Monday, September 7, 2015

Endesor - Bab 2

Persyarekatan
Bangsa-Bangsa
Einstein kedua dalam hidupku—yang mengenalkanku
pada diriku sendiri—adalah tokoh legendaris ini: Mak
Birah, dukun beranak kampung kami.
"Waktu kau lahir, Ikal....
"Nyalo."
Nyalo, tak lain ucapan terakhir yang dipakai orang Melayu
jika kehabisan kata untuk melukiskan dahsyatnya
angin, gemuruh hujan, dan gempita petir.
"Tengah malam pula...."
Mengapa alam bergelora menyambutku? Tak jelas,
yang pasti hanya saat itu ibuku senewen ingin anak perempuan.
Ibu sudah bosan setiap hari dikerubuti laki-laki:
ayahku dan empat orang abangku yang cenderung mengacau.
Tertekan batinnya mengurusi makhluk yang secara
alamiah punya ego lebih besar dari tubuhnya sendiri. Ibu,
yang berteori bahwa seni pengelolaan rumah tangga terletak
pada anak perempuan, mengaku lambat laun terkorosi
jiwanya, sebab bujang-bujang di rumah kami hanya bisa diredam
dengan menerapkan manajemen mandor kawat.
Dulu, setelah mendapat anak lelaki pada persalinan
pertama, Ibu tersenyum pahit mendengar Mak Birah meneriakkan
Bujang! pada persalinan kedua. la bersalin lagi, Mak
Birah memekik: Nomor tiga! Bujang lagi! Persis teriakan panitia
penghitungan suara. Namun Ibu, yang besar dalam penindasan
Jepang sehingga menjadi pribadi yang liat, tak sudi takluk
meski Mak Birah, lagi-lagi, berseru bujang pada persalinan
keempat. la pantang menyerah sebelum Mak Birah berteriak
dayang!
"Persalinan kelima ...," cerita Mak Birah.
"Bahkan ibumu sudah menyiapkan nama anak perempuan."
Nama itu, Nur Tantiana Wassalam. Nur adalah cahaya.
Tantiana dari bahasa Melayu pedalaman, tanti', artinya ditunggu-
tunggu. Wassalam, ya wassalam. Secara halus, nama
itu berarti cahaya terakhir yang telah lama ditunggu-tunggu.
Hari persalinan tiba. Mak Birah selalu menceritakan ini
setiap aku mengantar tembakau untuknya.
"Ibumu, perempuan yang keras pendiriannya....
"Kau tahu, Ikal? Tanggal 23 Oktober waktu itu, pukul
setengah dua belas malam, hujan lebat. Sudah satu jam ibumu
sakit perut, tapi tak sedikit pun ia mau mengejan."
Perempuan tua temperamental itu meninggikan suaranya.
"Kupaksa berkali-kali ia mengejan, dilawannya semua
Andrea Hirata 14
perintahku! Ibumu tersengal-sengal, matanya melotot melihat
jam weker.
"Jam weker! Masya Allah! Jam weker! Aneh, bukan?!"
Tembakau yang tadi kuberikan tak dilinting Mak Birah
tapi diremasnya menjadi bola kecil dan dibelesakkannya
ke dalam geraham. Artinya, ia sedang serius.
"Tak ada yang paham apa mau ibumu!"
Cerita makin seru.
"Hampir pukul dua belas malam, ketubannya pecah!
Ibumu megap-megap tapi masih berkeras tak mau mengejan!
Matanya tak berkedip mengawasi jam weker! Bibibibimu
tak dapat membujuknya agar mengejan, keadaan
sudah gawat, kami cemas bukan buatan!
"Kuhardik ibumu: 'Nyi! Mengapa kaupandangi terus
jam weker itu?! Kau mau melahirkan tidak?!'
"Ibumu tak peduli! Sama sekali tak peduli! Dianggapnya
angin saja gertakku!
"Itulah kalau kau mau tahu watak ibumu! Keras seperti
kawat! Aku marah besar!"
Aku tegang menyimak.
"Kumarahi lagi ibumu: 'Apa maumu Nyi?! Keluarkan
bayimu! Sekarang!'
"Ibumu pucat, kehabisan napas, tapi masih membatu!
"Air ketuban bersimbah-simbah, aku panik, habis sudah
kesabaranku!
"Apa kau mau mati, Nyi!?'
"Ibumu tersentak, ia menatapku, tajam sekali."
15 EDENSOR
Dan inilah bagian yang paling kusukai dari seluruh
cerita ini.
"Sambil terengah ibumu membentakku: 'Kautengok
baik-baik jam weker itu, Rah! Tunggu sampai jarum panjangnya
lewat angka dua belas! Aku ingin anak ini lahir
tanggal 24 Oktober! Tidakkah kaudengar maklumat di
radio?! Dua puluh empat Oktober adalah hari berdirinya
Persyarekatan Bangsa-Bangsa, PBB! Hari yang penting! Aku
mau anak ini jadi juru pendamai seperti PBB!'"
Pukul dua belas malam lewat sedikit, bayi itu lahir,
sungsang, kakinya lebih dulu. Baru setengah tubuhnya di
alam bebas, lewat paha sedikit, bahkan sebelum matanya
melihat dunia, demi mengecek propertinya, Mak Birah
bersorak.
"Nomor lima! Bujang!"

Andrea Hirata 16


No comments:

Post a Comment