang berguna.
Tapi lebih banyak lagi yang dipelajari Kak Laisa.

Selepas mahasiswa KKN itu pulang ke kota provinsi, Laisa membujuk Mamak untuk mulai menanam strawberry di kebun mereka. Laisa nyaris menghabiskan satu minggu untuk membujuk Mamak.

"Aku tidak akan membiarkan Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta putus sekolah karena mengganti tanaman di kebun, Mak. Aku tahu, kalau aku gagal, mereka bisa putus sekolah kehabisan bayaran, tapi sungguh aku tidak ingin itu terjadi.... Aku ingin melakukannya, karena justru dengan beginilah kita akhirnya berkesempatan memiliki uang yang cukup buat sekolah Dali di kota kecamatan tahun depan.... Lais mohon, ijinkan Lais menanam buah itu."
Kak Lais, menyeka wajahnya yang berkeringat, menggenggam lengan Mamak. Meyakinkan. "Kita tidak pernah menanamnya, Lais...." Mamak menatap lamat-lamat wajah sulungnya. Menghela nafas pelan. Ia selalu yakin dengan Laisa.

Tetapi menanam strawberry di lembah ini? Bahkan Mamak baru kali itu mendengar ada buah yang bernama strawberry.
"Laisa sudah mencatatnya, lihat, Mak! Kakak-kakak itu bilang banyak hal. Lihat. Laisa bahkan menggambar banyak petunjuk dari kakak-kakak mahasiswa..."
Laisa memperlihatkan buku tulis butut sisa sekolahnya tujuh tahun silam. Tulisan-tulisan yang jelek dan kecil. Ilustrasi-ilustrasi seadanya.

Tidak susah menyiapkan polybag, bibit-bibit, hingga menjualnya ke kota kecamatan. Kata kakak-kakak itu, buah strawberry mahal sekali di supermarket kota provinsi, harus didatangkan dari negara lain pula. Lembah mereka cocok untuk menanam strawberry. Iklimnya tepat. Suhunya tepat. Ketinggiannya baik. Dan tanahnya subur. Laisa berbinar-binar memperllihatkan angka-angka. Perhitungan keuntungan yang lebih besar dibanding menanam jagung, atau padi. Tubuh Laisa yang hanya setinggi dada Mamak terlihat bergerak-gerak antusias.

Maka, karena Mamak tak kuasa melarang Laisa, separuh kebun akhirnya ditanami dengan strawberry setelah panen jagung berikutnya. Keputusan besar. Dan amat beresiko. Dalimunte tidak banyak berkomentar. Ikanuri dan Wibisana nyengir, sepertinya lebih mudah mengurus polybag-polybag ini daripada menyiangi gulma setiap hari, bukan? Hanya Yashinta yang berseru-seru riang, melihat gambar-gambar buah strawberry sepertinya buah merah ranum mereka akan lucu-lucu.
Tetapi Laisa keliru. Tidak mudah. Sungguh tidak mudah.

Meski ia memiliki pengetahuan bagaimana menanam strawberry, namun mengurus ratusan polybag bukan pekerjaan gampang. Delapan bulan berlalu, kebun strawberry itu gagal total. Separuh batangnya mati oleh musim penghujan, terendam. Separuh lagi buahnya busuk saat diangkut ke kota kecamatan untuk dibawa ke kota provinsi. Itu terjadi saat Dalimunte menjelang ujian akhir. Kabut buram menggantung di mata Kak Laisa. Bagaimanalah? Aduh, situasi jadi amat muram. Meski Mamak sekalipun tidak menyalahkannya, Kak Laisa belakangan lebih banyak menghabiskan waktu memandangi separuh kebun yang dipenuhi polybag hitam. Kosong dengan batang strawberry yang layu.

Panen jagung sisa setengah lahan mereka juga ternyata buruk.
Gerimis membasuh lembah. Laisa berdiri mematung. Sendirian di tepi ladang. Tubuh gempal dan pendek itu basah. Senja membungkus ladang. Langit mulai gelap, lembayung jingga tenggelam di balik Gunung Kendeng. Satu dua burung layang-layang terbang menerobos bilur air hujan. Melenguh. yang justru menambah senyap suasana.

"Mamak menyuruh Kakak pulang."

Laisa menoleh. Dalimunte melangkah mendekat. Amat pelan. Tertunduk. Lantas sedikit ragu-ragu menyerahknn daun pisang. Laisa menggeleng. Sudah basah. Biarkan saja.
Dari tadi siang ia di kebun. Menatap kegagalannya. Sengaja belum pulang meski adzan maghrib sebentar lagi terdengar. Ia amat enggan pulang. Hari ini Dalimunte menerima hasil ujian sekolahnya. Mamak minggu lalu sudah bilang, mereka hanya punya uang buat Yashinta yang mulai masuk kelas dua, dan Ikanuri serta Wibisana yang menginjak kelas lima. Tapi tidak untuk Dalimunte yang akan melanjutkan sekolah di kecamatan.

Senyap.
Dalimunte ikut melepas daun pisang dikepalanya. Membiarkan tubuhnya basah seperti Kak Laisa. Berdiri di sebelah Kak Laisa, ikut menatap kebun mereka. Onggokan kantong-kantong plastik hitam. Seekor elang melintas rendah. Begitu anggun di garis horizon lembah. Lengang tiga menit.
Hanya gerimis yang terus membasuh dinginnya tanah. "Kata Mamak, kakak bisa mencobanya lagi tahun depan...."

Dalimunte berkata pelan, antara terdengar dan tidak. Menunduk, menggigit bibirnya.

Laisa menoleh. Dalimunte sudah lebih tinggi darinya sekarang. Setahun berlalu sejak kincir air dibuat, bahkan Ikanuri dan Wibisana sudah lebih tinggi dari Laisa.
Mereka berdiam diri lagi.

"Sebenamya... sebenarnya, Dali juga tidak senang sekolah. Sungguh — "

Dalimunte berkata serak. Dia membuang ingus. Dari lima bersaudara, Dalimunte-lah yang paling mudah terharu.
"Kakak tahu, Dali bahkan lebih suka bekerja di kebun membantu Mamak, membantu Kakak. Dali tidak suka sekolah. Jadi Kakak tidak usah sedih...."
Laisa menelan ludah. Menggigit bibirnya.

"Dali kan bisa belajar dari mana saja. Pinjam buku. Tidak mesti sekolah. Dali tidak harus membuat Kakak susah—"
"kau bicara apa, Dali!" Laisa memotong suara adiknya.

"Dali tidak ingin sekolah. Dali tidak ingin membuat Kak Lais sedih. Tak ingin lihat Mamak kerja keras dipanggang matahari. Dali tidak ingin sekolah—"
"kau harus tetap sekolah!" Laisa memotong sekali lagi kalimat adiknya, berkata dengan suara serak. Tapi kalimat itu terdengar hambar, tidak setegas seperti biasanya. Bagaimanalah? Untuk membayar uang pangkal saja tidak ada. Apalagi ongkos Dalimunte bolak-balik ke kota kecamatan. Bagaimana mungkin ia bisa menjanjikan itu?

"Dali tidak ingin sekolah. SUNGGUH—" "DIAM!" Suara Kak Laisa bergetar. "Kau tetap sekolah Dali!"

Dalimunte terisak, mengusap matanya. Tertunduk dalam-dalam. Lihatlah, gara-gara dia harus sekolah Kak Laisa harus bekerja sepanjang hari di ladang. Kenapa hanya Kak Laisa yang bekerja keras. Dali juga bisa. Dali juga mau, agar Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta terus sekolah.
Rinai air hujan tumpah bersama rinai kesedihan di hati Dalimunte. "Tidak tahun ini, tidak sekarang.... Tapi kau harus terus sekolah, Dali...." Laisa berbisik pelan memecah sedan.

"Jika Mamak tidak punya uang tahun ini, maka Mamak akan punya tahun depan... paling lambat tahun depan kau harus kembali sekolah... Kau dengar kakak... kau dengar kakak, Dali? Kakak, kakak berjanji akan melakukannya Sungguh—"

Laisa mengenggam lengan adiknya. Berusaha menahan serak di kerongkongan. Ia tidak ingin menangis di depan Dalimunte.
Lihattah, sebenarnya kalau kalian tidak terbiasa dengan pemandangan ini, maka kalian akan menduga, justru Laisa lah yang menjadi adik dari Dalimunte. Padahal mereka hanya berjarak enam tahun satu sama lain. Tubuh Laisa tidak akan tumbuh lagi.
Dalimunte membuang ingusnya.
"Ayo, kita pulang—"

Kak Laisa pelan menarik tangan Dalimunte, tersenyum tulus. Tadi sepanjang hari ia benar-benar bersalah atas keputusannya mengganti tanaman di ladang delapan bulan silam. Seharian Laisa pergi ke kebun karena tidak kuasa menunggu Dalimunte di rumah membawa kabar kelulusannya seperti Mamak dan yang lain. Tetapi gerimis ini menumbuhkan satu pemahaman baru baginya. Pembicaran senja ini menanamkan semangat baru.

Tidak. Tentu saja urusan ini berbeda dengan dirinya dulu. Dalimunte selalu memiliki kesempatan untuk kembali sekolah. Tidak sekarang, tahun depan dia akan kembali melanjutkan sekolah di kota kecamatan. Sepanjang ia terus bekerja keras demi adik-adiknya. Kesempatan itu pasti akan datang.
"Berapa nilai rata-rata ujian akhirmu?"

Laisa bertanya, samil berjalan menyusuri jalan setapak yang sekarang licak oleh lumpur. Dalimunte pelan menyebutkan angka, berusaha mengimbangi langkah gesit kakaknya di


depan. Ujung-ujung semak bergoyang terkena gerakan mereka. Memercikkan bulir air yang menggelayut di ujung-ujung daunnya. Benang sari bunga belukar luruh, menerpa anak rambut. Laisa tersenyum lebar mendengarnya. Jika ada yang bertanya siapa paling pintar di dunia ini, siapa paling pandai, maka ia akan menjawabnya dengan bangga itulah Dalimunte, adiknya.


NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 21

No comments:

Post a Comment