18.
MINGGAT
BULAN
April pun tiba. Kehamilanku yang sudah masuk empat bulan belum
menunjukkan
tanda-tanda kegendutan di perutku meskipun sekarang aku makan
semakin
banyak. Aku berusaha sebisa mungkin agar orang kantor tidak ada yang
tahu
bahwa aku hamil. Kalau sampai tahu, mereka akan mulai bertanya-tanya siapa
bapaknya.
Apalagi jika mereka tahu aku hamil tanpa punya suami, entah apa yang
akan
mereka gosipkan.
Ervin
masih sering e-mail tapi tidak pernah menelepon untuk menceritakan
keadaannya
di sana. Dari e-mail-nya sepeertinya dia happy. Entah kenapa, tapi
seperti
ada satu hal yang kurang dalam setiap e-mail-nya itu, baru belakangan aku
sadar
e-mail-nya tidak pernah menyinggung masalah perempuan. Cukup aneh.
Ini
Ervin,
laki-laki yang tidak bisa hidup tanpa perempuan. Atau mungkin dia hanya
menyembunyikannya
dariku?
Akhirnya
setelah yakin Baron tidak akan macam-macam denganku, Olivia
memperbolehkan
Baron menemuiku. Olivia sempat mendesakku untuk
menceritakan
siapa ayah bayiku, tapi aku bersikeras menolak menjawab pertanyaan
itu.
Aku juga meminta Olivia untuk tidak menceritakan apa yang dia tahu pada
siapa
pun. Tapi buntutnya Olivia bisa menebak dengan benar ayah bayiku dan
terbongkarlah
rahasiaku. Baron pun akhirnya tahu dan menasihatiku tentang Ervin
di
luar kontrol Olivia.
“Aku
cuma bilangin saja ke kamu, Di, Ervin itu buaya darat, sebuaya-buaya
daratnya
laki-laki yang aku kenal. Kamu memang lebih bagus nggak sama dia.
Merana
kamu kalau sama dia,” ucap Baron suatu hari ketika kami bertemu untuk
lunch.
Olivia
yang dari tadi mencoba menginjak kaki Baron supaya berhenti berbicara
akhirnya
menyerah dengan wajah memohon maaf kepadaku. Aku hanya tertawa
melihat
mereka karena tidak ada satu pun perkataan Baron yang belum aku sendiri
ketahui.
Meskipun memang aku mengharapkan bahwa orang yang lebih mengenal
Ervin
bisa meyakinkanku bahwa aku salah, tapi aku tahu feeling-ku
hampir tidak
pernah
salah. Dengan begitu Baron dan Olivia berjanji menyimpan rahasiaku
sehingga
aku siap untuk menceritakannya kepada orang lain, terutama kepada
Ervin.
Aku jadi merasa bersalah kepada Ervin karena sepertinya banyak orang lain
sudah
tahu lebih dulu tentang Scarlett kecuali dia, ayah bayiku ini.
*
* *
Selama
beberapa bulan belakangan ini Mbak Tita selalu menemaniku kalau aku
pergi
menemui dokter kandungan. Aku selalu menghindar apabila Sarah ingin
bertemu
denganku. Aku beralasan bahwa ada urusan keluarga yang tidak bisa
kutinggalkan.
Untungnya, Kirana, kakak Ervin yang tinggal di London itu
kemudian
datang ke Jakarta dan menetap selama beberapa minggu, sehingga Sarah
tidak
memaksaku lagi untuk menemaninya ke mana-mana. Sarah sangat antusias
untuk
memperkenalkanku dengan Kirana, tapi lagi-lagi permintaannya selalu
kutolak
sehalus mungkin.
Pagi
itu, hari Sabtu dua hari sebelum keberangkatanku ke Kuala Lumpur, aku
pergi
menemui dokter kandunganku ditemani oleh Mbak Tita. Aku masuk
menemui
dokter sendirian karena Mbak Tita sibuk dengan Lukas, sehingga dia
memutuskan
menungguku di lobi.
Ketika
keluar dari ruang dokter, aku mengalami serangan jantung yang pertmaa
selama
aku hamil. Aku lihat Sarah sedang duduk di samping seorang wanita yang
tidak
kukenal. Mereka berdua sedang ngobrol dengan kakakku.
Oh my God, what are they talking about? Ketakutanku tiba-tiba muncul. Ada rasa
mual
di perutku, dan aku tahu itu tidak berasal dari nasi goreng yang kumakan tadi
pagi.
Aku mencoba menarik napas dalam-dalam.
Santai
Adri, santai.... Mereka mungkin hanya sedang membicarakan tentang lalu
lintas
di Jakarta, omelku pada diriku sendiri. Lalu aku berjalan mendekati mereka
dengan
langkah pasti. Tapi ketika aku cukup dekat, dari wajah Sarah aku sudah
tahu
bahwa kakakku baru saja membongkar rahasiaku.
“Mbak
Adri????!!!!!!” teriak Sarah.
Teriakan
Sarah tidak hanya membuatku terkejut, tapi juga semua orang yang
sedang
ada di lobi, sekarang menatapku ingin tahu.
“Mbak,
ini teman kantornya Ervin yang pergi sama dia ke Lembang Tahun Baru
kemarin,”
ucap Sarah pada wanita yang tidak kukenal itu. Setelah dilihat-lihat
wajahnya
mirip sekali dengan Sarah dan rupanya sedang hamil besar. Wanita itu
langsung
sibuk dengan HP-nya. Kemudian aku mendengar dia berteriak-teriak di
telepon.
“You bloody wanker, you knocked a girl up and you left?” teriak wanita itu dengan
aksen
seperti orang Inggris.
Aku
baru sadar kemudian wanita itu adalah Kirana dan dia sedang berbicara
dengan
Ervin. Aku langsung memandang kakakku yang kelihatan bingung dan
bersalah
sambil menggendong Lukas.
“Apa-apaan
sih?” tanyaku padanya.
Kakakku
masih memandangiku dengan muka bingung. Lalu Sarah berbicara
padaku.
“Mbak,
ini anaknya Ervin, kan?” tanya Sarah sambil menunjuk ke perutku.
Jantungku
langsung kembali berhenti berdetak.
“Mbak...?”
tanyaku pada kakakku.
“Kok
nggak bilang ke aku sih kalau Mbak hamil? Kurang ajar si Ervin, bisabisanya
dia
ninggalin Mbak lagi hamil begini,” kata Sarah sambil memelukku.
Sekarang
semua orang di ruang tunggu menatapku dengan rasa penasaran yang
tidak
disembunyikan lagi.
“Di,
ini orang-orang, siapanya Ervin?” tanya kakakku.
Aku
melepaskan diri dari pelukan Sarah dan mencoba untuk menjelaskan
keadaan.
“Nggak
usah pura-pura nggak tahu deh. Dasar. Gue nggak nyangka adik gue
ternyata
laki-laki nggak bertanggung jawab,” Kirana masih ngomel di telepon. Kini
dia
ngomel dengan bahasa Indonesia, sehingga semua orang di lobi bisa mengerti
permasalahanku
yang kuhadapi. Aku kaget juga melihat Kirana yang jelas-jelas lagi
hamil,
setidak-tidaknya enam bulan itu, masih punya cukup tenaga untuk ngomel.
“Mbak,
ini Sarah, adiknya Ervin. Yang lagi di telepon itu kakaknya,” aku
memperkenalkan
Sarah pada kakakku.
Sarah
langsung memeluk kakakku.
“Waktu
Mbak cerita tentang adik Mbak, aku nggak tahu itu ternyata Mbak
Adri,”
jelas Sarah padaku dan kakakku.
Aku
memandangi kakakku meminta penjelasan.
“Pulang
lo sekarang juga! Enak saja! Nggak kasihan lo sama dia yang mesti
ngurus
anak lo sendirian?” aku mendengar Kirana masih lanjut ngomel di HP-nya.
“Gue
tadi ngobrol-ngobrol sama mereka. Mereka tanya ke gue, gue lagi ngantar
siapa.
Terus gue cerita saja kalau gue lagi ngantar adik gue yang hamil empat bulan.
Sepertinya
dia hamil setelah pergi ke Lembang sama teman kerjanya dan orangnya
sekarang
lagi ada di Amerika bla bla bla.... Sumpah, gue nggak tahu mereka ini
related sama
Ervin,” jelas kakakku.
Aku
langsung lemas. Selama beberapa menit aku berharap bahwa dugaanku
salah,
tapi ternyata benar. Rahasiaku sudah betul-betul terbongkar. Kakiku tidak
mampu
lagi menopang tubuhku, kuempaskan diriku ke salah satu kursi.
“Sebagai
satu-satunya laki-laki di keluarga kita, seharusnya lo lebih bisa untuk
menjaga
nama keluarga, bukannya menghamili anak orang terus lo tinggal.” Kirana
lalu
menutup HP-nya dengan keras.
“Adri?
Gue Kirana, kakaknya si orang gila nggak bertanggung jawab, bapaknya
si
bayi ini. Sumpah mati tuh anak kalau nanti pulang... entah bakal gue apain.”
Kirana
memelukku dengan paksa. Kudengar bunyi HP-ku. Aku lihat bahwa
nomornya
“unknown”. Aku melepaskan diri dari pelukan Kirana untuk menjawab
teleponku.
“Halo?”
ucapku.
Terdengar
suara Ervin di ujung telepon.
“Hamil?
Elo hamil? Lo bilang lo sudah minum...” Aku tidak sanggup untuk
mendengar
apa lagi yang mau dikatakannya. HP langsung kumatikan karena aku
tahu
dia akan mencoba menghubungiku lagi.
Aku
masih mencoba mencerna semuanya.
“Kok
bisa-bisanya sih, Mbak, ngasih Ervin pergi ke Amerika, padahal Mbak lagi
hamil
begini?” tanya Sarah padaku. “Pakai dia nggak ngomong-ngomong ke kita
lagi
soal ini,” ucap Sarah pada Kirana.
“Ervin
nggak tahu gue hamil,” jawabku pelan.
“Hah?”
teriak Sarah dan Kirana bersamaan.
“Kok
bisa? Memangnya... lho kok... kok bisa?” Kirana bertanya bingung.
“Gue
nggak pernah kasih tahu dia,” jawabku singkat.
Sarah
dan Kirana kelihatan tambah bingung lagi.
“Itu
sebabnya dia bingung waktu gue marah-marah,” ucap Kirana dengan nada
masih
setengah bingung. “Sudah nggak akpa-apa, gue sudah bilang ke dia supaya
pulang
sekarang juga ke Jakarta untuk menyelesaikan urusan ini. Bayi ini bayinya
Ervin.
Dia harus tanggung jawab,” lanjutnya.
Mendengar
kata-kata itu aku langsung panik.
“Oh
nggak, nggak. Ini bayi gue, tanggung jawab gue. Ervin nggak salah, dia
nggak
tahu. Dia nggak ada kewajiban apa-ap ake gue,” ucapku cepat.
“Apa
maksud kamu kewajiban? Bayi ini pemberian Tuhan, bukan kewajiban,”
ucap
Kirana tegas.
Kakakku
mencoba menengahi keadaan.
“Kirana,
gue Tita, kakaknya Adri. Kayaknya kita musti hormati kemauan Adri
untuk
mau membesarkan bayi ini sendiri tanpa Ervin,” ucap kakakku pelan.
“Nggak
bisa begitu. Keluarga gue nggak pernah ada yang punya anak di luar
nikah
dan gue nggak akan memperbolehkan Ervin merusak citra yang sudah
dibangun
selama empat generasi.”
“Ini
bukan masalah citra keluarga, tapi hati juga. Ervin nggak cinta sama adik
gue,
nggak mungkin mereka bisa sama-sama.”
“Siapa
bilang Ervin nggak cinta?” sambar Sarah.
Kakakku
menunjukku, wajahnya bingung. Aku tidak menghiraukannya.
“Berapa
kali sih aku bilang Ervin cinta sama Mbak Adri? Cuma Mbak Adri
nggak
pernah mau percaya,” kata Sarah gemas.
“Lho...
Ervin cinta sama kamu?” tanya kakakku padaku.
Aku
menggeleng. Aku hanya mendengar kakakku yang kemudian berdiskusi
dengan
Kirana tentang keadaanku. Buntutnya mereka setuju aku harus menikahi
Ervin
setibanya di Jakarta.
Ya
Tuhan, kenapa juga sih aku harus pergi ketemu dokter kandunganku hari
ini?
Kenapa tidak kemarin atau besok? Kenapa aku harus bertemu dengan Sarah
dan
Kirana? Aku sudah bertekad membesarkan Scarlett sendiri, tanpa bantuan siapa
pun.
Sekarang rencana itu buyar. Aku mencintai Ervin, tapi aku tidak akan pernah
bisa
menikah dengannya. Dari tingkah lakunya aku tahu Ervin sangat menentang
ide
perkawinan, dan aku pun tahu bahwa dia belum siap untuk menjadi seorang
suami,
apalaig ayah. Aku bahkan belum pernah melihatnya dengan anak kecil. Aku
tidak
mau menikah dengan laki-laki hanya karena aku hamil, meskipun aku
mencintai
laki-laki itu dan aku sedang mengandung anaknya. Aku tidak mau
menikah
karena terpaksa dan aku juga tidak mau memaksa Ervin untuk
menikahiku.
Dan
dengan begitu, otakku mulai bergerak untuk merencanakan langkahlangkah
yang
harus kuambil untuk mengatasi dilemaku ini. Meskipun aku berjanji
bahwa
aku akan menyetujui rencana Kirana dan kakakku bahw amereka akan
mengatur
urusanku dengan Ervin, malam itu juga aku memasukkan bajuku ke
dalam
koper dan memesan tiket baru yang akan memberangkatkanku ke Kuala
Lumpur
pukul tujuh pagi keesokan harinya. Aku tidak peduli bahwa aku baru saja
kehilangan
uang satu juta rupiah karena membatalkan tiket yang telah kupesan
sebelumnya.
Aku juga memberitahu Vincent dan Farah bahwa aku akan tiba sehari
lebih
cepat dan meminta mereka agar tidak memberitahukan keberadaanku kalau
ada
yang menghubungi dan menanyakan hal itu. Aku bahkan tidak memberitahu
orangtuaku
tentang keberangkatanku yang lebih cepat ini, karena aku takut mereka
akan
memberitahu kakakku. Menurut perhitunganku, kalau Ervin memang dapat
pesawat
kemarin juga, maka dia akan tiba di Jakarta sekitar tiga puluh jam dari
sekarang
dan aku harus sudah menghilang sebelum dia tiba di Jakarta. Aku harus
minggat.
*
* *
Ketika
bertemu Vincent lagi, aku hanya bisa tersenyum melihat wajah culunnya.
Wajahnya
masih tetap sama, tapi kini dengan Farah di sampingnya, dia kelihatan
lebih
bahagia. Farah ternyata bertubuh kecil dan kurus, tapi penuh energi sehingga
membuatnya
seperti bola ping-pong. Vincent dan Farah sempat bingung melihat
tingkah
laku dan permintaanku yang seperti orang gila. Tapi mereka tetap
menerimaku
untuk tinggal di rumah mereka. Farah sepertinya merasa bahwa ada
sesuatu
yang tidak beres denganku. Seperti Olivia, Farah langsung tahu kalau aku
sedang
hamil. Entah bagaimana perempuan bisa tahu tentang itu sedangkan lakilaki
sangat
buta dengan tanda-tanda yang nyata berada di depan mata mereka.
Seperti
juga Baron, buntutnya Vincent tahu tentang keadaanku karena diberitahu
oleh
Farah. Untungnya mereka tidak bertanya-tanya lebih lanjut tentang ayah
bayiku.
Aku hanya mengatakan bahwa aku hamil sendiri, dan sekali lagi aku
meminta
mereka untuk tidak memberitahu siapa-siapa tentang keadaanku.
Selama
tiga hari pertama aku loncat setiap kali ada bunyi telepon atau bel
rumah,
tapi bukan Ervin. Eddie yang melihatku sudah sampai di KL mengundangku
untuk
datang ke acara tea ceremony-nya yang akan diadakan hari Jumat, sehari
sebelum
pernikahan di gereja dan resepsi. Dia sempat menanyakan Ervin, aku
bilang
Ervin tidak bisa datang. Meskipun tidak puas dengan jawabanku, Eddie tidak
memaksa.
Ibu, Bapak, dan Mbak Tita meneleponku berkali-kali setibanya aku di KL
dan
memintaku untuk pulang. Aku memang telah meninggalkan nomor HP Vincent
sebagai
emergency contact, tapi aku tidak meninggalkan informasi lainnya.
Akhirnya
aku baru bisa tidur nyenyak pada hari keempat karena pikiranku
sudah
lebihtenang setelah berkesimpulan bahwa Ervin telah memutuskan untuk
menyelesaikan
training-nya daripada pulang ke Jakarta. Di satu sisi aku bersyukur,
karena
itu berarti dia tidak akan datang tiba-tiba dan memaksaku melakukan hal-hal
yang
aku tidak kehendaki, tapi di sisi lain aku merasa sedih karena sekarang aku
tahu
bahwa Ervin betul-betul tidak peduli padaku.
*
* *
Hari
Jumat sore ketika aku sedang bersiap-siap untuk pergi ke acara tea ceremony
Eddie,
tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku. Ternyata Othman. Aku senang
sekali
bisa bertemu dengannya lagi, dia sedang bertugas ke Penang ketika aku tiba
di
KL beberapa hari yang lalu, sehingga aku belum bertemu dengannya. Ketika
sedang
memeluk Othman aku baru sadar Othman tidak datang sendiri, ada satu
orang
lagi bersamanya. Sayangnya wajahnya tertutup oleh Vincent yang berdiri
membelakangiku.
Baru kemudian aku sadar siapa orang itu setelah Vincent
bergerak
agak ke kiri dan aku bisa melihatnya dengan jelas.
“Ervin,”
ucapku pelan.
Ervin
kelihatan ganteng, seperti biasanya dengan jas hitam. Rambutnya yang
sudah
agak panjang, tidak terlalu jabrik lagi. Ervin... my sweetheart,
sekarang ada di
depanku.
Dia datang menemuiku. Tapi... bagaimana dia bisa tau bahwa aku tinggal
dengan
Vincent? Pasti gara-gara gerombolan si berat, pikirku. Lalu seperti otakku
baru
betul-betul bekerja aku mulai merasa panik. Ervin di sini? Buru-buru aku
melangkah
kembali ke dalam kamarku dan mengunci pintu di belakangku. Baru
kemudian
aku sadar bahwa aku sudah mengunci diri dengan Othman berada di
dalam
kamar bersamaku.
“Awak ni buat apa?”
tanya Othman padaku bingung.
“Kamu
datang bersama dia? Kamu datang bersama Ervin. Kamu yang mengajaknya
ke
sini?” teriakku padanya.
Kemudian
aku mendengar suara Ervin. “Dri, ini gue, bisa tolong buka
pintunya?”
Othman
menatapku seperti aku sudah gila. “Ya,
I brought him here, because he is
staying with me and Zach in our apartment. We picked
him up just this afternoon. Dia cakap
awak dah tahu dah.”
Dasar
Ervin, bisa-bisanya dia bohong sama mereka.
“Oke,
Othman, listen to me. Aku tidak mau bertemu dengannya sekarang. Aku
tidak
bisa. Kamu harus... Oh God... kamu harus menahannya sampai aku
meninggalkan
rumah, oke. Can you do that?”
“Apa?
Mana boleh? Awak ni gila ke?”
Sekali
lagi terdengar suara ketukan di pintu, sekarang lebih keras. Aku tidak
menghiraukan
apa yang sedang dikatakan Othman dan mulai memikirkan suatu
cara
untuk minggat dari rumah ini. Sayangnya aku tidak bisa loncat jendela karena
kamarku
berada di lantai dua. Satu-satunya pilihan adalah aku harus lari ke kamar
sebelah
yang dihubungkan dengan connecting
door dari kamar mandi dan mencoba
menyelinap
keluar. Untungnya pintu kamar sebelah tidak menghadap ke lorong,
tapi
menghadap ke tangga yang tersembunyi dari pandangan mereka yang sedang
berdiri
di lorong.
Buru-buru
aku menuju kamar mandi. Aku mengunci pintu kamar mandi itu dan
melangkah
masuk ke kamar sebelah. Pelan-pelan aku membuka pintu untuk keluar.
Aku
mengintip sedikit dan melihat Farah. Farah juga melihatku. Aku meletakkan
jari
telunjukku di depan bibir, memintanya agar tidak mengatakan apa-apa.
Sayangnya
lantai di rumah Vincent tidak dilapisi karpet sehingga langkahku ketika
menuju
tangga dengan sepatu hakku bisa terdengar cukup jelas meskipun aku
sudah
berhati-hati. Aku baru menuruni dua anak tangga ketika aku mendengar
suara
Ervin.
“Adriiiiii.”
Dan larilah aku menuruni tangga secepat mungkin. Aku mendengar
suara
langkah Ervin yang berlari dengan cepat di belakangku. Ya Tuhan, kenapa sih
dia
harus muncul sekarang? Kenapa dia tidak tinggal saja di Amerika?
“Adri,
tunggu!” teriak Ervin lagi.
Aku
lari menuju ruang tamu dan mengambil salah satu kunci mobil yang
digantung
di sebelah pintu. Aku tidak tahu itu kunci mobil apa atau punya siapa.
Aku
lari ke arah dapur yang menghubungkan rumah dengan garasi. Aku menoleh
ke
belakang dan melihat Ervin semakin dekat denganku. Kulihat kunci yang ada di
dalam
genggamanku adalah kunci Honda milik Farah. Aku menekan tombol untuk
membuka
kunci mobil dan berlari ke arah pintu pengemudi. Tapi terlambat. Ervin
sudah
menarik tanganku sebelum aku bisa masuk mobil.
“Lo
mau ke mana sih?” teriaknya. wajah Ervin kelihatan marah dan sangar. Aku
baru
sadar akan garis hitam di bawah matanya, seakan-akan dia belum tidur
berhari-hari
dan meskipun dia mengenakan pakaian yang rapi, tapi dia belum
bercukur
hari ini.
“Lepas,
Vin,” ucapku mencoba menarik pergelangan tanganku dari genggamannya.
Dia
malahan semakin mengeratkan genggamannya dan menekan tubuhku ke
badan
mobil dengan tubuhnya.
“Lo
bilang lo cuma lagi nggak enak badan waktu kelihatan pucat berhari-hari
bulan
Februari,” teriaknya lagi.
“Vin...,”
aku memohon padanya. Aku tahu Ervin sedang marah besar dan aku
harus
hati-hati.
“Kenapa
lo nggak bilang, Dri? Bisa-bisanya Baron tahu lebih dulu daripada
gue...
Sarah, Kirana, semua orang sudah tahu, kecuali gue!!!”
Aku
merasakan tubuh Ervin mulai menekan perutku. Akhirnya naluri
keibuanku
keluar dan aku menyerang balik. Kudorong Ervin dengna sekuat tenaga
hingga
dia bertabrakan dengan SUV Vincent yang diparkir di sebelah dan alhasil
alarmnya
langsung berbunyi. “Karena gue tahu lo nggak akan mau gue dan Scarlett,
Vin.”
Aku
mendengar bunyi blip-blip dan suara alarm SUV itu pun terhenti.
Untungnya
Farah, Vincent, dan Othman tetap tidak kelihatan. Sepertinya mereka
memang
sengaja memberi aku dan Ervin sedikit privasi yang memang kami
perlukan.
“Scarlett?”
Ervin kelihatan bingung.
Aku
lupa dia tidak tahu apa-apa tentang bayiku. “Scarlett, bayi ini namanya
Scarlett,”
jelasku akhirnya.
“As in Scarlett
Johansson?” tanya Ervin memandangku bingung.
“No, as in Scarlett
O‟Hara,” balasku ketus.
Ervin
menatapku dengan tatapan tidak percaya. “Anak kita perempuan?”
tanyanya
pelan. Matanya langsung mengarah ke perutku. Secara otomatis tanganku
langsung
menutupi perutku.
“Bukan
kita, gue... ini anak gue, Vin. Punya gue. Gue nggak perlu elo untuk
ngurus
dia.”
“Tapi
gue juga punya andil bikin... Scarlett,” ucap Ervin dengan nada agak ragu
ketika
menyebutkan nama Scarlett.
Ya
ampuuunnnn, apa dia pikir aku bisa lupa tentang itu?
“Jadi
lo pikir hanya karena itu lo punya hak atas Scarlett, gitu?”
Ervin
menatapku dan kembali menatap perutku. Dia kelihatan kaget atas
reaksiku
yang sangat protektif. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara.
“Ayo
kita pulang, Dri, kita selesaikan masalah ini di rumah.” Nadanya terdengar
terlalu
tenang, kepanikanku kembali lagi.
“Rumah?
Rumah siapaaaaaa?” teriakku.
“Rumah
kita,” jawab Ervin tidak kalah keras.
Aku
terdiam sesaat. Dia baru bilang rumah kita—kami? Sejak kapan kami
punya
rumah? Kuhapuskan kebingunganku dan maju terus dengan penyangkalanku.
“Nggak,
gue nggak mau. Nanti Mbak Tita sama Kirana akan paksa kita untuk
nikah.
Lo nggak siap untuk nikah, Vin, apalagi punya anak.”
“Siapa
bilang gue nggak siap?”
“Karena
lo belum siap,” teriakku sudah siap menangis.
Ya
Tuhan, kenapa sih aku harus teriak-teriak seperti orang gila? Apa aku tidak
bisa
berbicara perlahan-lahan seperti orang pada umumnya? Ini bukan salah Ervin.
“Dengar
ya, Vin, lo gue kasih free pass, lo harus ambil sekarang. Itu lebih baik
buat
elo,” ucapku pelan.
“Gue
nggak mau free pass, Dri,” jawab Ervin.
“Jadi
elo maunya apa?”
Ervin
perlahan melangkah ke arahku. Melihat tampangnya yang tenang tapi
garang,
aku panik. Aku mundur beberapa langkah.
“Gue...
mau... elo...,” desis Ervin. Tatapannya terlihat frustrasi bercampur
kelembutan
yang membuat lututku tiba-tiba lemas.
Aku
tidak bisa berkata-kata. Aku hanya menatapnya dengan mulut ternganga.
Melihatku
tidak bereaksi, Ervin berjalan selangkah demi selangkah ke arahku
sambil
mencoba meyakinkanku.
“Gue
sudah beli rumah, surat-suratnya masih perlu diselesaikan tapi pada
dasarnya
rumah itu sudah milik gue. Gue sudah tukar-tambah mobil gue sama SUV
supaya
lebih nyaman untuk Scarlett.” Kini nadanya Ervin sedikit lebih pasti ketika
mengucapkan
nama Scarlett.
Ervin
berdiri di hadapanku. Aku memandangi wajahnya yang mencoba untuk
meyakinkanku.
Tapi aku masih tidak yakin. Aku masih belum bisa percaya satu
kata
pun yang diucapkan oleh Ervin. Akhirnya aku hanya bisa bertanya, “Lo jual
mobil
lo?”
Ervin
mengangguk. Dia tidak mencoba menyentuhku sama sekali.
“You’re right, as always, M3 gue nggak bisa untuk bawa bayi,” ucapnya.
“Tapi
lo cinta sama M3 lo.” Perlahan-lahan es yang menutupi hatiku cair.
“Tapi
gue lebih cinta elo, Dri. Mobil ada gantinya, tapi elo... lo nggak ada
gantinya.”
Ya
Tuhan, dia baru bilang dia cinta sama aku? Mimpi... aku pasti lagi mimpi.
Aku
mulai mencubiti lenganku. Bangun, Adri... bangun...
Ervin
meraih tanganku. Tangannya terasa hangat.
“Dri,
gue cinta sama elo. Gue harus nikah sama elo dan hidup sama elo. Kita
sama-sama
urus Scarlett, kita bagi tugas. Gue tahu gue nggak tahu apa-apa tentang
bayi,
tapi kita bisa belajar sama-sama.”
Cair
sudah semua es di hatiku. Kugenggam kedua tangan Ervin dengan kedua
tanganku.
Aku pandang matanya. Ingin rasanya aku percaya dengan kata-katanya
dengan
pernyataan cintanya yang terdengar tulus. Tapi aku belum bisa. Ervin
menggunakan
kata “harus” daripada “mau”, yang terdengar seperti suatu paksaan
daripada
ketulusan. Untuk pertama kalinya aku lihat bahwa sorot mata Ervin
terlihat
sedih. Sedih karena aku, karena aku telah memaksanya melakukan sesuatu
yang
tidak sesuai dengan rencana dan keinginannya. Tanganku yang tadinya
menggenggam
tangan Ervin naik ke lehernya. Aku dekatkan keningku ke
keningnya.
Ervin tidak menolak. Tangan kananku berpegang pada bagian belakang
kepala
Ervin.
“Vin,
lo nggak perlu melakukan ini. Lo nggak usah merasa kasihan sama gue
atau
merasa bahwa lo punya suatu kewajiban terhadap gue. Gue yakin bahwa lo
melakukan
ini semua bukan juga karena lo mau gue, karena gue tahu level
seksualitas
lo. Gue nggak ada apa-apanya. Gue bisa melalui ini sendiri, Vin, gue janji
gue
nggak akan minta apa-apa dari elo,” lanjutku dan melangkah meninggalkan
Ervin
menuju rumah.
Aku
bisa melihat Farah, Vincent, dan Othman berdiri di depan pintu dapur
yang
mengarah ke garasi.
“Tapi
aku benar-benar cinta sama kamu, Dri,” ucap Ervin kesal. Kata-kata Ervin
menghentikan
langkahku. Dia baru saja menggunakan kata aku dan kamu. Aku
lihat
Farah melongo memandangiku. Aku tidak yakin apa dia paham semua yang
baru
dikatakan oleh Ervin. Kemudian kudengar Ervin melanjutkan argumentasinya.
“Aku
hampir selalu ngerasa kayak sedang disengat listrik setiap kali lihat kamu
sama
laki-laki lain. Malam aku cium kamu di rumah kamu itu, aku ngerasa kayak
ada
kembang api yang meledak-ledak di sekitarku, aku nggak pernah ngerasain itu
sama
siapa pun. Tapi yang paling bikin aku kaget adalah bahwa aku nggak pernah
ngerasa
kayak aku perlu orang lain di hidupku, sampai aku ketemu kamu.”
Kini
aku yakin Farah mengerti apa yang baru saja dikatakan oleh Ervin karena
aku
mendengarnya menarik napas kaget dan tangannya langsung menggenggam
Vincent
yang sedang memandangiku bingung.
“Aku
tahu bahwa kamu nggak cinta sama aku kayak kamu cinta sama Thomas,
tapi
aku nggak akan pernah nyakitin kamu kayak Thomas, Dri. Aku janji. Asal
kamu
kasih aku kesempatan,” lanjut Ervin memohon.
Aku
berbalik dan menatapnya. Ternyata Ervin memang tidak mengenalku sama
sekali.
Bagaimana mungkin dia bisa berpikir bahwa aku mencintai Baron lebih
daripada
aku mencintainya? Hatiku bahkan tidak bisa menampung luapan rasa
cintaku
untuk Ervin dan untuk Scarlett. Mereka sudah menjadi bagian diriku.
Aku
harus sudah berangkat ke pesta Eddie, matahari sudah terbenam dan hari
sudah
mulai gelap. Kuberanikan diri untuk menyelesaikan permasalahan ini. Aku
berjalan
mendekati Ervin.
“Thomas
nggak ada apa-apanya dibandingin elo, Vin. Saat ini di hati gue cuma
ada
elo dan Scarlett. Tapi itu nggak penting karena lo nggak cinta sama gue. Nggak
seperti
yang lo pikir setidak-tidaknya.”
Ervin
kelihatan kaget atas pernyataanku. “Kamu cinta sama aku,” ucapnya
pelan.
Dari nadanya terkesan seperti dia tidak percaya.
Aku
tertawa getir dan mengangguk. Aku pegang kepala Ervin di antara kedua
belah
tanganku dan menatapnya. “Lo laki-laki baik, Vin, dan gue menghargai segala
sesuatu
yang elo sudah lakukan untuk gue, tapi gue dan elo tahu kita nggak akan
bisa
sama-sama.”
Tanpa
kusangka Ervin menciumku. Ervin berusaha untuk meyakinkanku
dengan
ciumannya. Aku berusaha untuk tidak memberikan reaksi, tapi ciuman
lembutnya
mengingatkanku akan kelembutan dan kebaikan Ervin.
“Cukup,”
ucapku di antara ciumannya. Tapi Ervin tidak menghiraukanku dan
tetap
menciumku. Akhirnya kulepaskan genggaman tangannya di pinggangku
dengan
paksa. Ervin berhenti meskipun dia menatapku bingung.
“I have to go,”
ucapku pelan dan berjalan menjauhinya untuk masuk rumah.
“Kalau
ini yang kamu maksud dengan karma, aku sekarang tahu kenapa kamu
bilang
karma lebih parah daripada santet.”
Mau
tidak mau aku terpaksa menghentikan langkahku dan menghadapnya.
Aku
tidak menyangka bahwa dia ingat akan nasihatku.
“Ini
bukan karena karma atau santet, tapi karena kita nggak kenal satu sama
lain,
Vin,” balasku dan beranjak mendekati pintu dapur.
“Dua
paket gula dan dua paket krimer,” ucap Ervin tiba-tiba.
Aku
terpaksa menghadapnya lagi dengan tatapan bingung. Apa maksud Ervin?
“Itu
cara kamu minum kopi. Dua paket gula dan dua paket krimer. Kamu selalu
minum
kopi tanpa kafein karena tubuh kamu nggak bisa mencerna kafein. Daripada
naik
feri, pesawat, atau mobil, kamu lebih pilih kereta api supaya kamu nggak
mual.”
Lalu
Ervin tertawa sebelum melanjutkan, “Kamu selalu kehilangan HP atau
kunci,
kadang memang karena kamu lupa, tapi lebih sering karena kamu memang
teledor.
Kamu nggak suka hujan yang menurut kamu bikin semuanya jadi basah.
Makanya
kamu lebih suka salju, kecuali kalau kamu adadi dalam rumah atau
kantor.
Pertama-tama aku nggak ngerti kenapa, tapi lambat-laun aku sadar alasan
kamu,
karena setiap kali hujan dan kamu masih ada di kantor, kamu selalu
kelihatan
nggak terburu-buru. Dan satu lagi... kamu cinta mati sama keluarga kamu
dan
mungkin kamu nggak pernah sadar ini, tapi menurut aku, kamu orang paling
nggak
egois yang kukenal. Karena kalau kamu egois, kamu nggak akan ada di
hadapanku,
hamil dengan anakku, tapi masih mencoba untuk meyakinkan diri
bahwa
aku nggak cinta sama kamu.”
Semua
kalimat Ervin sangat mengena denganku. Ternyata dia betul-betul
mengenalku.
Ervin menunggu hingga aku berbicara. Tapi aku tidak menemukan
kata-kata
yang tepat untuk membalas apa yang baru saja dikemukakannya.
Menolak
untuk mengaku kalah, aku memilih menghindar. Tanpa menghiraukan
Ervin
lagi, aku lalu melangkah masuk rumah, melewati Vincent, Farah, dan Othman
yang
sedang ternganga melihatku. Aku mendengar Ervin berteriak geram untuk
melampiaskan
kemarahan dan kekecewaannya.
Aku
masuk kamarku dan mengambil tas tanganku. Aku baru sadar bahwa
ketika
berencana kabur tadi aku tidak membawa dompet, tidak memiliki SIM,
bahkan
tidak tahu peta jalan di KL. Kuempaskan diriku ke atas tempat tidur.
Kuputer
kembali percakapanku dengan Ervin sebelum kemudian aku menyadari
satu
hal. Kalau Ervin ada di sini, berarti dia tidak ada di Cincinnati. Berarti dia
sudah
kabur dari training-nya itu, dan kalau dia tidak menyelesaikan training itu,
dia
tidak
akan bisa menjadi kepala divisi Business Development.
Aku
tersadar dari lamunanku ketika mendengar bunyi mesin mobil. Dari
suaranya
sepertinya itu SUV Vincent. Aku buru-buru lari keluar kamar dan hampir
bertabrakan
dengan Farah yang sedang bersiap-siap mengetuk pintu kamarku. Aku
harus
bicara dengan Ervin. Dia harus menyelesaikan training-nya agar bisa jadi
kepala
divisi. Dia harus!!!!
“Viiiiiinnnnn,”
teriakku. Ervin sedang berjalan menuju sebuah sedan yang
diparkir
di luar pagar rumah Vincent.
Ervin
menoleh dan berjalan menghampiriku. Wajahnya penuh tanda tanya.
“Lo
kabur dari training lo?” tanyaku ketika dia sudah berdiri di hadapanku.
“Training?”
tanyanya bingung. Sepertinya dia mengharapkanku untuk
membicarakan
persoalan lain selain training itu.
“Iya,
training lo yang di Cincinnati, masih ada tiga minggu lagi, kan?”
tanyaku
lagi.
“Iya...
tapi aku nggak peduli soal training itu sekarang.”
“Tapi
lo harusnya peduli, itu buat karier lo, kan?”
“Tapi
aku nggak mau mikirin soal itu sekarang, Dri. Aku sudah pusing.”
“Jabrik,
bisa serius nggak sih? Sekaliiii saja seumur hidup lo, tolong serius.”
Aku
lihat wajah Ervin yang agak-agak mengulum senyum karena mendengar
aku
memanggilnya Jabrik.
“Aku
serius kok,” ucap Ervin akhirnya.
“Tapi
lo nggak mau mikirin soal training?”
“Nggak.”
“Lo
harus mikirin... nggak boleh nggak,” omelku.
Ervin
memandangku seperti aku orang gila yang lagi memarahinya tanpa ada
alasan
yang jelas.
“Maksud
kamu apa sih, Dri?”
“Lo
besok harus balik ke Cincinnati untuk menyelesaikan training itu.”
“Sudah
aku bilang, aku nggak peduli soal training. Selama masalah kamu dan
aku
masih belum jelas seperti ini, aku nggak akan bisa konsentrasi untuk hal
lainnya.”
Sebelum
aku bisa berpikir panjang lagi aku berkata, “Kalau gue pulang malam
ini
juga sama elo ke Jakarta, apa lo mau balik ke Cincinnati untuk menyelesaikan
training?”
Ervin
memandangku tidak percaya. Kemudian dia tersenyum lebar dan
memelukku
hingga mengangkatku dari aspal jalanan dan mulai menciumi wajahku.
“Iya...
aku berangkat ke Cincinnati besok kalau kamu pulang sama aku malam
ini
juga,” ucapnya di antara ciumannya.
Aku
mencoba untuk menghindar dari ciumannya yang membuatku sulit
bernapas.
“Vin... turunin gue dong. Aduh, perut gue...” Mendengar kata “perut”
Ervin
pun melepaskanku dari pelukannya dan menurunkanku pelan-pelan ke aspal.
“Kenapa,
Dri...? Eh, Scarlett nggak apa-apa, kan?” tanyanya khawatir.
Tangannya
memegang perutku.
“Hey... baby, it’s okay, daddy’s here,” ucapnya. Aku hampir mau pingsan ketika
mendengar
kata-kata itu.
Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 19
No comments:
Post a Comment