Thursday, September 24, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 5


5
AKU HARUS PULANG, SEKARANG!

"ADUH, Intan lagi sibuk, Mi!" Gadis kecil itu menyeringai sebal. Merasa terganggu. "Intan harus pulang, sayang...."

"Kan bisa tunggu bentar, lagi tanggung, Bentar lagi juga bel!"

"Sekarang, Intan! Tadi Ummi sudah bicara sama Headmaster Miss Elly! Intan boleh ijin selama diperlukan— "
"Yee, Ummi, Intan kan lagi ngurus Safe The Planet! Mana lagi seru-serunya. Besok kan Intan mau keliling bawa-bawa gelang karet ke Pasar Induk bareng teman-teman.... Mana boleh Intan ijin sekolah...."

Gadis kecil yang gigi atasnya sedang tanggal satu itu malas memberesi tas, penggaris, crayon, kertas gambar, buku-buku, pensil di atas mejanya. Sengaja melakukannya pelan-pelan.

Teman-teman kelasnya sibuk menoleh, menonton.

Dalimunte yang berdiri di belakang, tersenyum mengangguk. Berusaha membuat nyaman teman-teman Intan, meski apa daya ekspresi mukanya jadi terlihat aneh. Mereka baru saja tiba di sekolah alam itu. Menjemput putri mereka persis di tengah pelajaran melukis—favorit Intan. Rusuh sejenak bicara dengan kepala sekolah. Menjelaskan. Headmaster Miss Elly yang apa daya nge-fans berat sama Profesor Dalimunte, jangankan soal sepenting ini, soal Intan pilek sedikit saja langsung boleh ijin tiga hari, mengangguk. Tidak masalah.
"Memangnya kita mau kemana sih, Mi? Mendadak benar!"


Gadis kecil berumur sembilan tahun itu memasukkan crayon biru terakhirnya ke dalam tas. Menoleh ke wajah Ummi yang seperti tidak sabaran ikut membantu berberes-beres. Padahal sejak setahun terakhir mana pernah coba Ummi bantu-bantu beres kamarnya, Intan kan sudah besar, bisa sendiri.

"Perkebunan strawberry!" Dalimunte yang menjawab, pendek. "EYANG LAINURI?" Mata hitam gadis kecil itu membulat.

Dalimunte mengangguk, mengusap lehernya.

"HORE!!" Intan mendadak malah semangat menyeret tas sekolahnya yang berat itu. Wajah malasnya tadi langsung sirna. Ia malah tidak perlu ditunggu lagi, langsung maju ke depan. Membawa kanvas lukisnya. Pamitan ke Miss Ani, guru kelas 5-nya (dua tahun terakhir Intan loncat kelas dua kali). Lantas, tanpa diminta memimpin berjalan di depan Dalimunte dan Ummi sambil melambaikan tangan ke teman-temannya.
"Eh, sebentar-"
"Apa sayang?" Langkah Ummi ikut terhenti.
"Gelang karetnya kelupaan! Intan kan mesti bawa gelang karet buat Eyang! Biar paman-paman yang ngurus kebun bisa pake gelang, biar mereka pakai dua gelang setiap tangannya!" Ia nyengir, tertawa kecil, senang atas idenya.
Berhenti sejenak.
Mendekati teman-temannya yang masih sibuk menonton.

Dalimunte untuk ke sekian kalinya melirik jam di pergelangan tangan. Mendesah. Semoga belum terlambat.

"Come on, why nan avete due posti per noi? Any flight, questo e molto importante!"

Wajah Ikanuri terlihat memelas.
Dulu Ikanuri jagonya soal menipu orang lain dengan wajah sok memelas. Kak Laisa yang suka mengejar-ngejarnya dengan sapu lidi, berkali-kali tertipu soal ini. Sok memelas sakit (malas sekolah). Sok memelas sakit (malas bantu Mamak Lainuri). Sok memelas sakit (malas ngurus kebun). Sakitnya si bisa macam-macam. Sakit kaki-lah. Sakit tangan. Bisul. Bahkan panu pun bisa jadi alasan Ikanuri.

"Mi displace, tutti i voli dall'italia sono pieni da una settimana fa! Questa settimana c'e la finale di Champions League!. Maaf, penerbangan kemanapun dari Italia sudah penuh sejak seminggu lalu! Minggu ini final Liga Champion, Senior! Seluruh jadwal penerbangan penuh dari Roma!"
"Ayolah! Bagaimana mungkin kalian tidak punya dua kursi untuk kami? Di kelas apapun. Penerbangan apapun. Ini penting sekali! Dua tiket saja!"
"Senior tidak mengeri. Ini final Liga Champion—"

"Solo due biglietti?"
"Questa e la finale di Calcio—"

"Sepak bola sialan! Kenapa pula semua orang sibuk menonton 22 orang berebut satu bola! Kenapa mereka tidak dikasih 22 bola juga saja!"
Ikanuri memotong kalimat gadis itu, meremas rambutnya. Memaki. Teringat kaos bola titipan putrinya.
Ini juga gaya favorit Ikanuri waktu kecil dulu kalau menipu guru di kelas (ketahuan bolos). Atau ketahuan mencuri uang di kelpeh plastik Mamak Lainuri. Sok bego tidak mengerti. Ah, tapi sekarang ekspresi itu benar-benar jujur. Lagipula sejak puluhan tahun silam, Ikanuri sudah insyaf. Kapok. Mengerti benar maksud Kak Laisa yang suka berteriak, 'kerja keras!', 'kerja keras!', 'kerja keras!'
"Bisa tolong cek jadwal penerbangan maskapai lainnya, please?"


Wibisana yang berdiri agak dibelakang Ikanuri menyibak maju ke depan. Berusaha tersenyum ke gadis penjaga loket biro perjalanan di Bandara Roma yang sejak tadi berkali-kali tersenyum tanggung menghadapi seruan-seruan Ikanuri.

"Percuma, Senior, Benar-benar full. Anda lihat rombongan di sana! Rombongan kedutaan negara Anda. Mereka hari ini juga ingin ke Jakarta. Tidak ada lagi tiket tersisa. Tidak buat mereka. Juga tidak buat, Senior. Maaf—" Gadis penjaga itu mencoba ikut bersimpati. Menunjuk lima orang yang bergerombol diruang tunggu. Wibisana dan Ikanuri menelan ludah.

"Jadi apa yang harus kami lakukan?" Ikanuri bertanya putus-asa. Gadis itu diam sejenak. Mengetikkan sesuatu.
"Kalau Senior mau, saya bisa melakukan reservasi penerbangan dari bandara lain...." Menekan-nekan keyboard komputernya.
Wajah Ikanuri sedikit cerah oleh kemungkinan baik tersebut. "Dari mana? Verona? Milan? Tidak masalah. Asal hari ini juga—"

"Maaf, bukan dari Italia, Senior. Tadi sudah saya bilang, malam ini digelar pertandingan final Liga Champion di Roma, ditambah pula ini musim kunjungan ke Vatikan, Sakramen Agung. Jadi seluruh penerbangan ke kota-kota di Italia penuh. Juga negara-negara di sekitar. Vienna, Austria juga penuh. Hm.... Paling dekat.... Ergh, dari Paris, Perancis! Mau??"

Perancis?

Rona kabar baik itu seketika padam.


No comments:

Post a Comment