Sunday, September 27, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 32


32
KODRAT MANUSIA

"JIKA ada seseorang yang tidak mempermasalahkan usia, dan apapun dari Kakak.... Jika ada seseorang yang tetap bersedia menikah walau telah melihat foto-foto Kakak.... Namun, namun...."
"Katakan saja, Dali. Langsung ke pokok permasalahan."

Kak Laisa memotong lembut, menatap wajah adiknya lamat-lamat. Bukan sekali dua ini mereka membicarakan urusan perjodohan. Bukan pula sekali dua ini mereka melakukan pembicaraan di lereng perkebunan strawbery saat malam tiba di penghujungnya. Ia amat mengenal intonasi, mimik muka, bahkan helaan nafas Dalimunte saat bicara. Jadi kenapa adiknya harus merasa amat sungkan.
"Katakan saja, Dali. Namun kenapa?"
Kak Laisa bertanya sekali lagi, memegang lengan adiknya. Tingginya hanya sedada Dalimunte. Hamparan buah strawberry terlihat remang di bawah cahaya rembulan. Jadwal pulang dua bulanan mereka. Semuanya berkumpul, kecuali Yashinta, yang masih kuliah di Belanda. Hanya menelepon saat mereka ramai duduk di beranda rumah panggung.

"Dali yakin dia pilihan yang baik. Jodoh yang baik.... Dia teman riset Dali di lab. Umurnya empat puluh. Saleh. Berakhlak baik. Dari keluarga yang baik. Namun..."
Dalimunte menelan ludah. Deskripsi yang penuh informasi dalam satu tarikan nafas itu terhenti.
Kak Laisa tersenyum, namun apa?

"Dia sudah menikah.... Maksud Dali, mereka sudah lima belas tahun menikah, dan istrinya tidak bisa mengandung. Istrinya yang meminta dia menikah lagi.... Maksud Dali, mereka sudah melihat foto dan bio-data Kakak. Istrinya juga sudah setuju.... Mereka benar-benar keluarga yang menyenangkan, keluarga yang bahagia.... Dia berjanji akan mencintai Kak Laisa dengan baik, istrinya juga berjanji akan menerima Kak Laisa dengan baik...." Dalimunte menghela nafas. Terhenti sejenak. Setelah tertahan, penjelasan itu akhirnya meluncur bagai bebat air yang jebol,

Lengang,
Hanya  terdengar  suara  burung  hantu di kejauhan.
"Dia sudah menikah.... Maksud Dali, apakah Kak Laisa bersedia jadi istri kedua?" Dalimunte bertanya ragu-ragu. Meski dengan intonasi suara yang lebih baik. Lebih jelas.

Sekali lagi hanya lengang.
Dan sungguh tidak ada keputusan malam itu.
Kak Laisa hanya tepekur. Tertunduk menatap ribuan polybag strawberry yang membentang luas memenuhi lereng lembah. Entahlah apa yang dipikirkan Kak Laisa. Entah apa yang sedang berkecamuk di kepalanya. Dalimunte ikutan terdiam. Tidak bertanya lagi. Urusan ini tentu saja tidak mudah. Istri kedua? Apakah ada wanita di dunia ini yang dengan mudah memutuskan menjadi istri kedua? Meski dengan banyak alasan bijak. Apakah harga diri Kak Laisa terganggu dengan pertanyaan itu? Setelah sekian lama tidak mendapatkan
jodoh, setelah sekian lama ditolak baik secara halus atau kasar sekalian, pilihan yang tersedia baginya ternyata hanya istri kedua? Ya Allah?

Hanya lengang. Tidak ada keputusan malam itu.
Dan juga tidak malam-malam berikutnya saat jadwal pulang.
Mamak tak kuasa membantu Dalimunte memberikan penjelasan kepada Kak Laisa. Wak Burhan juga meski dulu amat yakin bahwa solusi yang baik bagi Laisa dalam urusan ini adalah menjadi istri kedua juga tidak bisa membantu banyak. Ikanuri dan Wibisana yang akhirnya tahu masalah itu dari Dalimunte juga diam. Menelan ludah. Dalimunte sengaja tidak memberitahu Yashinta, karena pasti adik terkecil mereka akan menolak mentah-mentah pilihan tersebut.
Empat bulan berlalu, Dalimunte terpaksa berbohong kepada rekan risetnya saat dia mulai meminta jawaban,
"Kak Laisa membutuhkan waktu lama untuk memutuskan. Aku tidak tahu berapa lama lagi...."
Kabar baiknya, rekan riset Dalimunte tidak terlalu mendesak,

"Tak masalah, Dali. Laisa memang harus memikirkannya matang-matang. Tidak hanya persiapan dirinya sendiri, tapi ia juga harus mempersiapkan diri bagaimana tetangga sekitar akan menilainya... Kau tahu, untuk tiba di keputusan menikah lagi, kami berdua memerlukan waktu hampir lima tahun. Jadi aku bisa menunggu kabar baik dari Kak Laisa beberapa bulan lagi,"

Tersenyum. Itu kunjungan ke sekian kali Dalimunte ke keluarga itu. Kali ini bersama Cie Hui. Bagaimana tetangga sekitar akan menilainya? Dalimunte terdiam lama, menelan ludah. Urusan ini jelas-jelas tidak lazim di Lembah Lahambay. Gadis tua saja sudah menjadi aib. Dilintas adiknya menikah pula. Dan sekarang satu lagi status baru Kak Laisa: istri kedua. Itu benar-benar tidak lazim.

Meski bukan jadwal rutin seharusnya, Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana pulang lagi ke lembah satu minggu kemudian. Wak Burhan meninggal. Di usia 88 tahun. Proses kematian yang indah. Tanpa sakit. Tanpa proses. Wak Burhan meninggal saat sujud shalat shubuh di surau. Membuat jamaah bingung karena imam mereka tidak kunjung bangkit untuk duduk tasyahud akhir. Ternyata Wak Burhan yang suara kerasnya selalu menghias Lembah Lahambay sudah meninggal. Yashinta yang sejak kecil dulu amat dekat dengan Wak Burhan (karena sering mengadu soal Kak Laisa) ingin memaksakan diri pulang. Tapi Dalimunte melarang, Yashinta sedang melakukan riset S2-nya.

"Kata Mamak tadi sebenarnya tidak ada yang tahu berapa persis umur Wak Burhan.... Nisan itu hanya sembarang menulis tahun lahir.... Mamak pun tidak tahu."
Kak Laisa memecah sunyi lereng perkebunan. Jadwal bicara mereka penghujung malam. "Bagaimana Mamak akan tahu? Mamak saja tidak tahu kapan tahun lahirnya sendiri? Juga tanggal lahir kita, bukan? " Dalimunte tertawa kecil. Bergurau. Itu benar, waktu mereka mendaftar sekolah dulu, mereka mengisi sembarang kolom tanggal lahir. Mamak dan kebiasaan penduduk lembah, selalulalai untuk mencatat tanggal lahir. Mereka hanya ingat si anu lahir saat musim tanam tahun kapan. Musim penghujan tahun kapan, musim paceklik, dan seterusnya. Tidak ada yang mencatat detail hingga hari dan bulan.

"Wak Burhan terlihat senang sekali tahun-tahun terakhir meski hidup sendiri.... Dia bangga sekali dengan penghidupan pang baik di lembah. Dia juga bangga sekali denganmu, Dalimunte. Berkali-kali bilang ke anak-anak yang belajar ngaji di surau soal pentingnya sekolah, 'Biar kalian bisa jadi Oom Dalimunte yang hebat. Sering masuk tipi' — "

Kak Laisa tersenyum, menatap langit cerah, mengenang masa-masa lalu itu.

Semua penduduk lembah tahu, Wak Burhan meski menikah dua kali, hampir menghabiskan hidupnya sendiri. Istri muda (istri kedua) Wak Burhan yang dulu menikah di
usia tujuh puluhan sudah meninggal lima tahun silam. Anak satu-satunya dari istri pertama juga meninggal di usia muda. Diterkam penguasaGunung Kendeng.

"Aku ingat sekali kata-katanya, yang selalu diucapkan setiap kali bertandang ke rumah, bercakap-cakap dengan Mamak, 'Meski terlahir sendiri, sudah menjadi kodrat manusia untuk berketuarga, memiliki tempat untuk berbagi, memiliki teman hidup'..."

Kak Laisa mendadak terhenti. Menghela nafas.
Dalimunte yang berdiri di sebelahnya menoleh. Dia juga pernah mendengar kalimat itu dari Wak Burhan. Sudah hampir lima bulan mereka tidak membicarakan perjodohan itu. Sungkan. Dalimunte takut menyinggung perasaan Kak Laisa. Malam ini? Dalimunte ikut menghela nafas panjang. Malam ini mungkin tidak membicarakan hal itu setelah kematian Wak Burhan.

"Apakah, ergh, apakah Kak Laisa enggan dengan sebutan istri kedua? Maksud Dali, apakah Kak Laisa khawatir dengan penilaian tetangga sekitar?" Setelah berdiam diri satu sama lain, Dalimunte akhirnya memutuskan untuk membicarakan hal tersebut. Mungkin ini saat yang tepat.
Kak Laisa menoleh. Menatap wajah Dalimunte lamat-lamat,

"Tentu tidak, Dali. Bukankah dulu Kakak pernah bilang: buat apa kau memikirkan apa yang dipikirkan orang lain, buat apa kau mencemaskan apa yang akan dinilai orang lain... Tentu saja bukan itu masalahnya."

"Lantas, maksud Dali, mengapa Kak Laisa tidak kunjung mengambil keputusan? Setidaknya untuk bilang ya atau tidak.... Wak Burhan dulu pernah bilang, jika ada alasan baiknya, menjadi istri kedua tidaklah selalu buruk. Dia pilihan yang baik buat Kak Laisa. Istrinya juga mengijinkan.... Dan Dali yakin sekali, mereka juga akan menjadi bagian yang tepat bagi keluarga kita...."
Kak Laisa diam sejenak.
Membiarkan angin pagi menelislk rambut gimbalnya. Dingin.
"Setiap kali menatap hamparan perkebunan strawberry ini, aku selalu merasa, Allah amat baik kepada kita.... Kau tahu Dali, setiap kali mendengar kabar kalian. Mendengar apa yang telah kalian lakukan. Aku merasa, Allah benar-benar baik kepada kita. Kakak sungguh merasa cukup dengan semua ini.... Umurku hampir empat puluh tahun, Dali. Setelah sekian lama jodoh itu tidak pernah datang, aku pikir itu bukan masalah besar lagi.... Mungkin benar sudah menjadi kodrat manusia untuk menikah, berkeluarga. Mungkin Wak Burhan benar. Tapi itu tidak pernah menjadi sebuah kewajiban, kan.... Sejak lama aku sudah bisa menerima kenyataan jika memang menjadi takdirku hidup sendiri, jika memang tak ada lelaki yang menyukai tampilan wajah dan fisik. Keterbatasan ini

"Ah, Allah sudah amat baik dengan memberikan kalian, adik-adik yang hebat. Keluarga kita. Perkebunan ini, Kakak sungguh sudah merasa cukup dengan semua itu...."
Kak Laisa menghela nafas, terdiam lagi.

"Apakah Kakak tetap menginginkan menikah? Tentu saja, Dali. Namun jika perjodohan itu harus datang, Kakak tidak ingin proses itu justru mengganggu kebahagiaan yang sudah ada. Bukan karena sebutan istri kedua itu, Dali, Bukan pula karena cemas apa yang akan dipikirkan tetangga. Tetapi Kakak tidak mau pernikahan itu menganggu kebahagiaan yang telah ada...."

Malam itu setelah bicara hingga shubuh. Saat adzan terdengar dari surau (entahlah siapa yang mengumandangkan adzan tersebut sekarang). Akhirnya keputusan itu diambil. Dalimunte akhirnya mengerti mengapa begitu lama keputusan itu terbelengkalai, Kak Laisa enggan menyakiti perasaan istri pertama calon perjodohan ini. Butuh berkali-kali menyakinkan Kak Laisa kalau pernikahan itu justru karena permintaan istri pertama.
Sungguh tak akan ada yang tersakiti. Tentu saja, di hati paling dalam istri pertama proses ini mungkin akan menyakitinya karena ia tetap manusia yang memiliki perasaan, tapi kasus ini amat berbeda. Mungkin inilah solusi terbaik buat dua masalah yang bersisian.

Shubuh itu akhirnya keputusan penting itu berhasil diambil.


No comments:

Post a Comment