Sunday, September 6, 2015

Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 19

19. SKENARIO HIDUP
SETIBANYA di Jakarta, Ervin tidak membawaku pulang ke rumah orangtuaku atau
ke apartemennya. Dia justru membawaku ke daerah perumahan Bintaro dan
berhenti di depan sebuah rumah bergaya minimalis dengan cat putih. Ketika
melihat Ervin membawa tasku dan tasnya masuk, aku baru sadar bahwa inilah
rumah yang telah dibeli Ervin. Hal pertama yang terlihat olehku ketika memasuki
rumah itu adalah banyak boks bertebaran di mana-mana. Ervin menggiringku ke
salah satu kamar tidur di lantai atas. Begitu Ervin menyalakan lampu, aku langsung
tahu bahwa ini pasti kamar Ervin karena barang-barangnya sama seperti yang ada
di kamar tidur apartemennya. Lain dengan lantai bawah, kamar itu kelihatan rapi
dan teratur.
Ervin meletakkan tasku dan tasnya di depan lemari, aku pikir kemudian dia
akan meninggalkanku sendiri di kamar itu, tapi dia justru mulai menanggalkan
pakaiannya di hadapanku.
“Lo ngapian, Vin?” tanyaku panik.
“Aku mau mandi, lengket,” ucapnya santai sambil melepaskan celana
panjangnya. Alhasil aku bisa melihatnya hanya dengan boxer brief putihnya.
Aku sebetulnya tidak bermaksud menatapnya, tapi aku tidak bisa melihat ke
arah lain. Tiba-tiba aku teringat akan rasa tubuh Ervin di dalam pelukanku, di
atasku. Hanya dengan memikirkan itu aku langsung berasa gerah.
Ervin sudah menghilang ke kamar mandi sambil menanggalkan briefs-nya.
Tanpa menutup pintu dia lalu berteriak.
“Kalau kamu mau mandi juga, masuk saja, shower-nya besar kok,” teriaknya.
Aku ternganga terkejut. Dia mengharapkanku untuk mandi bersamanya? Sudah
gila, kali. Aduh, Tuhan... aku cuma mau membuat laki-laki yang kucintai ini
bahagia, kok susah banget sih? Aku mendengar bunyi shower dinyalakan di kamar
mandi. Samar-samar kudengar Ervin menyanyikan lirik lagu Lifehouse.
Pelan-pelan aku mulai membereskan bajuku. Kukeluarkan kamisol untuk tidur
dan celana dalamku. Aku baru sadar celana yang biasa kukenakan untuk tidur
tertinggal di tempat Vincent. Kubuka lemari Ervin untuk mencari celana piama yang
bisa kupinjam. Aku sedang mencari di mana dia meletakkan baju tidur ketika
melihat satu botol lotion yang sangat familier di antara kaus-kaus. Lho kok... itu
kan... Benar saja. Itu botol lotion-ku yang masih separo penuh. Aku yakin itu
memang lotion-ku karena tutupnya retak, hasil dari keteledoranku di kamar mandi.
Beberapa bulan yang lalu aku memang kehilangan satu botol lotion, aku sempat
kesal karena kusangka aku tidak sengaja meninggalkan lotion itu di Lembang,
padahal itu adalah persediaan terakhirku. Kok ada di lemari Ervin sih?
“Dri, aku sudah selesai.” Aku mendengar suara Ervin.
Aku melongok dari balik pintu lemari sambil menggenggam botol lotion itu.
“Vin... lotion gue kok ada di elo sih?” tanyaku sambil menunjukkan botol itu
padanya.
Ervin kelihatan agak kaget melihat botol itu, lalu dia terlihat malu.
“Oh... itu... mmmmhhhhh... aku suka... eerrr... kangen sama bau kamu. Sori,
bukan maksud aku untuk ngembat, tapi sayangnya kamu nggak bisa aku bawa ke
Cincinnati, jadi aku bawa lotion kamu saja,” ucap Ervin dengan wajah agak-agak
bersalah.
“Hah?” teriakku.
Tetesan-tetesan air dari rambutnya mulai membasahi dadanya yang belum
ditutupi kaus. Handuk warna biru donker menutupi pinggangnya hingga dengkul.
Dia kelihatan seperti model Calvin Klein.
“Omong-omong, waktu kemarin aku di Cincinnati, aku cari lotion itu. Kamu
bilang stok kamu sudah habis, jadi aku sempatkan untuk beli beberapa botol. Masih
ada di koper, belum keluar semenjak aku balik dari sana.”
Ervin berjalan ke arahku. Aku masih bengong. Dengan cueknya Ervin lalu
mengambil lotion itu dari tanganku, mencium bibirku, dan mengembalikan lotion itu
ke lemarinya setelah menghirup aromanya beberapa detik.
Dia kemudian mulai mengenakan pakaiannya di depanku tanpa ada rasa malu.
Aku bisa melihat semua bagian dirinya. Bukan hal baru sebetulnya, tapi aku masih
tetap kaget bisa melihat tubuhnya di luar konteks seks. Setelah berpakaian dengan
celana piama kotak-kotak dan kaus putih favoritnya, dia mencium bibirku lagi.
Night sweetie,” ucapnya dan tanpa disangka-sangka dia langsung loncat ke atas
tempat tidur dan mengatur posisi untuk tidur.
Maksudnya dia apa sih? Kalau dia tidur di sini, aku harus tidur di mana?
“Oh ya, kamu biasanya tidur di sebelah mana ya? Nggak apa-apa kan kalau aku
tidur di sebelah kanan?” tanya Ervin yang tiba-tiba sudah duduk kembali di tempat
tidur sambil menunggu jawabanku.
Ternyata benar... dia mengharapkan aku tidur satu tempat tidur dengannya.
Sudah gila, apa? Kami belum menikah. Kami tidak bisa tidur satu tempat tidur.
Kondisiku sekarang ini belum cukup buruk, apa?
“Vin... apa nggak ada tempat tidur lain?” tanyaku pelan.
Ervin memandangku bingung. “Nggak ada, Dri.Memangnya kenapa?”
“Gue... aduhhh... gue nggak bisa tidur sama elo satu tempat tidur. Kita... you
know... belum...” Aku tidak menyelesaikan kalimatku karena Ervin memberikanku
pandangan seperti dia siap mencekikku.
“Maksud kamu, kamu mau tidur misah sama aku?”
Aku mengangguk.
“Memangnya kenapa? Aku nggak ngorok, kan?” tanya Ervin polos.
Ya ampuuunnnn, apa dia tidak mengerti dilemaku? teriakku dalam hati.
“Nggak... nggak... bukan soal ngorok... kita belum... you know...”
Kalimatku dipotong lagi oleh Ervin.
No, I don’t know,” jawab Ervin.
“Kita belum nikah,” teriakku.
Kedua alis Ervin langsung menjadi satu di atas hidungnya yang mancung itu.
Jelas-jelas dia kelihatan kesal. Tapi daripada mengomeliku, dia malahan turun dari
tempat tidur, membuka laci nightstand di sebelah kiri dan mengeluarkan sesuatu.
Baru setelah dia cukup dekat aku bisa lihat ap ayang ada di genggamannya. Sebuah
kotak beludru berwarna toska. Pelan-pelan dibukanya kotak itu dan dikeluarkannya
sebentuk cincin berlian yang sangat indah. Lalu dia memasukkan cincin itu ke jari
manis tangan kiriku.
“Aku beli cincin ini untuk melamar kamu bulan Mei nanti,” ucapnya pelan.
Aku hanya bisa menganga menatap Ervin dan cincin yang melingkari jariku.
Jari-jarinya meraba wajahku. Ervin menatapku dan pada detik itu akhirnya aku
betul-betul memahami Ervin. Hatiku serasa sedang terbang ke awang-awang.
I’m trully,” Ervin mencium keningku, “madly,” dia mencium hidungku,
deeply,” sudut bibirku, “and desperately,” bibirku, “in love with you.” Lalu Ervin
betul-betul menciumku. Aku bisa mendengar ia sedikit menggeram ketika sadar aku
sedang membalas ciumannya. Bibirnya meninggalkan bibirku untuk beberapa detik.
Napasnya memburu. “Please marry me,” ucap Ervin sepenuh hati sambil menatapku.
Semua es yang menutupi hatiku sudah cair dan kehangatan mulai menyelimuti
hatiku. Ervin benar-benar mencintaiku. Laki-laki pilihanku, laki-laki yang kucintai
telah memilihku, dan untuk pertama kalinya aku bisa menerimanya tanpa ada yang
menghalangiku.
Otakku masih tidak bisa bekerja dengan baik, dan yang keluar dari mulutku
adalah, “Scarlett?” tanyaku.
Ervin tertawa dengan keras. “Apa perlu kamu tanya?” tanyanya setelah
tawanya reda.
Aku tersenyum atas komentarnya. “Good, soalnya kalau nggak, gue bakalan
kabur lagi sebelum lo balik dari Amerika dan kali ini lo nggak akan bisa nemuin
kami,” ucapku sambil mencoba menahan senyuman kebahagiaan yang mulai terasa
di sudut bibirku.
“Kamu nggak bakalan tega,” tantangnya.
“Siapa bilang gue nggak tega?” tantangku balik.
“Soalnya kamu terlalu cinta sama aku,” ucapnya sok yakin.
Aku tadinya masih mau menyangkal omongannya dia, tapi aku tidak bisa. Aku
hanya tersenyum.
Rupanya senyuman itu membuat Ervin ragu. Dia mencengkeram lenganku.
“Kamu cinta kan sama aku?” tanyanya.
“Se... pe... nuh... ha... ti... ku...,” jawabku.
“Kamu mau kan nikah sama aku?”
Aku mengangguk.
Oh God, I love you,” ucapnya lalu menciumku mulai dari bibir, leher, mata, pipi,
hidung, kening, dada, semuanya. Sampai akhirnya aku menyerah dan harus berlari
ke kamar mandi untuk menjauhi Ervin.
Malam itu aku dan Ervin memang tidur satu tempat tidur. Semalaman dia tidak
mau melepaskanku dan ketika aku terbangun pukul lima pagi untuk ke kamar
mandi dia juga terbangun dan mencariku. Aku baru mengerti sekarang apa artinya
hidup dengan orang yang aku cintai dan juga mencintaiku.
* * *
Atas bantuan Pat dan Sony, Ervin bisa mendapatkan tiket pesawat untuk siang itu.
Aku pergi mengantar Ervin ke bandara dan untuk pertama kalinya kami bisa
bertingkah bagaikan sepasang kekasih. Dalam perjalanan ke bandara aku meminta
penjelasan padanya mengenai beberapa hal. Seperti, bagaimana dia bisa tahu aku
menginap di rumah Vincent? Rupanya dia tiba di Jakarta hari Senin itu jam sebelas
pagi dan langsung menerima omelan dari Kirana dan Sarah karena aku sudah
menghilang. Ervin lalu datang ke rumahku untuk menemui ibu dan bapakku dan
menanyakan keberadaanku. Lalu tanpa melihat reaksi orangtuaku, dia juga
langsung meminta izin untuk menikahiku. Orangtuaku memberinya izin untuk
menikah denganku, walaupun mereka tidak bisa memberikan informasi tentang
keberadaanku. Mereka hanya tahu bahwa aku ada di KL. Saat itu juga dia teringat
akan pesta pernikahan Eddie, dan langsung menghubungi Othman. Kebetulan
mereka memang sempat saling tukar kartu nama sewaktu di Lembang. Othman
yang tidak tahu apa-apa tentang situasiku dengan Ervin langsung menanyakan
kapan Ervin akan tiba di KL karena aku sudah sampai dan tinggal dengan Vincent.
Othman tidak pernah memberitahuku tentang kedatangan Ervin karena dia pikir
aku juga sudah tahu. Setelah mengetahui keberadaanku Ervin merasa lebih tenang
dan bisa mulai mengurus hal-hal lain yang harus diselesaikan di Jakarta. Dia
meminta keluarganya untuk mencarikan rumah baru secepatnya, memindahkan
barang-barangnya dari apartemen, dan mengganti mobilnya.
Lalu keingintahuanku keluar, dan aku harus menanyakan hal itu.
“Vin, lo... maksud aku... kapan kamu sadar kalau kamu cinta sama aku?”
Ervin tersenyum mendengarku mencoba untuk menggunakan kata kamu dan
aku.
“Sejujurnya, Dri, aku juga nggak tahu kapan persisnya. Awalnya aku cuma
sadar kamu orangnya ngangenin, itu sebabnya bagaimanapun sibuknya, aku selalu
berusaha untuk ketemu kamu setiap hari. Yang jelas aku selalu bingung kenapa
kamu nggak pernah cemburu sama aku. Meskipun kemudian aku akhirnya tahu
alasannya.” Ervin tersenyum ketika mengatakan hal ini.
“Tapi aku mulai merasa ada sesuatu yang berbeda di hubungan kita semenjak
malam kita ketemu Thomas di Hard Rock. Kamu mungkin nggak tahu tentang ini,
tapi selama tiga tahun di SMA, Thomas nggak ada habis-habisnya ngomongin
kamu. Didi beginilah, Didi begitulah, aku saja sampai bosan dengarnya. Entah
kenapa, tapi aku nggak rela kamu ternyata perempuan yang diobsesikan oleh
Thomas selama ini. Apalagi setelah aku tahu ternyata kamu juga sama terobsesinya
pada Thomas. Terus aku cium kamu di depan rumah kamu.”
Aku tertegun dengan kata-kata itu. “Kamu cium aku?” tanyaku.
“Iya, yang waktu di rumah kamu...”
Aku potong kalimat Ervin. “Aku yang cium kamu, Vin,” ucapku.
Ervin tertawa. “Mungkin kamu pikir kamu yang cium aku, tapi sebetulnya aku
yang cium kamu duluan,” jelas Ervin dengan wajah penuh tawa.
“Tapi aku rasa aku mulai benar-benar jatuh cinta sama kamu waktu aku lihat
kamu nangis setelah Thomas dan Olivia pulang. Hatiku remuk waktu lihat kamu
kayak gitu. Tapi aku masih belum yakin betul dengan perasaanku itu. Aku
sebetulnya mau tanya apa kamu juga ada rasa sama aku, tapi aku tahu kamu lagi
sedih dan bingung, jadi aku harus nunggu. Sejujurnya, waktu aku ajak kamu ke
Lembang, aku memang cuma mau menghibur kamu, supaya kamu nggak sedih lagi.
Tapi waktu aku lihat gaya kamu yang superseksi...”
“Aku seksi?” tanyaku bingung.
“Banget, Dri,” balas Ervin penuh antusias dan mencium tanganku.
“...gaya seksi kamu itu mulai bikin aku gila. Aku nggak bisa mikirin yang lain
selama weekend itu. Yang ada di pikiranku cuma kamu. Wajah kamu... suara kamu...
tangan kamu... bibir kamu... tubuh kamu... pokoknya semua tentang kamu.”
Ketika mengatakan hal ini aku lihat wajah Ervin sedikit memerah.
“Aku sudah coba untuk menghapus hal-hal yang mau kulakukan ke kamu...”
“Misalnya?” tanyaku penasaran. Aku tidak pernah membayangkan diriku seksi,
apalagi sampai bisa ada di pikiran laki-laki.
Ervin melirik ke arahku. “Kamu nggak mau tahu apa yang ada di pikiranku
waktu itu, Dri,” ucap Ervin tegas.
Aku langsung mengerti maksudnya. “Oh,” ucapku.
Exactly,” balas Ervin.
“Pada dasarnya, sepulangnya kita dari Lembang, aku sudah seratus persen
yakin aku jatuh cinta sama kamu karena aku semakin nggak bisa jauh dari kamu.
Aku berusaha untuk mendekat, maksudnya supaya akhirnya aku bisa ajak kamu
keluar on a real date, tapi kemudian aku lihat kamu justru menjauh dari aku. Aku
frustrasi...”
Aku tertawa mendengar penjelasan Ervin.
“Percaya sama aku, kalau kamu tahu betapa frustrasinya aku saat itu, kamu
nggak akan ketawa.” Aku langsung terdiam mendengar nada serius Ervin.
“Sori,” ucapku sambil tetap mencoba untuk menahan senyum.
“Makanya aku buru-buru terima tawaran untuk jadi Head Divison karena itu
berarti selama tiga bulan aku akan berada beribu-ribu kilometer dari kamu untuk
mencoba menetralisir perasaanku ke kamu. Tapi beberapa hari di sana aku nggak
bisa konsentrasi. Aku berspekulasi sama diriku sendiri apa kamu belum bisa
melupakan Thomas, makanya kamu nggak bisa lihat bahwa aku cinta sama kamu?
Buntutnya aku malah pergi beli cincin untuk ngelamar kamu. Terus aku terima
telepon dari Kirana.”
Aku langsung merasa tidak enak ketika Ervin menyebutkan nama Kirana dalam
konteks itu.
“Aku diomeli habis-habisan karena sudah menghamili anak orang. Aku
langsung tahu bahwa yang dimaksud sama Kirana itu kamu. Pertama-tama aku
marah, karena aku pikir kamu memang sengaja mau membuat hidupku lebih
sengsara lagi. Itu sebabnya aku marah-marah waktu telepon kamu. Selama lebih
dari tiga puluh jam terbang dari Cincinnati ke Jakarta perasaanku nggak keruan.
Mulai dari rasa mau ngebunuh kamu sampai mungkin membakar kamu hiduphidup.”
Aku menarik napas, terkejut dengan keganasan Ervin. Ervin menatapku dalamdalam
lalu tersenyum mencoba menenangkanku.
“Tapi semua rasa marah hilang begitu aku tahu kamu minggat. Waktu ketemu
kamu di rumah Vincent, aku bertekad meyakinkan kamu untuk nikah sama aku,
meskipun aku masih nggak yakin dengan perasaan kamu. Tapi kemudian kamu
bilang kamu memang cinta sama aku dan itulah saat pertama aku mulai berharap.
Aku yakin lambat laun kamu akan mau sama aku, dan selama aku tahu bahwa
kamu cinta sama aku, aku siap nunggu kamu.”
Aku mengembuskan napas panjang. Lalu, aku tahu bahwa aku tidak perlu
mengucapkannya, tapi aku ingin mengucapkannya, “I love you,” ucapku.
Ervin tersenyum dan membalas, “I love you more.”
* * *
Di depan gerbang keberangkatan, Ervin memelukku lama sekali sampai akhirnya
aku harus minta dilepaskan karena tidak bisa bernapas.
“Tungguin aku ya, tingga minggu saja kok. I’ll be back before you know it.”
“Aku sudah nunggu kamu dari Desember, kalau cuma nunggu tiga minggu saja
aku bisa,” jawabku.
“Maksud kamu?” tanya Ervin bingung.
“Aku sudah jatuh cinta sama kamu semenjak malam Tahun Baru,” ucapku
pelan.
Ervin terlihat terkejut. “Tapi... tapi kok kamu malah menjauh sih?”
“Karena aku tahu, atau setidak-tidaknya pada saat itu aku pikir, kalau kamu
tahu aku cinta sama kamu, kamu akan ambil langkah seribu. Akhirnya aku simpan
saja sendiri perasaanku itu. Aku tahu aku aneh,” jawabku enteng.
“Itu sebabnya kenapa aku cinta sama kamu.” Ervin menciumku untuk terakhir
kalinya yang dibalas dengan antusias olehku.
Ervin sepertinya tidak peduli kami berada di Soekarno-Hatta bukan di LAX dan
ada banyak orang yang mulai memandangi kami dengan tatapan bingung. Ervin
hanya melemparkan senyum dan orang-orang itu pun berlalu dengan tersipu-sipu.
“Kamu tata rumah kita nanti ya? Mau kayak gimana, aku ikut saja.”
Aku mengangguk. Lalu Ervin menundukkan kepalanya dan berkata, “Bye,
Scarlett, I love you.”
Aku hanya bisa tertawa melihat tingkah laku Ervin. Dia lalu memelukku untuk
terakhir kali dan sebelum aku sadar, dia sudah pergi.
Dalam perjalanan pulang menuju Bintaro aku memutar skenario hidupku. Suatu
saat aku akan berterima kasih kepada Baron karena secara tidak langsung dialah
yang telah menyatukan aku dengan Ervin. Kalau bukan gara-gara Baron, mungkin
hingga sekarang aku masih menjalani hidupku yang tidak berarti tanpa arah dan
tujuan yang jelas, hubunganku dengan Ervin masih biasa-biasa saja, semua orang
akan tetap mencoba untuk mencarikan jodoh untukku, dan yang jelas aku akan
masih merana karena aku masih akan tetap terobsesi Baron.


Miss Pesimis - AliaZalea - Epilog

No comments:

Post a Comment