Monday, September 7, 2015

Endesor - Bab 4

Pengembara Samia

"Tak tanggung-tanggung, Bu, kata Mahader pemanjat
kelapa, nama ini dapat membuat orang menjadi bijak."
Aku ngomel dalam hati, bagaimana kalau aku tak sudi
dengan nama baru itu?
Ayah: Arti nama ini adalah pria lemah lembut nan berjiwa
besar!
Aku: Hmm... bagus sekali ya, tak seorang pun minta pendapatku,
padahal akulah yang akan memikul nama itu seumur
hidup!
Adikku, yang gembrot dan lugunya minta ampun itu,
tak peduli. la meniup-niup gelembung sabun. Bruuuphhh...
brupphh.
"Apakah gerangan nama yang hebat itu, Yah Ni?"
Ayahku bangkit, berkumandang.
"Waaa ... dudh!! Wadudh! Itulah namanya! Kata
Mahader, nama itu gelar untuk menghormati orang yang
paling tinggi akhlaknya di kalangan pengembara Samia!"
Ibu: Subhanallah! Mahasuci Allah! Hebat nian nama
itu!
Aku: Wadudh? Pastilah pengembara berkafiyeh yang suka
minum susu kambing itu!
Adikku: Bruuuphhh... brupphh.
Sayang seribu sayang, pengembara Samia yang bijak bestari
itu menjelma menjadi garong. Tak lama setelah nama agung
itu dilekatkan kepadaku, aku memimpin komplotan santri
Andrea Hirata 22
untuk menjarah tambul, penganan yang disumbangkan
umat ke masjid jika Ramadan. "Ketua Wadudh," begitu santri-
santri itu memanggilku. Nakalku makin menjadi. Aku
blingsatan mencari diriku sendiri, tersesat dalam ide-ide
yang sinting. Dengan sogokan sebungkus kuaci, kuhasut
adikku si nomor enam itu untuk menyanyikan lagu "Indonesia
Raya" dengan pengeras suara masjid. Suaranya yang
cadel melolong-lolong seantero kampung.
Aku dan Ayah kena sidang.
"Wadudh sudah tak bisa diatur!! Tak boleh lagi dia ke
masjid ini!" Haji Satar emosi.
Para penggawa yang mengelilingi kami menganggukangguk.
"Oh, gawat...."
Wajah Ayah biru menahan malu. la menatapku. Tatapan
yang tak pernah kukenal sebelumnya. Naluriku berbisik,
Ayah akan mengambil tindakan ekstrem untuk
mengganjarku. Aku mengerut ketakutan.
"Onar! Hanya onar saja dibuatnya!!" Wak Tarjik histeris.
Kopiahnya pernah kulumuri minyak rem.
Ayah makin tajam menatapku. Aku tak pernah dikasari
ayahku, bahkan ia tak pernah menaikkan suaranya kepadaku,
tak pernah, walau hanya sekali. Namun, kejadian
"Indonesia Raya" itu memang sudah kelewat batas. Majelis
menuntut Ayah bertindak tegas. Dalam mata Ayah, jelas
kubaca ia tak tega kepadaku. Posisinya serbasalah. Ia bak
Ibrahim yang diperintah Tuhan menyembelih anaknya.
23 EDENSOR
Aku miris membayangkan dibuang Ayah ke pesantren Pulau
Penyengat, menyeberangi Selat Melaka, tak pulang bertahun-
tahun. Aku terlalu kecil untuk sanksi sekeras itu.
"Beri hukuman berat sekalian agar Wadudh jera!"
hardik Taikong Hamim.
Berat sekali cobaan Ayah.
"Bagaimana keputusanmu, Pak Cik?! Apa tindakanmu
agar tabiat buruk Wadudh tak terulang lagi?!" Taikong
tak sabar, nadanya mengancam.
Suasana hening.
"Bagaimana, Pak Cik?"
Ayah berulang kali menarik napas panjang.
"Baiklah, Taikong...."
Suara Ayah terbata-bata karena ia akan menyesali keputusan
kejamnya padaku. Tapi ia tak punya pilihan lain.
Aku terkulai di lengannya. Majelis waswas menunggu keputusan
keras Ayah....

"Akan kuganti lagi namanya...."


Endesor - Bab 5

No comments:

Post a Comment