Saturday, September 26, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 21


21
PERKEBUNAN STRAWBERRY


SEBENARNYA dengan segala keterbatasan Mamak, ada solusi yang lebih baik agar Dalimunte tetap bisa melanjutkan sekolah di kota kecamatan. Ikanuri dan Wibisana yang memang malas sekolah dengan sukarela menawarkan diri berhenti. Tapi demi mendengar kalimat itu, Kak Laisa langsung melotot galak. Sekali dua sigung nakal itu berhenti sekolah, maka mereka tidak akan pemah kembali lagi. Ikanuri dan Wibisana ber-yaa kecewa. Yashinta yang masih kecil, malam itu juga menawarkan diri berhenti, berkata pelan sambil memainkan crayon 12 warnanya,

"Biar Kak Dali saja yang sekolahh, anak laki kan harus sekolah. Yash, kan... Yash kan anak perempuan. Biar Yash yang berhenti...."
Membuat ruang depan rumah kayu butut itu lengang. Mamak pelan mengusap wajahnya. Kak Laisa menelan ludah. Senyap. Tidak. Solusi terbaik, tetap Dalimunte yang menunda sebentar sekolahnya.

Mamak membiarkan Laisa kembali menanami ladang mereka dengan strawberry, kali ini malah membiarkan seluruhnya ditanami.
"Belajar dari kesalahan, Mak. Laisa tahu apa yang harus Laisa lakukan sekarang."

Mamak tidak kuasa mencegah niat bulat sulungnya, apalagi Dalimunte ikut mendukung. Jadi kepalang tanggung, sukses atau gagal seluruhnya. Kak Laisa menanami kembali seluruh kebun mereka dengan strawberry.

Wak Burhan yang mencoba menasehati Laisa juga mengalah. Laisa tetap keukeuh memesan bibit strawberry ke universitas tempat kakak-kakak KKN dulu. Kebun mereka terlihat amat berbeda dibandingkan yang lain. Satu dua tetangga menatap ganjil. Ikut prihatin, bagaimana mungkin lembah ini ditanami stober? Stowber? Beri-beri? Ah, menyebut namanya saja mereka susah.

Laisa benar, ia belajar banyak dari kesalahannya.

Empat bulan berlalu, setelah hari-hari terpanggang matahari saat menyiapkan polybag-polybag baru; mengejar-ngejar Ikanuri dan Wibisana yang masih saja bandel bolos sekolah; memasukkan pupuk kandang ke dalam polybag, meneriaki Ikanuri dan Wibisana yang sibuk mencuri mangga, membersihkan gulma dan hama, (dan lagi-lagi mengejar-ngejar Ikanuri dan Wibisana yang tidak kapok-kapoknya bolos sekolah) lepas musim penghujan yang dulu
menggenangi polybag, kabar baik itu akhirnya tiba. Empat ratus pohon strawberry merekah subur dari kantong-kantong plastik hitam. Bukan main. Empat bulan berlalu lagi, hari-hari dihabiskan dengan kerja keras, pagi-sore di kebun, bahkan Kak Laisa baru pulang saat adzan magrhib terdengar, telaten merawat satu demi satu batangnya. Mencurahkan seluruh perhatian ke kebun satu hektar itu.

Dan Mamak akhirnya tersenyum lebar, buah-buah merah ranum mulai bermunculan dari batang-batangnya. Membuat seluruh penduduk kampung tercengang. Belum pernah mereka melihat buah seindah itu. Yashinta yang paling girang. Menghabiskan sore selepas sekolah dengan menghitungi satu demi satu buahnya. Malah membawa-bawa kertas. Dicatat satu persatu perpohon. Ikanuri dan Wibisana? Standarlah, mereka juga sibuk mencuri buah-buah strawberry yang mulai matang...

Dalimunte yang sekarang punya waktu lebih banyak membantu Mamak dan Kak Laisa, mengambil perannya saat buah merah ranum strawberry siap dipanen. Ia menyiapkan teknologi pengalengan sederhana. Dengan gentong-gentong besar dari tanah yang banyak dijual di kota kecamatan. Jadi tak ada lagi buah yang busuk ketika tiba di kota provinsi. Sukses besar.

Meski Ikanuri dan Wibisana mencuri buah-buah itu hingga sepuluh kilo setiap hari selama dua tahun, tetap tidak akan habis saking bagusnya panen kebun mereka. Kakak-kakak dari kota provinsi berbaik hati mengirimkan truk pengangkut, seminggu setelah menerima surat dari Laisa.
Kabar baik itu akhirnya tiba di Lembah Lahambay.

Satu tahun berlalu. Usia Kak Laisa sekarang sudah menjelang dua puluh tahun. Dalimunte empat belas, Ikanuri sebelas (hampir dua belas), Wibisana sebelas (baru lewat sepuluh), dan Yashinta sembilan tahun. Satu tahun penuh kerja keras, kerja keras, kerja keras, dan pengharapan. Senja itu, gerimis kembali membasuh lembah indah tersebut.

"Mamak menyuruh Kakak pulang."
Laisa menoleh, tersenyum lebar melihat Dalimunte melangkah mendekat. Adiknya mengulurkan payung. Ikut tersenyum. Seekor elang terbang berputar di tengah larik bulir hujan. Langit mulai gelap. Batang-batang strawberry bergoyang lembut oleh hujan. Satu dua buah sisa panen seminggu lalu masih menggelantung. Terlihat merah ranum. Kemilau kristal air menambahi kesan indahnya.

"Kau sudah pulang dari kota kecamatan?" Dalimunte mengangguk mantap. Tadi dia dan Mamak mendaftar sekolah. Sekalian membeli banyak barang keperluan. Seragam baru buat Yashinta. Sepatu baru buat Ikanuri dan Wibisana. Juga baju baru buat Mamak dan Kak Laisa. Sudah lama sekali Mamak tidak punya baju baru. Kak Laisa juga, selama ini membeli barang loakan, yang selalu gombyor, kebesaran buatnya.
"Kalau Dali sekolah minggu depan, berarti Dali tidak bisa bantu Mamak dan Kak Lais lagi...." Dali menunduk, berdiri di sebelah Kak Laisa, berpegangan ke pagar kebun.
"Kau tetap bisa membantu." Kak Laisa berkata ringan.

"Tapi, Dali setiap shubuh harus menumpang starwagoon, baru pulang lepas magrhib. Bagaimanalah Dali bisa membantu?"
"Kau tetap bisa membantu, Dali. Dengan belajar sungguh-sungguh. Dengan nilai-nilai yang baik. Kau akan membantu banyak Mamak dengan semua itu."
Kak Laisa menggenggam lengan adiknya. Menatap wajah Dalimunte yang sekarang lima belas senti lebih tinggi darinya. Dalimunte terdiam, menggigit bibir.
"Berjanjilah—"

Dalimunte mengangguk. Mengusap ujung-ujung matanya.

"Kemarilah, Dali.... Kemari...." Kak Laisa berkata lirih. Mamak melepas dekapan kepala Dalimunte.
Dalimunte beranjak mendekat ke ranjang Kak Laisa. "Kau, kau sungguh adik yang amat membanggakan...."
Kak Laisa menatap Dalimunte lamat-lamat. Tersenyum. Bercak darah mengalir lagi. Intan lembut menghapusnya.
"Lihatlah.... Siapa yang paling pandai di keluarga kita? Siapa yang paling pintar? Kau, Dalimunte. Babak pasti bangga padamu. Dan kau, kau selalu menepati janjimu.... Belajar, bekerja keras, bersungguh-sungguh." Kak Laisa mengenggam lengan

"Kau punya istri yang cantik. Anak yang manis dan juga pandai seperti ayahnya. Semua itu. Semua itu seharusnya membuat kau tersenyum, Dali. Bukan menangis seperti ini— "
Kak Laisa tertawa kecil, lantas terbatuk.

"....Itu semua karena Kakak... itu semua sungguh karena kakak." Dalimunte mengusap ujung-ujung matanya.
Kak Laisa tersenyum tulus. Terus menggenggam lengan Dalimunte dengan sisa-sisa tenaga, "Maukah kau menceritakan penelitian terbarumu pada Kakak? Biar Kakak mendengarkan...

Yang tentang apa?—" Kak Laisa terbatuk.

Bersitatap satu sama lain. Lima belas detik.

Dalimunte mengangguk perlahan. Pelan menarik nafas. Berusaha mengendalikan emosi. Bahkan dalam kondisi yang menyedihkan, Kak Laisa tetap tidak berubah. Selalu ingin mendengar apa yang sedang dikerjakannya. Apa yang sedang dilakukannya. Cie Hui, membantu Mamak kembali duduk di kursi. Intan beringsut naik ke atas ranjang besar. Biar lebih leluasa membersihkan setiap kali bercak darah keluar dari bibir.
Meski Kak Laisa tidak mengerti, karena semakin ke sini apa yang dikerjakan Dalimunte semakin rumit baginya. Meski Kak Laisa tidak paham sedikitpun, tapi ia selalu ingin mendengar apa yang sedang dilakukan Dalimunte. Menatap wajah Dalimunte yang selalu antusias menjelaskan penelitiannya. Penuh penghargaan.
Tetap sama seperti dua puluh tahun silam.


Masa-masa ketika akhirnya Dalimunte menyadari satu hal. Kak Laisa yang semakin tertinggal di belakang.



NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 22

No comments:

Post a Comment