Monday, September 7, 2015

Endesor - Bab 8

Wawancara

Tamat SMA, aku dan Arai merantau ke Jawa. Di Bogor
kami melamar kerja. Sebuah usaha distributor memanggil
untuk wawancara. Wawancara: indah dan kota sekali
kedengarannya. Kami mempersiapkan diri dengan
membaca buku Tiga Serampai Rahasia Sukses Wawancara.
Pada bab tujuh "Membuat Pewawancara Terkesan", pengarang
buku itu berulang kali mengingatkan "jangan sekalikali
mengulang pertanyaan pewawancara, karena pertama,
Anda dianggap tidak memerhatikan, kedua, Anda tidak sopan,
dan ketiga, ada yang tak beres dengan telinga Anda."
Dengan pakaian terbaik, kami berangkat. Aku gugup.
Seumur-umur baru kali ini aku diwawancara, ah, diwawancara,
sungguh modern!
Ternyata calon majikan kami, seorang wanita mungil
berkulit putih, sangat informal. la menemui kami di kantornya,
sebuah garasi. la baru bangun tidur, berkaus oblong dan
celana pendek. Kardus besar bertumpuk-tumpuk berantakan.
Di luar garasi, seorang pria menggeber gas Harley Davidson.
Gadis itu membaca surat panggilan. la berusaha keras
mengingat sesuatu. Agaknya ia lupa pernah membuat panggilan.
la mengamati kami dan berteriak, "Da... da... na...."
Broomm ... bum! Bum ... brooomm ....
Andrea Hirata
Gadis itu menggeleng. Tendangan gas Harley memekakkan,
ia menjerit.
"Phaaa ... kha ...."
Bromm!! Bum! Brom!!
"Phaa "
Brom! Brooomm....
"Kha!!!!???"
"Naik kapal, Bu, ya, naik kapal!! Brom! Kapal ternak!!"
"Phaa...??"
Brom! Brom!
"Kapal ternak, Bu, K A P A L...!"
Bbroooomm....
"Phaa!?"
"KAPAAAAAAALLL!"
38
"Ja ... na ..."
Broooom....
"Na... da??"
Suaranya timbul tenggelam di antara raungan Harley.
Kuingat pesan buku Tiga Serampai: pantang mengulang
pertanyaan pewawancara! Aku pun menebak-nebak.
"Dari Belitong, Bu...."
Broomm ... bum! Brooomm ....
"Ya, dari Belitong!!"
Gadis itu jengkel. la membanting surat panggilan, menarik
tanganku, lalu merogoh sakunya, mengeluarkan
uang lima ribu.
"Ini ongkos angkot3. Pulang sana!"
EDENSOR
Meski gagal dengan gadis kecil itu tapi tak mengapa. Paling
tidak kami telah diundang, walau ia lupa pernah mengundang,
dan diundang untuk wawancara, ah, kata itu, selalu
menimbulkan perasaan senang dalam hatiku.
Berbekal ijazah SMA, kami melamar lagi. Sebuah perusahaan
penyedia keperluan dapur memanggil. Sesuai wejangan
buku Tiga Serampai, kami melatih pernapasan agar
tak gampang gugup.
Kantor perusahaan itu adalah sebuah ruko. Kami memencet
bel, rolling door bergulung naik. Di dalamnya, seorang
perempuan gemuk berbalik. Agaknya tadi ia mau ke kamar
kecil karena di depannya ada pintu bertulisan TOILET. Ia
mengamati kami yang berdiri di ambang pintu ruko.
"Kalian diterima," katanya.
Ya, begitu saja. Tanpa basa-basi apa pun, bahkan tanpa
mempersilakan masuk dan tanpa wawancara!
Perempuan itu masuk ke dalam toilet, srak! Srok!
Srak! Srok! lalu keluar dan sambil mengeringkan tangannya
yang basah dengan tisu, ia bersabda, "Potong rambut
Angkutan kota—Peny.
39
gondrongmu itu, mandi yang bersih, besok pagi pukul
enam datang lagi ke sini."
Cepat dan praktis. Tak ada kejadian seperti yang sering
kulihat di TV, misalnya: Congratulations! Selamat bergabung!
Silakan menandatangani kontrak, Anda akan menjadi
aset penting perusahaan kami! Atau, Orang dengan kualifikasi
seperti Andalah yang kami cari selama ini!
Esoknya perempuan itu menyuruh kami naik ke bak
mobil pick up, berkeliling, lalu menurunkan kami di sebuah
perumahan. la menyerahkan dua tas besar dan memberi
sedikit instruksi. Jadilah kami salesman alat-alat dapur,
dari pintu ke pintu.
Hanya beberapa minggu bekerja, kami dipecat. Penjualan
kami memalukan, demikian istilah perempuan itu.
Nasibku membaik karena diterima bekerja di kantor
pos. Sedang Arai merantau ke Kalimantan, bekerja dan kuliah
di sana. Sambil bekerja di kantor pos Bogor, aku melanjutkan
kuliah. Lewat surat kukabarkan kepada ayahku
bahwa aku telah menjadi seorang amtenaar dalam kolom
pangkat tata usaha, dan punya seragam. Benar pendapat
Ayah dulu, mereka yang berseragam tampak lebih pintar.
Pangkatku: Pengatur Muda Pos. Bukan sembarang, Kawan.
Dengan pangkat itu aku berwenang mencairkan wesel sampai
seratus lima puluh ribu rupiah. Di atas angka itu, atasanku,
Amtenaar Odji Dahrodji, yang turun tangan.
Aku berjasa bagi mahasiswa miskin yang tak punya
bukti sah bahwa ia warga Republik, sehingga sulit meng-
Andrea Hirata 40
uangkan wesel. Biasanya mahasiswa IPB dari daerah minus
itu cengar-cengir menghadapku, dan wajahnya berbunga
waktu punggung weselnya kuhantam dengan cap sakti
mandraguna ini:
Saat menghujamkan cap itu aku dilanda perasaan
menjadi orang penting, dirasuki sindrom kekuasaan. OK,
Power is sweet. Sekarang aku paham mengapa orang gila kuasa.
Aku mengerti mengapa banyak pejabat hilir mudik ke
paranormal agar tetap berjaya, dan maklum melihat pejabat
pensiun segera kena borok usus atau mati separuh badan.
Aku dan Arai berhasil menyelesaikan kuliah tepat
waktu. Kami mengikuti tes beasiswa untuk sekolah strata
dua ke Eropa.
41 EDENSOR
Sejak kecil aku harus bekerja keras demi pendidikan,
mengorbankan segalanya. Harapan yang diembuskan beasiswa
itu membuatku terpukau. Aku sadar bahwa apa yang
kualami selama ini bukanlah aku sebagai diriku. Beasiswa
itu menawarkan semacam turning point: titik belok bagi hidupku,
sebuah kesempatan yang mungkin didapat orang
yang selalu mencari dirinya sendiri. Aku telah tertempa untuk
mengejar pendidikan, apa pun taruhannya.
Aku memutuskan keluar dari pekerjaan di kantor pos
yang telah menggiringku ke kutub moderat. Semakin lama
semakin berkurang tantangannya. Pekerjaan itu tidak
memberiku kelimpahan, tapi memberi keamanan finansial
dan kehidupan yang itu-itu saja, demikian gampang diramalkan
kesudahannya. Aku terjamin secara sederhana, terlindung
oleh sistem, stabil secara psikologis, mapan secara
sosial, dan semua itu membuatku bosan. Aku merasa seperti
tupai yang sibuk menggendong pinangnya, kura-kura
yang mengerut ke dalam tamengnya, atau siput yang sembunyi
di balik cangkangnya.
Aku ingin hidup mendaki puncak tantangan, menerjang
batu granit kesulitan, menggoda mara bahaya, dan memecahkan
misteri dengan sains. Aku ingin menghirup berupa-
rupa pengalaman lalu terjun bebas menyelami labirin
lika-liku hidup yang ujungnya tak dapat disangka. Aku
mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan
yang bereaksi satu sama lain seperti benturan molekul
uranium: meletup tak terduga-duga, menyerap, mengikat,
Andrea Hirata 42
mengganda, berkembang, terurai, dan berpencar ke arah
yang mengejutkan. Aku ingin ke tempat-tempat yang jauh,
menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku
ingin berkelana, menemukan arahku dengan membaca
bintang gemintang. Aku ingin mengarungi padang dan
gurun-gurun, ingin melepuh terbakar matahari, limbung
dihantam angin, dan menciut dicengkeram dingin. Aku
ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan.

Aku ingin hidup! Ingin merasakan sari pati hidup!



Endesor - Bab 9

No comments:

Post a Comment