Monday, September 7, 2015

Endesor - Bab 10

Curly

Di Bandara Soekarno Hatta aku mempelajari
lampiran surat pengumuman beasiswa Uni Eropa
itu. Berlapis-lapis. Semuanya ada di sana: jalur detail perjalanan,
penjemput, bahkan telah disiapkan alamat e-mail
intranet, lengkap dengan user name dan password untuk
akses data warehouse universitas.
Kami akan ke Belanda dulu dan akan dijemput seorang
pegawai dari kantor perwakilan Uni Eropa di Amsterdam
lalu ke kantor pusat Uni Eropa di Belgia. Kulihat
nama penjemput kami: Ms. F. Somers. Dari cara menulis
namanya, aku mendapat kesan pastilah Somers ini seorang
ibu-ibu gemuk, atau lajang lapuk, pegawai yang tak penting,
pengurus hal remeh temeh dibagian administrasi.
Ms. itu ditegaskan betul dalam deretan namanya. Suatu
isyarat yang nyata, seperti bubungan tebal asap unggun Indian
Cherokee, bahwa dirinya available, masih sendiri.
Hijau, hijau seluas mata memandang. Biru, biru tak putus-
putus, semakin tinggi semakin biru, samar, dan melesat,
kutinggalkan Indonesia. Tiga puluh tiga ribu kaki di atas permukaan
laut, enam belas jam paling tidak, diam, sepi, terapung-
apung. Dini hari, lewat jendela kulihat tiga aliran sungai
berkejaran. Kubuka buku saku Coffins World Atlas. Sungai-
sungai itu—Rhein, Maas, dan Schelde—bermuara di Belanda.
Permukaannya ganjil. Tak pernah kulihat tanah berwarna
putih. Desember, musim salju. Tiba di bandara Schippol
Arai membentangkan kedua tangannya lebar-lebar, persis
seperti dilakukannya dulu di atas bak truk kopra ketika ia masih
kecil saat aku dan ayahku menjemputnya: Dunia, sambutlah
aku! Ini aku, Arai, datang untukmu! Demikian maknanya.
Masih dalam lingkar pemanas Bandara Schippol, kami tak
menyadari kalau suhu dingin di luar seganas gigitan hewan
buas. Kami celingukan mencari wanita gemuk petugas administrasi
itu. Pasti ia berdiri di sana, di antara para penjemput,
sambil memegang benda semacam bat pingpong
dengan tulisan dari tinta emas: Mr. Andrea Hirata and
Mr. Arai Ichsanul Mahidin, welcome to Holland. Namun,
tak ada tanda semacam itu. Yang ada hanya gadis muda
berandal yang berteriak-teriak tak keruan ini.
"Oiiik! Oiiik! Oiiiiikkkk!"
Ia berlari-lari menuju kami, kami terkejut, menoleh
kiri-kanan, siapakah dia! Ia pasti salah mengenali orang.
Andrea Hirata 52
"Oiiik! Oiiik! Oiiiikk!!"
Tapi memang kami yang dipanggilnya. Aneh. Kami
berhenti, ia megap-megap.
"Waithhhh..." dengusnya. Ia membungkuk, keringatnya
bersimbah, dadanya kembang kempis. Lalu ia tegak lagi,
bertelakan pinggang sambil mengatur napas. Kami masih
mematung. Bingung. Siapakah gadis berandal ini! Ia sangat
jangkung, 180 senti mungkin. Atletis, padat berisi. Tubuhnya
dibangun kerangka Kaukasia yang sempurna. Ia
mengenakan shapely tank top. Perutnya kelihatan dan pasti
dia sering sit up. Rambutnya berantakan, pirang menyalanyala.
Belakangan kami tahu, oik adalah cara orang Belanda
menyebut hai.
Aku harus menengadah untuk melihat wajahnya dan
aku terkesiap. Ia gadis muda yang luar biasa cantik, gorgeous.
Aku seakan menatap cover majalah Vogue.
Apa yang diinginkan wanita bule yang jelita ini!
Ia mengatur napas dan kami terbius pesonanya. Ia sangat
mirip Daria Werbowy, Anda tahu kan? Supermodel
haute couture yang sering melenggok di Fashion TV berbusana
Dolce and Gabbana itu. Kenal, kan? Kenal? Sudahlah,
tak usah dipusingkan. Aku sendiri tak kenal.
"EU scholarship awardees, yeeah ...?" tanyanya akrab.
Tak menunggu jawaban ia nyerocos lagi.
"Saya Famke ...." Ia menyalami Arai. Bola matanya biru
langit, bukan, lebih indah, biru buah ganitri muda.
"Famke Somers."
53 EDENSOR
Ya, Tuhan, inilah Ms. F. Somers yang kusangka ibuibu
gendut petugas administrasi itu. Sekarang, terus terang
aku gugup karena ia cantik tak kepalang tanggung.
"Saya mengenali kalian dari foto saja...." Ia tersenyum
senang.
"Saya Arai," orang udik itu memperkenalkan diri.
"What! Ray!"
"Oh, no ...A... rai."
"Great ...."
Kalau sempat Arai mengiyakan Ray itu, aku sudah siap
mengenalkan diri sebagai curly4.
"And you ... bagaimana sebaiknya aku memanggilmu,
Kawan?"
Native Eropa pertama yang kami temui di tanah airnya
sendiri, keramahannya mencengangkan. Ia meraih koper
kami. Koper berat kulit buaya itu ringan saja di tangannya.
"Ikut aku, dan pakai jaketmu."
Kami membuntutinya menuruni tangga dan memasuki
platform kereta underground. Terlepas dari sistem pemanas
Bandara Schippol, kami langsung menggigil digigit suhu
dingin delapan derajat celcius. Famke tergelak melihat
kami gemelutuk. Ia sendiri hanya bercelana jeans ketat bolong-
bolong dan tank top itu.
"Jangan cemas, Kawan, kita segera naik kereta, nanti
di dalam panas lagi," katanya.
4 Ikal-Peny.
Andrea Hirata 54
Aku takjub melihat gadis Belanda ini. Tak sedikit pun
ia kedinginan. Tak heran Kumpeni bisa menjajah kita sampai
karatan. Dari central station Amsterdam kami naik kereta
menuju Brussel. Dalam sekejap, kami akrab dengan
Famke. Ia tak berhenti bicara dan kami tak berkedip menatap
kecantikannya. Seperti kami, ia juga penerima beasiswa
Uni Eropa, ia mahasiswi Amsterdam School of the Arts. Ia
mendalami street performances atau pertunjukan seni jalanan.
Perspektifnya tentang seni jalanan amat memikat.
"Jalanan adalah karya seni instalasi yang sempurna. Ia
lurus, berhiaskan lampu dan bunga, menikung, menanjak,
dan kadang-kadang buntu. Ia mengarahkan, meloloskan,
menjebak, dan menyesatkan."
Aku terpana.
"Jalan tempat berparade, pamer kejayaan, juga tempat
menggelandang. Jalan tempat lari dari kenyataan, tempat
mencari nafkah. Orang hilir mudik di jalan, mereka bergerak
indah, melamun, riang, dan berduyun-duyun, siapa
mereka? Ke manakah mereka?"
Belum pernah kudengar pandangan seperti itu, pandangan
yang mengandung kecerdasan seni tingkat tinggi.
"Jalanan seperti panggung dengan kemungkinan konfigurasi
dekorasi yang amat luas. Semua kemungkinan seni
dapat ditampilkan di jalanan. Seniman jalanan menghadapi

tantangan seni terbesar."



Endesor - Bab 11

No comments:

Post a Comment