Saturday, September 26, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 15

15
KAKAK TIDAK AKAN TERLAMBAT

GERBANG perbatasan Perancis.

Juga Melesat. Eurostar melesat dengan kecepatan tinggi " Apa yang sedang kau pikirkan, Ikanuri?"

"Tidak. Tidak apa-apa...." Senyap sejenak.

Hanya deru roda kereta menghujam batangan baja. "Kau barusan menangis?"
"Tidak!"

"Kau menangis — "
"TIDAK. Aku tidak menangis—" Jawaban itu serak.
Hening lagi. Desau suara pendingin kabin terdengar pelan.

Cahaya lampu rumah-rumah pinggiran Perancis terlihat. Lebih banyak lagi perkebunan anggur. Di luar Sana masih gelap. Wibisana menatap datar wajah adiknya.
"Aku hanya takut. Takut terlambat tiba—"

Ikanuri berkata pelan. Tertunduk menatap keluar jendela. Berusaha menyeka matanya. Wibisana menelan ludah. Menepuk lembut bahu Ikanuri.
"Kita tidak akan terlambat, Ikanuri, tidak akan...." Ikanuri hanya diam. Berusaha mengendalikan dirinya. "Kau tahu, kenapa?" Wibisana tersenyum getir.
Ikanuri menoleh. Susah sekali menyembunyikan perasaan hati. Susah. Sejak tadi, sejak seluruh kenangan itu buncah kembali memenuhi memori kepalanya, semua terasa sesak. Matanya berkaca-kaca lagi. Sejak tadi dia menangis, malah tanpa sengaja membuat Wibisana terbangun dari tidurnya. Dia tidak bisa berpura-pura lagi. Mengenang semua itu membuatnya benar- benar tersentuh. Biarlah. Biarlah Wibisana melihatnya menangis. Maka Ikanuri tergugu menyeka pipinya.
Wibisana menelan ludah, terdiam sejenak... Menatap wajah sendu Ikanuri lamat-lamat, lantas mengulang pertanyaan itu dengan segenap perasaan,
"Kita tidak akan terlambat, Ikanuri.... Kau tahu, kenapa?" Ikanuri menggeleng, pelan.
"Ka-re-na.... Karena Kak Laisa tidak pernah datang terlambat untuk kita. Tidak pernah. Kak Laisa tidak pernah sedetik pun datang terlambat dalam hidupnya untuk kita... Kak Laisa tidak pernah mengingkari janji-janjinya, demi kita adik-adiknya... Ya Allah...."

Suara Wibisana terputus.

Menggantung di langit-langit kabin. Hilang ditelan suaranya sendiri yang bergetar, Wibisana ikut tertunduk.
Ikanuri menyeka matanya. Terisak lebih kencang. Kereta ekspress Eurostar itu terus melesat menuju Paris! Itu benar sekali. Kak Laisa tidak akan pernah terlambat.

Karena malam itu sempuma sudah Laisa menunaikan janjinya. Tepat waktu. Tak terlambat sedetik pun. Selepas dari pohon mangga Wak Burhan, usai bertengkar dengan Kak Laisa, Ikanuri dan Wibisana memang akhirnya memutuskan untuk kabur dari rumah. Mereka berpikir pendek: Kak Laisa pasti mengadu ke Mamak tentang mencuri mangga. Kak Laisa pasti juga mengadu kalau mereka sudah menghinanya soal bukan kakak kami itu. Jadi mereka pasti disuruh tidur di bale bambu bawah rumah. Bisa jadi dihukum selama seminggu. Tidur di luar selama seminggu itu sama saje dengan mengusir mereka. Sekalian, kalau begitu lebih baik mereka kabur saja.

Mereka tidak ingin kabur ke desa atas. Pasti segera ketahuan. Setelah berdebat sebentar, Ikanuri dan Wibisana memutuskan kabur ke kota kecamatan. Ada dua puluh kilo jika mereka harus berjalan lewat jalan batu lebar tiga meter itu. Artinya mungkin baru besok siang tiba di sana. Terlalu lambat, masih bisa disusul oleh starwgoon yang berangkat pagi-pagi buta, dan pelarian mereka diketahui. Maka tanpa berpikir panjang, Ikanuri dan Wibisana mengambil jalan pintas. Gunung Kendeng. Mereka tahu jalan pintas itu dari percakapan orang-orang, pemburu, di kota kecamatan dua minggu lalu.

Berangkatlah dua kakak-adik nakal itu. Agak sedikit lambat, memutari desa, karena tidak mungkin melewati pinggiran sungai tempat orang-orang sedang bekerja membuat kincir. Pukul 20.00, saat pertama kali Mamak berlari ke rumah Wak Burhan, mereka berdua baru setengah jam perjalanan dari gerbang masuk ke dalam hutan rimba. Melangkah pasti. Bintang-gemintang dan bulan malam tiga-belas membuat perjalanan mereka mudah dilakukan, meski tanpa bantuan obor dan golok.
Pukul 22.00 saat rombongan pencari mulai masuk ke hutan rimba, masalah mereka mulai serius. Awan mendung yang menutupi langit membuat rimba gelap seketika. Hanya kerlip kunang-kunang, tapi itu tidak membantu banyak. Apalagi tidak ada lagi jalan setapak. Tanpa golok, mereka hanya menyibak dan mematahkan semak-belukar dengan tangan untuk memudahkan langkah. Sekali dua beristirahat. Bersitatap satu sama lain. Semakin masuk ke dalam, mereka berdua semakin menyadari ini semua keliru. Benar-benar keliru. Mereka terlalu menganggap sepele banyak hal. Menggampangkan masalah. Salah perhitungan.

Pukul 24.00 saat Laisa dan Dalimunte menyusul, Ikanuri dan Wibisana benar-benar dalam masalah. Mereka masih jauh dari kota kecamatan, jangankan kota kecamatan, puncak Gunung Kendeng pun belum terlihat. Mereka tertahan di punggung Gunung Kendeng. Ikanuri dan Wibisana tersesat. Dua anak kecil yang meski amat ringan menganggap semua perkataan orang, jelas-jelas masih anak kecil, mulai mengkerut ketakutan saat menyadari setiap lima belas menit mereka berjalan, mereka sempurna kembali lagi ke titik semula. Berputar-putar.

Begitu-begitu saja.

Ikanuri mulai mengeluh. Wibisana mengusap dahinya yang berkeringat. Ini semua menakutkan.... Dan, hei, bukankah mereka pernah (sebenarnya sering) mendengar kisah tentang harimau Gunung Kendeng yang dulu setiap tahun mencari tumbal? Hei, bukankah Babak juga salah satu dari tumbal itu. Cemas. Ikanuri dan Wibisana tersengal. Berjalan semakin cepat. Percuma. Kembali lagi ke titik semula. Hei, bukankah ini pertanda sang siluman mengeluarkan jerat pamungkasnya?
Pukul 02.00, sempurna sudah keduanya mengkerut takut. Setelah hampir dua jam hanya bolak-balik di tempat yang sama, mereka memutuskan untuk bertahan di Sana. Menunggu besok, ketika cahaya matahari memudahkan menentukan arah. Wajah mereka pucat oleh perasaan gentar, cemas. Tubuh mereka mulai gemetar. Sedikit saja suara gerakan di sekitar, cukup sudah untak membuat jantung mereka berdetak lebih kencang. Ikanuri dan Wibisana berdiri saling membelakangi punggung. Mematahkan batang semak belukar yang besar, berusaha mempersenjatai diri.

Saat itu, Laisa dan Dalimunte sudah dekat sekali.

Tetapi pukul 02.30 mendadak hutan di sekitar mereka lengang. SEMPURNA LENGANG. Seperti ada yang jahil menekan mati tombol volume derik jangkrik dan serangga lainnya.

Ikanuri dan Wibisana saling menoleh. Bersitatap dengan cahaya mata redup. Ganjil sekali. Suasana hutan yang mendadak lengang terasa amat ganjil. Bahkan angin pun seolah takut berdesau. Langit gelap, pekat. Awan hitam menutupi berjuta bintang dan bulan. Hanya nafas cepat mereka yang menderu.
Apa yang sedang terjadi? Ada apa?

Wahai, kalian seharusnya lima kali lebih takut saat di sekitar kalian mendadak senyap, hening. Bukan takut saat mendadak ada suara teriakan atau cekikikan. Wahai, senyap yang datang tiba-tiba, itu berarti pertanda ada maut besar yang mengintai. Pertanda kehadiran kekuasaan besar yang mengendalikan sebuah tempat. Dan itu benar.

Saat itulah, lima belas detik kemudian, suara gerung pelan itu terdengar menggantung di langit-langit hutan rimba. Awalnya pelan, semakin lama semakin mengeras. Gerungan maut sang siluman.

"RRRRR-"

Ikanuri dan Wibisana seperti sudah mati rasa. Berdiri kaku. Terkencing-kencing. "RRRRR-"
Mata-mata itu terlihat menakutkan dari balik semak. Cemerlang.

Mengerikan. Semakin mendekat. Semak belukar itu pelan bergoyang, lantas tersibak. Tiga harimau dewasa sebesar anak sapi mendekat. Berkilauan kuning legam dengan loreng hitam. Ikanuri dan Wibisana membeku sudah. Tidak bisa menggerakkan tubuh lagi. Menggigil.

Satu detik. Satu meter lebih dekat. "RRRRR-"
Lima detik. Tinggal lima meter.

Sepuluh detik. Tiga ekor harimau itu berhitung dengan situasi, mengukur bagaimana cara terbaik menerkam Ikanuri dan Wibisana. Waktu benar-benar berjalan lambat, untuk tidak bilang seperti terhenti. Aroma kematian menggantung pekat di langit-langit hutan.

Hanya soal kapan— Hanya soal detik—

Saat Ikanuri dan Wibisana hampir jatuh pingsan, ketakutan. Saat harimau terbesar yang berada paling dekat bersiap meloncat. Saat itulah Kak Laisa menunaikan janjinya.

"TIDAK! TIDAK BOLEH!" Terhenti. Gerakan tubuh harimau terbesar itu terhenti. "TIDAK! PUYANG TIDAK BOLEH MEMAKAN MEREKA!"
Kak Laisa, entah apa yang ada di kepalanya, yang sedetik baru tiba di sana, sedetik terpana menyaksikan pemandangan di depannya, tanpa berpikir panjang, seperseribu detik langsung loncat dari balik semak, menerobos ke tengah kerumunan. Mukanya terlihat begitu tegang. Ia sungguh gentar. Ia sungguh ketakutan. Siapa pula yang tidak akan jerih melihat tiga ekor harimau dari jarak dua meter tanpa penghalang? Tapi perasaan itu, perasaan melindungi adik-adiknya membuat Laisa menyeruak, nekad masuk ke kematian.

Mengacung-acungkan obornya ke depan.

Tiga harimau itu mundur satu langkah. Menahan terkaman. Sedikit jerih melihat obor Laisa. Ekor mereka bergerak. Berhitung dengan situasi baru.
"RRRRR-"

Harimau -harimau itu menggerung lagi. Amat menakutkan. Tubuh mereka yang hampir sebesar anak sapi itu terlihat lebih jelas, tertimpa cahaya obor Kak Laisa. Kerlap-kelip. Kulit yang tebal, mengkilat. Wajah, taring, cambang, sungguh menakutkan.

"Puyang tidak boleh memakan mereka... Laisa mohon. tidak boleh—" Kak Laisa mencicit, berkali-kali mengibas-ngibaskan obornya. "RRRR-"

"Pergilah Ikanuri, Wibisana. Pergi dari sini! PERGI!"

Kak Laisa mendorong Ikanuri dan Wibisana yang pucat pasi di belakangnya. Sementara wajah Kak Laisa terus bersitatap dengan harimau-harimau itu. Menjaga segala kemungkinan.

Gerungan terdengar semakin keras. Tiga harimau itu mengambil posisi baru. Tidak masalah. Empat mangsa lebih baik dari dua.
"Dali, bawa adik-adikmu lari.... LARI!!"

Kak Laisa berseru panik. Situasinya semakin mencekam. Harimau-harimau kembali bersiap. Dalimunte yang menatap ketakutan dari balik semak mendecit.
"Dali, CEPAT! Bawa adik-adikmu lari!"
Kak Laisa membentak. Suaranya parau. Panik. Mereka tidak punya waktu lagi.
Gemetar Dalimunte masuk ke dalam lingkaran, patah-patah menarik tubuh membeku Ikanuri dan Wibisana ke luar. Laisa terus menatap tiga ekor harimau itu. Menelan ludah. Mencoba menahan mereka dengan obor yang teracung.
"RRRRR-"
"Dali, bilang Mamak, bilang Mamak, Lais pergi— "RRRRR-"
"Dali, bilang Mamak, maafkan Lais—"

Kak Laisa berkata dengan suara semakin serak. Ia tahu, malam ini harimau-harimau ini membutuhkan mangsa. Tumbal. Maka biarlah ia yang menggantikan adik-adiknya.... Ia tahu,
waktunya sudah selesai. Biarlah begitu. Biar ia yang menahan mereka sementara adik-adiknya berlari....

Suara gerungan itu tiba di puncaknya.
Kepala-kepala menakutkan itu terangkat siap menerkam.
Laisa dengan mata bercahaya, buncah oleh air mata menatap ke depan. Menunggu. Bersiap. Sementara Dalimunte yang sedikit pun tidak mengerti apa yang sedang dilakukan Kak Laisa, tunggang langgang menarik tubuh Ikanuri yang sempat terjatuh, mereka harus kabur sesegera mungkin dari situ.
Seperseribu detik berlalu. Ekor harimau yang paling besar, yang paling menakutkan, yang bersitatap dengan mata Laisa, tiba-tiba bergoyang. Harimau itu menggerung keras. Laisa menggigit bibir. Seluruh tubuhnya gemetar. Ia sudah pasrah. Ia sudah siap.

Tapi hei, kenapa? Kenapa belum ada satu pun harimau yang menerkamnya? Dua detik. Tetap begitu. Tiga detik? Tidak ada yang bergerak. Wahai, apa yang telah terjadi?

Keajaiban itu! Hanya kuasa Allah yang tahu apa yang sesungguhnya sedang terjadi malam itu, sang siluman entah oleh kekuatan apa mendadak mengurungkan niatnya menerkam tubuh pasrah Laisa. Lima detik berlalu, harimau terbesar setelah sekali lagi menggerung lebih keras, perlahan melangkah mundur. Memberikan perintah, memutar tuhuhnya.

Pergi. Dua harimau lainnya mengikuti.

Dalimunte yang terjerambab di semak belukar setelah berlari sepuluh langkah bersama adik-adiknya menatap kosong tiga harimau yang melewati mereka, melangkah di atas tubuh-tubuh mereka yang terjerambab.

Begitu saja—

Lima detik. Lima belas detik. Senyap. Hening.




No comments:

Post a Comment