Thursday, September 24, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 7


7
ITU BENAR-BENAR JAUH LEBIH PENTING
"RIO... RIO...." Intan, gadis kecil berumur sembilan tahun itu berseru-seru. Sibuk. Naik turun tangga. Melongok ke balik kursi, meja, ranjang, lemari, apa saja. Lari keluar, mencari di halaman.

"Rio... Rio.... Aduh, kemana, sih?" Intan balik lagi ke dalam rumah. Berlarian menaiki tangga lagi. Kuncir rambutnya yang berpita biru bergoyang.
Dalimunte mengusap wajah. Melirik jam di pergelangan tabgan untuk ke sekian kali. Satu jam lagi, pesawat yang sudah dipesan staf lab-nya, take-off. Kalau mereka terlambat, maka baru besok ada penerbangan yang sama. Tidak banyak jadwal penerbangan ke kota provinsi itu. Kota itu terhitung terpencil jika dilihat dari sisi jumlah penumpang angkutan udara. Maskapai itu saja harus disubsidi pemerintah daerah setempat agar bisa terus beroperasi.

Ummi, juga sama seperti Intan, ikut sibuk membantu. Mencari hamster belang putrinya. "Ditinggal saja ya, sayang—" Ummi membujuk.
"Yee, mana boleh. Wak Laisa kan suka banget sama hamster belang Intan, nanti pasti ditanya kalau nggak dibawa!"
Dalimunte menelan ludah mendengar nama Kak Laisa. "Ditinggal saja ya, Wak Laisa tidak akan nanya, kok—"

"Nggak bisa. Lagian kalau ditinggal yang kasih makan belang siapa, Mi? Rio.... Rio....

Sembunyi di mana, sih?"
Intan terus berseru-seru sambil menarik selimut tempat tidurnya. Biasanya si belang suka tiduran di bawah ranjang.
Tidak ada.

Menyeringai. Eh, bukankah tadi ia juga sudah periksa tempat ini. "Nanti Ummi titip tetangga sebelah buat ngurus, ya?"
"Nggak mau!"

Intan melotot. Keras kepala. Demi melihat ekspresi itu, Ummi menghela nafas, kehabisan kalimat berikutnya.
Beruntung sebelum seisi rumah diobrak-abrik Intan, hamster belang itu dengan cueknya nongol di dapur. Berlenggak-lenggok bak model. Sibuk menyeka-nyeka mulutnya. Tanpa ampun, langsung disambar Intan. Gadis keril itu berlarian berteriak,
"UMMI, ABI, HAMSTER-NYA SUDAH DAPAT!"
Mobil sport keluaran terbaru itu melesat keluar dari gerbang rumah setelah Intan duduk manis di kursi belakang. Dalimunte mencengkeram setirnya erat-erat. Sayang, baru tiba di tikungan depan komplek perumahan, Ummi berseru tertahan,
"Tas Ummi! Tas tangan Ummi tertinggal!" Dalimunte mendesis sebal.
"Ada kartu ATM, credit card, kartu identitas, semuanya di sana! Harus diambil, Bi!"

Ummi setengah membujuk, setengah memaksa. Mobil sport itu berbalik arah lagi. Rusuh sejenak mencari tas tangan Ummi (yang sebenarnya tergeletak di meja ruang depan).

Lima belas menit, mobil sport itu kembali meluncur keluar. Baru tiba di jalan besar, giliran Intan yang berseru panik,
"Tas sekolah Intan, tas sekolah Intan ketinggalan, Bi!" Dalimunte benar-benar mendesis sebal.

"Harus diambil, Bi! Kan di tas ada gelang karet 'Safe The Plane' Intan, please….please...." Mobil sport itu berbalik arah lagi. Kali ini tidak sulit menemukannya, karena kaki Intan tersangkut tas sekolahnya sendiri persis mau masuk rumah.

Sepuluh menit, mobil sport itu kembali meluncur keluar. Dan kali ini Dalimunte benar - benar mendesis mengkal. Saat tiba di gerbang tol, dia baru menyadari laptop miliknya tertinggal. Seluruh hidupnya ada di situ, hasil penelitian, nomor kontak, agenda, bahkan catatan kesehariannya. Dengan muka mengeras, dia terpaksa memutar kembali setir. Maka
setengah jam kemudian saat mobil sport itu benar-benar berada di atas jalan tol menuju bandara, yang tersisa hanya wajah merah bin bete Dalimunte.

"Bi, janga marah, ya! Kan yang terakhir tertinggal laptop Abi...."

Intan nyengir sambil memeluk hamster belangnya. Menahan tawa. Ummi menyeringai kecil, tersenyum tanggung melihat ekspresi wajah putrinya. Dalimunte hanya berdehem tanggung. "Abi, sih, pakai terburu-buru berangkatnya.... Lihat, tuh, sandal Abi malah ketukar-tukar." Intan mendekap mulut. Ummi yang justru tidak kuasa menahan tawa melihat kaki suaminya yang menginjak pedal gas dan kopling. Intan benar. Warna-warni (mana suaminya masih pake kaos kaki segala).
Dalimunte akhirnya ikutan nyengir. Manyun. Tertawa kecil. Meski sekejap kemudian melirik lagi jam di pergelangan tangannya.
Lima belas menit lagi pesawat itu take-off.

"Si, si.. What? NO! Assolutamente no! like i told you, siamo arivati a Roma half hour fa, Albertino... saya mendengar suara Anda, Albertino... APA? Tidak! Tentu saja tidak. Sesuai janji kami sudah tiba di Roma setengah jam lalu, Albertino—"

"Teng-tong-teng-tong....I passeggeri del treno Eurostar (diretto a Paris dslle ore 10.00) sono pregati di recarsi velocemente al binario 9...."
Roma Termini (stasiun kereta api pusat) itu meski terhitung sepi, karena orang-orang sibuk menonton pertandingan final sepak bola, tapi tetap berisik oleh suara teng-tong-teng speaker pengumuman.

"Tidak. Tidak bisa, Albertino. Tidak bisa. Kami harus segera kembali ke Jakarta. Sekarang juga. Pagi ini juga. Ya! Ya! Pertemuan itu batal —Hallo? Kau mendengarnya, Albertino? BATAL!" Belepotan Ikanuri menjelaskan lewat telepon genggamnya. Satu karena dia bersama Wibisana sedang terburu-buru membawa ranselnya mencari peron nomor 9. Dua karena bahasa Italianya jauh dari lancar, campur-campur. Campur Inggris, malah kadang campur bahasa Indonesia.
"Albertino, Anda tidak mengerti. Saya harus kembali sekarang juga ke Jakarta. Kau masih menunggu di bandara? BANDARA? Tidak. Kami sekarang di stasiun kereta Roma! Apa? Bukan bandara, kami sekarang ada di stasiun kereta! Roma Termini. Tidak. Ya Allah, tentu saja kami tidak naik kereta dari Jakarta, Albertino. Bagaimana mungkin?—"

"Teng-tong-teng-tong.... Panggilan terakhir untuk penumpang Kereta Lokal Chievo3000. Harap segera menuju peron nomor 7...."
"Kau dengar? Tidak usah ditunggu. Kami harus pulang malam ini juga ke Jakarta, kau dengar? Ya? Ya? Albertino, pertemuan besok batal! Batal! BATAL! Kau dengar? Apa? Ah, sialan—" Ikanuri memaki.

Wibisana yang berlari-lari kecil di sampingnya menoleh. "Sinyalnya terputus—" Ikanuri menelan ludah.

"Tung-tong-teng-tong.... Kereta ekspres menuju Swiss Benin nomor 12 dibatalkan karena alasan cuaca buruk. Badan metereologi meramalkan akan turun hujan lebat di selatan Swis. Kemungkinan longsor. Penumpang bisa melapor ke loket penjualan tiket kami untuk full-refund, atau meminta klaim kamar hotel jika memutuskan untuk menunggu kereta besok pagi. Seluruh staf dan manajemen Trenitalia, dengan rendah hati meminta maaf..."

"Ini semua gara-gara sepak-bola sialan itu, bah!" Ikanuri bersungut-sungut. Menyeret kopernya.

"Andaikata Kak Laisa ada di sini, kau pasti sudah dipukulnya dengan sapu lidi berkali-kali!" Wibisana menarik nafas pendek, memperlamban langkah kaki, papan elektronik yang bertuliskan angka 9 (peron tujuan Paris, Perancis lewat Pegunungan Alpen, Swiss) sudah di depan mereka. Mencoba untuk lebih rileks. Ada gunanya juga setelah setengah jam terakhir terburu-buru, mereka tidak terlalu terlambat, masih ada waktu lima menit lagi.
Tadi keluar dari Bandara Roma amat terburu-buru. Meneriaki taksi terburu-buru. Memaksa sopir taksi (yang keturunan India itu) untuk terburu-buru, ngebut menuju stasiun kereta. Beruntung jalanan lengang. Persis setengah jam lagi Final Piala Champion di Stadion Olimpico, penduduk kota Roma sudah dari tadi duduk manis di stadion atau depan teve masing-masing. Sialnya, meski lengang, di mana-mana ada konsentrasi massa yang bersiap nonton bareng lewat layar teve raksasa. Mending nontonnya di lapangan, ini justru digelar persis di tengah-tengah perempatan jalan.

Benarlah adigum itu, bagi penduduk Roma, sepak bola sudah jadi agama. Jadi, terpaksa taksi berputar-putar mencari jalan yang perempatannya tidak vorbodden. Itu sama saja menyisir seperempat kota Roma dengan kecepatan tak kurang 70 mil per-jam.
"Aca, aca, ini lewat mana, hei?"
Sopir India itu juga ikutan panik dengan teriakan-teriakan Ikanuri.
Setelah berpikir lima belas detik di depan gadis penunggu counter biro perjalanan, Wibisana akhirnya memutuskan untuk segera ke Paris. Itulah pilihan terbaik yang ada. Memutuskan ke Paris dengan menumpang kereta ekspres lintas negara, Eurostar. Soal perjalanan menggunakan kereta api, benua Eropa nomor satu. Di sini, untuk mengililingi Eropa, kalian cukup menumpang kereta lintas negara. Kabin kereta yang nyaman, bisa sekalian jadi hotel tempat beristirahat. Semuanya amat memadai. Tanpa perlu repot melewati pemeriksaan paspor dan visa setiap kali melintasi perbatasan. Ke sanalah, Ikanuri dan Wibisana terburu-buru. Mengejar kereta malam.

"Dipukul Kak Laisa berkali-kali? Maksudmu?"

Ikanuri balik bertanya, sedikit bingung dengan kalimat kakaknya barusan. Wajahnya masih tegang sejak dari bandara tadi.
Wibisana tertawa kecil, berusaha lebih santai,

"Kau sudah tiga kali memaki setengah jam terakhir, bukan? Kalau sampai Kak Laisa tahu, itu berarti sembilan kali pukulan sapu lidi —" Ikanuri nyengir. Mengerti kalau Wibisana sedang bergurau soal masa kecil dulu. Terus melangkah. Mereka akhirnya tiba di depan pintu gerbong kereta. Lampu peron berpendar-pendar menawan.
"Tiketnya, Senior—"

Wibisana menyerahkan tiket ke penjaga. "Paspor dan Visanya, Senior—"

Ikanuri menarik travel-binder. Tidak banyak cakap menyerahkan dokumen perjalanan, meski tadi sebenarnya di pintu gerbang stasiun juga sudah diperlihatkan kepada petugas imigrasi.

"Indonesia, Senior? Ah, saya tahu Pulau Bali. Cantik, bukan?" Wibisana dan Ikanuri mengangguk. Malas bicara.

"Jika sempat suatu saat saya hendak ke sana, berlibur, menghabiskan masa pensiun.... Wah, kalian jauh-jauh dari Indonesia, tapi tidak untuk menyaksikan pertandingan final Liga Champion Juventus-Manchester United, Senior?" Penjaga itu berbasa-basi.
Ikanuri kali ini benar-benar menggeleng tidak peduli.

"Ah saya mengerti, tim sepakbola negara Anda tidak terlalu bagus, tidak menarik untuk ditonton, tapi di sini beda, senior...."
Ikanuri mendesis sebal; buruan periksa tiketnya.

"Selamat menikmati Eurostar, Senior. Semoga nyaman. Asal kalian tahu, gara-gara final itu, malam ini kami hanya punya tujuh penumpang…. Kecuali jadwal kereta setelah selesai pertandingan; nah yang itu baru full-booked!" Penjaga itu tertawa lebar, mengembalikan tiket ke Wibisana.
Pintu otomatis kereta berdesis terbuka nyaris tanpa suara.
Ikanuri dan Wibisana tak terlalu mendengarkan tawa riang penjaga itu, sudah membawa koper masuk. Melangkah di sepanjang lorong. Mencari nomor kabin mereka. Melihat interior
kereta, mereka segera menyadari, setidaknya kereta ini lebih dari cukup untuk beristirahat setelah penerbangan belasan jam. Menurut gadis penjaga counter tadi, butuh waktu setidaknya dua belas jam untuk tiba di Paris, Perancis. Melewati setidaknya dua ibukota negara-negara eksotis Eropa. Andai saja situasinya lebih baik, mungkin ini bisa jadi perjalanan hebat, bisa menjadi trip perayaan atas suksesnya kesepakatan bisnis dengan produsen mobil balap itu.

Ikanuri menghela nafas, teringat telepon yang terputus barusan, pelan melemparkan kopernya ke kursi. Wibisana menutup pintu kabin. Juga memikirkan hal yang sama. Tapi lupakan! Lupakan soal pertemuan di Piaza de Palozzo besok pagi. Lupakan soal kesepakatan bisnis itu, meski mereka butuh bertahun-tahun untuk mendapatkan kesempatan tersebut. Itu bisa diurus nanti-nanti, jika masih sempat. Jika produsen itu belum keburu memilih partner bisnis dari China. Pulang segera ke Lembah Lahambay jauh lebih penting.


Itu benar-benar jauh lebih penting.


NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 8

No comments:

Post a Comment