Thursday, September 24, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 3


3

TITIPAN KAOS BOLA


PESAWAT AIRBUS 3320 milik maskapai penerbangan Italiano Sky itu melesat membelah pesisir Eropa. Malam hari. Pukul 19.30 di sini. Speaker di pesawat memperdengarkan suara merdu sang pramugari yang lembut menyapa penumpang:

"... Signore e signori, Vaereo atterera tra 5 minuti all'aeroporto di Roma. Si prega di allaciare di cinture di skurezza... Informiamo i signori pesseggeri che e tra Giacarta e Roma vi sono sette ore di differenza. Senior & Seniorita, pesawat akan segera mendarat di Bandara Roma lima menit lagi. Harap kenakan sabuk pengaman Anda.... Perbedaan waktu Jakarta dan Roma—"

"Bangun, Ikanuri!" Wibisana menyikut lengan adiknya. Ikanuri menguap, menggosok matanya, "Sudah sampai?" Wibisana mengangguk.

Wajah mereka berdua mirip sekali. Rambut. Matanya. Ekspresi wajah. Bahkan bekas luka kecil di dahi. Bedanya, yang satu baretnya di sebelah kanan, yang satu di sebelah kiri. Selain itu, nyaris 99,99% mirip, termasuk tinggi, lebar dan bentuk perawakan tubuh. Jadi seperti sepasang kembar kalau mereka berdiri berjajar. Padahal mereka sedikit pun tidak kembar, apalagi kembar identik. Mereka berdua hanya lahir di tahun yang sama, terpisahkan sebelas bulan. Yang satu beramur 34 tahun (Wibisana), yang satunya (Ikanuri) 33 tahun. Menariknya, meski Ikanuri lebih muda, dia lebih dominan dalam urusan apapun dibanding Wibisana. Makanya orang-orang justru berpikir Ikanuri-lah yang menjadi kakak.

"Kau mimpi apa?" Wibisana tertawa melihat wajah Ikanuri yang mengernyit, berusaha mengusap-usap matanya yang sedikit merah.
"Biasa! Mimpi dikejar-kejar Kak Lais pakai sapu lidi! Sialan, kali ini ia berhasil memukul pantatku! Sakit sekali — "
Ikanuri menjawab seadanya, nyengir. Pura-pura mengusap punggungnya. Ikut tertawa.

Demi mendengar celetukan adiknya, Wibisana tertawa lebih lebar. Bagian itu kenangan masa kecil favorit mereka, olok-olok masa lalu yang menyenangkan untuk diingat, meski telah berkali-kali diingatnya. Nyengir lebar. Sementara Ikanuri sudah sibuk merapikan kemeja biru yang dikenakannya. Membungkuk memasang tali sepatu. Tadi sengaja dilepas, agar bisa rileks tidur di kursi penerbangan kelas ekonomi, yang tempat duduknya ekstra sempit buat penerbangan jarak jauh.
"Ini apa?" Wibisana mendorong pelan laptop di atas tatakan meja, ikut membungkuk, mengambil kertas yang tidak sengaja jatuh dari saku kemeja Ikanuri saat memasang tali sepatu.

"Oo itu —, biasa titipan Juwita! Kau bacalah!"

"Papa, questi sono i miei desideri.. 1. Pizza, 2. Spagheti, 3. Miniatur Colloseum, 4. Miniatur Menara Miring, 5. Kaos bola Del Piero, 6. Kaos bola Totti, 7, Kaos bola Materazzi, 8. Kaos bola Zidane,"

Wibisana tertawa kecil lagi, menghentikan membaca daftar panjang di kertas tergulung itu, "Haha, bagaimana mungkin 'sigung kecil' itu tidak tahu kalau Zidane sudah tidak main bola lagi di Juventus? Lagipula Zidane sudah lama pindah ke liga Spanyol, bukan? Sudah pensiun pula sejak piala dunia. Tidak adalah kaosnya di sini—"

"Mana pula anak itu akan peduli," Ikanuri menerima kertas pesanan tersebut dari Wibisana, melipatnya.
"Kau tahu, Juwita seminggu terakhir sengaja benar membuka buku pintarnya tentang Italia. Mendaftar semua pesanan ini. Entahlah, sempat atau tidak membeli semuanya, apalagi kaos - kaos bola ini. Buat apa coba Juwita titip kaos bola, jelas-jelas ia anak perempuan, kan? Titipannya kali ini benar-benar akan merepotkan. Mungkin tidak semua akan bisa kubelikan..."

"Kalau begitu, bersiap-siaplah melihat wajah sok merajuknya saat kau nanti pulang!" Wibisana nyengir lebar,
"Anak itu memang pintar membuat orang lain susah.... Pandai menipu. Jago pura-pura merajuk. Haha, mirip benar dengan tabiat buruk ayahnya waktu kecil."
Ikanuri mengusap rambut. Ikutan nyengir. Bergumam dalam hati, Wibisana pasti juga mengantongi daftar puluhan pesanan yang sama dari Delima, anaknya. Bukankah kemarin Juwita bilang, ia mengirimkan daftar pesanannya ke Delima lewat email. Anak-anak mereka yang berumur enam tahun itu mirip benar ayahnya masing-masing. Kompak urusan beginian, meski sering sekali justru sibuk bertengkar saat sedang bermain bersama. Sebenarnya perangai Delima-Juwita memang copy-paste perangai ayah-ayah mereka berdua waktu kecil dulu.

Pesawat Boeing kapasitas dua ratus penumpang itu bersiap meluncur ke landasan bandara. Gemerlap lampu kota Roma terlihat indah dari bingkai jendela. Menawan. Wibisana melipat laptopnya.

"Kau sudah selesaikan revisi presentasinya?" Wibisana mengangguk mantap,

"Kali ini, petinggi pabrik itu tidak akan menolak.... Kita akan memberikan lebih banyak keuntungan dibandingkan perusahaan dari China itu!"
Ikanuri mengangguk kecil. Memasukkan kertas pesanan gadis kecilnya ke saku. Menepuk-nepuk saku kemeja. Ini perjalanan bisnis yang penting. Pembicaraan besok pagi di salah satu kedai kopi elit dekat Piazza de Palozzo akan menentukan rencana ekspansi pabrik kecil milik mereka. Sebenarnya dibandingkan pesaing raksasa industri China itu mereka tidak ada apa-apanya. Pabrik butut itu tak lebih dari bengkel modifikasi mobil. Mereka hanya punya modal nekad. Keberangkatan ini juga pakai acara pinjam uang Mamak Lainuri segala. Ah, sejak kecil memang inilah yang mereka miliki. Nekad. Bandel. Keras kepala. Di samping tentang teriakan 'kerja-keras', 'kerja-keras', 'kerja-keras' yang selalu diocehkan Kak Laisa saat galak melotot sambil memegang sapu lidi, memarahi mereka.

Sejak kecil Ikanuri dan Wibisana sudah kompak. Kakak-beradik yang selalu bisa saling mengandalkan. Hari ini mereka berangkat ke Roma bersama-sama. Menyelesikan tender hak pembuatan sasis salah-satu mobil balap tersohor produksi Italia. Seperti biasa, pesaing mereka (juga pesaing pengusaha-pengusaha lokal lainnya), datang dari negeri Panda, China. Mereka sejak kecil selalu berdua. Tidak terpisahkan. Sekarang saja rumah mereka berseberangan jalan. Dengan istri dan satu gadis kecil usia enam tahun masing-masing. Delima dan Juwita. Bahkan, percaya atau tidak, Ikanuri dan Wibisana menikah di hari, tempat, dan penghulu yang sama. Delima dan Juwita juga lahir di hari yang sama. Jadi meski tidak kembar secara biologis, Ikanuri dan Wibisana lebih dari 'kembar'.

Lima menit berlalu, burung besi berukuran jumbo itu mendarat dengan mulus di landasan. Penumpang yang seratus persen sudah terjaga bergegas menurunkan tas-tas dari bagasi. Bersiap turun setelah penerbangan belasan jam. Menggerak-gerakkan badan. Berusaha mengusir pegal.
"Biar aku saja yang menghubungi mereka!" Ikanuri yang melihat Wibisana mengeluarkan HP-nya, ikut mengeluarkan dua telepon genggam miliknya. Satu untuk urusan bisnis. Satu untuk urusan keluarga. Dua-duanya dikeluarkan. Perlahan menekan tombol ON. Menyalakannya. Tadi saat keberangkatan, galak sekali pramugari pesawat menyuruh penumpang mematikan HP. Yeah, penumpang dari Indonesia memang bebal bin bandel soal beginian. Mereka lupa, maskapai yang mereka naiki bukan maskapai domestik kelas kampung yang cuek dengan standar internasional keamanan penerbangan.

"Mereka berjanji menjemput di bandara, bukan?" Wibisana duduk kembali, membiarkan penumpang lain bergegas turun duluan.
"Yap, tenang saja, Italiano Silsilia itu pasti akan menjemput kita. Kalau tidak, paling sial kita nyasar lagi di negeri orang, haha,"
Ikanuri tertawa, menunggu dua telepon genggamnya booting. Dua detik berlalu. Lantas menekan phonebook.
Tetapi sebelum dia melakukannya, HP untuk urusan keluarganya keburu bergetar duluan. SMS. Juga bergetar di saat bersamaan HP milik Wibisana. Itu juga HP urusan keluarga. Siapa? Ikanuri dan Wibisana menelan ludah. Saling bersitatap satu sama lain. Siapa yang mengirimkan SMS? Hanya ada enam orang yang tahu nomor itu, dan mereka berdua diantaranya.

Keliru. Bukan dari siapa pertanyaan tepatnya Ikanuri dan Wibisana barusan. Tapi lebih tepat: ada apa? Apa yang terjadi? Wajah mereka berdua mendadak mengeras, cemas, SMS? Ini pasti Mamak Lainuri. Yang lain pasti selalu menelepon jika ada urusan penting. Bukankah seumur-umur Mamak tidak pernah mengirimkan SMS. Menggunakan HP-nya saja, Mamak tak mahir benar. Jika Mamak yang kirim, ini pasti penting sekali.

Tangan Ikanuri dan Wibisana sedikit terburu-buru menekan tombol open. Gagap membaca kalimat-kalimatnya. Menggigit bibir. Terdiam. Lantas bersitatap lemah satu sama lain lagi. Satu detik. Dua detik. Lima detik. Senyap. Berdiri diam di antara sibuknya gerakan 198 penumpang beranjak turun. Dan seperti sontak diperintahkan, mereka berbarengan melangkah mendekati pramugari. Mendorong-dorong penumpang lain. Bersikutan. Lupa sudah dengan koper-koper. Lupa sudah dengan janji pertemuan bisnis yang penting, besok pagi. Lupa dengan segalanya.

Ikanuri terbata berkata: "Il Volo.. per Jakarta.. C'e un volo per Jakarta questa sera?"


Apa ada…penerbangan kembali ke Jakarta... malam ini juga?




NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 4

No comments:

Post a Comment