Monday, September 28, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB I9


19
BIARKAN KAKAK SENDIRIAN


DUA HARI selepas Yashinta pulang batuk-batuk dari ladang, balai kampung ramai dipenuhi oleh penduduk. Sejak lepas shalat isya. Ada pertemuan di balai. Rombongan mahasiswa KKN dari kampung atas datang. Tapi yang pergi ke balai hanya Laisa, Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana. Mamak menjagai Yashinta yang gering. Batuk-batuk Yashinta dua hari lalu di ladang ternyata serius. Yashinta malah sudah tidak masuk sekolah dua hari. Tubuhnya panas. Hari pertama sakit, gadis kecil itu tetap memaksa berangkat, percuma, tiba di desa atas kakinya yang gemetar tidak bisa diajak melangkah, jatuh pingsan. Dalimunte terpaksa menggendongnya pulang.

Dua hari berlalu, sakit Yashinta semakin parah. Bergantian mereka menunggui. Mengompres. Membuat ramuan dedaunan. Rebusan. Apa saja yang lazim dilakukan penduduk lembah unruk meredakan panas dan batuk. Malam ini, Mamak yang menunggui Yashinta.
Udara lembah terasa dingin. Sejak sore tadi awan hitam berarak memenuhi langit. Akhirnya setelah dua bulan kemarau menggantang lembah, hujan nampaknya akan turun. Angin malam menderu kencang, pertanda bakal turun hujan lebat
"Mamak kau tidak datang, Lais?" Wak Burhan bertanya. "Yash masih wakit, Wak—"

Laisa menjawab pendek. Mengambil tempat duduk bersama adik-adiknya. Balai kampung itu sudah ramai. Obor-obor membuat ruangan terang-benderang. Angin yang menerobos membuat cahaya obor bergoyang, kerlap-kerlip.

Di depan sana berjejer enam orang mahasiswa yang dua hari ini sibuk disebut-sebut warga kampung. Laisa menatapnya lamat-lamat. Mengesankan melihat kakak-kakak mahasiswa itu. Mengenakan jaket kuning. Mahasiswa Universitas kota besar dari seberang pulau. Yang wanita terlihat cantik dan cerdas. Yang lelaki terlihat gagah dan pintar. Tersenyum lebar, percaya diri menatap sekitar. Mengangguk. Laisa menelan ludah. Dulu ia pernah bermimpi menjadi seperti ini. Bermimpi melihat dunia luar yang lebih luas. Kesempatan yang lebih lapang, yang lebih besar dibanding Lembah Lahambay ini. Ah, itu mimpinya enam tahun silam. Usianya sudah tujuh belas sekarang, sudah amat terlambat untuk melanjutkan sekolah kelas empatnya. Ia sudah mengubur cita-cita itu dalam-dalam. Lagipula jika ia sekolah, siapa yang akan membantu Mamak mencari uang buat adik-adiknya?

Wak Burhan mengetukkan palu bonggol bambu, pertemuan dimulai. Enam mahasiswa ini berbicara lantang. Tegas. Meyakinkan. Salah satu dari tiga mahasiswa lelaki bicara soal konstruksi kincir air. Memuji-muji penduduk kampung yang telah membuatnya, lantas sama seperti Dalimunte dulu, dia juga membawa kertas-kertas. Membentangkannya lebar-lebar. Bicara tentang listrik. Lampu-lampu. Kincir air itu bisa dijadikan generator listrik. Dalimunte menjadi orang yang paling tertarik atas rancangan itu. Mengangkat tangannya berkali-kali, bertanya. Penduduk kampung juga terpesona. Apalagi dijanjikan ada bantuan soal dinamo, kabel-kabel, peralatan instalasi, dan lainnya dari universitas. Wak Burhan tak butuh waktu semenit untuk mengetukkan palunya. Proyek KKN listrik kincir air itu disetujui. Minggu depan mereka mulai bergotong-royong,

Dua mahasiswa lainnya, cowok-cewek, mungkin berasal dari fakultas pertanian, bicara soal ladang-ladang mereka. Bibit yang digunakan. Pengolahan tanah. Rotasi tumbuhan. Lantas ujung-ujungnya: jadwal penyuluhan. Penduduk Lembah mengangguk-angguk. Wak Burhan mengetuk palu; dengan demikian setiap malam Kamis dan Sabtu ada penyuluhan pertanian di balai kampung. Meski program KKN yang satu ini tidak sekongkret listrik, tapi penduduk kampung bisa menerimanya. Setidaknya janji ada penganan kecil dan sekoteng hangat setiap jadwal penyuluhan sudah lebih dari cukup untuk membuat mereka hadir.

Dua mahasiswa berikutnya menjelaskan tentang kemandirian ekonomi. Nah, yang ini benar-benar membuat penduduk kampung pusing. Koperasi. Simpan-pinjam. Kesempatan kredit. Akses modal. Bahkan Dalimunte saja yang sejak tadi antusias mendengarnya, menguap lebar-lebar. Juga ada jadwal penyuluhan. Wak Burhan bilang cukup seminggu sekali, malam Selasa. Jadwal mereka sudah penuh. Sebenarnya sih, Wak Burhan kalau bisa malas memberikan jadwal untuk penyuluhan yang satu ini.

Dua mahasiswa itu berunding. Lantas mengangguk.
Malam beranjak matang. Pukul 22.00, sudah larut untuk ukuran penduduk lembah. Mereka biasanya beranjak tidur pukul sembilan. Jadi mahasiswa terakhir, demi melihat penduduk kampung sudah tidak terlalu memperhatikan, hanya sempat bicara lima belas menit. Bicara soal sanitasi. Kebersihan. Posyandu. Pemeriksaan kesehatan. Bilang ada posko kesehatan di kampung atas. Yang bisa dimanfaatkan warga setempat untuk berobat. Lima belas menit tepat, penjelasannya selesai. Kabar baik, ternyata tidak ada jadwal penyuluhan untuk yang satu ini. Wak Burhan mengetuk palu.

Pertemuan usai.
Lepas pertemuan, Laisa berusaha mendekati mahasiswa wanita yang bicara terakhir, ingin minta tolong periksa Yashinta yang sedang sakit. Tapi karena di luar guntur berkali-kali
menyalak, petir berkali-kali menyambar, enam mahasiswa KKN itu sudah terlanjur bergegas kembali ke kampung atas, mengenakan jas hujan besar dan payung. Lagipula Ikanuri dan Wibisana memaksa pulang buruan. Sudah mengantuk. Maka di tengah deru angin yang semakin menggila, mereka juga bergegas kembali ke rumah panggung.

"Ternyata mereka tidak hanya melakukan penyuluhan-penyuluhan seperti yang KKN dulu, Mak." Laisa melapor setiba di rumah. Mengibas-ngibaskan rambut. Hujan deras turun persis mereka tiba di halaman.

Mamak hanya mengangguk selintas.Terkantuk menunggui Yashinta yang tidur sambil mengerang. Panas. Kompres kain yang membungkus dahi Yashinta seperti sia-sia. Suhu badannya tidak turun-turun. Di luar hujan deras terdengar membuncah atap seng. Gemuruh. Satu dua tampias. Menetes di dalam rumah. Laisa buru-buru mengambil baskom dan kain. Menampung tetesan air.

Ikanuri dan Wibisana sudah beradu punggung di ruang depan. Bergelung. Tidur. Hanya Dalimunte yang berdiri di depan pintu kamar. Memperhatikan Yashinta dengan wajah sedikit cemas.
"Masih panas, Mak?"
Mamak mengangguk. Terlihat amat lelah.
"Mamak sebaiknya tidur, biar Lais yang jaga sekarang."
Kak Laisa mengambil posisi di sebelah Yashinta. Mengganti air kompres. Mencelupkan kain. Memerasnya. Meletakkannya di dahi Yashinta lagi. "Kau juga tidur, Dali!" Laisa menyuruh Dalimunte.

Dalimunte menelan ludah, beringsut ke ruangan depan. Dia tidak tega melihat Yashinta yang terus mengerang, lantas sekali dua batuk, terdengar kesakitan. Mamak bersandar di dindig, berusaha memejamkan mata. Hujan turun semakin deras.

Pukul 24.00, persis tengah malam, saat Dalimunte sudah lelap tertidur. Mamak juga sudah tertidur. Kak Laisa mendadak berseru-seru. Panik. Terbangun. Mamak langsung terbangun juga Dalimunte, yang setengah terkantuk, setengah terjaga mendekat. Lihatlah, tubuh Yashinta menggelinjang. Kejang. Matanya mendelik, menyisakan putih.

Kak Laisa berteriak tambah panik. "Yashinta, Mak! YASHINTA!"

Mamak Lainuri berusaha memegangi tubuh Yashinta. Ikut tegang. Panik.

Meski lebih banyak bingungnya. Apa yang harus ia lakukan? Tidak ada dokter di sini. Tidak ada. Mamak berusaha menyeka keringat yang mengalir deras dari leher Yashinta. Berusaha memberikan ramuan. Mengompres. Apa saja yang terpikirkan olehnya. Percuma, mata Yashinta semakin mendelik.
Dalimunte mencicit melihatnya. Jantungnya berdetak kencang, takut. Ya Allah, apa yang sedang terjadi. Ada apa dengan Yashinta. Berusaha mendekat, tapi setelah mendekat malah menjauh lagi, tidak mengerti harus melakukan apa.

Saat Mamak semakin bingung, saat Ikanuri dan Wibisana yang terjaga ikut mendekat dan bergumam jerih, saat tubuh Yashinta semakin tidak terkendali, Kak Laisa mendadak berlari ke ruangan depan, Kak Laisa menendang pintu depan. Berdebam. Lantas diikuti oleh tatapan bingung Mamak, entah apa yang akan dilakukannya, Kak Laisa sudah berlari menghambur ke tengah derasnya hujan. Angin menderu kencang, masuk ke dalam rumah, mengirimkan bilur-bilur air, membuat perabotan berderak.

Kak Laisa berlari sekuat kakinya ke kampung atas. Tidak peduli tetes air hujan bagai kerikil batu yang ditembakkan dari atas. Tidak peduli tubuhnya basah-kuyup. Tidak peduli malam yang gelap gulita. Dingin membungkus hingga ujung kaki. Musim kemarau begini, di malam hari, suhu Lembah Lahambay bisa mencapai delapan derajat celcius. Kak Laisa berlarian menaiki lembah. Terpeselet. Sekali. Dua kali. Tidak peduli. Petir menyalak. Guntur
menggelegar. Ia ingat. Ia ingat kakak-kakak mahasiswa tadi menyebut-nyebut soal obat dan dokter. Mereka pasti bisa membantu.

Ia harus segera. Waktunya terbatas.

Dalimunte sudah bisa duduk lebih tenang. Duduk tertunduk.

"Kemari, sayang...." Laisa memanggil pelan Intan. Intan melangkah mendekat "Wawak sakit, ya?"
Laisa menggeleng, tersenyum. Wawak baik-baik saja. Intan menelan ludah. Memasang wajah tidak percaya. Wawak pasti bohong.
Laisa pelan mengangkat lengannya. Memperlihatkan dua gelang karet, "Safe The Planet". Intan menyeringai, akhirnya ikut tersenyum. Tuh, kan, hanya Wak Laisa yang mau (dan benar-benar niat) pakai dua gelang. Abi saja ogah, hanya beli doang. Intan menyentuh lembut lengan Wak Laisa. Tidak panas. Menyentuh dahi Wak Laisa, juga tidak panas. Kalau tidak panas, kenapa tubuh Wak Laisa dipenuhi infus?
"Yang sakit apanya?" Intan bertanya macam dokter saja. Wak Laisa tersenyum lagi, batuk.
Intan meraih kotak tissue, meniru Eyang. Ikut membersihkan darah dari pipi Wak Laisa. Dalimunte menatap wajah lelah itu. Mendongak. Cahaya lampu neon bersinar lembut.

Dia tahu banyak urusan ini, meski dia baru menyadarinya belasan tahun kemudian. Kak Laisa yang tidak pernah menangis di depan adik-adiknya. Tidak pernah. Sesakit apapun, sesesak apapun rasanya. Kak Laisa yang selalu berusaha terlihat semua baik-baik saja. Dia ingat sekali kejadian malam itu. Ingat. Bagai bisa melihatnya kebali dari pendaran cahaya Lampu neon. Melihat kembali tetes air dari tubuh Kak Laisa yang membuat ruangan depan tergenang. Wajahnya yang kesakitan....
"Si belang mana, sayang?"
Intan menoleh ke Ummi, tuh kan, Wak Laisa pasti nanya,
"Eh, tadi langsung loncat dari mobil. Pasti nyari pacarnya yang dibilang Oom Ikanuri —" Tertawa kecil. Laisa berusaha tertawa mendengar celetukan Intan.
Mahal sekali harganya, tubuh tambun tapi gempal itu bergerak-gerak tertahan. Membuat garis hijau di layar peralatan medis terputus-putus. Berdengking. Yang membuat Intan ikutan pias. Takut. Kenapa Wak Laisa jadi semaput? Kan, hanya tertawa?

Dokter melangkah, mendekat, memeriksa peralatan, Cemas, lantas berkata ragu-ragu, "Eh, maaf Pak Dalimunte, sepertinya Ibu Laisa harus ditinggal istirahat, jangan banyak bicara dulu—"

Laisa yang perlahan kembali terkendali menggeleng, memberikan kode gerakan tangan ke dokter. Biar. Biarlah mereka berada di kamar ini. Ia ingin terus terjaga menunggu adik-adiknya pulang satu per satu. Ia ingin menatap wajati mereka satu persatu. Ia ingin bicara, ingin mendengar Intan bercerita. Ia ingin Intan tahu kalau Wawak-nya baik-baik saja. Dokter menelan ludah, berhitung sejenak. Berdiskusi sebentar dengan Mamak dan Dalimunte. Baiklah. Tidak banyak yang bisa dilakukannya lagi.

Tidak ada salahnya.

Malam itu, Laisa untuk kesekian kalinya tiba tepat waktu.

Menggedor pintu rumah kepala kampung atas. Terbata-bata bilang tentang sakit Yashinta. Mahasiswa itu mengangguk, ia mengenali Laisa. Salah satu dari penduduk kampung bawah yang tadi dua tiga kali bertanya. Tanpa pikir panjang langsung menyambar jas hujan, sepatu bot, dan peralatan medis. Kepala kampung atas yang ikut terbangun berbaik hati meminjamkan starwagoon tuanya. Mobil itu segera meluncur.
Hujan turun semakin deras. Mobil hanya bisa dipakai hingga batas ladang-ladang. Terpaksa berjalan lima ratus meter. Kakak-kakak mahasiswa itu berbaik hati menerobos
hujan. Laisa mengikuti dari belakang. Tubuhnya yang tanpa pelindung apapun menggigil. Tadi hampir satu jam ia mendaki lembah untuk tiba di kampung atas. Normalnya hanya setengah jam, tapi di tengah jalan tadi, kakinya menghantam tunggul Batang kayu yang sudah mati. Sakit sekali. Memar malah (esok lusa baru tahu kalau tulang mata kakinya bergeser). Seperti ditusuk seratus sembilu saat berusaha dijejakkan ke tanah. Tapi Laisa menggigit bibirnya kencang-kencang, terus mendaki lembah. Memaksa kakinya melupakan rasa sakit. Rasa sakit yang sebenarnya membuat Laisa menitikkan air mata. Ia mencengkeram pahanya. Mengusir rasa sakit di kaki. Yashinta menunggu pertolongan di rumah. Ia harus maju terus. Maka sama sulitnya saat ia berlari- lari kecil mengikuti langkah kakak-kakak mahasiswa didepannya menuruni lembah.

Mereka datang tepat waktu, kakak-kakak mahasiswa tahun terakhir di fakultas kedokteran itu segera mengurus Yashinta. Membuka peralatan medisnya. Memeriksa Yashinta dengan cepat. Lantas menyuntikkan sesuatu. Lepas lima menit, Yashinta mulai lebih terkendali.
Sementara hujan deras terus membuncah atap seng. Guntur menggelegar di luar sana.
Dalimunte menatap lamat-lamat Kak Laisa.

Kak Laisa yang duduk di dapur, dekat pintu belakang sejak tiba. Kak Laisa yang meringkuk memegangi kakinya. Bengkak. Mata kaki itu terlihat merah. Wajah Kak Laisa meringis, menahan rasa sakit yang teramat sangat. Bahkan jika tidak tersamarkan oleh air yang masih menetes dari rambutnya, dia sungguh bisa melihat Kak Laisa mengeluarkan air mata. Jika tidak tersamarkan oleh gigilan kedinginan, dia bisa melihat Kak Laisa yang gemetar menahan rasa nyilu di kakinya yang dipaksa terus berjalan menuruni lembah.

Dalimunte menelan ludah. Air hujan dari tubuh Kak Laisa tergenang di sekitarnya. Membasahi lantai papan. Badan itu kuyup. Basah. Kedinginan. Kesakitan. Tapi Kak Laisa tidak pernah mengeluh. Tidak pernah.

Laisa menyadari Dalimunte yang memperhatikannya. Ia menyeringai galak, menyuruh Dalimunte kembali ke ruang depan. Tinggalkan aku. Aku baik-baik saja.

Dalimunte mengigit bibir, perlahan membalik badannya. Malam itu Dalimunte akhirnya mengerti satu hal: Kak Laisa tidak akan pernah menangis di depan adik-adiknya. Tidak akan pernah.


NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 20

1 comment:

  1. Karna Di ERTIGAPOKER Sedang ada HOT PROMO loh!
    Bonus Deposit Member Baru 100.000
    Bonus Deposit 5% (klaim 1 kali / hari)
    Bonus Referral 15% (berlaku untuk selamanya
    Bonus Deposit Go-Pay 10% tanpa batas
    Bonus Deposit Pulsa 10.000 minimal deposit 200.000
    Rollingan Mingguan 0.5% (setiap hari Kamis

    ERTIGA POKER
    ERTIGA
    POKER ONLINE INDONESIA
    POKER ONLINE TERPERCAYA
    BANDAR POKER
    BANDAR POKER ONLINE
    BANDAR POKER TERBESAR
    SITUS POKER ONLINE
    POKER ONLINE


    ceritahiburandewasa

    MULUSNYA BODY ATASANKU TANTE SISKA
    KENIKMATAN BERCINTA DENGAN ISTRI TETANGGA
    CERITA SEX TERBARU JANDA MASIH HOT

    ReplyDelete