Friday, September 25, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 12


12
BAGI MEREKA URUSAN INI SEDERHANA

"DALIMUNTE sudah di mana?"

"Sudah naik mobil jemputan perkebunan strawberry, bersama Kak Cie Hui dan Intan." Ikanuri memasukkan telepon genggam ke saku. Merapatkan jaket hujan yang dikenakan.
Kereta ekspres itu berhenti persis di tengah hutan.

Di depan Sana belasan lampu sorot berkekuatan ribuan watt menerangi lokasi longsoran tebing. Hanya butuh setengah jam sejak longsoran itu terjadi, tim tanggap darurat kepolisian dan pasukan militer Swiss dari kota terdekat tiba di lokasi. Membawa alat-alat berat untuk membersihkan tanah liat yang menumpuk sepanjang lima belas meter. Mereka terbilang taktis dan gesit. Ada sekitar dua peleton pasukan di sana. Tapi hujan yang turun semakin deras, membuat pekerjaan semakin sulit. Apalagi, baru saja bersih lima meter, tebing itu longsor lagi. Lebih banyak.

"Signori, siete pregati di rientrare nelle carrozze, per favore? Senior, sebaiknya kalian segera masuk kembali ke gerbong, please?"
Gadis berambut pirang, petugas berseragam yang melayani penumpang kabin kereta (macam pramugari di pesawat terbang) berteriak dari pintu gerbong dengan toa.

Ikanuri menoleh, mendesis sebal. "epiu confortevole dentro— " Gadis itu membujuk lagi. "Sebentar Lagi—"

Ikanuri yang bete sejak tadi, menjawab mengkal seruan itu ( dengan bahasa Indonesia pula). Gadis itu mengernyit, tidak mengerti.
Mereka baru tiga jam dari Roma. Kereta beranjak melintasi perbatasan Swiss. Tidak bisa tidur, meski kabin itu amat lega dan nyaman. Saat sedang berusaha menelepon Yashinta, Mamak Lainuri, dan Dalimunte kereta tiba-tiba berhenti. Aneh. Kereta itu kereta express, mana boleh berhenti sembarangan macam kereta di Indonesia. Ada apa? Ikanuri dan Wibisana beranjak keluar dari kabin. Segera mencari tahu. Dan segera pula menyumpah-nyumpah (Ikanuri) saat tahu masalahnya.

Karena sebal, Ikanuri dan Wibisana memutuskan turun dari kereta, ingin melihat langsung pekerjaan pembersihan rel. Masinis berbaik hati meminjami dua jaket hujan besar. Malam ini, kereta hanya berpenumpang tujuh orang. Penumpang yang lain sibuk tidur di kabin masing-masing. Tidak peduli. Siapa pula yang mau hujan-hujanan di luar dengan suhu nyaris nol derajat celcius. Masinis itu malah santai menonton siaran live sepak bola Juventus-Manchester United dari teve mungilnya. Kejadian ini berkah baginya, dia jelas tidak boleh menonton saat menjalankan kereta.

"Kau sudah telepon Yashinta lagi? Tersambung?"

Wibisana mengangguk, sudah. Terus menggeleng, tidak tersambung. "Kenapa pula di situasi sepenting ini HP anak itu dimatikan?"

Ikanuri mendengus jengkel. Menatap putus asa puluhan petugas kepolisian dan pasukan militer yang seliweran membersihkan rel kereta. Lihatlah, dinding tebing itu longsor lagi setelah mereka berhasil memindahkan separuh tumpukan lumpur di atas rel.
Bisa tidak sih mereka berpikir jenius seperti Dalimunte! sepuluh persen saja dari otak hebat Dalimunte. Dinding tebing itu harusnya di tahan dulu. Diberikan konstruksi penahan, atau entahlah yang penting bisa mencegah longsoran baru. Baru dibersihkan rel keretanya. Kalau begini urusannya, masih butuh berjam-jam lagi kereta ini bergerak. Bah! Percuma juga mereka taktis dan gesit kalau melakukannya dengan bodoh.

"Juwita dan Sekar sudah tiba di mana?" Ikanuri bertanya.
"Lima menit lalu mereka bilang sudah di bandara, menunggu jadwal penerbangan dua jam lagi." Wibisana menjawab.

"Semoga kita bukan yang terakhir tiba." "Tentu tidak, Ikanuri—"
"Semoga kita tidak datang terlambat."

Ikanuri mengeluh sekali lagi. Itu benar-benar keluhan tertahan. Wibisana menepuk-nepuk bahu Ikanuri. Tersenyum. Berbisik,

"Tidak akan terjadi apa-apa, Ikanuri. Kita akan tiba tepat waktu. Berdoalah, Kak Laisa akan baik-baik saja...."
Hujan turun semakin deras. Badai semakin kencang.

Empat jam setelah Dalimunte dan keluarganya mendarat di bandara kota provinsi, giliran Jasmine, istri Ikanuri, Wulan, istri Wibisana, beserta anak-anak mereka, Juwita dan Delima tiba di sana. Repot sekali Juwita dan Delima mendorong sepeda BMX mereka keluar dari lobi kedatangan bandara.

Tadi meski Ummi mereka berdua memaksa buruan, kedua anak nakal usia enam tahun itu justru kompak memaksa membawa sepeda BMX spesialis trek gunung masing-masing, "NGGAK MAU! Juwita harus bawa sepeda! Kan, asyik buat keliling kebun strawberry bareng Eyang Lainuri dan Wawak Laisa!"
Karena rumah mereka berseberangan halaman, maka jika yang satu membawa sepeda, otomatis yang lainnya juga ikutan bawa. Tidak mau kalah.
Juwita dan Delima memutuskan untuk tidak banyak berdebat lagi. Membiarkan saja putri-putri tunggal mereka membawanya. Jadi terlihat sedikit mencolok saat dua anak perempuan berumur enam tahun itu mendorong sepedanya dari counter pengambilan bagasi bandara.

"Mi, Kak Intan sudah sampai, belum?" Delima bertanya, "Masih di perjalanan, di mobil jemputan perkebunan—"

Wulan, Ummi Delima memasukkan telepon genggamnya ke tas tangan. Barusan menelepon Cie Hui, Ummi Intan.
"Eh, Mi, Kak Intan bawa sepeda juga, nggak?" Juwita yang bertanya ke Umminya.

"Tidak tahu, sayang. Yang Ummi tahu Kak Intan pasti bawa gelang 'Safe The Planet'-nya" Jasmine, Ummi Juwita tertawa kecil. Membantu memotong tali rafia. Perkebun strawberry mengirimkan jemputan kijang kapsul, jadi dua sepeda itu terpaksa diikat diatas mobil.

Dua gadis kecil itu menyeringai, bersitatap satu sama lain, idih, pasti Kak Intan maksa-maksa lagi makai gelang itu. Perasaan baru dua minggu lalu mereka dikirimi satu kotak. Disuruh-suruh jual ke teman-teman di sekolah. Ditanyain tiap hari lewat telepon dan email. Orang mereka berharapnya kak Intan juga bawa sepeda, kan asyik bisa bertiga keliling kebun strawberry bareng Eyang atau Wawak. Siapa pula yang mau dipaksa-paksa pakai gelang karet norak itu.
"Mi, Tante Yashinta sudah di mana?" "Nggak tahu, sayang—"
"Tante Yashinta juga pulang, kan?" "Nggak tahu. Harusnya iya—" "Abi kapan tibanya dari Itali, Mi?"

"Ummi nggak tahu, Delima. Keretanya masih terjebak badai—" "Eh, Wak Laisa emang sakitnya apaan sih, Mi?"
"Nggak tahu, Delima—"

Ummi melotot, ia sibuk membantu sopir mengikat sepeda, Delima justru sibuk bertanya. "Terus yang Ummi tahu apaan, dong? Payah nih!"
Delima nyengir, sedikitpun merasa tidak berdosa dengan celetukannya.
Imbalannya lengan Delima dicubit. Meringis. Dua gadis kecil itu benar-benar menyerupai Ikanuri dan Wibisana waktu kecil. Bedanya, mereka lebih jago bicaranya, ngeles. Terlatih. Lah, mereka belajar dari guru terbaiknya: Abi-nya yang sering kasih contoh di rumah.

Setengah jam berlalu, mobil kedua melesat menuju perkampungan Lembah Lahambay. Melewati hampir tiga ratus kilo perjalanan. Kota-kota kabupaten. Kota-kota kecamatan. Pedesaan. Hutan-hutan lebat. Semak-belukar. Pohon bambu. Perkebunan kelapa sawit. Perkebunan karet. Padang rumput meranggas. Naik turun lembah. Melingkari bukit barisan. Sungai-sungai yang meliuk. Persawahan. Menyaksikan monyet yang berani bergelantungan di tepi-tepi hutan. Satu-dua babi liar yang nekad menyeberangi jalan aspal.

Itu semua sebenarnya pemandangan yang menarik, sayang tidak untuk situasi saat ini. Juwita dan Delima pun sejak separuh perjalanan akhirnya lebih banyak tertidur. Lelah bertengkar di atas mobil. Bertengkar soal siapa yang akan duduk di tengah-tengah Eyang dan Wawak Laisa pas makan malam, padahal percuma juga mereka rebutan sekarang, toh Kak Intan biasanya ngusir mereka dari kursi strategis itu.

Juwita dan Delima tertidur dengan wajah polos. Saling memegangi jidat. Bagi mereka, urusan ini sederhana.


NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 13

No comments:

Post a Comment