19.
SKENARIO HIDUP
SETIBANYA
di Jakarta, Ervin tidak membawaku pulang ke rumah orangtuaku atau
ke
apartemennya. Dia justru membawaku ke daerah perumahan Bintaro dan
berhenti
di depan sebuah rumah bergaya minimalis dengan cat putih. Ketika
melihat
Ervin membawa tasku dan tasnya masuk, aku baru sadar bahwa inilah
rumah
yang telah dibeli Ervin. Hal pertama yang terlihat olehku ketika memasuki
rumah
itu adalah banyak boks bertebaran di mana-mana. Ervin menggiringku ke
salah
satu kamar tidur di lantai atas. Begitu Ervin menyalakan lampu, aku langsung
tahu
bahwa ini pasti kamar Ervin karena barang-barangnya sama seperti yang ada
di
kamar tidur apartemennya. Lain dengan lantai bawah, kamar itu kelihatan rapi
dan
teratur.
Ervin
meletakkan tasku dan tasnya di depan lemari, aku pikir kemudian dia
akan
meninggalkanku sendiri di kamar itu, tapi dia justru mulai menanggalkan
pakaiannya
di hadapanku.
“Lo
ngapian, Vin?” tanyaku panik.
“Aku
mau mandi, lengket,” ucapnya santai sambil melepaskan celana
panjangnya.
Alhasil aku bisa melihatnya hanya dengan boxer
brief putihnya.
Aku
sebetulnya tidak bermaksud menatapnya, tapi aku tidak bisa melihat ke
arah
lain. Tiba-tiba aku teringat akan rasa tubuh Ervin di dalam pelukanku, di
atasku.
Hanya dengan memikirkan itu aku langsung berasa gerah.
Ervin
sudah menghilang ke kamar mandi sambil menanggalkan briefs-nya.
Tanpa
menutup pintu dia lalu berteriak.
“Kalau
kamu mau mandi juga, masuk saja, shower-nya besar kok,” teriaknya.
Aku
ternganga terkejut. Dia mengharapkanku untuk mandi bersamanya? Sudah
gila,
kali. Aduh, Tuhan... aku cuma mau membuat laki-laki yang kucintai ini
bahagia,
kok susah banget sih? Aku mendengar bunyi shower
dinyalakan di kamar
mandi.
Samar-samar kudengar Ervin menyanyikan lirik lagu Lifehouse.
Pelan-pelan
aku mulai membereskan bajuku. Kukeluarkan kamisol untuk tidur
dan
celana dalamku. Aku baru sadar celana yang biasa kukenakan untuk tidur
tertinggal
di tempat Vincent. Kubuka lemari Ervin untuk mencari celana piama yang
bisa
kupinjam. Aku sedang mencari di mana dia meletakkan baju tidur ketika
melihat
satu botol lotion yang sangat familier di antara kaus-kaus. Lho kok... itu
kan...
Benar saja. Itu botol lotion-ku yang masih separo penuh. Aku yakin itu
memang
lotion-ku karena tutupnya retak, hasil dari keteledoranku di kamar
mandi.
Beberapa
bulan yang lalu aku memang kehilangan satu botol lotion, aku
sempat
kesal
karena kusangka aku tidak sengaja meninggalkan lotion itu di
Lembang,
padahal
itu adalah persediaan terakhirku. Kok ada di lemari Ervin sih?
“Dri,
aku sudah selesai.” Aku mendengar suara Ervin.
Aku
melongok dari balik pintu lemari sambil menggenggam botol lotion itu.
“Vin...
lotion gue kok ada di elo sih?” tanyaku sambil menunjukkan botol itu
padanya.
Ervin
kelihatan agak kaget melihat botol itu, lalu dia terlihat malu.
“Oh...
itu... mmmmhhhhh... aku suka... eerrr... kangen sama bau kamu. Sori,
bukan
maksud aku untuk ngembat, tapi sayangnya kamu nggak bisa aku bawa ke
Cincinnati,
jadi aku bawa lotion kamu saja,” ucap Ervin dengan wajah agak-agak
bersalah.
“Hah?”
teriakku.
Tetesan-tetesan
air dari rambutnya mulai membasahi dadanya yang belum
ditutupi
kaus. Handuk warna biru donker menutupi pinggangnya hingga dengkul.
Dia
kelihatan seperti model Calvin Klein.
“Omong-omong,
waktu kemarin aku di Cincinnati, aku cari lotion
itu. Kamu
bilang
stok kamu sudah habis, jadi aku sempatkan untuk beli beberapa botol. Masih
ada
di koper, belum keluar semenjak aku balik dari sana.”
Ervin
berjalan ke arahku. Aku masih bengong. Dengan cueknya Ervin lalu
mengambil
lotion itu dari tanganku, mencium bibirku, dan mengembalikan lotion itu
ke
lemarinya setelah menghirup aromanya beberapa detik.
Dia
kemudian mulai mengenakan pakaiannya di depanku tanpa ada rasa malu.
Aku
bisa melihat semua bagian dirinya. Bukan hal baru sebetulnya, tapi aku masih
tetap
kaget bisa melihat tubuhnya di luar konteks seks. Setelah berpakaian dengan
celana
piama kotak-kotak dan kaus putih favoritnya, dia mencium bibirku lagi.
“Night sweetie,”
ucapnya dan tanpa disangka-sangka dia langsung loncat ke atas
tempat
tidur dan mengatur posisi untuk tidur.
Maksudnya
dia apa sih? Kalau dia tidur di sini, aku harus tidur di mana?
“Oh
ya, kamu biasanya tidur di sebelah mana ya? Nggak apa-apa kan kalau aku
tidur
di sebelah kanan?” tanya Ervin yang tiba-tiba sudah duduk kembali di tempat
tidur
sambil menunggu jawabanku.
Ternyata
benar... dia mengharapkan aku tidur satu tempat tidur dengannya.
Sudah
gila, apa? Kami belum menikah. Kami tidak bisa tidur satu tempat tidur.
Kondisiku
sekarang ini belum cukup buruk, apa?
“Vin...
apa nggak ada tempat tidur lain?” tanyaku pelan.
Ervin
memandangku bingung. “Nggak ada, Dri.Memangnya kenapa?”
“Gue...
aduhhh... gue nggak bisa tidur sama elo satu tempat tidur. Kita... you
know...
belum...” Aku tidak menyelesaikan kalimatku karena Ervin memberikanku
pandangan
seperti dia siap mencekikku.
“Maksud
kamu, kamu mau tidur misah sama aku?”
Aku
mengangguk.
“Memangnya
kenapa? Aku nggak ngorok, kan?” tanya Ervin polos.
Ya
ampuuunnnn, apa dia tidak mengerti dilemaku? teriakku dalam hati.
“Nggak...
nggak... bukan soal ngorok... kita belum... you
know...”
Kalimatku
dipotong lagi oleh Ervin.
“No, I don’t know,”
jawab Ervin.
“Kita
belum nikah,” teriakku.
Kedua
alis Ervin langsung menjadi satu di atas hidungnya yang mancung itu.
Jelas-jelas
dia kelihatan kesal. Tapi daripada mengomeliku, dia malahan turun dari
tempat
tidur, membuka laci nightstand di sebelah kiri dan mengeluarkan sesuatu.
Baru
setelah dia cukup dekat aku bisa lihat ap ayang ada di genggamannya. Sebuah
kotak
beludru berwarna toska. Pelan-pelan dibukanya kotak itu dan dikeluarkannya
sebentuk
cincin berlian yang sangat indah. Lalu dia memasukkan cincin itu ke jari
manis
tangan kiriku.
“Aku
beli cincin ini untuk melamar kamu bulan Mei nanti,” ucapnya pelan.
Aku
hanya bisa menganga menatap Ervin dan cincin yang melingkari jariku.
Jari-jarinya
meraba wajahku. Ervin menatapku dan pada detik itu akhirnya aku
betul-betul
memahami Ervin. Hatiku serasa sedang terbang ke awang-awang.
“I’m trully,”
Ervin mencium keningku, “madly,” dia mencium hidungku,
“deeply,”
sudut bibirku, “and desperately,” bibirku, “in
love with you.” Lalu Ervin
betul-betul
menciumku. Aku bisa mendengar ia sedikit menggeram ketika sadar aku
sedang
membalas ciumannya. Bibirnya meninggalkan bibirku untuk beberapa detik.
Napasnya
memburu. “Please marry me,” ucap Ervin sepenuh hati sambil menatapku.
Semua
es yang menutupi hatiku sudah cair dan kehangatan mulai menyelimuti
hatiku.
Ervin benar-benar mencintaiku. Laki-laki pilihanku, laki-laki yang kucintai
telah
memilihku, dan untuk pertama kalinya aku bisa menerimanya tanpa ada yang
menghalangiku.
Otakku
masih tidak bisa bekerja dengan baik, dan yang keluar dari mulutku
adalah,
“Scarlett?” tanyaku.
Ervin
tertawa dengan keras. “Apa perlu kamu tanya?” tanyanya setelah
tawanya
reda.
Aku
tersenyum atas komentarnya. “Good, soalnya kalau nggak, gue bakalan
kabur
lagi sebelum lo balik dari Amerika dan kali ini lo nggak akan bisa nemuin
kami,”
ucapku sambil mencoba menahan senyuman kebahagiaan yang mulai terasa
di
sudut bibirku.
“Kamu
nggak bakalan tega,” tantangnya.
“Siapa
bilang gue nggak tega?” tantangku balik.
“Soalnya
kamu terlalu cinta sama aku,” ucapnya sok yakin.
Aku
tadinya masih mau menyangkal omongannya dia, tapi aku tidak bisa. Aku
hanya
tersenyum.
Rupanya
senyuman itu membuat Ervin ragu. Dia mencengkeram lenganku.
“Kamu
cinta kan sama aku?” tanyanya.
“Se...
pe... nuh... ha... ti... ku...,” jawabku.
“Kamu
mau kan nikah sama aku?”
Aku
mengangguk.
“Oh God, I love you,”
ucapnya lalu menciumku mulai dari bibir, leher, mata, pipi,
hidung,
kening, dada, semuanya. Sampai akhirnya aku menyerah dan harus berlari
ke
kamar mandi untuk menjauhi Ervin.
Malam
itu aku dan Ervin memang tidur satu tempat tidur. Semalaman dia tidak
mau
melepaskanku dan ketika aku terbangun pukul lima pagi untuk ke kamar
mandi
dia juga terbangun dan mencariku. Aku baru mengerti sekarang apa artinya
hidup
dengan orang yang aku cintai dan juga mencintaiku.
*
* *
Atas
bantuan Pat dan Sony, Ervin bisa mendapatkan tiket pesawat untuk siang itu.
Aku
pergi mengantar Ervin ke bandara dan untuk pertama kalinya kami bisa
bertingkah
bagaikan sepasang kekasih. Dalam perjalanan ke bandara aku meminta
penjelasan
padanya mengenai beberapa hal. Seperti, bagaimana dia bisa tahu aku
menginap
di rumah Vincent? Rupanya dia tiba di Jakarta hari Senin itu jam sebelas
pagi
dan langsung menerima omelan dari Kirana dan Sarah karena aku sudah
menghilang.
Ervin lalu datang ke rumahku untuk menemui ibu dan bapakku dan
menanyakan
keberadaanku. Lalu tanpa melihat reaksi orangtuaku, dia juga
langsung
meminta izin untuk menikahiku. Orangtuaku memberinya izin untuk
menikah
denganku, walaupun mereka tidak bisa memberikan informasi tentang
keberadaanku.
Mereka hanya tahu bahwa aku ada di KL. Saat itu juga dia teringat
akan
pesta pernikahan Eddie, dan langsung menghubungi Othman. Kebetulan
mereka
memang sempat saling tukar kartu nama sewaktu di Lembang. Othman
yang
tidak tahu apa-apa tentang situasiku dengan Ervin langsung menanyakan
kapan
Ervin akan tiba di KL karena aku sudah sampai dan tinggal dengan Vincent.
Othman
tidak pernah memberitahuku tentang kedatangan Ervin karena dia pikir
aku
juga sudah tahu. Setelah mengetahui keberadaanku Ervin merasa lebih tenang
dan
bisa mulai mengurus hal-hal lain yang harus diselesaikan di Jakarta. Dia
meminta
keluarganya untuk mencarikan rumah baru secepatnya, memindahkan
barang-barangnya
dari apartemen, dan mengganti mobilnya.
Lalu
keingintahuanku keluar, dan aku harus menanyakan hal itu.
“Vin,
lo... maksud aku... kapan kamu sadar kalau kamu cinta sama aku?”
Ervin
tersenyum mendengarku mencoba untuk menggunakan kata kamu dan
aku.
“Sejujurnya,
Dri, aku juga nggak tahu kapan persisnya. Awalnya aku cuma
sadar
kamu orangnya ngangenin, itu sebabnya bagaimanapun sibuknya, aku selalu
berusaha
untuk ketemu kamu setiap hari. Yang jelas aku selalu bingung kenapa
kamu
nggak pernah cemburu sama aku. Meskipun kemudian aku akhirnya tahu
alasannya.”
Ervin tersenyum ketika mengatakan hal ini.
“Tapi
aku mulai merasa ada sesuatu yang berbeda di hubungan kita semenjak
malam
kita ketemu Thomas di Hard Rock. Kamu mungkin nggak tahu tentang ini,
tapi
selama tiga tahun di SMA, Thomas nggak ada habis-habisnya ngomongin
kamu.
Didi beginilah, Didi begitulah, aku saja sampai bosan dengarnya. Entah
kenapa,
tapi aku nggak rela kamu ternyata perempuan yang diobsesikan oleh
Thomas
selama ini. Apalagi setelah aku tahu ternyata kamu juga sama terobsesinya
pada
Thomas. Terus aku cium kamu di depan rumah kamu.”
Aku
tertegun dengan kata-kata itu. “Kamu cium aku?” tanyaku.
“Iya,
yang waktu di rumah kamu...”
Aku
potong kalimat Ervin. “Aku yang cium kamu, Vin,” ucapku.
Ervin
tertawa. “Mungkin kamu pikir kamu yang cium aku, tapi sebetulnya aku
yang
cium kamu duluan,” jelas Ervin dengan wajah penuh tawa.
“Tapi
aku rasa aku mulai benar-benar jatuh cinta sama kamu waktu aku lihat
kamu
nangis setelah Thomas dan Olivia pulang. Hatiku remuk waktu lihat kamu
kayak
gitu. Tapi aku masih belum yakin betul dengan perasaanku itu. Aku
sebetulnya
mau tanya apa kamu juga ada rasa sama aku, tapi aku tahu kamu lagi
sedih
dan bingung, jadi aku harus nunggu. Sejujurnya, waktu aku ajak kamu ke
Lembang,
aku memang cuma mau menghibur kamu, supaya kamu nggak sedih lagi.
Tapi
waktu aku lihat gaya kamu yang superseksi...”
“Aku
seksi?” tanyaku bingung.
“Banget,
Dri,” balas Ervin penuh antusias dan mencium tanganku.
“...gaya
seksi kamu itu mulai bikin aku gila. Aku nggak bisa mikirin yang lain
selama
weekend itu. Yang ada di pikiranku cuma kamu. Wajah kamu... suara
kamu...
tangan
kamu... bibir kamu... tubuh kamu... pokoknya semua tentang kamu.”
Ketika
mengatakan hal ini aku lihat wajah Ervin sedikit memerah.
“Aku
sudah coba untuk menghapus hal-hal yang mau kulakukan ke kamu...”
“Misalnya?”
tanyaku penasaran. Aku tidak pernah membayangkan diriku seksi,
apalagi
sampai bisa ada di pikiran laki-laki.
Ervin
melirik ke arahku. “Kamu nggak mau tahu apa yang ada di pikiranku
waktu
itu, Dri,” ucap Ervin tegas.
Aku
langsung mengerti maksudnya. “Oh,” ucapku.
“Exactly,”
balas Ervin.
“Pada
dasarnya, sepulangnya kita dari Lembang, aku sudah seratus persen
yakin
aku jatuh cinta sama kamu karena aku semakin nggak bisa jauh dari kamu.
Aku
berusaha untuk mendekat, maksudnya supaya akhirnya aku bisa ajak kamu
keluar
on a real date, tapi kemudian aku lihat kamu justru menjauh dari aku. Aku
frustrasi...”
Aku
tertawa mendengar penjelasan Ervin.
“Percaya
sama aku, kalau kamu tahu betapa frustrasinya aku saat itu, kamu
nggak
akan ketawa.” Aku langsung terdiam mendengar nada serius Ervin.
“Sori,”
ucapku sambil tetap mencoba untuk menahan senyum.
“Makanya
aku buru-buru terima tawaran untuk jadi Head Divison karena itu
berarti
selama tiga bulan aku akan berada beribu-ribu kilometer dari kamu untuk
mencoba
menetralisir perasaanku ke kamu. Tapi beberapa hari di sana aku nggak
bisa
konsentrasi. Aku berspekulasi sama diriku sendiri apa kamu belum bisa
melupakan
Thomas, makanya kamu nggak bisa lihat bahwa aku cinta sama kamu?
Buntutnya
aku malah pergi beli cincin untuk ngelamar kamu. Terus aku terima
telepon
dari Kirana.”
Aku
langsung merasa tidak enak ketika Ervin menyebutkan nama Kirana dalam
konteks
itu.
“Aku
diomeli habis-habisan karena sudah menghamili anak orang. Aku
langsung
tahu bahwa yang dimaksud sama Kirana itu kamu. Pertama-tama aku
marah,
karena aku pikir kamu memang sengaja mau membuat hidupku lebih
sengsara
lagi. Itu sebabnya aku marah-marah waktu telepon kamu. Selama lebih
dari
tiga puluh jam terbang dari Cincinnati ke Jakarta perasaanku nggak keruan.
Mulai
dari rasa mau ngebunuh kamu sampai mungkin membakar kamu hiduphidup.”
Aku
menarik napas, terkejut dengan keganasan Ervin. Ervin menatapku dalamdalam
lalu
tersenyum mencoba menenangkanku.
“Tapi
semua rasa marah hilang begitu aku tahu kamu minggat. Waktu ketemu
kamu
di rumah Vincent, aku bertekad meyakinkan kamu untuk nikah sama aku,
meskipun
aku masih nggak yakin dengan perasaan kamu. Tapi kemudian kamu
bilang
kamu memang cinta sama aku dan itulah saat pertama aku mulai berharap.
Aku
yakin lambat laun kamu akan mau sama aku, dan selama aku tahu bahwa
kamu
cinta sama aku, aku siap nunggu kamu.”
Aku
mengembuskan napas panjang. Lalu, aku tahu bahwa aku tidak perlu
mengucapkannya,
tapi aku ingin mengucapkannya, “I
love you,” ucapku.
Ervin
tersenyum dan membalas, “I love you
more.”
*
* *
Di
depan gerbang keberangkatan, Ervin memelukku lama sekali sampai akhirnya
aku
harus minta dilepaskan karena tidak bisa bernapas.
“Tungguin
aku ya, tingga minggu saja kok. I’ll
be back before you know it.”
“Aku
sudah nunggu kamu dari Desember, kalau cuma nunggu tiga minggu saja
aku
bisa,” jawabku.
“Maksud
kamu?” tanya Ervin bingung.
“Aku
sudah jatuh cinta sama kamu semenjak malam Tahun Baru,” ucapku
pelan.
Ervin
terlihat terkejut. “Tapi... tapi kok kamu malah menjauh sih?”
“Karena
aku tahu, atau setidak-tidaknya pada saat itu aku pikir, kalau kamu
tahu
aku cinta sama kamu, kamu akan ambil langkah seribu. Akhirnya aku simpan
saja
sendiri perasaanku itu. Aku tahu aku aneh,” jawabku enteng.
“Itu
sebabnya kenapa aku cinta sama kamu.” Ervin menciumku untuk terakhir
kalinya
yang dibalas dengan antusias olehku.
Ervin
sepertinya tidak peduli kami berada di Soekarno-Hatta bukan di LAX dan
ada
banyak orang yang mulai memandangi kami dengan tatapan bingung. Ervin
hanya
melemparkan senyum dan orang-orang itu pun berlalu dengan tersipu-sipu.
“Kamu
tata rumah kita nanti ya? Mau kayak gimana, aku ikut saja.”
Aku
mengangguk. Lalu Ervin menundukkan kepalanya dan berkata, “Bye,
Scarlett,
I love you.”
Aku
hanya bisa tertawa melihat tingkah laku Ervin. Dia lalu memelukku untuk
terakhir
kali dan sebelum aku sadar, dia sudah pergi.
Dalam
perjalanan pulang menuju Bintaro aku memutar skenario hidupku. Suatu
saat
aku akan berterima kasih kepada Baron karena secara tidak langsung dialah
yang
telah menyatukan aku dengan Ervin. Kalau bukan gara-gara Baron, mungkin
hingga
sekarang aku masih menjalani hidupku yang tidak berarti tanpa arah dan
tujuan
yang jelas, hubunganku dengan Ervin masih biasa-biasa saja, semua orang
akan
tetap mencoba untuk mencarikan jodoh untukku, dan yang jelas aku akan
masih merana karena aku masih akan tetap terobsesi Baron.Miss Pesimis - AliaZalea - Epilog
No comments:
Post a Comment