Sunday, September 6, 2015

Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 16

16. MEMENUHI KEBUTUHAN

AKU menolak bersembunyi di kamarku. Bagaimanapun juga, kejadian tadi malam
adalah pilihanku, bukan suatu paksaan siapa pun. Aku mencoba menghadapi Ervin.
Ketika aku keluar dari kamarku, Ervin sedang duduk di depan TV yang
dibiarkannya tidak bersuara. Di TV, Oprah sedang mewawancarai Tom Hanks.
Kelihatannya Ervin belum mandi karena dia masih menggunakan celana piama dan
kaus tidurnya. Rambut jabriknya terlihat seperti jengger ayam yang agak layu dan
matanya agak-agak merah, seperti orang yang tidak tidur semalaman.
“Lo hangover, Vin?” tanyaku lalu duduk di sampingnya.
Ervin memandangiku dengan tatapan kesal sebelum menjawab, “Nggak.”
“Eh, kemarin lo bilang mau ke Dago? Masih mau pergi? Gue pergi deh sama
elo.”
“Lo dah telepon Pat?” tanya Ervin sambil mengganti channel TV dengan remote
control.
“Belum. Besok pagi saja,” jawabku. Jujur saja, aku lupa sama sekali untuk
menelepon Pat.
“Lo takut?” tantangnya.
“Siapa yang takut. Gue cuma mikir mendingan gue telepon dia besok pagi, biar
lebih meyakinkan kalau gue sakit. Gitu lho.”
“Gue bilang lo takut.”
“Sudah dibilang nggak, lo nggak dengar, ya?”
“Itu kan cuma soal kecil, Dri. Orang sering kok melakukan itu. Kalau memang lo
butuh, kenapa nggak minta?”
“Iya, gue tahu orang sering izin, tapi gue nggak bisa. Gue nggak tega ninggalin
Pat dan Sony untuk ngerjain pekerjaan gue. Lagian juga hari libur gue sudah habis.”
“Kok bisa sih self control lo segitu tingginya? Padahal orang kalau sudah sampai
second base susah berhenti. Itu keputusan yang nggak bisa dibalik.”
Ervin lagi membicarakan apa sih? pikirku.
Second base? Memangnya baseball?” tanyaku sambil tertawa lalu mencoba
merebut remote dari tangan Ervin.
“Lo ngapain sih?” tanya Ervin sambil masih tetap mempertahankan remote di
tangannya dan menjauhkannya dari jangkauanku.
“Pinjam dong, gue mau lihat Oprah.” Aku masih mencoba merebut remote itu
tapi tidak berhasil. Tangan Ervin yang jelas-jelas lebih panjang daripada tanganku
dengan mudahnya menjauhkan remote itu dari jangkauanku.
Untuk beberapa menit kami pun sibuk berebut remote sambil sama-sama tertawa
karena urusan ini sebetulnya tidak seharusnya dilakukan oleh dua orang dewasa
yang sudah melewati ulang tahun ketiga puluh mereka. Namun, akhirnya aku bisa
merebut remote itu dari tangannya.
* * *
Hari itu kami akhirnya memang memutuskan untuk pergi ke Dago. Ervin
memperbolehkanku untuk mengemudikan mobilnya agar aku tidak mual. Dan
tidak sengaja kami bertemu lagi dengan Eddie dan pasukannya.
How’s your head?” tanyaku pada Eddie ketika kami sudah duduk di salah satu
restoran untuk makan.
It’s okay,” ucap Eddie sambil tertawa. Dia hanya minum air putih dan makan
roti bakar.
Aku tertawa melihat tampangnya yang bersusah payah mencoba menelan
sepotong roti. Perutnya pasti masih tidak keruan rasanya setelah delapan shot
tequilla masuk ke tubuhnya.
Ada plan for tonight?” tanya Othman padaku.
Setelah semalam, aku tahu kalau Othman selalu berbicara dengan bahasa
Inggris bercampur dengan bahasa Melayu. Menurutku itu kocak sekali.
“Tidak, masih mencari cara untuk bohong pada bosku supaya tidak usah kerja
besok,” jawabku sambil makan sate ayamku.
“Kau mesti kerja besok?” tanya Eddie dan Zach kaget.
Tapi ini Tahun Baru, tak ada orang nak buat kerja,” teriak Othman.
Well, sepertinya di Malaysia tidak usah kerja soalnya kalian toh masih berlibur
di sini,” balasku sambil tertawa.
“Bilang saja kamu sakit atau apa,” lanjut Zach.
I know, I know... bilan gsaja kamu mabuk berat jadi tidak bisa kerja,” sambar
Eddie.
Or, or... kamu terlalu capek setelah a crazy but very fulfilling last minute sex to
complete the quota for this year,” sambung Zach.
Yang disambut oleh kata, “What?” Dari kami berempat.
I was just saying...” Zach tidak menyelesaikan kalimatnya karena dipelototi oleh
Eddie.
Aku tertawa cekikikan melihat reaksi Zach yang seperti anak SD yang baru
ditegur oleh gurunya.
You know what... here, awak guna phone saya, awak telefon bos awak tu dan cakap kat
dia, kalau awak nak ambil cuti,” Othman menyodorkan HP-nya.
No... no... it’s fine, I’ll do it later,” tolakku.
Kena buat sekarang lah, nanti lambat. Dah hampir jam lapan dah, you don’t want to be
rude by calling people after dinner.”
Call... call... call... call...,” teriak keempat laki-laki gila yang sedang duduk
bersamaku.
Aku agak panik karena sekarang banyak orang yang mulai menoleh ke arah
kami.
Okay, okay... I’ll call him now. Goddamnit, aku bisa dipecat gara-gara ini,” ucapku
sambil mengeluarkan HP dari tasku dan menekan nomor HP Pat.
Aku meninggalkan mejaku dan berbicara dengan Pat selama beberapa menit di
depan WC perempuan. Pat ternyata tidak peduli bahwa aku akan izin besok karena
dia sendiri akan mengambil off. Dia hanya bertanya apa aku baik-baik saja dan
mengucapkan Happy New Year. Izin dari Pat itu disambut teriakan gembira dari
keempat laki-laki sableng di mejaku itu.
“Hei, aku ngomong sama Vincent tadi pagi dan dia pengin ketemu kamu,” ucap
Eddie ketika aku sudah duduk kembali di mejaku.
“Begitu ya?” tanyaku kagok karena Ervin sedang mengerlingkan matanya
penuh curiga.
“Yeah, datanglah ke KL kapan-kapan. Kami ajak kamu jalan-jalan. Bagaimana
kalau kamu datang ke pernikahanku April nanti?”
Are you serious?” tanyaku.
“Yeah, kamu belum pernah lihat acara pernikahan tradisional Cina, kan?”
Aku menggeleng.
So you should come. Pernikahannya tanggal 22, hari Jumat. Tapi kamu harus
datang ke resepsinya, tanggal 23,” jawab Eddie. “You should come too, man, if you
could,” lanjutnya mengundang Ervin.
Okay, I’ll think about it,” ucapku.
You do that and let me know,” kata Eddie dan tersenyum kepadaku.
Akhirnya kami hangout sampai malam yang diakhiri dengan acara clubbing.
Tadinya aku sudah mau menolak tapi setelah dibujuk oleh Othman yang katanya
mau lihat club-nya orang Indonesia, akhirnya aku memutuskan untuk bela-belain
pergi. Alhasil, selama di club aku berputar di antara beberapa laki-laki. Dari Ervin ke
Zach, Othman, Ervin lagi, satu laki-laki yang berhasil mendekatiku meskipun telah
diblokir oleh keempat bodyguard-ku, lalu Eddie, dan akhirnya Ervin lagi. Mulai dari
versi remix lagunya Anggun sampai Hillary Duff, semuanya kuikuti.
Usahaku untuk have a one night stand before New Year kelihatannya mulai
menipis, dan aku memutuskan untuk pulang ke hotel dan melanjutkan pencarianku
di bar hotel, jauh dari keempat bodyguard-ku. Tapi Ervin tidak mengizinkanku
pulang sendiri, akhirnya dia ikut pulang ke hotel juga dan gagallah rencanaku.
* * *
Aku masuk cottage dengan dongkol karena Ervin tidak memperbolehkanku pergi ke
bar hotel sendiri.
“Nggak, Dri, ini sudah jam satu pagi. Nggak bagus buat perempuan datang
sendirian ke bar jam segini,” omelnya sambil membuka pintu lemari es dan
mengeluarkan sebotol air putih.
“Lo kok ngatur gue gini sih? Terserah gue dong gue mau ngapain. Kan lo sudah
tahu tujuan gue ke sini untuk apa.”
“Iya, tapi bukan berarti lo harus make-out sama siapa saja dong, Dri.” Suaranya
masih tenang, membuatku gondok.
“Siapa bilang gue make-out sama siapa saja? Lo sama watch dogs yang lain nggak
ngasih gue kesempatan.”
Watch dogs?”
“Iya. Elo, Zach, Eddie, dan Othman. Lo ngomong apa sih ke mereka sampai
mereka melototin tiap laki-laki yang minta nge-dance sama gue?”
“Ya soalnya setiap laki-laki yang mau nge-dance sama elo malam ini juga mau
ngeraba-raba elo, Dri.”
“Biarin saja, gue memang lagi mau diraba-raba kok.”
“Lo memang lagi...” Ervin terdiam sejenak, keningnya berkerut seperti sedang
mencoba untuk mencari kata yang tepat. Lalu “...dalam tahap penyembuhan, tapi
bukan begini caranya,” lanjutnya masih tetap terdengar tenang.
“Oh ya? Kalau lo tahu cara lain yang punya efek lebih cepat, lo bilang ke gue.
Tapi untuk saat sekarang gue perlu have a one night stand before the New Year, okay.”
Ervin membuang botol kosong yang digenggamnya dan berjalan ke arahku,
wajahnya sangar. Matanya berapi-api.
“Apa maksud lo sama one night stand?”
Bagus, aku telah membuatnya marah. Aku lebih baik bertengkar dengan orang
yang memang membentakku daripada orang yang hanya mengucapkan kata-kata
dengan nada tenang dan menggurui.
You know, seorang perempuan dan seorang laki-laki... sama-sama... ML....”
Ervin memotong kalimatku.
“Gue tahu one night stand itu apa. Maksud gue, kenapa lo perlu itu?”
“Oh, come on... lo nggak buta, kan? Lo tahu kan kalau manusia itu ada
kebutuhannya. Ya gue lagi butuh,” balasku lalu melangkah ke kamar tidurku.
“Lo nggak bisa tidur sama orang seenaknya, Dri.” Ervin mengikutiku masuk ke
kamar.
“Oh ya? Kenapa tuh? Lo saja bisa kok, kenapa gue nggak?”
Aku menghadap Ervin yang berdiri di depan pintu dan harus mundur
selangkah ketika melihat ekspresi wajahnya.
Uh-oh... aku sudah salah bicara.
“Maksud lo?” Tubuhnya yang tinggi itu tiba-tiba membuat segala sesuatu di
sekelilingnya menjadi kecil.
“Nggak usah sok nggak tahu deh....”
“Gue nggak pernah tidur sama perempuan seenak gue. Itu tergantung sama
perempuannya, mereka harus sudah siap dan mau.” Dia berjalan ke arahku. “Dan
gue selalu pakai protection,” tambahnya geram.
“Siapa bilang gue nggak akan pakai protection? Gue sudah siapin kok.” Jelasjelas
aku bohong. Aku sebetulnya tidak memikirkan rencanaku dengan matang.
Aku tidak bawa kondom karena sejujurnya kalau ada orang yang menanyakan
tentang ukuran kondom, aku tidak akan bisa menjawab. Aku hanya tahu satu brand
kondom, Durex, itu saja. Aku juga tidak pernah minum pil KB. Aku tidak
mempertimbangkan bahwa akan ada suatu konsekuensi kalau aku sudah
berhubungan intim dengan seorang laki-laki. Aku tahu bahwa seharusnya ada suatu
perhitungan yang bisa dilakukan untuk berhubungan intim tanpa pelindung untuk
mencegah kehamilan. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara menghitungnya. Dulu
memang pernah diajarkan pada saat sex education sewaktu SMA, tapi aku lupa
karena sudah lama. Lagi pula memang tidak pernah kupraktikkan, jadi aku tidak
pernah berusaha untuk mengingat-ingat informasi itu.
Goddamnit, that’s not the point.” Teriakan Ervin menarikku kembali ke realita.
“Jadi maksudnya apa dong?” balasku dengan nada agak mengejek.
“Maksud gue, lo nggak tahu gimana laki-laki itu, mereka banyak yang kurang
ajar dan nggak tahu cara memperlakukan perempuan sewaktu ML.”
Aku ternganga. Jangan-jangan... Ya ampuuuuunnnnnnn, gimana dia bisa tahu
sih aku masih perawan? Memangnya kelihatan? Apajangan-jangan ada suatu tanda
di keningku yang bertuliskan PERAWAN dengan tinta merah.
Tubuhku mulai gemetar karena rasa terpojok dan kemarahan yang tidak
terbendung lagi. Mungkin buat dia seks tidak akan menyelesaikan masalah, tapi itu
adalah satu-satunya hal yang bisa menyelesaikan masalahku sekarang ini.
Fuck it, I”m going to the bar,” ucapku lalu mengambil dompet dan kunci kamar
dan melangkah pergi.
“Dri!!!!!!!!!!!!!!!!” teriak Ervin, membuat langkahku terhenti karena kaget dan
berbalik menatapnya.
Do you really want to do this?” tanyanya, nadanya melembut.
Dari matanya kulihat bahwa dia sedang mencoba untuk memahami keadaanku.
Aku mengangguk.
“Lo yakin lo siap?” Dia memandangiku dari seberang ruangan. Sekali lagi
nadanya lembut, tapi kini terdengar putus asa.
Aku lagi-lagi mengangguk.
Ervin menarik napas panjang. Aku pun melakukan hal yang sama. Aku
bersyukur akhirnya dia bisa mengerti keadaanku. Aku tersenyum padanya.
“Tutup pintunya,” ucapnya pelan.
“Hah?”
What the hell??? teriakku dalam hati.
“Tutup pintunya, kalau lo memang siap untuk seks. Lo harus mulai dari gue.
Gue aman, Dri.”
“Sama elo? Sudah gila, kali. Nggak mau,” ucapku siap untuk melangkah keluar
dari cottage. Tapi Ervin sudah berdiri di sampingku dan menutup pintu yang sudah
setengah terbuka itu.
“Apa lo akan lebih mau kalau gue ini Thomas?” tanya Ervin dengan nada
sedikit marah.
“Itu bukan urusan lo,” geramku dan mendorong Ervin dari depan pintu.
Ervin bergeming. “Dia sudah pilih Olivia, dia nggak milih elo, Dri,” ucap Ervin
dengan tenang sambil menatapku dalam-dalam.
Aku tidak bisa berkata-kata. Hatiku sudah cukup terluka tanpa perlu air jeruk
yang sekarang sedang ditumpahkannya di lukaku itu. Beribu-ribu jarum sedang
menusuk-nusuk mataku dan aku yakin bahwa aku akan menangis kalau aku tidak
bertindak dengan cepat.
“Lo memang nggak punya hati, Vin,” geramku sambil menatap Ervin dengan
penuh kemarahan. Tubuhku terasa panas.
Ervin terlihat kaget dengan perkataanku. Kemudian tanpa kusangka-sangka dia
mengangkat tangan kirinya dan jari-jarinya mulai menyentuhku. Perlahan-lahan
jari-jari itu menyentuh wajahku, leherku, sepanjang tanganku, sebelum kembali lagi
ke wajahku. Tanpa kusadari aku sudah menahan napas setiap kali jari-jari itu
bergerak dan mengembuskan napas ketika jari-jari itu berhenti. Jantungku mulai
berdebar-debar.
FOKUS, ADRIIIII... FOKUS...
Ervin tidak melepaskan tatapannya selama jari-jarinya menyentuhku.
“Gue punya hati, Dri,” ucapnya singkat dan dia langsung menciumku.
Pertama-tama aku menolak ciuman itu dan mencoba mendorong tubuh Ervin
agar menjauh. Tapi kemudian lidahnya mulai terasa di mulutku dan semua
rencanaku buyar. Tanpa kusadari, tanganku sudah menyentuh punggungnya. Aku
bisa merasakan bagian depan celana jins Ervin bergesekan dengan pahaku. Hari itu
aku mengenakan babydoll dengan motif kotak-kotak, mirip sekali dengan tukang jual
susu di kaleng Susu Bendera. Yang jelas penampilanku sama sekali tidak seksi. Tapi
sepertinya Ervin tidak memperhatikan hal itu.
This is a really bad idea.” Aku mencoba berkata di antara ciumannya, tapi aku
tidak bisa berhenti membalas ciumannya.
Bagaikan tidak mendengarku, Ervin menciumku lebih dalam. “I love your smell,”
ucap Ervin sambil menyapu leherku dengan bibirnya sebelum kemudian
memberikan ciuman-ciuman lembut di sekitar bahuku.
“Yeah?” Aku mencoba memfokuskan pikiranku. Aku tidak pernah tahu
tubuhku bisa bereaksi seperti ini. Jelas-jelas ini tidak pernah terjadi dengan Vincent,
bahkan Baron.
Fresh, kayak rumput baru dipotong,” jawabnya dan ciumannya beralih ke daun
telingaku.
Aku tidak menanggapi komentar Ervin karena tangannya sudah menyentuh
payudaraku. Kemudian tiba-tiba dia berhenti menciumku dan mundur beberapa
langkah. Aku hampir saja jatuh ke lantai karena kakiku terasa terlalu lemas. Setelah
yakin bahwa aku tidak jatuh tersungkur, kualihkan perhatianku kepada Ervin.
Wajahnya merah padam dan matanya memandangku dalam. Tatapannya bermula
dari mataku, kemudian turun ke bibir, ke leher, ke dadaku yang untungnya masih
tertutup oleh bajuku, ke perut, ke bawah perut, lalu kembali lagi ke mataku. Aku
yang bingung atas reaksinya cuma bisa memandanginya. Pelan-pelan aku maju ke
arahnya dan menyentuh dadanya. Satu per satu kancing kemejanya mulai
kulepaskan. Ervin tidak protes, dia hanya memperhatikanku. Rupanya dia sedang
menunggu hingga aku yang maju untuk memberinya tanda bahwa aku juga mau
apa yang dia inginkan.
Dan saat itu aku sadar, aku akan melepaskan keperawananku pada Ervin. Apa
normal bagi seorang wanita untuk melakukan ini dengan salah satu teman baiknya?
Dengan perlahan Ervin membaringkanku dan menyelimuti seluruh tubuhku
dengan tubuhnya. Selanjutnya aku bagaikan sedang dibakar oleh rasa yang tidak
bisa kugambarkan. Aku terbang ke awang-awang, semakin tinggi, semakin tinggi.
Satu dekade, satu abad, satu aeon, lalu baru kembali ke bumi.
* * *
Aku terbangun dan melihat Ervin masih tertidur di sebelahku. Wajahnya tersenyum
damai. Napasnya terdengar enteng. Ada bekas gigitanku di bahu kanannya. Ingin
rasanya aku meringkuk di dalam pelukannya dan diselimuti oleh tangannya yang
besar. Ervin yang penuh dengan kehangatan dan kehati-hatian terhadapku...
Oh, shit... don’t tell me... Aku sudah jatuh cinta sama Ervin? Tidak mungkin. Aku
mencintai Baron, Ervin hanya sebuah... hiburan. Seorang pengganti hingga aku
menemukan yang sebenarnya. I am not in love with him. I am NOT in love with him.
Aku bertengkar dengan pikiranku sendiri. Panik karena argumentasiku tidak
kuat untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa aku tidak mencintai Ervin, aku
bangun dari tempat tidur sepelan mungkin dan menuju ke kamar mandi. Aku
berdoa agar Ervin sudah tidak ada di tempat tidurku ketika aku keluar dari kamar
mandi. Kalau bisa mungkin dia sudah pergi sarapan sendiri dan meninggalkanku
seharian karena aku tidak akan sanggup menghadapinya pagi ini.
* * *
Malam Tahun Baru. Sepanjang hari, satu-satunya hal yan gtidak membuatku gila
setiap kali melihat Ervin adalah dengan mengingatkan diriku sendiri bahwa aku
mencintai Baron dan Ervin hanyalah pengisi kekosongan dalam hidupku untuk
sementara waktu. Dengan tubuh yang bisa membuat perempuan mana pun ngiler...
good kisser, caring lover. Damn it, kok balik lagi ke situ sih?
Lagi-lagi aku dan Ervin menghabiskan waktu dengan gerombolan si berat, alias
Eddie dan pasukannya. Aku mencoba berada sejauh mungkin dari Ervin. Eddie
yang memperhatikan tingkah lakuku jadi agak bingung.
What’s going on with you and the Dude?” tanya Eddie padaku setelah berhasil
memojokkanku ketika Zach, Othman, dan Ervin sedang main basket. Eddie
menjuluki Ervin the Dude karena menurutnya, Ervin agak-agak kelihatan seperti
Ashton Kutcher di film Dude Where’s My Car kalau lagi ngomong.
Aku dan Eddie duduk di pinggir lapangan basket.
Nothing is going on,” aku mencoba untuk menghindar.
“Memangnya hubungan kalian berdua apaan sih? Kalian ini pacaran apa
bukan?”
“Kami TIDAK pacaran.”
“Oh, oke. Soalnya kamu ngeliatin dia kayak pernah ngeliat dia telanjang aja.”
Aku kaget mendengar komentar Eddie.
“Apa? Memangnya dia ngomong apa ke kamu?” tanyaku panik.
What? Tidak, maksudku... Oh, shit... Did you...” Eddie tidak menyelesaikan
kalimatnya dan mulai tertawa terbahak-bahak. “Ketahuan deh,” lanjutnya masih
tetap tertawa.
“Berhenti ketawa, kalau nggak mau babak belur!” ucapku garang.
“Whoa... biasa ganas juga kamu...” Eddie masih tetap ketawa. “So he was good
then?” tanya Eddie polos sambil masih berusaha mengendalikan cekikikannya.
Aku menatap Eddie tidak percaya. Bagaimana mungkin aku terpojokkan untuk
membicarakan sex life-ku kepada laki-laki ini? Aku bahkan tidak terlalu
mengenalnya. Tadinya aku masih mau menyangkal, tapi akhirnya aku menyerah.
Well, I don’t know... I guess he was,” ucapku pelan. Pipiku terasa panas karena malu.
What do you mean you don’t know?” Eddie masih tidak bisa berhenti tertawa.
“Ya, I don’t know. Aku tidak punya perbandingannya.” Baru kemudian aku
sadar apa yang baru kukatakan karena Eddie melihatku sampai bengong. Dia sudah
berhenti tertawa.
Setelah beberapa menit dia baru bisa berbicara lagi.
You mean, you were still...”
Aku mengangguk mendengar pertanyaan Eddie itu. “Yeah, so what?” Suaraku
terdengar galak.
Eddie terdiam lagi, dari wajahnya aku bisa lihat adanya suatu tatapan penuh
hormat padaku.
Good for you,” ucap Eddie akhirnya.
Kami lalu terdiam sesaat dan menonton pertandingan basket di hadapan kami.
Well, kurasa, pasti kamu oke banget... soalnya dari tadi dia ngeliatin kamu kayak
pengin menelanmu bulat-bulat,” lanjut Eddie sambil tersenyum.
“Nggak gitu deh,” sangkalku. Mukaku kembali memerah dan aku mencoba
menurunkan topiku supaya Eddie tidak bisa melihat perubahan warna itu.
“Percaya deh. Aku tahu tampang cowok yang puas. Tampangku begitu setelah
melakukannya dengan Steph.”
Kini giliranku yang tertawa terbahak-bahak. Steph atau Stephanie adalah calon
istri Eddie. Dari fotonya aku sebetulnya agak-agak bingung kok Eddie bisa jatuh
cinta pada perempuan yang tampangnya seperti encim-encim, padahal Eddie itu
ganteng banget, agak-agak mirip Lee Hom, penyanyi Asia yang besar di New York
itu.
“Perlu nggak sih ngasih tahu soal itu?” tanyaku di antara tawaku.
Eddie pun tertawa. “Bukan mau menggurui, tapi menurutku dia orang baik,
dan kalian kelihatannya akur,” lanjut Eddie.
Yeah, we’re good friends.”
Eddie memandangku dengan tatapan tidak percaya. “I think he’s in love with
you.”
He is NOT in love with me. Tidak mungkin, I’m not his type. Trust me... I know.
Well, Steph is not my type either, but I love her to death. Aku senang sekali waktu
dia memilihku.”
Kini giliranku yang memandangi Eddie tidak percaya. Siapa yang bisa
menyangka ternyata cinta Eddie untuk Steph begitu dalam? Aku tersenyum melihat
wajah Eddie yang penuh kebahagiaan.
“Hei, kalian lagi ngobrolin apa?” teriak Zach dari lapangan.
Just some girl stuff,” teriak Eddie balik yang disambut oleh gelegar tawa Ervin
dan Othman yang kemudian kembali pada permainan basket mereka. Mataku tidak
sengaja mengarah ke Ervin dan tatapannya membuatku merasa gerah.
“Menurut kamu, normal nggak sih kalau mencintai dua orang pada saat yang
sama?” tanyaku pada Eddie.
“Ya, sampai tahap tertentu. Tapi, pada akhirnya, kamu cuma bisa mencintai satu
orang. Kenapa? Kamu lagi dilema, ya?”
“Yeah, lumayan. Aku mencintai cowok ini, tapi terus kebayang-bayang cowok
lain. Aneh, kan?”
“Cowok yang satu lagi itu tahu kamu selalu memikirkannya?”
Lalu aku menceritakan segala sesuatunya, dan Eddie memikirkannya sesaat.
“Menurutku, lupakan Baron. Dia tidak nyata. That dude is.” Eddie menunjuk Ervin
yang sedang menanggalkan kausnya karena kepanasan.
Aduh. Penting nggak sih? Apa dia tidak tahu kaus itu satu-satunya pembatas
supaya aku tidak membayangkannya naked? teriakku pada diriku sendiri, putus asa.
So if you want him, you gotta let him know,” lanjut Eddie. Ternyata rencana untuk
menjadi seorang suami bisa membuat laki-laki jadi lebih wise. Aku bersyukur bahwa
Eddie bisa memberiku pendapat.
“Tapi, kalau ternyata dia tidak menginginkanku, bagaimana?”
“Cari laki-laki lain yang menginginkanmu. Kamu ini cantik, tahu. Kamu pintar,
mandiri, dan tidak mau diremehkan orang. Kamu pasti bisa.”
Mendengar nasihat Eddie, aku langsung memeluknya.
Hey, Adriana, apa awak buat ni? Dia dah nak berkahwin dah. But me... I’m free as a
bird, awak boleh cium saya sesuka hati awak,” teriak Othman sambil membuka
tangannya menunggu hingga aku lari ke pelukannya.
Aku dan Eddie hanya tertawa.
* * *
Setelah pembicaraanku dengan Eddie sore itu, kami berencana merayakan Tahun
Baru bersama-sama di Pool Party yang diadakan hotel. Selama beberapa jam aku
memikirkan nasihat Eddie dan menimbang-nimbang apakah aku betul-betul sudah
jatuh cinta pada Ervin. Dan apakah betul Ervin juga begitu? Komentar itu datang
dari Eddie yang baru mengenal Ervin selama tiga hari, bagaimana mungkin dia bisa
mengambil kesimpulan sedetail itu tentang perasaan Ervin terhadapku?
Apa aku sudah buta? Is it really that obvious? tanyaku dalam hati.
Tapi aku tahu betul sifat Ervin dan aku yakin bahwa hal-hal yang kami lakukan
tadi malam sekadar pity sex, bukan love sex. Walaupun sekarang aku mengerti
kenapa banyak perempuan yang sudah putus sama Ervin masih suka menatap
Ervin seperti dia itu a sex god. Dan sadarlah aku bahwa liburan ke Lembang ini
adalah ide terbaik yang pernah keluar dari pikiran Ervin. Di tempat yang damai ini
aku akhirnya sadar bahwa aku harus membuat perubahan pada diriku sendiri, dan
perubahan itu harus mulai dari aku. Aku sadar bahwa aku harus bergerak maju dan
melupakan yang sudah berlalu. Aku harus melupakan Baron. Aku menganalisis
diriku sendiri. Apa sebenarnya yang kuinginkan? Perasaan tidak tenang yang sudah
tertahan selama tiga puluh tahun mulai kembali lagi. Aku harus melakukan sesuatu
yang gila. Aku hanya akan hidup sekali, dan keluarlah ide itu. I need to do something I
have never done before without thinking twice about it. Aku harus melakukan yang tak
pernah kulakukan ini tanpa berpikir dua kali tentangnya.
* * *
Jam delapan malam, ketika aku dan Ervin seharusnya keluar untuk menemui Eddie
and the gank di kolam renang, aku mempersiapkan diri untuk meluncurkan
rencanaku yang terakhir. Aku keluar dari kamarku hanya dengan menggunakan bra
dan celana dalam yang ditutupi kimono hotel dan mendapati Ervin sedang nonton
MSNBC yang menayangkan informasi stock exchange. Awalnya aku merasa
canggung sehingga berniat membatalkan rencanaku karena malu. Tapi aku berhasil
menahan diri dan mulai berjalan pelan ke arah TV. Ervin tetap masih sibuk dengan
TV dan tidak memperhatikanku sama sekali.
“Vin,” panggilku pelan.
“Mmmhhh?” jawabnya tanpa menoleh.
Aku berjalan beberapa langkah lagi dan sampailah aku di sofa. Kemudian aku
mengelilingi sofa sampai bisa berdiri di depan Ervin.
“Dri, minggir dong, gue lagi nonton TV,” Ervin mencoba untuk melihat ke TV
dan tidak memperhatikanku.
Pelan-pelan aku lepaskan tali yang mengikat kimonoku dan membiarkan
kimono itu jatuh ke lantai. Hanya dalam hitungan detik aku sudah mendapatkan
perhatian Ervin sepenuhnya. Dia melirik kimonoku yang ada di lantai sebelum
kemudian mengangkat kepalanya dan menatapku.
What are you doing?” tanyanya bingung.
Aku tidak menjawab pertanyaannya, hanya pelan-pelan berlutut di
hadapannya. Sekarang mataku satu level dengan matanya yang kelihatan
superbingung dan serbasalah. Aku ambil remote yang ada di tangannya dan
kumatikan TV. Kuletakkan remote itu di meja sebelum kemudian kembali
memfokuskan diriku pada Ervin. Perlahan kudekatkan wajahku ke wajahnya dan
mulai mencium bibirnya. Pertama-tama dia tidak bereaksi, mungkin karena masih
shock. Aku memberanikan diri untuk menggodanya.
“Lo yakin?” tanyanya ragu.
Aku mengangguk. Tiba-tiba aku sudah terbaring di sofa dan Ervin menciumku,
tidak ada satu artikel pakaian pun yang masih menempel di tubuh kami dan aku
bisa merasakan seluruh bagian Ervin di dalam tubuhku.
Aku betul-betul sudah jatuh cinta padanya. Aku baru sadar bahwa
kemungkinan besar aku sudah mencintai dan menyayangi Ervin semenjak dia
menawarkan Doublemint padaku. Aku suka wajahnya yang selalu ceria kalau
bertemu denganku dan lagaknya yang sok cool walaupun dia itu dorky banget. Aku
suka caranya yang selalu mencoba untuk melindungiku, meskipun kadang-kadang
suka berlebihan sampai marah-marah. Aku suka caranya make love denganku, selalu
perhatian dengan apa yang kubutuhkan. Yang jelas, I love the way he makes me feel
when I’m with him.
Aku sadar selama ini hatiku tertutup untuk laki-laki lain karena aku selalu
mengharapkan Baron, tapi sekarang... sekarang aku tahu bahwa Baron milik Olivia
dan kuterima itu. Kesadaran ini ternyata adalah berkah paling baik yang diberikan
Tuhan untukku. Untuk pertama kalinya aku bisa jujur pada diriku sendiri, dan
memperbolehkan diriku untuk membuka hati, untuk mencintai dan menyayangi
orang lain meskipun aku tahu kemungkinan perasaanku ini hanya dirasakan
olehku.
Ervin mencoba menarik perhatianku kembali ke bumi dengan membelai
rambutku. Wajahnya penuh dengan kasih sayang. Aku meringkuk lebih dekat di
dalam pelukannya. Oh Tuhan... please... let him be in love with me as well. Please...
Dan dengan begitu mataku terasa buram. Aku menyandarkan kepalaku di
dadanya agar dia tidak melihat mataku yang mulai berkaca-kaca.
Seven... six... five... four... three... two... one... Happy New Year.
Aku mendengar teriakan dari arah kolam renang. Selesai sudah misiku untuk
melupakan Baron dan aku siap untuk membuka lembaran baru dalam hidupku.
Untuk dicintai dan disayangi oleh seseorang, aku harus berani untuk mencintai dan
menyayangi orang itu terlebih dahulu. Itulah motto hidupku yang baru.
Malam itu Ervin tidur di tempat tidurku dan aku menikmati masa-masa
terakhirku bersamanya. Dia tidak tahu ini terakhir kali aku akan bersamanya. Tapi
aku tahu. Aku tidak pernah memohon untuk dicintai oleh seseorang, tidak dulu,
tidak sekarang. Aku kenal Ervin, kalau sampai dia tahu bahwa aku mencintai dan
menyayanginya, dia akan merasa bersalah karena dia tidak bisa memberikan hal
yang sama kepadaku. Aku sudah memutuskan bahwa ini adalah jalan terbaik
untukku dan juga untuk Ervin.


Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 17

No comments:

Post a Comment