16.
MEMENUHI KEBUTUHAN
AKU
menolak bersembunyi di kamarku. Bagaimanapun juga, kejadian tadi malam
adalah
pilihanku, bukan suatu paksaan siapa pun. Aku mencoba menghadapi Ervin.
Ketika
aku keluar dari kamarku, Ervin sedang duduk di depan TV yang
dibiarkannya
tidak bersuara. Di TV, Oprah sedang mewawancarai Tom Hanks.
Kelihatannya
Ervin belum mandi karena dia masih menggunakan celana piama dan
kaus
tidurnya. Rambut jabriknya terlihat seperti jengger ayam yang agak layu dan
matanya
agak-agak merah, seperti orang yang tidak tidur semalaman.
“Lo
hangover, Vin?” tanyaku lalu duduk di sampingnya.
Ervin
memandangiku dengan tatapan kesal sebelum menjawab, “Nggak.”
“Eh,
kemarin lo bilang mau ke Dago? Masih mau pergi? Gue pergi deh sama
elo.”
“Lo
dah telepon Pat?” tanya Ervin sambil mengganti channel TV
dengan remote
control.
“Belum.
Besok pagi saja,” jawabku. Jujur saja, aku lupa sama sekali untuk
menelepon
Pat.
“Lo
takut?” tantangnya.
“Siapa
yang takut. Gue cuma mikir mendingan gue telepon dia besok pagi, biar
lebih
meyakinkan kalau gue sakit. Gitu lho.”
“Gue
bilang lo takut.”
“Sudah
dibilang nggak, lo nggak dengar, ya?”
“Itu
kan cuma soal kecil, Dri. Orang sering kok melakukan itu. Kalau memang lo
butuh,
kenapa nggak minta?”
“Iya,
gue tahu orang sering izin, tapi gue nggak bisa. Gue nggak tega ninggalin
Pat
dan Sony untuk ngerjain pekerjaan gue. Lagian juga hari libur gue sudah habis.”
“Kok
bisa sih self control lo segitu tingginya? Padahal orang kalau sudah sampai
second base susah
berhenti. Itu keputusan yang nggak bisa dibalik.”
Ervin
lagi membicarakan apa sih? pikirku.
“Second base?
Memangnya baseball?” tanyaku sambil tertawa lalu mencoba
merebut
remote dari tangan Ervin.
“Lo
ngapain sih?” tanya Ervin sambil masih tetap mempertahankan remote di
tangannya
dan menjauhkannya dari jangkauanku.
“Pinjam
dong, gue mau lihat Oprah.” Aku masih mencoba merebut remote itu
tapi
tidak berhasil. Tangan Ervin yang jelas-jelas lebih panjang daripada tanganku
dengan
mudahnya menjauhkan remote itu dari jangkauanku.
Untuk
beberapa menit kami pun sibuk berebut remote
sambil sama-sama tertawa
karena
urusan ini sebetulnya tidak seharusnya dilakukan oleh dua orang dewasa
yang
sudah melewati ulang tahun ketiga puluh mereka. Namun, akhirnya aku bisa
merebut
remote itu dari tangannya.
*
* *
Hari
itu kami akhirnya memang memutuskan untuk pergi ke Dago. Ervin
memperbolehkanku
untuk mengemudikan mobilnya agar aku tidak mual. Dan
tidak
sengaja kami bertemu lagi dengan Eddie dan pasukannya.
“How’s your head?” tanyaku
pada Eddie ketika kami sudah duduk di salah satu
restoran
untuk makan.
“It’s okay,” ucap
Eddie sambil tertawa. Dia hanya minum air putih dan makan
roti
bakar.
Aku
tertawa melihat tampangnya yang bersusah payah mencoba menelan
sepotong
roti. Perutnya pasti masih tidak keruan rasanya setelah delapan shot
tequilla masuk
ke tubuhnya.
“Ada plan for tonight?”
tanya Othman padaku.
Setelah
semalam, aku tahu kalau Othman selalu berbicara dengan bahasa
Inggris
bercampur dengan bahasa Melayu. Menurutku itu kocak sekali.
“Tidak,
masih mencari cara untuk bohong pada bosku supaya tidak usah kerja
besok,”
jawabku sambil makan sate ayamku.
“Kau
mesti kerja besok?” tanya Eddie dan Zach kaget.
“Tapi ini Tahun Baru, tak ada orang nak buat kerja,” teriak Othman.
“Well, sepertinya
di Malaysia tidak usah kerja soalnya kalian toh masih berlibur
di
sini,” balasku sambil tertawa.
“Bilang
saja kamu sakit atau apa,” lanjut Zach.
“I know, I know...
bilan gsaja kamu mabuk berat jadi tidak bisa kerja,” sambar
Eddie.
“Or, or... kamu
terlalu capek setelah a crazy but very fulfilling last
minute sex to
complete the quota for this year,” sambung Zach.
Yang
disambut oleh kata, “What?” Dari kami berempat.
“I was just saying...”
Zach tidak menyelesaikan kalimatnya karena dipelototi oleh
Eddie.
Aku
tertawa cekikikan melihat reaksi Zach yang seperti anak SD yang baru
ditegur
oleh gurunya.
“You know what... here, awak guna phone saya, awak
telefon bos awak tu dan cakap kat
dia, kalau awak nak ambil cuti,” Othman menyodorkan HP-nya.
“No... no... it’s fine, I’ll do it later,” tolakku.
“Kena buat sekarang lah, nanti lambat. Dah hampir jam
lapan dah, you don’t want to be
rude by calling people after dinner.”
“Call... call... call... call...,” teriak keempat laki-laki gila yang sedang duduk
bersamaku.
Aku
agak panik karena sekarang banyak orang yang mulai menoleh ke arah
kami.
“Okay, okay... I’ll call him now. Goddamnit, aku bisa dipecat gara-gara ini,” ucapku
sambil
mengeluarkan HP dari tasku dan menekan nomor HP Pat.
Aku
meninggalkan mejaku dan berbicara dengan Pat selama beberapa menit di
depan
WC perempuan. Pat ternyata tidak peduli bahwa aku akan izin besok karena
dia
sendiri akan mengambil off. Dia hanya bertanya apa aku baik-baik saja dan
mengucapkan
Happy New Year. Izin dari Pat itu disambut teriakan gembira dari
keempat
laki-laki sableng di mejaku itu.
“Hei,
aku ngomong sama Vincent tadi pagi dan dia pengin ketemu kamu,” ucap
Eddie
ketika aku sudah duduk kembali di mejaku.
“Begitu
ya?” tanyaku kagok karena Ervin sedang mengerlingkan matanya
penuh
curiga.
“Yeah,
datanglah ke KL kapan-kapan. Kami ajak kamu jalan-jalan. Bagaimana
kalau
kamu datang ke pernikahanku April nanti?”
“Are you serious?”
tanyaku.
“Yeah,
kamu belum pernah lihat acara pernikahan tradisional Cina, kan?”
Aku
menggeleng.
“So you should come.
Pernikahannya tanggal 22, hari Jumat. Tapi kamu harus
datang
ke resepsinya, tanggal 23,” jawab Eddie. “You
should come too, man, if you
could,”
lanjutnya mengundang Ervin.
“Okay, I’ll think about it,” ucapku.
“You do that and let me know,” kata Eddie dan tersenyum kepadaku.
Akhirnya
kami hangout sampai malam yang diakhiri dengan acara clubbing.
Tadinya
aku sudah mau menolak tapi setelah dibujuk oleh Othman yang katanya
mau
lihat club-nya orang Indonesia, akhirnya aku memutuskan untuk bela-belain
pergi.
Alhasil, selama di club aku berputar di antara beberapa laki-laki. Dari Ervin ke
Zach,
Othman, Ervin lagi, satu laki-laki yang berhasil mendekatiku meskipun telah
diblokir
oleh keempat bodyguard-ku, lalu Eddie, dan akhirnya Ervin lagi. Mulai dari
versi
remix lagunya Anggun sampai Hillary Duff, semuanya kuikuti.
Usahaku
untuk have a one night stand before New Year kelihatannya mulai
menipis,
dan aku memutuskan untuk pulang ke hotel dan melanjutkan pencarianku
di
bar hotel, jauh dari keempat bodyguard-ku. Tapi Ervin tidak mengizinkanku
pulang
sendiri, akhirnya dia ikut pulang ke hotel juga dan gagallah rencanaku.
*
* *
Aku
masuk cottage dengan dongkol karena Ervin tidak memperbolehkanku pergi ke
bar
hotel sendiri.
“Nggak,
Dri, ini sudah jam satu pagi. Nggak bagus buat perempuan datang
sendirian
ke bar jam segini,” omelnya sambil membuka pintu lemari es dan
mengeluarkan
sebotol air putih.
“Lo
kok ngatur gue gini sih? Terserah gue dong gue mau ngapain. Kan lo sudah
tahu
tujuan gue ke sini untuk apa.”
“Iya,
tapi bukan berarti lo harus make-out sama siapa saja dong, Dri.” Suaranya
masih
tenang, membuatku gondok.
“Siapa
bilang gue make-out sama siapa saja? Lo sama watch
dogs yang lain nggak
ngasih
gue kesempatan.”
“Watch dogs?”
“Iya.
Elo, Zach, Eddie, dan Othman. Lo ngomong apa sih ke mereka sampai
mereka
melototin tiap laki-laki yang minta nge-dance
sama gue?”
“Ya
soalnya setiap laki-laki yang mau nge-dance
sama elo malam ini juga mau
ngeraba-raba
elo, Dri.”
“Biarin
saja, gue memang lagi mau diraba-raba kok.”
“Lo
memang lagi...” Ervin terdiam sejenak, keningnya berkerut seperti sedang
mencoba
untuk mencari kata yang tepat. Lalu “...dalam tahap penyembuhan, tapi
bukan
begini caranya,” lanjutnya masih tetap terdengar tenang.
“Oh
ya? Kalau lo tahu cara lain yang punya efek lebih cepat, lo bilang ke gue.
Tapi
untuk saat sekarang gue perlu have
a one night stand before the New Year, okay.”
Ervin
membuang botol kosong yang digenggamnya dan berjalan ke arahku,
wajahnya
sangar. Matanya berapi-api.
“Apa
maksud lo sama one night stand?”
Bagus,
aku telah membuatnya marah. Aku lebih baik bertengkar dengan orang
yang
memang membentakku daripada orang yang hanya mengucapkan kata-kata
dengan
nada tenang dan menggurui.
“You know,
seorang perempuan dan seorang laki-laki... sama-sama... ML....”
Ervin
memotong kalimatku.
“Gue
tahu one night stand itu apa. Maksud gue, kenapa lo perlu itu?”
“Oh,
come on... lo nggak buta, kan? Lo tahu kan kalau manusia itu ada
kebutuhannya.
Ya gue lagi butuh,” balasku lalu melangkah ke kamar tidurku.
“Lo
nggak bisa tidur sama orang seenaknya, Dri.” Ervin mengikutiku masuk ke
kamar.
“Oh
ya? Kenapa tuh? Lo saja bisa kok, kenapa gue nggak?”
Aku
menghadap Ervin yang berdiri di depan pintu dan harus mundur
selangkah
ketika melihat ekspresi wajahnya.
Uh-oh... aku
sudah salah bicara.
“Maksud
lo?” Tubuhnya yang tinggi itu tiba-tiba membuat segala sesuatu di
sekelilingnya
menjadi kecil.
“Nggak
usah sok nggak tahu deh....”
“Gue
nggak pernah tidur sama perempuan seenak gue. Itu tergantung sama
perempuannya,
mereka harus sudah siap dan mau.” Dia berjalan ke arahku. “Dan
gue
selalu pakai protection,” tambahnya geram.
“Siapa
bilang gue nggak akan pakai protection? Gue sudah siapin kok.” Jelasjelas
aku
bohong. Aku sebetulnya tidak memikirkan rencanaku dengan matang.
Aku
tidak bawa kondom karena sejujurnya kalau ada orang yang menanyakan
tentang
ukuran kondom, aku tidak akan bisa menjawab. Aku hanya tahu satu brand
kondom,
Durex, itu saja. Aku juga tidak pernah minum pil KB. Aku tidak
mempertimbangkan
bahwa akan ada suatu konsekuensi kalau aku sudah
berhubungan
intim dengan seorang laki-laki. Aku tahu bahwa seharusnya ada suatu
perhitungan
yang bisa dilakukan untuk berhubungan intim tanpa pelindung untuk
mencegah
kehamilan. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara menghitungnya. Dulu
memang
pernah diajarkan pada saat sex
education sewaktu SMA, tapi aku lupa
karena
sudah lama. Lagi pula memang tidak pernah kupraktikkan, jadi aku tidak
pernah
berusaha untuk mengingat-ingat informasi itu.
“Goddamnit, that’s not the point.” Teriakan Ervin menarikku kembali ke realita.
“Jadi
maksudnya apa dong?” balasku dengan nada agak mengejek.
“Maksud
gue, lo nggak tahu gimana laki-laki itu, mereka banyak yang kurang
ajar
dan nggak tahu cara memperlakukan perempuan sewaktu ML.”
Aku
ternganga. Jangan-jangan... Ya ampuuuuunnnnnnn, gimana dia bisa tahu
sih
aku masih perawan? Memangnya kelihatan? Apajangan-jangan ada suatu tanda
di
keningku yang bertuliskan PERAWAN dengan tinta merah.
Tubuhku
mulai gemetar karena rasa terpojok dan kemarahan yang tidak
terbendung
lagi. Mungkin buat dia seks tidak akan menyelesaikan masalah, tapi itu
adalah
satu-satunya hal yang bisa menyelesaikan masalahku sekarang ini.
“Fuck it, I”m going to the bar,” ucapku lalu mengambil dompet dan kunci kamar
dan
melangkah pergi.
“Dri!!!!!!!!!!!!!!!!”
teriak Ervin, membuat langkahku terhenti karena kaget dan
berbalik
menatapnya.
“Do you really want to do this?” tanyanya, nadanya melembut.
Dari
matanya kulihat bahwa dia sedang mencoba untuk memahami keadaanku.
Aku
mengangguk.
“Lo
yakin lo siap?” Dia memandangiku dari seberang ruangan. Sekali lagi
nadanya
lembut, tapi kini terdengar putus asa.
Aku
lagi-lagi mengangguk.
Ervin
menarik napas panjang. Aku pun melakukan hal yang sama. Aku
bersyukur
akhirnya dia bisa mengerti keadaanku. Aku tersenyum padanya.
“Tutup
pintunya,” ucapnya pelan.
“Hah?”
What the hell??? teriakku
dalam hati.
“Tutup
pintunya, kalau lo memang siap untuk seks. Lo harus mulai dari gue.
Gue
aman, Dri.”
“Sama
elo? Sudah gila, kali. Nggak mau,” ucapku siap untuk melangkah keluar
dari
cottage. Tapi Ervin sudah berdiri di sampingku dan menutup pintu yang
sudah
setengah
terbuka itu.
“Apa
lo akan lebih mau kalau gue ini Thomas?” tanya Ervin dengan nada
sedikit
marah.
“Itu
bukan urusan lo,” geramku dan mendorong Ervin dari depan pintu.
Ervin
bergeming. “Dia sudah pilih Olivia, dia nggak milih elo, Dri,” ucap Ervin
dengan
tenang sambil menatapku dalam-dalam.
Aku
tidak bisa berkata-kata. Hatiku sudah cukup terluka tanpa perlu air jeruk
yang
sekarang sedang ditumpahkannya di lukaku itu. Beribu-ribu jarum sedang
menusuk-nusuk
mataku dan aku yakin bahwa aku akan menangis kalau aku tidak
bertindak
dengan cepat.
“Lo
memang nggak punya hati, Vin,” geramku sambil menatap Ervin dengan
penuh
kemarahan. Tubuhku terasa panas.
Ervin
terlihat kaget dengan perkataanku. Kemudian tanpa kusangka-sangka dia
mengangkat
tangan kirinya dan jari-jarinya mulai menyentuhku. Perlahan-lahan
jari-jari
itu menyentuh wajahku, leherku, sepanjang tanganku, sebelum kembali lagi
ke
wajahku. Tanpa kusadari aku sudah menahan napas setiap kali jari-jari itu
bergerak
dan mengembuskan napas ketika jari-jari itu berhenti. Jantungku mulai
berdebar-debar.
FOKUS,
ADRIIIII... FOKUS...
Ervin
tidak melepaskan tatapannya selama jari-jarinya menyentuhku.
“Gue
punya hati, Dri,” ucapnya singkat dan dia langsung menciumku.
Pertama-tama
aku menolak ciuman itu dan mencoba mendorong tubuh Ervin
agar
menjauh. Tapi kemudian lidahnya mulai terasa di mulutku dan semua
rencanaku
buyar. Tanpa kusadari, tanganku sudah menyentuh punggungnya. Aku
bisa
merasakan bagian depan celana jins Ervin bergesekan dengan pahaku. Hari itu
aku
mengenakan babydoll dengan motif kotak-kotak, mirip sekali dengan tukang jual
susu
di kaleng Susu Bendera. Yang jelas penampilanku sama sekali tidak seksi. Tapi
sepertinya
Ervin tidak memperhatikan hal itu.
“This is a really bad idea.” Aku mencoba berkata di antara ciumannya, tapi aku
tidak
bisa berhenti membalas ciumannya.
Bagaikan
tidak mendengarku, Ervin menciumku lebih dalam. “I love your smell,”
ucap
Ervin sambil menyapu leherku dengan bibirnya sebelum kemudian
memberikan
ciuman-ciuman lembut di sekitar bahuku.
“Yeah?”
Aku mencoba memfokuskan pikiranku. Aku tidak pernah tahu
tubuhku
bisa bereaksi seperti ini. Jelas-jelas ini tidak pernah terjadi dengan Vincent,
bahkan
Baron.
“Fresh, kayak
rumput baru dipotong,” jawabnya dan ciumannya beralih ke daun
telingaku.
Aku
tidak menanggapi komentar Ervin karena tangannya sudah menyentuh
payudaraku.
Kemudian tiba-tiba dia berhenti menciumku dan mundur beberapa
langkah.
Aku hampir saja jatuh ke lantai karena kakiku terasa terlalu lemas. Setelah
yakin
bahwa aku tidak jatuh tersungkur, kualihkan perhatianku kepada Ervin.
Wajahnya
merah padam dan matanya memandangku dalam. Tatapannya bermula
dari
mataku, kemudian turun ke bibir, ke leher, ke dadaku yang untungnya masih
tertutup
oleh bajuku, ke perut, ke bawah perut, lalu kembali lagi ke mataku. Aku
yang
bingung atas reaksinya cuma bisa memandanginya. Pelan-pelan aku maju ke
arahnya
dan menyentuh dadanya. Satu per satu kancing kemejanya mulai
kulepaskan.
Ervin tidak protes, dia hanya memperhatikanku. Rupanya dia sedang
menunggu
hingga aku yang maju untuk memberinya tanda bahwa aku juga mau
apa
yang dia inginkan.
Dan
saat itu aku sadar, aku akan melepaskan keperawananku pada Ervin. Apa
normal
bagi seorang wanita untuk melakukan ini dengan salah satu teman baiknya?
Dengan
perlahan Ervin membaringkanku dan menyelimuti seluruh tubuhku
dengan
tubuhnya. Selanjutnya aku bagaikan sedang dibakar oleh rasa yang tidak
bisa
kugambarkan. Aku terbang ke awang-awang, semakin tinggi, semakin tinggi.
Satu
dekade, satu abad, satu aeon, lalu baru kembali ke bumi.
*
* *
Aku
terbangun dan melihat Ervin masih tertidur di sebelahku. Wajahnya tersenyum
damai.
Napasnya terdengar enteng. Ada bekas gigitanku di bahu kanannya. Ingin
rasanya
aku meringkuk di dalam pelukannya dan diselimuti oleh tangannya yang
besar.
Ervin yang penuh dengan kehangatan dan kehati-hatian terhadapku...
Oh, shit... don’t tell me... Aku sudah jatuh cinta sama Ervin? Tidak mungkin. Aku
mencintai
Baron, Ervin hanya sebuah... hiburan. Seorang pengganti hingga aku
menemukan
yang sebenarnya. I am not in love with him. I am
NOT in love with him.
Aku
bertengkar dengan pikiranku sendiri. Panik karena argumentasiku tidak
kuat
untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa aku tidak mencintai Ervin, aku
bangun
dari tempat tidur sepelan mungkin dan menuju ke kamar mandi. Aku
berdoa
agar Ervin sudah tidak ada di tempat tidurku ketika aku keluar dari kamar
mandi.
Kalau bisa mungkin dia sudah pergi sarapan sendiri dan meninggalkanku
seharian
karena aku tidak akan sanggup menghadapinya pagi ini.
*
* *
Malam
Tahun Baru. Sepanjang hari, satu-satunya hal yan gtidak membuatku gila
setiap
kali melihat Ervin adalah dengan mengingatkan diriku sendiri bahwa aku
mencintai
Baron dan Ervin hanyalah pengisi kekosongan dalam hidupku untuk
sementara
waktu. Dengan tubuh yang bisa membuat perempuan mana pun ngiler...
good kisser, caring lover. Damn it, kok balik lagi ke situ sih?
Lagi-lagi
aku dan Ervin menghabiskan waktu dengan gerombolan si berat, alias
Eddie
dan pasukannya. Aku mencoba berada sejauh mungkin dari Ervin. Eddie
yang
memperhatikan tingkah lakuku jadi agak bingung.
“What’s going on with you and the Dude?” tanya Eddie padaku setelah berhasil
memojokkanku
ketika Zach, Othman, dan Ervin sedang main basket. Eddie
menjuluki
Ervin the Dude karena menurutnya, Ervin agak-agak kelihatan seperti
Ashton
Kutcher di film Dude Where’s My Car kalau lagi ngomong.
Aku
dan Eddie duduk di pinggir lapangan basket.
“Nothing is going on,”
aku mencoba untuk menghindar.
“Memangnya
hubungan kalian berdua apaan sih? Kalian ini pacaran apa
bukan?”
“Kami
TIDAK pacaran.”
“Oh,
oke. Soalnya kamu ngeliatin dia kayak pernah ngeliat dia telanjang aja.”
Aku
kaget mendengar komentar Eddie.
“Apa?
Memangnya dia ngomong apa ke kamu?” tanyaku panik.
“What? Tidak,
maksudku... Oh, shit... Did you...” Eddie tidak menyelesaikan
kalimatnya
dan mulai tertawa terbahak-bahak. “Ketahuan deh,” lanjutnya masih
tetap
tertawa.
“Berhenti
ketawa, kalau nggak mau babak belur!” ucapku garang.
“Whoa...
biasa ganas juga kamu...” Eddie masih tetap ketawa. “So he was good
then?” tanya
Eddie polos sambil masih berusaha mengendalikan cekikikannya.
Aku
menatap Eddie tidak percaya. Bagaimana mungkin aku terpojokkan untuk
membicarakan
sex life-ku kepada laki-laki ini? Aku bahkan tidak terlalu
mengenalnya.
Tadinya aku masih mau menyangkal, tapi akhirnya aku menyerah.
“Well, I don’t know... I guess he was,” ucapku pelan. Pipiku terasa panas karena malu.
“What do you mean you don’t know?” Eddie masih tidak bisa berhenti tertawa.
“Ya,
I don’t know. Aku tidak punya perbandingannya.” Baru kemudian aku
sadar
apa yang baru kukatakan karena Eddie melihatku sampai bengong. Dia sudah
berhenti
tertawa.
Setelah
beberapa menit dia baru bisa berbicara lagi.
“You mean, you were still...”
Aku
mengangguk mendengar pertanyaan Eddie itu. “Yeah,
so what?” Suaraku
terdengar
galak.
Eddie
terdiam lagi, dari wajahnya aku bisa lihat adanya suatu tatapan penuh
hormat
padaku.
“Good for you,” ucap
Eddie akhirnya.
Kami
lalu terdiam sesaat dan menonton pertandingan basket di hadapan kami.
“Well,
kurasa, pasti kamu oke banget... soalnya dari tadi dia ngeliatin kamu kayak
pengin
menelanmu bulat-bulat,” lanjut Eddie sambil tersenyum.
“Nggak
gitu deh,” sangkalku. Mukaku kembali memerah dan aku mencoba
menurunkan
topiku supaya Eddie tidak bisa melihat perubahan warna itu.
“Percaya
deh. Aku tahu tampang cowok yang puas. Tampangku begitu setelah
melakukannya
dengan Steph.”
Kini
giliranku yang tertawa terbahak-bahak. Steph atau Stephanie adalah calon
istri
Eddie. Dari fotonya aku sebetulnya agak-agak bingung kok Eddie bisa jatuh
cinta
pada perempuan yang tampangnya seperti encim-encim, padahal Eddie itu
ganteng
banget, agak-agak mirip Lee Hom, penyanyi Asia yang besar di New York
itu.
“Perlu
nggak sih ngasih tahu soal itu?” tanyaku di antara tawaku.
Eddie
pun tertawa. “Bukan mau menggurui, tapi menurutku dia orang baik,
dan
kalian kelihatannya akur,” lanjut Eddie.
“Yeah, we’re good friends.”
Eddie
memandangku dengan tatapan tidak percaya. “I
think he’s in love with
you.”
“He is NOT in love with me. Tidak mungkin, I’m
not his type. Trust me... I know.”
“Well, Steph is not my type either, but I love her to
death. Aku senang sekali waktu
dia
memilihku.”
Kini
giliranku yang memandangi Eddie tidak percaya. Siapa yang bisa
menyangka
ternyata cinta Eddie untuk Steph begitu dalam? Aku tersenyum melihat
wajah
Eddie yang penuh kebahagiaan.
“Hei,
kalian lagi ngobrolin apa?” teriak Zach dari lapangan.
“Just some girl stuff,”
teriak Eddie balik yang disambut oleh gelegar tawa Ervin
dan
Othman yang kemudian kembali pada permainan basket mereka. Mataku tidak
sengaja
mengarah ke Ervin dan tatapannya membuatku merasa gerah.
“Menurut
kamu, normal nggak sih kalau mencintai dua orang pada saat yang
sama?”
tanyaku pada Eddie.
“Ya,
sampai tahap tertentu. Tapi, pada akhirnya, kamu cuma bisa mencintai satu
orang.
Kenapa? Kamu lagi dilema, ya?”
“Yeah,
lumayan. Aku mencintai cowok ini, tapi terus kebayang-bayang cowok
lain.
Aneh, kan?”
“Cowok
yang satu lagi itu tahu kamu selalu memikirkannya?”
Lalu
aku menceritakan segala sesuatunya, dan Eddie memikirkannya sesaat.
“Menurutku,
lupakan Baron. Dia tidak nyata. That
dude is.” Eddie menunjuk Ervin
yang
sedang menanggalkan kausnya karena kepanasan.
Aduh.
Penting nggak sih? Apa dia tidak tahu kaus itu satu-satunya pembatas
supaya
aku tidak membayangkannya naked? teriakku pada diriku sendiri, putus asa.
“So if you want him, you gotta let him know,” lanjut Eddie. Ternyata rencana untuk
menjadi
seorang suami bisa membuat laki-laki jadi lebih wise. Aku
bersyukur bahwa
Eddie
bisa memberiku pendapat.
“Tapi,
kalau ternyata dia tidak menginginkanku, bagaimana?”
“Cari
laki-laki lain yang menginginkanmu. Kamu ini cantik, tahu. Kamu pintar,
mandiri,
dan tidak mau diremehkan orang. Kamu pasti bisa.”
Mendengar
nasihat Eddie, aku langsung memeluknya.
“Hey, Adriana, apa awak buat ni? Dia dah nak berkahwin
dah. But me... I’m free as a
bird, awak boleh cium saya sesuka hati awak,” teriak Othman sambil membuka
tangannya
menunggu hingga aku lari ke pelukannya.
Aku
dan Eddie hanya tertawa.
*
* *
Setelah
pembicaraanku dengan Eddie sore itu, kami berencana merayakan Tahun
Baru
bersama-sama di Pool Party yang diadakan hotel. Selama beberapa jam aku
memikirkan
nasihat Eddie dan menimbang-nimbang apakah aku betul-betul sudah
jatuh
cinta pada Ervin. Dan apakah betul Ervin juga begitu? Komentar itu datang
dari
Eddie yang baru mengenal Ervin selama tiga hari, bagaimana mungkin dia bisa
mengambil
kesimpulan sedetail itu tentang perasaan Ervin terhadapku?
Apa
aku sudah buta? Is it really that obvious? tanyaku dalam hati.
Tapi
aku tahu betul sifat Ervin dan aku yakin bahwa hal-hal yang kami lakukan
tadi
malam sekadar pity sex, bukan love sex. Walaupun sekarang aku mengerti
kenapa
banyak perempuan yang sudah putus sama Ervin masih suka menatap
Ervin
seperti dia itu a sex god. Dan sadarlah aku bahwa liburan ke Lembang ini
adalah
ide terbaik yang pernah keluar dari pikiran Ervin. Di tempat yang damai ini
aku
akhirnya sadar bahwa aku harus membuat perubahan pada diriku sendiri, dan
perubahan
itu harus mulai dari aku. Aku sadar bahwa aku harus bergerak maju dan
melupakan
yang sudah berlalu. Aku harus melupakan Baron. Aku menganalisis
diriku
sendiri. Apa sebenarnya yang kuinginkan? Perasaan tidak tenang yang sudah
tertahan
selama tiga puluh tahun mulai kembali lagi. Aku harus melakukan sesuatu
yang
gila. Aku hanya akan hidup sekali, dan keluarlah ide itu. I need to do something I
have never done before without thinking twice about it. Aku harus melakukan yang tak
pernah
kulakukan ini tanpa berpikir dua kali tentangnya.
*
* *
Jam
delapan malam, ketika aku dan Ervin seharusnya keluar untuk menemui Eddie
and the gank di
kolam renang, aku mempersiapkan diri untuk meluncurkan
rencanaku
yang terakhir. Aku keluar dari kamarku hanya dengan menggunakan bra
dan
celana dalam yang ditutupi kimono hotel dan mendapati Ervin sedang nonton
MSNBC
yang menayangkan informasi stock
exchange. Awalnya aku merasa
canggung
sehingga berniat membatalkan rencanaku karena malu. Tapi aku berhasil
menahan
diri dan mulai berjalan pelan ke arah TV. Ervin tetap masih sibuk dengan
TV
dan tidak memperhatikanku sama sekali.
“Vin,”
panggilku pelan.
“Mmmhhh?”
jawabnya tanpa menoleh.
Aku
berjalan beberapa langkah lagi dan sampailah aku di sofa. Kemudian aku
mengelilingi
sofa sampai bisa berdiri di depan Ervin.
“Dri,
minggir dong, gue lagi nonton TV,” Ervin mencoba untuk melihat ke TV
dan
tidak memperhatikanku.
Pelan-pelan
aku lepaskan tali yang mengikat kimonoku dan membiarkan
kimono
itu jatuh ke lantai. Hanya dalam hitungan detik aku sudah mendapatkan
perhatian
Ervin sepenuhnya. Dia melirik kimonoku yang ada di lantai sebelum
kemudian
mengangkat kepalanya dan menatapku.
“What are you doing?”
tanyanya bingung.
Aku
tidak menjawab pertanyaannya, hanya pelan-pelan berlutut di
hadapannya.
Sekarang mataku satu level dengan matanya yang kelihatan
superbingung
dan serbasalah. Aku ambil remote yang ada di tangannya dan
kumatikan
TV. Kuletakkan remote itu di meja sebelum kemudian kembali
memfokuskan
diriku pada Ervin. Perlahan kudekatkan wajahku ke wajahnya dan
mulai
mencium bibirnya. Pertama-tama dia tidak bereaksi, mungkin karena masih
shock. Aku
memberanikan diri untuk menggodanya.
“Lo
yakin?” tanyanya ragu.
Aku
mengangguk. Tiba-tiba aku sudah terbaring di sofa dan Ervin menciumku,
tidak
ada satu artikel pakaian pun yang masih menempel di tubuh kami dan aku
bisa
merasakan seluruh bagian Ervin di dalam tubuhku.
Aku
betul-betul sudah jatuh cinta padanya. Aku baru sadar bahwa
kemungkinan
besar aku sudah mencintai dan menyayangi Ervin semenjak dia
menawarkan
Doublemint padaku. Aku suka wajahnya yang selalu ceria kalau
bertemu
denganku dan lagaknya yang sok cool
walaupun dia itu dorky banget.
Aku
suka
caranya yang selalu mencoba untuk melindungiku, meskipun kadang-kadang
suka
berlebihan sampai marah-marah. Aku suka caranya make love denganku,
selalu
perhatian
dengan apa yang kubutuhkan. Yang jelas, I
love the way he makes me feel
when I’m with him.
Aku
sadar selama ini hatiku tertutup untuk laki-laki lain karena aku selalu
mengharapkan
Baron, tapi sekarang... sekarang aku tahu bahwa Baron milik Olivia
dan
kuterima itu. Kesadaran ini ternyata adalah berkah paling baik yang diberikan
Tuhan
untukku. Untuk pertama kalinya aku bisa jujur pada diriku sendiri, dan
memperbolehkan
diriku untuk membuka hati, untuk mencintai dan menyayangi
orang
lain meskipun aku tahu kemungkinan perasaanku ini hanya dirasakan
olehku.
Ervin
mencoba menarik perhatianku kembali ke bumi dengan membelai
rambutku.
Wajahnya penuh dengan kasih sayang. Aku meringkuk lebih dekat di
dalam
pelukannya. Oh Tuhan... please... let him be in love with me as
well. Please...
Dan
dengan begitu mataku terasa buram. Aku menyandarkan kepalaku di
dadanya
agar dia tidak melihat mataku yang mulai berkaca-kaca.
“Seven... six... five... four... three... two... one...
Happy New Year.”
Aku
mendengar teriakan dari arah kolam renang. Selesai sudah misiku untuk
melupakan
Baron dan aku siap untuk membuka lembaran baru dalam hidupku.
Untuk
dicintai dan disayangi oleh seseorang, aku harus berani untuk mencintai dan
menyayangi
orang itu terlebih dahulu. Itulah motto
hidupku yang baru.
Malam
itu Ervin tidur di tempat tidurku dan aku menikmati masa-masa
terakhirku
bersamanya. Dia tidak tahu ini terakhir kali aku akan bersamanya. Tapi
aku
tahu. Aku tidak pernah memohon untuk dicintai oleh seseorang, tidak dulu,
tidak
sekarang. Aku kenal Ervin, kalau sampai dia tahu bahwa aku mencintai dan
menyayanginya,
dia akan merasa bersalah karena dia tidak bisa memberikan hal
yang
sama kepadaku. Aku sudah memutuskan bahwa ini adalah jalan terbaik
untukku dan juga untuk Ervin.Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 17
No comments:
Post a Comment