Sunday, September 6, 2015

Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 18

18. MINGGAT
BULAN April pun tiba. Kehamilanku yang sudah masuk empat bulan belum
menunjukkan tanda-tanda kegendutan di perutku meskipun sekarang aku makan
semakin banyak. Aku berusaha sebisa mungkin agar orang kantor tidak ada yang
tahu bahwa aku hamil. Kalau sampai tahu, mereka akan mulai bertanya-tanya siapa
bapaknya. Apalagi jika mereka tahu aku hamil tanpa punya suami, entah apa yang
akan mereka gosipkan.
Ervin masih sering e-mail tapi tidak pernah menelepon untuk menceritakan
keadaannya di sana. Dari e-mail-nya sepeertinya dia happy. Entah kenapa, tapi
seperti ada satu hal yang kurang dalam setiap e-mail-nya itu, baru belakangan aku
sadar e-mail-nya tidak pernah menyinggung masalah perempuan. Cukup aneh. Ini
Ervin, laki-laki yang tidak bisa hidup tanpa perempuan. Atau mungkin dia hanya
menyembunyikannya dariku?
Akhirnya setelah yakin Baron tidak akan macam-macam denganku, Olivia
memperbolehkan Baron menemuiku. Olivia sempat mendesakku untuk
menceritakan siapa ayah bayiku, tapi aku bersikeras menolak menjawab pertanyaan
itu. Aku juga meminta Olivia untuk tidak menceritakan apa yang dia tahu pada
siapa pun. Tapi buntutnya Olivia bisa menebak dengan benar ayah bayiku dan
terbongkarlah rahasiaku. Baron pun akhirnya tahu dan menasihatiku tentang Ervin
di luar kontrol Olivia.
“Aku cuma bilangin saja ke kamu, Di, Ervin itu buaya darat, sebuaya-buaya
daratnya laki-laki yang aku kenal. Kamu memang lebih bagus nggak sama dia.
Merana kamu kalau sama dia,” ucap Baron suatu hari ketika kami bertemu untuk
lunch.
Olivia yang dari tadi mencoba menginjak kaki Baron supaya berhenti berbicara
akhirnya menyerah dengan wajah memohon maaf kepadaku. Aku hanya tertawa
melihat mereka karena tidak ada satu pun perkataan Baron yang belum aku sendiri
ketahui. Meskipun memang aku mengharapkan bahwa orang yang lebih mengenal
Ervin bisa meyakinkanku bahwa aku salah, tapi aku tahu feeling-ku hampir tidak
pernah salah. Dengan begitu Baron dan Olivia berjanji menyimpan rahasiaku
sehingga aku siap untuk menceritakannya kepada orang lain, terutama kepada
Ervin. Aku jadi merasa bersalah kepada Ervin karena sepertinya banyak orang lain
sudah tahu lebih dulu tentang Scarlett kecuali dia, ayah bayiku ini.
* * *
Selama beberapa bulan belakangan ini Mbak Tita selalu menemaniku kalau aku
pergi menemui dokter kandungan. Aku selalu menghindar apabila Sarah ingin
bertemu denganku. Aku beralasan bahwa ada urusan keluarga yang tidak bisa
kutinggalkan. Untungnya, Kirana, kakak Ervin yang tinggal di London itu
kemudian datang ke Jakarta dan menetap selama beberapa minggu, sehingga Sarah
tidak memaksaku lagi untuk menemaninya ke mana-mana. Sarah sangat antusias
untuk memperkenalkanku dengan Kirana, tapi lagi-lagi permintaannya selalu
kutolak sehalus mungkin.
Pagi itu, hari Sabtu dua hari sebelum keberangkatanku ke Kuala Lumpur, aku
pergi menemui dokter kandunganku ditemani oleh Mbak Tita. Aku masuk
menemui dokter sendirian karena Mbak Tita sibuk dengan Lukas, sehingga dia
memutuskan menungguku di lobi.
Ketika keluar dari ruang dokter, aku mengalami serangan jantung yang pertmaa
selama aku hamil. Aku lihat Sarah sedang duduk di samping seorang wanita yang
tidak kukenal. Mereka berdua sedang ngobrol dengan kakakku.
Oh my God, what are they talking about? Ketakutanku tiba-tiba muncul. Ada rasa
mual di perutku, dan aku tahu itu tidak berasal dari nasi goreng yang kumakan tadi
pagi. Aku mencoba menarik napas dalam-dalam.
Santai Adri, santai.... Mereka mungkin hanya sedang membicarakan tentang lalu
lintas di Jakarta, omelku pada diriku sendiri. Lalu aku berjalan mendekati mereka
dengan langkah pasti. Tapi ketika aku cukup dekat, dari wajah Sarah aku sudah
tahu bahwa kakakku baru saja membongkar rahasiaku.
“Mbak Adri????!!!!!!” teriak Sarah.
Teriakan Sarah tidak hanya membuatku terkejut, tapi juga semua orang yang
sedang ada di lobi, sekarang menatapku ingin tahu.
“Mbak, ini teman kantornya Ervin yang pergi sama dia ke Lembang Tahun Baru
kemarin,” ucap Sarah pada wanita yang tidak kukenal itu. Setelah dilihat-lihat
wajahnya mirip sekali dengan Sarah dan rupanya sedang hamil besar. Wanita itu
langsung sibuk dengan HP-nya. Kemudian aku mendengar dia berteriak-teriak di
telepon.
You bloody wanker, you knocked a girl up and you left?” teriak wanita itu dengan
aksen seperti orang Inggris.
Aku baru sadar kemudian wanita itu adalah Kirana dan dia sedang berbicara
dengan Ervin. Aku langsung memandang kakakku yang kelihatan bingung dan
bersalah sambil menggendong Lukas.
“Apa-apaan sih?” tanyaku padanya.
Kakakku masih memandangiku dengan muka bingung. Lalu Sarah berbicara
padaku.
“Mbak, ini anaknya Ervin, kan?” tanya Sarah sambil menunjuk ke perutku.
Jantungku langsung kembali berhenti berdetak.
“Mbak...?” tanyaku pada kakakku.
“Kok nggak bilang ke aku sih kalau Mbak hamil? Kurang ajar si Ervin, bisabisanya
dia ninggalin Mbak lagi hamil begini,” kata Sarah sambil memelukku.
Sekarang semua orang di ruang tunggu menatapku dengan rasa penasaran yang
tidak disembunyikan lagi.
“Di, ini orang-orang, siapanya Ervin?” tanya kakakku.
Aku melepaskan diri dari pelukan Sarah dan mencoba untuk menjelaskan
keadaan.
“Nggak usah pura-pura nggak tahu deh. Dasar. Gue nggak nyangka adik gue
ternyata laki-laki nggak bertanggung jawab,” Kirana masih ngomel di telepon. Kini
dia ngomel dengan bahasa Indonesia, sehingga semua orang di lobi bisa mengerti
permasalahanku yang kuhadapi. Aku kaget juga melihat Kirana yang jelas-jelas lagi
hamil, setidak-tidaknya enam bulan itu, masih punya cukup tenaga untuk ngomel.
“Mbak, ini Sarah, adiknya Ervin. Yang lagi di telepon itu kakaknya,” aku
memperkenalkan Sarah pada kakakku.
Sarah langsung memeluk kakakku.
“Waktu Mbak cerita tentang adik Mbak, aku nggak tahu itu ternyata Mbak
Adri,” jelas Sarah padaku dan kakakku.
Aku memandangi kakakku meminta penjelasan.
“Pulang lo sekarang juga! Enak saja! Nggak kasihan lo sama dia yang mesti
ngurus anak lo sendirian?” aku mendengar Kirana masih lanjut ngomel di HP-nya.
“Gue tadi ngobrol-ngobrol sama mereka. Mereka tanya ke gue, gue lagi ngantar
siapa. Terus gue cerita saja kalau gue lagi ngantar adik gue yang hamil empat bulan.
Sepertinya dia hamil setelah pergi ke Lembang sama teman kerjanya dan orangnya
sekarang lagi ada di Amerika bla bla bla.... Sumpah, gue nggak tahu mereka ini
related sama Ervin,” jelas kakakku.
Aku langsung lemas. Selama beberapa menit aku berharap bahwa dugaanku
salah, tapi ternyata benar. Rahasiaku sudah betul-betul terbongkar. Kakiku tidak
mampu lagi menopang tubuhku, kuempaskan diriku ke salah satu kursi.
“Sebagai satu-satunya laki-laki di keluarga kita, seharusnya lo lebih bisa untuk
menjaga nama keluarga, bukannya menghamili anak orang terus lo tinggal.” Kirana
lalu menutup HP-nya dengan keras.
“Adri? Gue Kirana, kakaknya si orang gila nggak bertanggung jawab, bapaknya
si bayi ini. Sumpah mati tuh anak kalau nanti pulang... entah bakal gue apain.”
Kirana memelukku dengan paksa. Kudengar bunyi HP-ku. Aku lihat bahwa
nomornya “unknown”. Aku melepaskan diri dari pelukan Kirana untuk menjawab
teleponku.
“Halo?” ucapku.
Terdengar suara Ervin di ujung telepon.
“Hamil? Elo hamil? Lo bilang lo sudah minum...” Aku tidak sanggup untuk
mendengar apa lagi yang mau dikatakannya. HP langsung kumatikan karena aku
tahu dia akan mencoba menghubungiku lagi.
Aku masih mencoba mencerna semuanya.
“Kok bisa-bisanya sih, Mbak, ngasih Ervin pergi ke Amerika, padahal Mbak lagi
hamil begini?” tanya Sarah padaku. “Pakai dia nggak ngomong-ngomong ke kita
lagi soal ini,” ucap Sarah pada Kirana.
“Ervin nggak tahu gue hamil,” jawabku pelan.
“Hah?” teriak Sarah dan Kirana bersamaan.
“Kok bisa? Memangnya... lho kok... kok bisa?” Kirana bertanya bingung.
“Gue nggak pernah kasih tahu dia,” jawabku singkat.
Sarah dan Kirana kelihatan tambah bingung lagi.
“Itu sebabnya dia bingung waktu gue marah-marah,” ucap Kirana dengan nada
masih setengah bingung. “Sudah nggak akpa-apa, gue sudah bilang ke dia supaya
pulang sekarang juga ke Jakarta untuk menyelesaikan urusan ini. Bayi ini bayinya
Ervin. Dia harus tanggung jawab,” lanjutnya.
Mendengar kata-kata itu aku langsung panik.
“Oh nggak, nggak. Ini bayi gue, tanggung jawab gue. Ervin nggak salah, dia
nggak tahu. Dia nggak ada kewajiban apa-ap ake gue,” ucapku cepat.
“Apa maksud kamu kewajiban? Bayi ini pemberian Tuhan, bukan kewajiban,”
ucap Kirana tegas.
Kakakku mencoba menengahi keadaan.
“Kirana, gue Tita, kakaknya Adri. Kayaknya kita musti hormati kemauan Adri
untuk mau membesarkan bayi ini sendiri tanpa Ervin,” ucap kakakku pelan.
“Nggak bisa begitu. Keluarga gue nggak pernah ada yang punya anak di luar
nikah dan gue nggak akan memperbolehkan Ervin merusak citra yang sudah
dibangun selama empat generasi.”
“Ini bukan masalah citra keluarga, tapi hati juga. Ervin nggak cinta sama adik
gue, nggak mungkin mereka bisa sama-sama.”
“Siapa bilang Ervin nggak cinta?” sambar Sarah.
Kakakku menunjukku, wajahnya bingung. Aku tidak menghiraukannya.
“Berapa kali sih aku bilang Ervin cinta sama Mbak Adri? Cuma Mbak Adri
nggak pernah mau percaya,” kata Sarah gemas.
“Lho... Ervin cinta sama kamu?” tanya kakakku padaku.
Aku menggeleng. Aku hanya mendengar kakakku yang kemudian berdiskusi
dengan Kirana tentang keadaanku. Buntutnya mereka setuju aku harus menikahi
Ervin setibanya di Jakarta.
Ya Tuhan, kenapa juga sih aku harus pergi ketemu dokter kandunganku hari
ini? Kenapa tidak kemarin atau besok? Kenapa aku harus bertemu dengan Sarah
dan Kirana? Aku sudah bertekad membesarkan Scarlett sendiri, tanpa bantuan siapa
pun. Sekarang rencana itu buyar. Aku mencintai Ervin, tapi aku tidak akan pernah
bisa menikah dengannya. Dari tingkah lakunya aku tahu Ervin sangat menentang
ide perkawinan, dan aku pun tahu bahwa dia belum siap untuk menjadi seorang
suami, apalaig ayah. Aku bahkan belum pernah melihatnya dengan anak kecil. Aku
tidak mau menikah dengan laki-laki hanya karena aku hamil, meskipun aku
mencintai laki-laki itu dan aku sedang mengandung anaknya. Aku tidak mau
menikah karena terpaksa dan aku juga tidak mau memaksa Ervin untuk
menikahiku.
Dan dengan begitu, otakku mulai bergerak untuk merencanakan langkahlangkah
yang harus kuambil untuk mengatasi dilemaku ini. Meskipun aku berjanji
bahwa aku akan menyetujui rencana Kirana dan kakakku bahw amereka akan
mengatur urusanku dengan Ervin, malam itu juga aku memasukkan bajuku ke
dalam koper dan memesan tiket baru yang akan memberangkatkanku ke Kuala
Lumpur pukul tujuh pagi keesokan harinya. Aku tidak peduli bahwa aku baru saja
kehilangan uang satu juta rupiah karena membatalkan tiket yang telah kupesan
sebelumnya. Aku juga memberitahu Vincent dan Farah bahwa aku akan tiba sehari
lebih cepat dan meminta mereka agar tidak memberitahukan keberadaanku kalau
ada yang menghubungi dan menanyakan hal itu. Aku bahkan tidak memberitahu
orangtuaku tentang keberangkatanku yang lebih cepat ini, karena aku takut mereka
akan memberitahu kakakku. Menurut perhitunganku, kalau Ervin memang dapat
pesawat kemarin juga, maka dia akan tiba di Jakarta sekitar tiga puluh jam dari
sekarang dan aku harus sudah menghilang sebelum dia tiba di Jakarta. Aku harus
minggat.
* * *
Ketika bertemu Vincent lagi, aku hanya bisa tersenyum melihat wajah culunnya.
Wajahnya masih tetap sama, tapi kini dengan Farah di sampingnya, dia kelihatan
lebih bahagia. Farah ternyata bertubuh kecil dan kurus, tapi penuh energi sehingga
membuatnya seperti bola ping-pong. Vincent dan Farah sempat bingung melihat
tingkah laku dan permintaanku yang seperti orang gila. Tapi mereka tetap
menerimaku untuk tinggal di rumah mereka. Farah sepertinya merasa bahwa ada
sesuatu yang tidak beres denganku. Seperti Olivia, Farah langsung tahu kalau aku
sedang hamil. Entah bagaimana perempuan bisa tahu tentang itu sedangkan lakilaki
sangat buta dengan tanda-tanda yang nyata berada di depan mata mereka.
Seperti juga Baron, buntutnya Vincent tahu tentang keadaanku karena diberitahu
oleh Farah. Untungnya mereka tidak bertanya-tanya lebih lanjut tentang ayah
bayiku. Aku hanya mengatakan bahwa aku hamil sendiri, dan sekali lagi aku
meminta mereka untuk tidak memberitahu siapa-siapa tentang keadaanku.
Selama tiga hari pertama aku loncat setiap kali ada bunyi telepon atau bel
rumah, tapi bukan Ervin. Eddie yang melihatku sudah sampai di KL mengundangku
untuk datang ke acara tea ceremony-nya yang akan diadakan hari Jumat, sehari
sebelum pernikahan di gereja dan resepsi. Dia sempat menanyakan Ervin, aku
bilang Ervin tidak bisa datang. Meskipun tidak puas dengan jawabanku, Eddie tidak
memaksa. Ibu, Bapak, dan Mbak Tita meneleponku berkali-kali setibanya aku di KL
dan memintaku untuk pulang. Aku memang telah meninggalkan nomor HP Vincent
sebagai emergency contact, tapi aku tidak meninggalkan informasi lainnya.
Akhirnya aku baru bisa tidur nyenyak pada hari keempat karena pikiranku
sudah lebihtenang setelah berkesimpulan bahwa Ervin telah memutuskan untuk
menyelesaikan training-nya daripada pulang ke Jakarta. Di satu sisi aku bersyukur,
karena itu berarti dia tidak akan datang tiba-tiba dan memaksaku melakukan hal-hal
yang aku tidak kehendaki, tapi di sisi lain aku merasa sedih karena sekarang aku
tahu bahwa Ervin betul-betul tidak peduli padaku.
* * *
Hari Jumat sore ketika aku sedang bersiap-siap untuk pergi ke acara tea ceremony
Eddie, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku. Ternyata Othman. Aku senang
sekali bisa bertemu dengannya lagi, dia sedang bertugas ke Penang ketika aku tiba
di KL beberapa hari yang lalu, sehingga aku belum bertemu dengannya. Ketika
sedang memeluk Othman aku baru sadar Othman tidak datang sendiri, ada satu
orang lagi bersamanya. Sayangnya wajahnya tertutup oleh Vincent yang berdiri
membelakangiku. Baru kemudian aku sadar siapa orang itu setelah Vincent
bergerak agak ke kiri dan aku bisa melihatnya dengan jelas.
“Ervin,” ucapku pelan.
Ervin kelihatan ganteng, seperti biasanya dengan jas hitam. Rambutnya yang
sudah agak panjang, tidak terlalu jabrik lagi. Ervin... my sweetheart, sekarang ada di
depanku. Dia datang menemuiku. Tapi... bagaimana dia bisa tau bahwa aku tinggal
dengan Vincent? Pasti gara-gara gerombolan si berat, pikirku. Lalu seperti otakku
baru betul-betul bekerja aku mulai merasa panik. Ervin di sini? Buru-buru aku
melangkah kembali ke dalam kamarku dan mengunci pintu di belakangku. Baru
kemudian aku sadar bahwa aku sudah mengunci diri dengan Othman berada di
dalam kamar bersamaku.
Awak ni buat apa?” tanya Othman padaku bingung.
“Kamu datang bersama dia? Kamu datang bersama Ervin. Kamu yang mengajaknya
ke sini?” teriakku padanya.
Kemudian aku mendengar suara Ervin. “Dri, ini gue, bisa tolong buka
pintunya?”
Othman menatapku seperti aku sudah gila. “Ya, I brought him here, because he is
staying with me and Zach in our apartment. We picked him up just this afternoon. Dia cakap
awak dah tahu dah.”
Dasar Ervin, bisa-bisanya dia bohong sama mereka.
“Oke, Othman, listen to me. Aku tidak mau bertemu dengannya sekarang. Aku
tidak bisa. Kamu harus... Oh God... kamu harus menahannya sampai aku
meninggalkan rumah, oke. Can you do that?”
“Apa? Mana boleh? Awak ni gila ke?”
Sekali lagi terdengar suara ketukan di pintu, sekarang lebih keras. Aku tidak
menghiraukan apa yang sedang dikatakan Othman dan mulai memikirkan suatu
cara untuk minggat dari rumah ini. Sayangnya aku tidak bisa loncat jendela karena
kamarku berada di lantai dua. Satu-satunya pilihan adalah aku harus lari ke kamar
sebelah yang dihubungkan dengan connecting door dari kamar mandi dan mencoba
menyelinap keluar. Untungnya pintu kamar sebelah tidak menghadap ke lorong,
tapi menghadap ke tangga yang tersembunyi dari pandangan mereka yang sedang
berdiri di lorong.
Buru-buru aku menuju kamar mandi. Aku mengunci pintu kamar mandi itu dan
melangkah masuk ke kamar sebelah. Pelan-pelan aku membuka pintu untuk keluar.
Aku mengintip sedikit dan melihat Farah. Farah juga melihatku. Aku meletakkan
jari telunjukku di depan bibir, memintanya agar tidak mengatakan apa-apa.
Sayangnya lantai di rumah Vincent tidak dilapisi karpet sehingga langkahku ketika
menuju tangga dengan sepatu hakku bisa terdengar cukup jelas meskipun aku
sudah berhati-hati. Aku baru menuruni dua anak tangga ketika aku mendengar
suara Ervin.
“Adriiiiii.” Dan larilah aku menuruni tangga secepat mungkin. Aku mendengar
suara langkah Ervin yang berlari dengan cepat di belakangku. Ya Tuhan, kenapa sih
dia harus muncul sekarang? Kenapa dia tidak tinggal saja di Amerika?
“Adri, tunggu!” teriak Ervin lagi.
Aku lari menuju ruang tamu dan mengambil salah satu kunci mobil yang
digantung di sebelah pintu. Aku tidak tahu itu kunci mobil apa atau punya siapa.
Aku lari ke arah dapur yang menghubungkan rumah dengan garasi. Aku menoleh
ke belakang dan melihat Ervin semakin dekat denganku. Kulihat kunci yang ada di
dalam genggamanku adalah kunci Honda milik Farah. Aku menekan tombol untuk
membuka kunci mobil dan berlari ke arah pintu pengemudi. Tapi terlambat. Ervin
sudah menarik tanganku sebelum aku bisa masuk mobil.
“Lo mau ke mana sih?” teriaknya. wajah Ervin kelihatan marah dan sangar. Aku
baru sadar akan garis hitam di bawah matanya, seakan-akan dia belum tidur
berhari-hari dan meskipun dia mengenakan pakaian yang rapi, tapi dia belum
bercukur hari ini.
“Lepas, Vin,” ucapku mencoba menarik pergelangan tanganku dari genggamannya.
Dia malahan semakin mengeratkan genggamannya dan menekan tubuhku ke
badan mobil dengan tubuhnya.
“Lo bilang lo cuma lagi nggak enak badan waktu kelihatan pucat berhari-hari
bulan Februari,” teriaknya lagi.
“Vin...,” aku memohon padanya. Aku tahu Ervin sedang marah besar dan aku
harus hati-hati.
“Kenapa lo nggak bilang, Dri? Bisa-bisanya Baron tahu lebih dulu daripada
gue... Sarah, Kirana, semua orang sudah tahu, kecuali gue!!!”
Aku merasakan tubuh Ervin mulai menekan perutku. Akhirnya naluri
keibuanku keluar dan aku menyerang balik. Kudorong Ervin dengna sekuat tenaga
hingga dia bertabrakan dengan SUV Vincent yang diparkir di sebelah dan alhasil
alarmnya langsung berbunyi. “Karena gue tahu lo nggak akan mau gue dan Scarlett,
Vin.”
Aku mendengar bunyi blip-blip dan suara alarm SUV itu pun terhenti.
Untungnya Farah, Vincent, dan Othman tetap tidak kelihatan. Sepertinya mereka
memang sengaja memberi aku dan Ervin sedikit privasi yang memang kami
perlukan.
“Scarlett?” Ervin kelihatan bingung.
Aku lupa dia tidak tahu apa-apa tentang bayiku. “Scarlett, bayi ini namanya
Scarlett,” jelasku akhirnya.
As in Scarlett Johansson?” tanya Ervin memandangku bingung.
No, as in Scarlett OHara,” balasku ketus.
Ervin menatapku dengan tatapan tidak percaya. “Anak kita perempuan?”
tanyanya pelan. Matanya langsung mengarah ke perutku. Secara otomatis tanganku
langsung menutupi perutku.
“Bukan kita, gue... ini anak gue, Vin. Punya gue. Gue nggak perlu elo untuk
ngurus dia.”
“Tapi gue juga punya andil bikin... Scarlett,” ucap Ervin dengan nada agak ragu
ketika menyebutkan nama Scarlett.
Ya ampuuunnnn, apa dia pikir aku bisa lupa tentang itu?
“Jadi lo pikir hanya karena itu lo punya hak atas Scarlett, gitu?”
Ervin menatapku dan kembali menatap perutku. Dia kelihatan kaget atas
reaksiku yang sangat protektif. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara.
“Ayo kita pulang, Dri, kita selesaikan masalah ini di rumah.” Nadanya terdengar
terlalu tenang, kepanikanku kembali lagi.
“Rumah? Rumah siapaaaaaa?” teriakku.
“Rumah kita,” jawab Ervin tidak kalah keras.
Aku terdiam sesaat. Dia baru bilang rumah kita—kami? Sejak kapan kami
punya rumah? Kuhapuskan kebingunganku dan maju terus dengan penyangkalanku.
“Nggak, gue nggak mau. Nanti Mbak Tita sama Kirana akan paksa kita untuk
nikah. Lo nggak siap untuk nikah, Vin, apalagi punya anak.”
“Siapa bilang gue nggak siap?”
“Karena lo belum siap,” teriakku sudah siap menangis.
Ya Tuhan, kenapa sih aku harus teriak-teriak seperti orang gila? Apa aku tidak
bisa berbicara perlahan-lahan seperti orang pada umumnya? Ini bukan salah Ervin.
“Dengar ya, Vin, lo gue kasih free pass, lo harus ambil sekarang. Itu lebih baik
buat elo,” ucapku pelan.
“Gue nggak mau free pass, Dri,” jawab Ervin.
“Jadi elo maunya apa?”
Ervin perlahan melangkah ke arahku. Melihat tampangnya yang tenang tapi
garang, aku panik. Aku mundur beberapa langkah.
“Gue... mau... elo...,” desis Ervin. Tatapannya terlihat frustrasi bercampur
kelembutan yang membuat lututku tiba-tiba lemas.
Aku tidak bisa berkata-kata. Aku hanya menatapnya dengan mulut ternganga.
Melihatku tidak bereaksi, Ervin berjalan selangkah demi selangkah ke arahku
sambil mencoba meyakinkanku.
“Gue sudah beli rumah, surat-suratnya masih perlu diselesaikan tapi pada
dasarnya rumah itu sudah milik gue. Gue sudah tukar-tambah mobil gue sama SUV
supaya lebih nyaman untuk Scarlett.” Kini nadanya Ervin sedikit lebih pasti ketika
mengucapkan nama Scarlett.
Ervin berdiri di hadapanku. Aku memandangi wajahnya yang mencoba untuk
meyakinkanku. Tapi aku masih tidak yakin. Aku masih belum bisa percaya satu
kata pun yang diucapkan oleh Ervin. Akhirnya aku hanya bisa bertanya, “Lo jual
mobil lo?”
Ervin mengangguk. Dia tidak mencoba menyentuhku sama sekali.
You’re right, as always, M3 gue nggak bisa untuk bawa bayi,” ucapnya.
“Tapi lo cinta sama M3 lo.” Perlahan-lahan es yang menutupi hatiku cair.
“Tapi gue lebih cinta elo, Dri. Mobil ada gantinya, tapi elo... lo nggak ada
gantinya.”
Ya Tuhan, dia baru bilang dia cinta sama aku? Mimpi... aku pasti lagi mimpi.
Aku mulai mencubiti lenganku. Bangun, Adri... bangun...
Ervin meraih tanganku. Tangannya terasa hangat.
“Dri, gue cinta sama elo. Gue harus nikah sama elo dan hidup sama elo. Kita
sama-sama urus Scarlett, kita bagi tugas. Gue tahu gue nggak tahu apa-apa tentang
bayi, tapi kita bisa belajar sama-sama.”
Cair sudah semua es di hatiku. Kugenggam kedua tangan Ervin dengan kedua
tanganku. Aku pandang matanya. Ingin rasanya aku percaya dengan kata-katanya
dengan pernyataan cintanya yang terdengar tulus. Tapi aku belum bisa. Ervin
menggunakan kata “harus” daripada “mau”, yang terdengar seperti suatu paksaan
daripada ketulusan. Untuk pertama kalinya aku lihat bahwa sorot mata Ervin
terlihat sedih. Sedih karena aku, karena aku telah memaksanya melakukan sesuatu
yang tidak sesuai dengan rencana dan keinginannya. Tanganku yang tadinya
menggenggam tangan Ervin naik ke lehernya. Aku dekatkan keningku ke
keningnya. Ervin tidak menolak. Tangan kananku berpegang pada bagian belakang
kepala Ervin.
“Vin, lo nggak perlu melakukan ini. Lo nggak usah merasa kasihan sama gue
atau merasa bahwa lo punya suatu kewajiban terhadap gue. Gue yakin bahwa lo
melakukan ini semua bukan juga karena lo mau gue, karena gue tahu level
seksualitas lo. Gue nggak ada apa-apanya. Gue bisa melalui ini sendiri, Vin, gue janji
gue nggak akan minta apa-apa dari elo,” lanjutku dan melangkah meninggalkan
Ervin menuju rumah.
Aku bisa melihat Farah, Vincent, dan Othman berdiri di depan pintu dapur
yang mengarah ke garasi.
“Tapi aku benar-benar cinta sama kamu, Dri,” ucap Ervin kesal. Kata-kata Ervin
menghentikan langkahku. Dia baru saja menggunakan kata aku dan kamu. Aku
lihat Farah melongo memandangiku. Aku tidak yakin apa dia paham semua yang
baru dikatakan oleh Ervin. Kemudian kudengar Ervin melanjutkan argumentasinya.
“Aku hampir selalu ngerasa kayak sedang disengat listrik setiap kali lihat kamu
sama laki-laki lain. Malam aku cium kamu di rumah kamu itu, aku ngerasa kayak
ada kembang api yang meledak-ledak di sekitarku, aku nggak pernah ngerasain itu
sama siapa pun. Tapi yang paling bikin aku kaget adalah bahwa aku nggak pernah
ngerasa kayak aku perlu orang lain di hidupku, sampai aku ketemu kamu.”
Kini aku yakin Farah mengerti apa yang baru saja dikatakan oleh Ervin karena
aku mendengarnya menarik napas kaget dan tangannya langsung menggenggam
Vincent yang sedang memandangiku bingung.
“Aku tahu bahwa kamu nggak cinta sama aku kayak kamu cinta sama Thomas,
tapi aku nggak akan pernah nyakitin kamu kayak Thomas, Dri. Aku janji. Asal
kamu kasih aku kesempatan,” lanjut Ervin memohon.
Aku berbalik dan menatapnya. Ternyata Ervin memang tidak mengenalku sama
sekali. Bagaimana mungkin dia bisa berpikir bahwa aku mencintai Baron lebih
daripada aku mencintainya? Hatiku bahkan tidak bisa menampung luapan rasa
cintaku untuk Ervin dan untuk Scarlett. Mereka sudah menjadi bagian diriku.
Aku harus sudah berangkat ke pesta Eddie, matahari sudah terbenam dan hari
sudah mulai gelap. Kuberanikan diri untuk menyelesaikan permasalahan ini. Aku
berjalan mendekati Ervin.
“Thomas nggak ada apa-apanya dibandingin elo, Vin. Saat ini di hati gue cuma
ada elo dan Scarlett. Tapi itu nggak penting karena lo nggak cinta sama gue. Nggak
seperti yang lo pikir setidak-tidaknya.”
Ervin kelihatan kaget atas pernyataanku. “Kamu cinta sama aku,” ucapnya
pelan. Dari nadanya terkesan seperti dia tidak percaya.
Aku tertawa getir dan mengangguk. Aku pegang kepala Ervin di antara kedua
belah tanganku dan menatapnya. “Lo laki-laki baik, Vin, dan gue menghargai segala
sesuatu yang elo sudah lakukan untuk gue, tapi gue dan elo tahu kita nggak akan
bisa sama-sama.”
Tanpa kusangka Ervin menciumku. Ervin berusaha untuk meyakinkanku
dengan ciumannya. Aku berusaha untuk tidak memberikan reaksi, tapi ciuman
lembutnya mengingatkanku akan kelembutan dan kebaikan Ervin.
“Cukup,” ucapku di antara ciumannya. Tapi Ervin tidak menghiraukanku dan
tetap menciumku. Akhirnya kulepaskan genggaman tangannya di pinggangku
dengan paksa. Ervin berhenti meskipun dia menatapku bingung.
I have to go,” ucapku pelan dan berjalan menjauhinya untuk masuk rumah.
“Kalau ini yang kamu maksud dengan karma, aku sekarang tahu kenapa kamu
bilang karma lebih parah daripada santet.”
Mau tidak mau aku terpaksa menghentikan langkahku dan menghadapnya.
Aku tidak menyangka bahwa dia ingat akan nasihatku.
“Ini bukan karena karma atau santet, tapi karena kita nggak kenal satu sama
lain, Vin,” balasku dan beranjak mendekati pintu dapur.
“Dua paket gula dan dua paket krimer,” ucap Ervin tiba-tiba.
Aku terpaksa menghadapnya lagi dengan tatapan bingung. Apa maksud Ervin?
“Itu cara kamu minum kopi. Dua paket gula dan dua paket krimer. Kamu selalu
minum kopi tanpa kafein karena tubuh kamu nggak bisa mencerna kafein. Daripada
naik feri, pesawat, atau mobil, kamu lebih pilih kereta api supaya kamu nggak
mual.”
Lalu Ervin tertawa sebelum melanjutkan, “Kamu selalu kehilangan HP atau
kunci, kadang memang karena kamu lupa, tapi lebih sering karena kamu memang
teledor. Kamu nggak suka hujan yang menurut kamu bikin semuanya jadi basah.
Makanya kamu lebih suka salju, kecuali kalau kamu adadi dalam rumah atau
kantor. Pertama-tama aku nggak ngerti kenapa, tapi lambat-laun aku sadar alasan
kamu, karena setiap kali hujan dan kamu masih ada di kantor, kamu selalu
kelihatan nggak terburu-buru. Dan satu lagi... kamu cinta mati sama keluarga kamu
dan mungkin kamu nggak pernah sadar ini, tapi menurut aku, kamu orang paling
nggak egois yang kukenal. Karena kalau kamu egois, kamu nggak akan ada di
hadapanku, hamil dengan anakku, tapi masih mencoba untuk meyakinkan diri
bahwa aku nggak cinta sama kamu.”
Semua kalimat Ervin sangat mengena denganku. Ternyata dia betul-betul
mengenalku. Ervin menunggu hingga aku berbicara. Tapi aku tidak menemukan
kata-kata yang tepat untuk membalas apa yang baru saja dikemukakannya.
Menolak untuk mengaku kalah, aku memilih menghindar. Tanpa menghiraukan
Ervin lagi, aku lalu melangkah masuk rumah, melewati Vincent, Farah, dan Othman
yang sedang ternganga melihatku. Aku mendengar Ervin berteriak geram untuk
melampiaskan kemarahan dan kekecewaannya.
Aku masuk kamarku dan mengambil tas tanganku. Aku baru sadar bahwa
ketika berencana kabur tadi aku tidak membawa dompet, tidak memiliki SIM,
bahkan tidak tahu peta jalan di KL. Kuempaskan diriku ke atas tempat tidur.
Kuputer kembali percakapanku dengan Ervin sebelum kemudian aku menyadari
satu hal. Kalau Ervin ada di sini, berarti dia tidak ada di Cincinnati. Berarti dia
sudah kabur dari training-nya itu, dan kalau dia tidak menyelesaikan training itu, dia
tidak akan bisa menjadi kepala divisi Business Development.
Aku tersadar dari lamunanku ketika mendengar bunyi mesin mobil. Dari
suaranya sepertinya itu SUV Vincent. Aku buru-buru lari keluar kamar dan hampir
bertabrakan dengan Farah yang sedang bersiap-siap mengetuk pintu kamarku. Aku
harus bicara dengan Ervin. Dia harus menyelesaikan training-nya agar bisa jadi
kepala divisi. Dia harus!!!!
“Viiiiiinnnnn,” teriakku. Ervin sedang berjalan menuju sebuah sedan yang
diparkir di luar pagar rumah Vincent.
Ervin menoleh dan berjalan menghampiriku. Wajahnya penuh tanda tanya.
“Lo kabur dari training lo?” tanyaku ketika dia sudah berdiri di hadapanku.
Training?” tanyanya bingung. Sepertinya dia mengharapkanku untuk
membicarakan persoalan lain selain training itu.
“Iya, training lo yang di Cincinnati, masih ada tiga minggu lagi, kan?” tanyaku
lagi.
“Iya... tapi aku nggak peduli soal training itu sekarang.”
“Tapi lo harusnya peduli, itu buat karier lo, kan?”
“Tapi aku nggak mau mikirin soal itu sekarang, Dri. Aku sudah pusing.”
“Jabrik, bisa serius nggak sih? Sekaliiii saja seumur hidup lo, tolong serius.”
Aku lihat wajah Ervin yang agak-agak mengulum senyum karena mendengar
aku memanggilnya Jabrik.
“Aku serius kok,” ucap Ervin akhirnya.
“Tapi lo nggak mau mikirin soal training?”
“Nggak.”
“Lo harus mikirin... nggak boleh nggak,” omelku.
Ervin memandangku seperti aku orang gila yang lagi memarahinya tanpa ada
alasan yang jelas.
“Maksud kamu apa sih, Dri?”
“Lo besok harus balik ke Cincinnati untuk menyelesaikan training itu.”
“Sudah aku bilang, aku nggak peduli soal training. Selama masalah kamu dan
aku masih belum jelas seperti ini, aku nggak akan bisa konsentrasi untuk hal
lainnya.”
Sebelum aku bisa berpikir panjang lagi aku berkata, “Kalau gue pulang malam
ini juga sama elo ke Jakarta, apa lo mau balik ke Cincinnati untuk menyelesaikan
training?”
Ervin memandangku tidak percaya. Kemudian dia tersenyum lebar dan
memelukku hingga mengangkatku dari aspal jalanan dan mulai menciumi wajahku.
“Iya... aku berangkat ke Cincinnati besok kalau kamu pulang sama aku malam
ini juga,” ucapnya di antara ciumannya.
Aku mencoba untuk menghindar dari ciumannya yang membuatku sulit
bernapas. “Vin... turunin gue dong. Aduh, perut gue...” Mendengar kata “perut”
Ervin pun melepaskanku dari pelukannya dan menurunkanku pelan-pelan ke aspal.
“Kenapa, Dri...? Eh, Scarlett nggak apa-apa, kan?” tanyanya khawatir.
Tangannya memegang perutku.
Hey... baby, it’s okay, daddy’s here,” ucapnya. Aku hampir mau pingsan ketika

mendengar kata-kata itu.


Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 19

No comments:

Post a Comment