Saturday, September 26, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 14

14
PENGUASA GUNUNG KENDENG


CELAKA. Benar-benar celaka. Kesibukan penduduk Lembah Lahambay hari itu ternyata tidak berhenti saat senja tiba. Tapi benar-benar hingga malam hari, 24 jam.

Menjelang maghrib setelah dipotong istirahat shalat ashar, lima kincir air itu sudah berderet rapi di dinding cadas sungai. Lubang-lubang pondasi sudah dituangi cor semen. Belum terpasang. Meski pondasinya sudah siap, lima kincir itu baru akan dipasang minggu depan, jadwal gotong-royong berikutnya. Pondasinya dibiarkan dulu kering.

Wak Burhan, para orang tua, pemuda dewasa, menyeringai lega melihat pekerjaan mereka. Lembah mulai remang, Wak Burhan menghentikan gotong-royong. Cukup untuk ahad ini. Kesibukan di pinggir sungai itu memang berhenti ketika mereka beramai-ramai beranjak pulang. Mandi. Berganti pakaian. Siap menjemput malam, beristirahat.

Tetapi kesibukan lainnya mendadak menyusul. Lebih ramai dari sebelum-sebelumnya.
Laisa setelah hampir setengah jam menangis di bawah pohon mangga beranjak kembali ke pinggir sungai. Menyeka luruh sisa-sisa tangis. Berusaha senormal mungkin saat bilang ke Mamak kalau Ikanuri dan Wibisana tidak mau nurut. Mereka bermain-main di ladang, dan justru lari menghindar saat disuruh pulang. Mamak mengomel, berjanji dalam hati akan menghukum dua sigung itu nanti malam. Meneruskan pekerjaan memberesi peralatan masak. Senja mulai turun, jingga membungkus lembah. Sementara Yashinta sejak tadi hanya duduk-duduk saja di pinggir sungai selepas asyik mengejar capung air bersama teman-temannya.

Tetapi keliru. Laisa yang berpikir Ikanuri dan Wibisana setelah pergi meninggalkan dirinya akan kembali ke rumah itu keliru. Juga Mamak yang sudah berencana membuat aturan main baru di rumah saat mengomel nanti malam. Keliru, Ikanuri dan Wibisana ternyata tidak pulang-pulang. Juga saat mereka sudah bersiap-siap shalat berjamaah. Dua sigung itu tetap tidak kelihatan batang hidungnya.
Lepas maghrib, saat orang-orang pulang dari surau, denting kecemasan itu mulai tumbuh. Mamak Lainuri menatap cemas dari bingkai jendela depan yang masih terbuka. Kemana pula dua anak nakalnya pergi?

Adzan isya. Lepas shalat isya. Lembah sempurna gelap. Dan sedikit pun tidak kelihatan tanda-tanda batang hidung Ikanuri dan Wibisana. Mamak semakin cemas. Menatap siluet hutan rimba dengan nafas bergetar.

Pukul 19.30. Tegang sekali.
Pukul 20.00, Mamak Lainuri akhirnya menyererah.
Sejengkel apapun ia dengan Ikanuri dan Wibisana, dawai kecemasannya sudah berdenting terlalu tinggi. Ia menyambar obor di depan pintu. Melangkah cepat ke rumah Wak Burhan. Kak Laisa, yang meski hatinya masih bagai buah tersayat-sayat sejak kejadian tadi sore ikut ke rumah Wak Burhan. Mamak hendak melapor. Dua anaknya belum pulang.

"Belum pulang bagaimana, Lainuri?"

"Belum pulang, Bang! Ikanuri dan Wibisana belum pulang ke rumah!" Mamak mengusap wajahnya, tegang, cemas.
"Sejak kapan?" Wak Burhan menyemburkan sirihnya. "Sejak tadi siang—"
"Ada yang tahu tadi siang anak itu kemana?"

Wak Burhan menyambar obor di depan pintunya, memotong kalimat Mamak. "Ee, tadi siang, tadi siang mereka bermain-main di ladang—"
Laisa menjawab patah-patah. Serba salah. Ia tidak ingin menceritakan pertengkaran itu. Tidak ingin orang tahu kalau Ikanuri mengatakan kalimat kasar itu.
"Dan belum pulang?" Wak Burhan memotong lagi. Cemas. "Belum, Wak—"
"Sekarang sudah hampir setengah sembilan,"

Wak Burhan menyimak gerakan bulan malam ketiga belas di atas sana, "Ya Allah, Lainuri. Ini benar-benar mencemaskan."
Mamak menelan ludah, wajahnya mengeras, amat tegang. "Apa yang harus kulakukan, Bang?"
Wak Burhan bergumam. Seperti membaca mantra sajalah. Berhitung dengan cepat. Lantas berseru cepat.
"LAIS, BUNYIKAN BEDUK DI SURAU! Panggil seluruh pemuda kampung, suruh kumpul di balai, SEKARANG!" Wak Burhan menyemburkan ludah sirinya.
"Dan kau Lainuri, ikut denganku ke balai pertemuan!"

Ini serius. Serius sekali. Semua orang juga tahu, kampung mereka berada di dekat hutan rimba. Di seberang cadas sungai, di hutan rimba sana, malam-malam begini ada sejuta mara bahaya mengintai. Pemuda dewasa saja berpikir dua kali kalau harus mencari kumbang
masuk jauh-jauh ke dalam sana. Mereka biasanya hanya merambah dekat-dekat dengan cadas sungai. Itupun harus berombongan.

Dua anak kecil?

Laisa tidak perlu diteriaki dua kali. Dengan tangan gemetar, ikut merasakan ketegangan yang segera meninggi, langsung berlari menuruni anak tangga. Semoga adik-adiknya tidak kenapa-napa. Semoga mereka hanya bermain di desa atas, memutuskan untuk tidak mau pulang. Atau entah pergi ke manalah. Semoga mereka... Ya Allah, kenangan masa lalu itu serentak menyergapnya. Ya Allah! Wajah robek tak berbentuk. Tubuh tercabik-cabik bersimbah darah. Laisa menggigil. Ketakutan. Kakinya yang berlari terasa berat sekali.

Bangkai korban sang siluman memenuhi pelupuk matanya.
Hanya dalam waktu lima belas detik. Beduk masjid melenguh kencang. Kentongan bambu telah di pukul ramai-ramai. Sahut-menyahut. Bertalu-talu. Semua penduduk kampung keluar. Hilang sudah lelah tadi siang. Disingkirkan jauh-jauh. Benar-benar rusuh. Mereka mengenali ramai bunyi kentongan itu. Terakhir terdengar dipukul delapan tahun silam. Mereka berkumpul di balai kampung. Membawa obor. Membawa golok. Membawa tombak. Apa saja senjata yang bisa dibawa. Wajah-wajah cemas. Tegang. Balai kampung ramai kembali.

Wak Burhan berdiri di tengah-tengah balai kampung, Kerlip cahaya obor membasuh wajah tuanya. Umur Wak Burhan sudah berbilang tujuh puluh, tapi dia masih gagah. Masih tegap sekali. Dalam situasi serius seperti ini, kedut wajahnya terlihat amat mengesankan. Kumis melintang. Rahang kokoh. Mata yang tajam. Makanya penduduk kampung amat segan padanya.

"Dua orang mencari ke desa atas. Dua orang mencari ke desa seberang. Kau dan teman-temanmu ke Curug Cuak.... yang lain ikut aku...."
Wak Burhan membagi kelompok-kelompok dengan cepat.

"Satu jam dari sekarang, saat bulan berada persis di atas gunung Kendeng, semua kembali ke sini... Jika Ikanuri dan Wibisana tidak ditemukan juga, seluruh rombongan akan dipecah dua, kita harus menyusuri hutan rimba. Kita harus melakukannya—"

Kepala-kepala mengangguk. Seruan-seruan kecil setuju.

Sekejap. Pencarian itu dimulai. Mamak Lainuri sudah sejak tadi hanya terduduk di kursi bambu. Dipegangi oleh ibu-ibu lainnya. Mamak semaput. Wajahnya pucat oleh perasaan gentar. Ya Allah, ia seperti bisa melihat kejadian delapan tahun silam. Seperti tergambar jelas di depannya. Wak Burhan yang waktu itu lebih muda, juga dengan cepat memberikan perintah. Orang-orang yang membawa obor. Tombak. Golok. Pencarian hingga dinihari. Dan hasilnya?
Mamak Lainuri jatuh pingsan lagi.
Laisa berusaha menyeka keringat di wajah Mamak.

Dalimunte yang terlalu kecil untuk ikut rombongan pencari duduk tertunduk di dekatnya, gentar. Yashinta memeluk lutut. Bahkan ia masih terlalu kecil untuk ingat banyak kejadian. Masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang sedang terjadi.

"Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja?" Laisa mengangguk pelan ke arah Dalimunte.

Cahaya obor rombongan pencari yang bergerak terlihat mulai menjauh. Ada yang menaiki lembah, ke desa atas. Menyeberangi ladang-ladang. Ke kiri. Ke kanan. Kerlap-kerlip. Meski nyaris separuh penduduk kampung mencari Ikanuri dan Wibisana, balai kampung tetap ramai. Seluruh penduduk membawa anggota keluarganya ke sini. Tidak ada yang ingin meninggalkan anak-anaknya di rumah setelah mengerti maksud bunyi kentongan tadi. Mereka bermalam di balai kampung bersama-sama. Di atas kursi-kursi bambu Saling bersitatap ketakutan.
Laisa menggigit bibir. Mengusap wajahnya berkali-kali. Gelisah melihat sekitar. Ia sungguh cemas. Ini pasti gara-gara ia tadi siang mengancam adik-adiknya. Ya Allah… Ini semua salahnya. Mereka pasti enggan pulang gara-gara dibilang akan dihukum tidak boleh masuk rumah, harus tidur di bale bambu, bawah rumah. Apakah ia harus menceritakan pertengkarannya ke Mamak? Tidak. Itu tidak perlu, dan jelas tidak bisa dilakukannya. Tapi kalau terjadi kenapa-napa dengan Ikanuri dan Wibisana? Ya Allah, semoga tidak. Semoga mereka hanya bermalam di desa atas.

Gemerlap bintang di atas entah kenapa pelan mulai diselimuti gumpalan awan hitam. Seperti menambah tinggi tingkat kecemasan. Hening. Mencekam. Sudah pukul 22.00. Lembah itu mulai hening. Suara jangkrik berderik pelan mereda. Uhu burung hantu. melemah. Suara uwa menghilang. Malam beranjak matang. Satu jam berlalu.

Rombongan pencari satu per satu kembali. Melapor. Hasilnya kosong—
Maka benar-benar tegang sudah balai kampung itu.

"Hati-hati... Tetap dalam rombongan, jangan ada satupun yang terpisah—"

Wak Burhan berkata dengan intonasi suara tegas tanpa kompromi. Kelompak lelaki dewasa yang sudah terbagi menjadi dua rombongan tersebut, mengangguk
"Saat pijar matahari pagi terlihat di kejauhan, saat merah terlihat menyemburat membungkus lembah, kita berkumpul lagi di sini.... Sebelum itu, cari sampai dapat. Periksa seluruh semak belukar, jangan sampai ada yang tertinggal. Pastikan kalian mengenali bercak darah...."

Mamak Lainuri yang sudah siuman mengeluh tertahan. Kalimat Wak Burhan, kalimat terakhir Wak Burhan bukan lagi perintah mencari orang yang masih hidup. Bercak darah…. "Hati-hati, jangan sampai ada yang terpisah dari rombongan. Sang siluman mungkin masih mencari korban berikutnya...."
Balai kampung itu terdiam. Seruan-seruan terhenti. Menelan ludah. Nama itu akhirnya tersebutkan sudah. Sang Siluman. Laisa sudah menggigil ketakutan. Wak Burhan memberikan instruksi dua-tiga kalimat lagi. Lantas dua rombongan bergerak meninggalkan bangunan. Rombongan membawa obor itu menghilang di tengah gelapnya hutan rimba seberang cadas lima belas menit kemudian. Menyisakan ketegangan yang meninggi.
"Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja?"
Dalimunte bertanya mencicit. Cemas. Dari tadi ia tidak bisa memejamkan mata. Tegang. Sementara Yashinta di sebelahnya sudah jatuh tertidur. Meringkuk di atas kursi bambu balai kampung.

Kali ini Laisa hanya diam membeku. Tak kuasa mengangguk. Delapan tahun... delapan tahun silam.
Ia menyaksikan sendiri dengan mata-kepalanya. Babak mereka dibawa pulang dari hutan persis saat semburat jingga pagi tiba. Setelah pencarian enam jam tanpa henti. Setelah hutan rimba. Muka yang robek tak berbentuk. Tubuh yang tercabik-cabik itu dibawa pulang. Sudah tak bernafas. Babak diterkam penguasa rimba, sang siluman, itulah nama seram menakutkan harimau Gunung Kendeng. Waktu itu umurnya baru delapan, Dalimunte empat, Ikanuri dan Wibisana dua tahun. Yashinta masih di kandungan.

Hari itu, babak mereka pergi —
Malam itu yang mereka tahu Babak hanya bilang hendak mencari kumbang bersama dua temannya ke hutan rimba seberang cadas, tidak jauh. Tapi entah apa pasalnya, rombongan mereka terpisah. Dua temannya panik. Pulang, segera melapor. Tidak ada yang mengerti, bagaimana mungkin mayat Babak justru ditemukan jauh sekali dari cadas sungai. Masuk ke dalam hutan rimba. Bukankah Babak seperti penduduk lainnya amat hafal dengan hutan itu? Bagaimana mungkin babak malah tersasar jauh ke sana?

Seruan-seruan ganjil terdengar,
Semua orang tahu tentang pemikat sang siluman, penguasa Gunung Kendeng. Membuat siapa saja yang berani merambah wilayahnya di malam hari akan tersesat di dalam hutan. Hanya berputar-putar saja di satu titik, lantas tanpa disadarinya sudah masuk ke dalam perangkap sang siluman.

Sudah delapan tahun berlalu kejadian mengenaskan itu tidak terjadi lagi di lembah mereka. Dulu, waktu Laisa masih kecil, ia dua kali melihat kejadian serupa. Salah satu penduduk kampung yang tidak pulang-pulang hingga malam hari, besoknya ditemukan sudah dengan tubuh tercabik-cabik. Orang dewasa di kampung itu mengerti benar, kalau Ikamuri dan Wibisana sampai berani masuk ke dalam hutan rimba, pencarian mereka malam ini akan berakhir sama—
Juga Wak Burhan. Siapa yang akan lupa lima belas tahun silam saat anak tunggal Wak Burhan yang berumur dua puluh empat tahun ditemukan keesokan paginya, hanyut di sungai deras dengan wajah berbilur cakaran. Yang membuat Wak Burhan tinggal sendirian hingga hari ini, karena istrinya sudah kapan tahun meninggal.

"Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja—"
Dalimunte pelan menyentuh lengan Laisa, bertanya cemas ke sekian kalinya.
Laisa menoleh. Menggigit bibir. Entah menjawab apa. Ia sama sekali tidak mendengarkan pertanyaan Dalimunte. Kenangan buruk itu membungkus kepalanya. Kemana adik-.adiknya malam ini? Kemana Ikanuri dan Wibisana? Kemana, ya Allah....

Dan entah mengapa akhirnya kesadaran itu ditanamkan di kepalanya. Laisa mendadak ingat sesuatu. Ia ingat pernah mendengar pembicaraan Ikanuri dan Wibisana beberapa hari lalu setelah kejadian starwagoon tua itu. Ia tahu. Laisa tahu di mana harus mencari adiknya. Mukanya menyeringai oleh buncah cemas tak tertahankan. Berdiri. Bergegas.

"Kak Lais, hendak kemana?" Dalimunte memotong. Tercekat. Hendak kemana?
Pertanyaan Dalimunte barusan menyadarkan Laisa tujuan sebenarnya Ikanuri dan Wibisana. Ya Allah, Laisa gemetar seketika saat benar-benar baru menyadari adiknya dulu. "Jalan pintas terdekat menuju kota kecamatan sebenarnya melalui Gunung Kaideng. Hanya delapan kilo jika melewati gunung itu...."
Ikanuri dan Wibisana langsung menuju ke jantung sarang Siluman, entah apakah dua sigung nakal itu menyadarinya atau tidak.
"Aku ikut—"

"TIDAK!! Kau tetap di sini, menjaga Mamak dan Yashinta—" "Aku ikut!"
Dalimunte menjawab tegas. Cepat berlari ke dalam rumah. Suara kakinya membuat lantai rumah panggung mereka berderak. Sejurus, dia sudah keluar lagi, membawa tombak panjang peninggalan Babak.

"Aku ikut kemana pun Kak Laisa pergi malam ini—"

Tegas sekali Dalimunte berkata. Wajahnya dipenuhi ekspresi penghargaan. Keberanian? Tentu saja dia takut, dia tahu kakaknya akan pergi ke Gunung Kendeng. Tapi, sumpah, Dali tidak takut mesti harus memasuki daerah terlarang itu. Lihatlah wajah Kak Lais, wajah yang selalu berani dalam hidupnya, demi adik-adik mereka. Wajah yang selalu melindungi. Melihat wajah itu, Dali tidak akan pernah takut lagi.
Laisa menelan ludah. Wajah tegang itu dibasuh cahaya obor yang dibawanya. Kerlap-kerlip. Menatap adiknya sejenak. Berpikir cepat. Lantas mengangguk. Tak apalah. Tak apalah adiknya ikut. Ya Allah, sekali ini tolong baiklah dengan kami, tolong.... Laisa menggigit bibir. Lantas melangkah menuruni anak tangga. Diikuti langkah Dalimunte.

Lima menit lalu Laisa memutuskan juga mencari adiknya. Ia tahu di mana adiknya berada malam ini. Mereka berdua pasti memutuskan kabur dari rumah, pergi ke kota kecamatan. Jalan pintas. Ia tahu, hanya Ikanuri dan Wibisani yang menganggap wanti-wanti tentang
harimau Gunung Kendeng itu lelucon. Ingatlah dua minggu lalu mereka malah memperolok-olok Yashinta soal berang-berang yang lucu. Bagi mereka harimau-lah yang lucu.

Dalimunte demi melihat kakaknya berdiri, dengan ikut berdiri. Melihat kakaknya berlari pulang ke rumah mengambil obor dan golok, dengan cepat mengikuti. Mamak Lainuri yang masih semaput tidak bisa bicara hanya menatap kosong mereka berdua. Tidak ada warga di balai kampung yang bisa mencegah. Terlalu penat setelah kerja seharian. Penat dengan segenap kecemasan. Tidak ada. Hanya membiarkan. Maka bergeraklah dua obor itu menuruni cadas sungai. Menyeberangi sungai.

Masuk ke gerbang hutan rimba.

Pukul 02.00. Empat jam berlalu. Rombongan lelaki penduduk kampung terus menyisir rimba belantara. Karena mereka harus memastikan setiap semak-belukar bersih ditelusuri, pergerakan mereka lamban. Berteriak-teriak memanggil. Suara itu membuat diam binatang hutan. Kosong. Sejauh ini kosong. Tidak ada selain babi hutan yang melintas, berlari dengan anak- anaknya. Tidak ada selain desau burung malam yang terbang berderak, terganggu.

Langit semakin kelam.

Gerakan Laisa dan Dalimunte jauh lebih cepat. Karena mereka langsung menuju satu titik. Gunung Kendeng. Semakin masuk ke dalam hutan, pepohonan semakin lebat. Golok di tangan Laisa tangkas memotong semak belukar yang menghalangi langkah. Sudah sejak dua jam lalu jalan setapak yang biasa digunakan penduduk mencari damar, rotan, menghilang. Mereka harus menerabos semak belukar, belalai rotan, dan tumbuhan berduri lainnya. Jarang sekali ada penduduk yang merambah hingga ke atas gunung. Jalan setapak hanya ada di tempat-tempat biasa merek menyadap damar, mencari rotan, menangkap kumbang, dan sebagainya.
Pukul 02.30, Laisa berhenti sejenak. Memperhatikan semak di depannya. Jantungnya berdetak amat kencang. Seketika.
"Ada apa, Kak?" Dalimunte mendekat, ikut melihat ke depan.

Laisa menelan ludah, mendekatkan obor ke ujung dahan salah satu pohon kecil. Patah. Khas sekali. Itu bukan karena uwa, bukan karena binatang liar. Tapi dipatahkan oleh manusia. Benar. Ya Allah, ia benar, Ikanuri dan Wibisana baru saja melewati gunung ini....

Laisa menggigit bibir. Cepat! Ia harus buru-buru. Meski harapan itu kecil, meski janji itu bagai embun yang segera sirna oleh cahaya matahari pagi, ia harus buru-buru. Menyusul Ikanuri dan Wibisana. Semoga belum terlambat. Semoga adik-adiknya belum kenapa-napa. Semoga belum.... Golok di tangan Laisa galak membabat ujung-ujung semak di depan yang menghalanginya. Laisa kalap, tangannya gemetar, kakinya apalagi. Tapi rasa cinta yang besar itu membungkus segenap ketakutan. Adik-adiknya, dimanapun saat ini dua sigung nakal itu berada.... mereka membutuhkan dia, kakaknya.


Laisa terus maju dengan kecepatan tinggi.


NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 15

No comments:

Post a Comment