Sunday, September 6, 2015

Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 15

15. TAHAP PENYEMBUHAN

MALAM itu aku menghindar ketika orangtuaku ingin membahas kejadian tadi pagi.
Aku tidak bisa memberikan penjelasan apa pun kepada mereka. Aku tahu bahwa
orangtuaku tahu Ervin menemani aku di kamarku, tapi mereka tidak mengucapkan
sepatah kata pun tentang itu dan aku tidak menawarkan penjelasan. Untung saja
kantorku libur hingga hari Rabu karena Natal, membuatku punya waktu untuk
mengistirahatkan pikiranku yang sedang tidak keruan. Aku bisa merasakan gejala
flu mulai menyerangku. Malam itu Ervin meneleponku untuk memastikan apakah
aku baik-baik saja dan meminta maaf karena harus meninggalkanku sebelum aku
bangun karena ada acara keluarga malam itu. Dia terdengar agak khawatir.
Selama beberapa hari Baron tidak menghubungiku sama sekali. Sepertinya dia
akan menepati janjinya pada Olivia. Meskipun aku tahu bahwa aku sudah
melakukan hal yang benar, tapi hatiku terasa remuk. Hampir setiap malam aku
pergi tidur sambil menangis. Mataku membengkak, tampangku kacau-balau,
sehingga membuat orangtuaku khawatir. Tapi aku meyakinkan mereka bahwa aku
hanya terkena flu. Pada Hari Natal aku dan orangtuaku pergi ke rumah kakakku
yang merayakan ulang tahunnya yang ke-33. Kakakku yang melihat keadaanku
langsung khawatir juga. Aku yakin orangtuaku sudah menceritakan kejadian hari
Minggu itu. Tapi Mbak Tita tidak menanyakan apa-apa padaku.
Selama liburan Natal, daripada menghabiskan waktunya bersama keluarga,
Ervin justru ada di rumahku dan menghabiskan liburan dengan keluargaku.
Orangtuaku tidak berkeberaan sama sekali karena mereka kini telah cukup
mengenal Ervin. Sedangkan aku sendiri juga tidak berkeberatan karena sejujurnya,
ternyata Ervin cukup menghibur. Hubunganku dengan Ervin berangsur membaik.
Ervin tidak pernah menyinggung soal Baron, dan aku pun tidak membahas perkara
itu. Ervin juga tidak menyinggung mengenai kejadian aku menciumnya atau aku
melarikan diri ketika bertemu dengannya di pernikahan Alya. Aku juga puas hanya
dengan berdiam diri.
Hari Kamis sewaktu aku seharusnya sudah masuk kantor lagi, Ervin
menanyakan apa aku perlu dijemput dan diantar pulang olehnya. Tapi aku menolak
dan memilih naik taksi. Aku tidak bisa membawa mobil sendiri karena akhir-akhir
ini terlalu sering tiba-tiba menangis tanpa sebab kalau sedang sendirian. Daripada
nanti kecelakaan, aku lebih pilih safety.
Hari pertama aku kembali bekerja, ketika semua orang kantor sudah pulang,
aku menemukan diriku sendirian di kantor. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh.
Aku harus pulang tapi aku justru menutup pintu ruanganku, duduk bersila tanpa
sepatu di kursi kerjaku sambil menghadap jendela dan mulai menangis sejadijadinya.
Aku mendengar ketukan, tapi tidak kuhiraukan. Aku pikir itu pasti Mr.
Bron, alias Brondong, salah satu office boy di kantorku yang nama aslinya adalah
Bejo. Tapi kemudian aku mendengar pintu ruanganku dibuka.
Aku mencoba untuk menghapus bekas-bekas air ata di wajahku.
“Kok belum pulang, Jo?” tanyaku sambil memutar kursiku untuk menghadap
pintu.
Ternyata bukan Bejo yang aku temui, tapi Ervin. Melihat wajahku yang merah
dan mataku yang bengkak dia langsung tahu aku haibs menangis.
“Dri... mmmmhhhh... gue lihat lampu ruangan lo masih nyala. Gue cuma
mau...”
Dia tidak melanjutkan kata-katanya dan hanya tersenyum sedih melihat
keadaanku.
Aku mencoba untuk tersenyum. “Iya, gue juga baru mau pulang,” ucapku dan
buru-buru membereskan mejaku mencoba mengalihkan perhatian Ervin dari
wajahku.
Setelah kejadian hari Minggu di kamar mandi itu Ervin memang tidak pernah
melihatku menangis lagi. Setidak-tidaknya dia berusaha keras untuk menghiburku
agar aku tidak menangis lagi. Selama itu pula aku berpura-pura tegar dan
bertingkah laku bagaikan kejadian dengan Baron tidak berdampak apa-apa padaku.
Tapi malam itu aku mengaku kalah, dan aku tidak peduli bahwa Ervin
memergokiku sedang menangis.
Tiba-tiba Ervin sudah berdiri di sampingku, menggenggam tanganku dan
memelukku.
“Vin, I’m fine, you don’t have to do this,” ucapku sambil mencoba untuk
melepaskan diri dari pelukannya.
No,” jawabnyas ingkat dan tetap memelukku.
Really, I’m fine,” bujukku sekali lagi. Tapi Ervin justru mengeratkan
pelukannya.
“Lepas,” ucapku lagi, kini dengan nada lebih serius.
“Nggak, Dri.”
“Lepasin, lepas... Ervin lepasin!!!” Kini aku mulai berteriak panik. Tapi Ervin
tetap memelukku. Akhirnya bendungan air mataku meledak, dan aku tersedu-sedu
sambil sebisa mungkin berpegang erat pada Ervin.
“Gue cinta sama Baron, Vin. Kenapa gue nggak bisa sama dia?” ucapku di
tengah tangisanku.
I know,” ucapnya pelan.
I can’t do this,” tangisku.
“Lo bisa, lo pasti bisa.”
“Gimana lo bisa tahu, lo nggak pernah patah hati,” ucapku dengan keras kepala.
Ervin tidak mengatakan apa-apa, hanya tetap memelukku.
Aku tidak tahu berapa lama aku berada di pelukannya, tapi pasti sudah cukup
lama karena bekas-bekas air mata sudah mengering di pipiku. Aku mengangkat
kepalaku dari dada Ervin dan memandangnya. Ervin pun memandangku dengan
memegang kepalaku di antara kedua belah tangannya yang besar itu. Kemudian dia
mulai menciumku perlahan-lahan. Mulai dari kening, kedua mataku yang masih
agak basah, pipi, dan hidung. Ervin berhenti sesaat untuk menatap mataku yang
mungkin terlihat bingung dan kaget. Lalu pandangannya jatuh ke bibirku, dan dia
terlihat ragu.
“Mobil lo di mana?” tanya Ervin setelah beberapa menit di keheningan.
“Di rumah. Gue naik taksi ke kantor.”
“Mau gue antar pulang?”
Aku mengangguk. Ervin melepaskanku. Dia berdiri sejauh mungkin dari aku.
Wajahnya terlihat serius ketika menungguku membereskan barang-barang. Aku
menunggu dia mengatakan sesuatu, tapi tidak ada satu patah kata pun yang keluar
dari mulutnya.
* * *
Keesokan paginya aku terlalu lelah dan cranky untuk pergi ke kantor sehingga
meminta izin sakit. Pat yang mendengar suaraku yang memang agak-agak serak
langsung maklum dan minta aku untuk pergi ke dokter dan beristirahat hingga
sembuh.
Pukul sembilan pagi Ervin meneleponku untuk menanyakan keberadaanku
karena dia tidak melihatku di kantor. Aku memakai alasan kelelahan. Selama satu
hari penuh aku tidak keluar kamar, aku hanya makan Cadbury sebanyakbanyaknya
dan memutar hampir semua DVD romantis yang kumiliki, mulai dari
Pretty in Pink” hingga “27 Dresses”. Tapi rupanya Molly Ringwald dan Katherine
Heigl tidak bisa menyelamatkanku. Akhirnya aku hanya terbaring di tempat tidur
sambil memandangi langit-langit kamarku. Orangtuaku tidak menggangguku sama
sekali karena setahu mereka aku memang masih sedikit flu.
Pukul enam sore Ervin memasuki kamarku untuk melihat kondisiku dengan
menjinjing satu kantong plastik berisi stroberi, buah kesukaanku. Ketika melihat
kamarku yang gelap dan tubuhku yang meringkuk di atas tempat tidur, Ervin
langsung menarikku turun dari tempat tidur.
“Addduuuuhhhhhh sakit, Vin,” ucapku sambil meraba pergelangan tanganku
yang merah karena cengkeraman ganas Ervin.
“Bagus, itu berarti lo masih sadar. Pak baju, Dri, kita pergi ke Lembang malam
ini juga,” perintahnya sambil mulai membuka-buka laci dresser dan mengeluarkan
beberapa kausku.
“Lo ngapain sih?” tanyaku sebal sambil mencoba menata kaus-kausku kembali
pada tempatnya.
“Gue mau bawa lo liburan. Gue udah minta izin ke bonyok lo,” ucapnya
singkat.
“Gue nggak butuh liburan,” teriakku.
“Ayo, jalan!” geramnya balik padaku.
Kaget atas geramannya, aku hanya bisa melongo beberapa saat.
“Apa mau gue bilang ke orangtua lo supaya ngebawa lo ke rumah sakit?”
tanyanya.
Mendengar kata orangtuaku disebut-sebut aku langsung ngamuk.
“Bilang saja ke mereka, memang gue pikirin,” balasku sambil melangkah
kembali ke tempat tidurku. Aku sebenarnya hanya menggertak. Tapi Ervin tahu
sifatku dan menggertak balik.
“Oke,” ucapnya lalu membuka pintu kamar.
Aku yang melihat dia ternyata benar-benar mau mengadu ke orangtuaku
tentang kondisiku yang sebenarnya langsung panik dan menarik tangannya.
“Eh, jangan! Oke, gue ikut elo! Kasih gue waktu setengah jam.”
Aku buru-buru ngacir ke kamar mandi.
Satu jam kemudian kami sudah dalam perjalanan menuju Lembang. Ervin
menceritakan padaku bahwa dia berkata kepada orangtuaku ada acara kantor yang
harus dihadiri di Lembang pada hari Sabtu pagi, makanya aku harus pergi malam
itu juga. Orangtuaku bahkan tidak menanyakan di mana aku akan tinggal. Mereka
terlalu terkesima dengan tingkah laku Ervin yang akhir-akhir ini selalu muncul di
saat aku memerlukannya. Aku hampir tidak pernah berbohong kepada orangtuaku,
kecuali untuk hal-hal yang bisa membuat mereka pingsan kalau mendengar
kenyataannya. Dan inilah salah satu keadaan di saat mereka lebih baik tidak tahu
tentang keadaanku yang sebenarnya.
“Lembang bukannya ramai akhir minggu ini? Kan mau Tahun Baru?” tanyaku
membuka pembicaraan.
“Gue ada kenalan yang punya hotel, dia bisa kasih kita tempat,” jelas Ervin
singkat.
Aku hanya membentuk mulutku menjadi “O” sambil manggut-manggut.
Stereo di mobil Ervin sedang melantunkan “Dirty Little Secret” milik The All
American Rejects. Aneh, aku tidak pernah tahu Ervin suka band rock ABG.
Mmmmhhhh, dirty little secret. Sepertinya itu yang harus kukerjakan akhir minggu
ini. Mengerjakan sesuatu yang gila untuk menghapus wajah Baron dari kepalaku
dan rasa patah hatiku ini.
Kami tiba di Lembang jam sebelas malam karena tol Cikampek ternyata padat
sekali. Kukira sewaktu Ervin mengatakan “tempat” yang dimaksud adalahd ua
kamar hotel, paling maksimum mungkin suatu suite. Tapi ternyata kami dibawa ke
sebuah cottage dengan empat kamar. Hotelnya sendiri juga ternyata adalah salah
satu hotel termahal di Lembang. Aku langsung memilih satu kamar yang paling
jauh dari Ervin.
Pukul satu pagi, ketika barang-barang sudah di-unpack dan aku sudah berbaring
di atas tempat tidur, taktik untuk meluncurkan ide dirty little secret-ku mulai
terbentuk. Aku baru saja selesai merencanakan langkah pertamaku untuk
melupakan Baron, yaitu: Get real drunk and start making out with some random guy.
Tiba-tiba aku mendengar langkah Ervin terhenti di luar pintu kamarku. Tapi dia
tidak mengetuk dan beberapa menit kemudian kudengar langkahnya kembali
menuju kamarnya. Untuk pertmaa kali selama beberapa hari, aku bisa tertidur
sambil tersenyum.
* * *
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Setelah menelepon orangtuaku, aku pun pergi
keluar cottage untuk jalan-jalan pagi. Aku tidak peduli Ervin masih tidur. Kalau
memang mau berburu laki-laki, aku harus mengerjakan ini sendiri. Aku hanya
membawa kunci kamar dan saputangan ketika keluar dari cottage.
Cuaca di luar cukup dingin, tapi tidak sampai membuatku menggigil. Aku
menghirup udara segar Lembang yang bersih dan bebas polusi. Perlahan-lahan aku
mulai berjalan menuju bangunan utama hotel. Ternyata sudah banyak tamu yang
sedang berolahraga, beberapa dari mereka cute juga.
Nice butt, pikirku ketika ada dua cowok bule lari melewatiku. Kaus yang mereka
kenakan sudah basah kuyup karena keringat. Lalu ada segerombolan anak-anak
dengan rollerblade meluncur ke arahku. Aku memilih jalan yang agak menanjak
karena itu bisa lebih cepat membakar kalori. Mungkin habis ini aku mau ke gym
untuk mulai latihan cardio agar perutku tidak kelihatan terlalu buncit, habis itu
mungkin berenang. Tapi baru berjalan selama setengah jam aku sudah kelelahan,
untung saja aku sudah hampir sampai di bangunan utama. Aku langsung menuju
ke restoran hotel untuk sarapan. Aku tidak memikirkan bahwa Ervin mungkin
sekarang sedang mencariku. Bodo amat deh. Siapa suruh memaksa orang yang
sedang tidak mau diganggu untuk pergi ke Lembang?
Aku memasuki restoran dengan kaus yang sudah agak basah dengan keringat.
Wajahku sudah aku sapu dengan saputangan sehingga tidak berkeringat lagi, tapi
rambutku sudah menempel di kulit kepalaku. Aku tidak peduli. Kalau aku harus
kembali ke cottage untuk mandi dan mengganti pakaian sebelum ke restoran, aku
bisa telanjut mati kelaparan.
Ketika sedang berjalan mengelilingi meja buffet, aku menyadari bahwa ada tiga
laki-laki yang duduk di salah satu meja di dekat jendela sedang memperhatikanku.
Mungkin mereka sedikit bingung melihat perempuan sedang sarapan sendirian di
restoran hotel beberapa hari sebelum Tahun Baru. Lagi-lagi, bodo amat. Aku
mengambil tiga chocolate chip waffles dan menyiramkan sirup maple di atasnya, serta
segelas besar orange juice. Aku memilih untuk duduk di salah satu meja khusus
untuk dua orang di dekat dinding. Aku mulai melahap sarapanku dengan santai.
Lagi-lagi ketiga laki-laki tadi memandangiku dengan lebih saksama. Aku tersenyum
ke arah mereka.
Aku memfokuskan diri pada potongan waffle yang kedua. Tiba-tiba aku melihat
salah seorang dari ketiga laki-laki tadi mendatangiku. Aku hampir saja tersedak
potongan waffle yang baru masuk mulutku.
Mudah-mudahan laki-laki ini tidak menginterpretasikan senyumku tadi sebagai
suatu undangan untuk hal-hal yang tidak-tidak, pikirku.
Excuse me,” ucap laki-laki itu padaku ketika dia sudah berdiri di depan mejaku.
“Ya?” tanyaku bingung.
“Adri, kan?” tanyanya.
Aku mengangguk. Lho kok nih orang bisa tahu namaku ya? Aku jelas-jelas tidak
mengenalnya. Tapi tunggu... Oh my God, dia ini... aduhhhhh siapa namanya? Aku
kenal dia... siapa namanya?
“Aku Eddie, ingat nggak? Aku pernah datang ke rumahmu pas pesta Natal
beberapa tahun yang lalu....”
Oh my God, iya, aku ingat. Maaf, tadi aku tidak mengenalimu, soalnya kamu...
beda,” ucapku ketika memoriku mulai kembali. Eddie Tan adalah salah satu orang
Cina-Malaysia yang rekan kerja Vincent. Orangnya cukup baik, bahkan terkadang
suka kocak.
“Sori, maksudku... kami... tidak bermaksud mengamatimu tadi, tapi kupikir aku
kenal kamu saat kamu masuk tadi.” Eddie melambaikan tangannya pada kedua
temannya.
Aku tertawa. “It’s alright. Kalian lagi liburan?” tanyaku sambil melambaikan
tangan kepada teman-teman Eddie dan mempersilakan Eddie duduk di kursi di
depanku.
“Iya. Ini liburan khusus cowok. Aku akan menikah April besok...”
“Wow! Selamat ya!”
“Mmm... aku sudah dengar soal kamu dan Vincent. I’m sorry about that,”
ucapnya penuh simpatia.
“Ah... nggak pa-pa kok. Lagi pula, itu sudah lama lewat.”
“Kau tau kan dia menikah dengan orang Malaysia?” tanyanya.
“Yeah, Farah, right?”
“Ya, kok tahu?” tanya Eddie kaget.
“Vi ngasih tahu aku,” balasku.
“Oke... tapi kamu tahu mereka sudah pindah ke KL?”
What??!! Bercanda kamu?”
Eddie menggelengkan kepalanya. “Vincent sudah mulai kerja di sana bulan
lalu.”
“Oh my God, dia tidak bilang-bilang soal ini, tapi yah... rasanya aku lupa
membalas e-mail terakhirnya,” ucapku sambil tertawa, mengingat bahwa aku
menerima e-mail terakhir darinya sekitar tiga bulan yang lalu.
“Vincent pasti kesal kalau kuberitahu aku bertemu denganmu di sini. Dia
tadinya mau datang, tapi terlalu sibuk mengurus soal pindahan.”
“Ah, kurasa dia nggak bakalan marah,” ucapku.
“Hei, kamu sendirian di sini?”
No, aku sama temna, tapi dia masih tidur,” jelasku.
Well, kamu ada rencana malam ini? Aku dan teman-temanku akan merayakan
saat-saat terakhir kebebasanku di bar nanti malam. Kau dan temanmu datang saja.
Aku yang traktir minum.”
“Serius?”
Eddie mengangguk.
“Jam berapa?” Aku antusias juga dengan rencana malam ini.
Tiba-tiba aku melihat Ervin berjalan ke arahku dengan wajah merah padam. Uhoh,
sepertinya dia akan ngamuk karena aku pergi tidak bilang-bilang.
“Sekitar jam sembilan, setelah makan malam. Bagaimana?” jawab Eddie.
“Jam sembilan oke. Ada dress code?”
“Pakai sesuatu yang... well, comfortable. We gonna party till dawn.” Eddie
mengucapkannya sambil bergaya seperti John Travolta di “Pulp Fiction”.
“Oke, I’ll see you at nine then,” ucapku buru-buru sambil tertawa karena Ervin
sudah hampir sampai ke mejaku.
Eddie lalu berdiri, siap meninggalkan mejaku dan hampir saja bertabrakan
dengan Ervin yang menatapnya dengan sangar.
Where the hell were you?” geram Ervin ketika Eddie sudah berlalu. Dia berusaha
menahan teriakannya.
Well, good morning to you too,” balasku santai.
“Gue bangun lo sudah hilang, gue tungguin nggak balik-balik. Gue cari ke
mana-mana nggak ada, mana HP ditinggal, lagi. Nggak tahunya di sini lagi makan,”
omelnya panjang-lebar.
Waffles?” tanyanya mengabaikan omelannya sambil memindahkan piringku ke
hadapannya.
Hari ini pokoknya aku menolak untuk bertengkar dengan siapa pun. Aku tidak
mau merusak suasana hatiku yang sudah lumayan happy.
“Vin, hari Senin gue mesti kerja lho. Kita musti balik besok pagi.”
“Senin kan hari kejepit, lo minta libur saja deh sama Pat. Divisi gue saja diliburin
kok.”
“Enak saja lo, Pat mana bisa kerja kalau nggak ada gue?”
“Ya bilang saja lo masih sakit. Gimana kek. Sekali-sekali bohong sama Bos kan
nggak apa-apa, Dri.”
“Lo nantangin gue?” tanyaku.
Ervin agak kaget dengan pertanyaanku. Maksud hatiku adalah supaya kata-kata
itu keluar dengan nada galak, tapi malah justru terdengar menggoda.
Ervin mengeluarkan BlackBerry dari celana jinsnya dan menyodorkannya
kepadaku.
“Nggak usah, nanti gue telepon pakai HP gue. Lagian nggak ingatlah gue
nomornya Pat.”
Ervin memandangiku dengan tatapan menantang.
“Oh ya, nanti malam lo mau ikutan nggak party sama gue?” tanyaku
mengalihkan pembicaraan.
Party?” tanya Ervin sambil menusukkan garpu ke waffle yang aku sodorkan
kepadanya dan mulai makan.
Bachelor party-nya Eddie.”
“Eddie?” tanya Ervin dengan mulut penuh. Melihat tampangnya dengan mulut
penuh tapi masih mencoba untuk berbicara, aku jadi ingat ikan mas koki.
“Itu tuh, cowok yang tadi duduk sama gue.” Saat itu pasukannya Eddie sudah
selesai sarapan dan melambaikan tangan. Eddie mengacungkan jari-jarinya
menunjuk angka sembilan. Aku mengangguk dan melambaikan tanganku.
Setelah menelan potongan waffle yang cuku pbesar dan menghabiskan orange
juice-ku Ervin bertanya, “Dia siapa sih?”
“Teman pac... eh... teman gue waktu di D.C.,” ucapku akhirnya. Kalau aku
sampai harus menceritakan tentang Vincent bisa jadi panjang urusannya.
“Memang gue diundang?”
“Ya iyalah diundang, Jabrik. Kalau nggak ngapain gue ajak elo? Enakan juga
pergi sendiri biar bisa ngegaet cowok. Daripada nongol sama elo, prospek gue bisa
garing.”
Ervin memandangku curiga. “Prospek?”
“Iya prospek, ngaku deh. Lo bawa gue ke sini untuk nenangin gue supaya gue
bisa lupa sama Baron, kan? Ya sudah, ini gue lagi mau usaha untuk ngelupain dia.”
Aku berdiri dan berjalan menuju meja prasmanan untuk mengambil dua lembar
French Toast dan segelas susu. Rupanya Ervin menunggu hingga aku sampai di meja
sebelum ngembat salah satu rotiku.
“Aduhhhh... ambil sendiri deh,” omelku.
Tapi Ervin sepertinya tidak peduli. Lagi-lagi dia minum susuku sampai habis.
Tapi kini dia berdiri dan mengisi dua gelas lagi.
Setelah sarapan aku menolak paksaan Ervin untuk pergi ke Dago. Bodo deh, beli
baju kan bisa di Jakarta, ngapain amat mesti beli di Bandung? Lagian juga tubuhku
tidak akan tahan untuk melalui jalan yang berliku-liku seperti tadi malam. Akhirnya
Ervin pun tidak jadi pergi ke Dago dan menghabiskan sisa pagi itu dengan
menonton TV. Kubiarkan Ervin dengan HBO-nya, sementara aku menyibukkan diri
untuk memilih-milih baju yang akan kukenakan malam itu. Setiap perempuan pasti
ada sisi slutty-nya, dan aku berencana mengeluarkannya full force malam ini. Aku
memutuskan untuk menggunakan atasan warna hijau dengan plunging neckline,
tanpa ritsleting. Atasan itu tanpa lengan, jadi aku terpaksa mengenakan kardigan
supaya tidak kedinginan.
Aku dan Ervin pergi makan siang di restoran hotel jam setengah dua. Lalu aku
menemaninya nonton TV. Aku meninggalkan Ervin untuk mandi jam setengah
enam. Jam setengah tujuh Ervin sudah mengetuk pintu kamarku.
“Dri, makan yuk.”
Aku keluar dari kamarku dan bertatapan dengan Ervin yang memandangku
dengan mulut ternganga. Tidak pernah aku melihat reaksi seperti ini di wajah Ervin.
Apalagi penyebab utama reaksinya adalah aku. Dia memandangiku mulai dari
kakiku yang hanya mengenakan sandal warna biru langit, rok jinsku sebatas
dengkul dengan belahan depan, dan atasan hijauku yang kututupi dengan kardigan.
Ervin menggunakan baju serbaputih. Celana panjang yang longgar dari bahan goni,
kemeja putih, dan sandal. Cukup biasa, tapi tetap... ganteng.
“Yuk,” ucapku santai.
Ervin tidak memberikan komentar apa-apa dan berjalan bersamaku.
Kami memutuskan untuk makan malam di bar hotel malam itu. Ketika
memasuki bar aku sadar bahwa banyak orang yang tiba-tiba memperhatikan kami.
Aku agak-agak risi. Ya ampun, dandananku pasti salah, pikirku dalam hati. Tapi
sudah terlambat, aku tidak mungkin kembali lagi ke cottage untuk ganti baju. Ervin
juga rupanya sadar bahwa orang-orang di bar sedang memperhatikan kami karena
dia langsung menggandeng tanganku.
Ketika sedang menikmati makan malam, tiba-tiba ada waiter yang mendatangi
meja kami sambil membawa segelas Dirty Martini.
“Mbak, ini dari cowok yang duduk di bar itu,” ucap si waiter sambil menunjuk
ke seorang laki-laki bule yan gdari tadi memang berusaha mendapatkan
perhatianku tapi tidak kuhiraukan.
Aku mengangkat gelas itu ke arahnya dan meminum seteguk. Ervin langsung
memelototiku.
“Lo ngapain sih?” geramnya.
“Minum,” jawabku singkat.
“Dri...” Dari nadanya aku tahu Ervin sedang mencoba untuk mengingatkanku
agar tidak terlalu ramah pada laki-laki yang tidak kukenal.
Aku belum sempat menenangkan Ervin ketika Eddie dan rombongannya tiba.
Aku buru-buru menyambut mereka.
Hey, Eddie, meet my friend. This is Ervin. Vin, ini Eddie,” ucapku
memperkenalkan mereka. Aku belum sempat memperkenalkan mereka di restoran
tadi pagi karena wajah Ervin terlihat sangat sangar untuk bisa dikenalkan sebagai
temanku. Kemudian Eddie memperkenalkan dua temannya, Zach dan Othman.
Jelas-jelas Othman adalah keturunan Melayu Malaysia, kok dia mau sih masuk ke
bar? Mmmmhhhh liberal juga. Beberapa jam kemudian aku sadar seberapa
liberalnya Othman itu.
Sepanjang malam Ervin kelihatan cukup ramah terhadap teman-temanku, tapdi
dia menatap dingin kepadaku. Dari Eddie, Ervin akhirnya mengetahui sejarahku
dengan Vincent. Ketika kami meninggalkan bar malam itu, cuma tinggal Zach dan
aku yang masih sadar. Ervin kelihatan cukup sadar, tapi matanya merah
kebanyakan minum tequilla shots dengan Eddie dan Othman. Aku dan Zach memilih
minum Corona, karena kami berdua ternyata memang tidak biasa minum.
* * *
Aku dan Ervin masuk cottage sekitar pukul empat pagi. Aku sudah hampir
memenuhi langkah pertamaku untuk get drunk and make out with some random guy
sebelum Ervin menarikku dari pelukan seorang laki-laki bule yang mencoba
menciumku. Damn it.
“Cowok tadi sempat mencium lo nggak?” tanya Ervin ketika aku sedang
menyalakan salah satu lampu sambil melepaskan kardiganku.
“Cowok yang mana?” tanyaku cuek sambil melepaskan sandalku.
“Cowok yang mendorong lo ke dinding itu,” Jawabnya dengna nada meninggi.
“Nggak, nggak jadi, elo sih ganggu, kalau nggak kan pasti sudah jadi.”
“Maksud lo?”
Aku menghadap Ervin sambil bertolak pinggang.
“Langkah pertama untuk melupakan Baron, get drunk and make-out with some
random guy.”
“Lo bercanda.”
Nope, I am dead serious. Gara-gara elo, jadinya gue nggak bisa menyelesaikan
langkah pertama. Besok gue mesti cari cowok lain.”
Ervin memandangiku bingung. Aku buru-buru menambahkan, “Iya, biar selesai
langkah penyembuhannya.”
“Lo drunk?”
Aku berpikir sejenak, lalu menghadap Ervin. “Sedikit, hehehe... Lo malahan
yang kelihatan slammed,” ujarku sambil tersenyum. Aku menolak bertengkar
dengannya.
Humorku pun tertular ke Ervin. “I’m fine. I have a good buzz,” jawabnya sambil
nyengir iseng. Matanya mulai bersinar-sinar.
Okay then, gue mau tidur...”
Aku baru akan melangkah ke kamarku ketika Ervin menggapai tanganku.
Can I do it?” tanya Ervin sambil mendekatkan dirinya padaku. Aku mundur
selangkah dan punggungku menabrak dinding.
Do what?” tanyaku bingung.
Making-out sama elo.”
Aku terdiam sesaat, mencoba mencerna kata-katanya. “Ya nggak bisalah, lo kan
bukan some random guy. I need some random guy,” balasku akhirnya masih dengan
humor.
I can be random.” Ervin menutup jarak tiga puluh sentimeter yang memisahkan
tubuhku dengan tubuhnya.
“Definisi dari random guy adalah laki-laki yang gue nggak kenal dan nggak akan
ketemu lagi setelah gue cium,” balasku sambil mencoba tidak menahan napas ketika
sadar bahwa mata Ervin malam itu kelihatan superseksi. Semua selera humorku
telah hilang, diganti dengan rasa ragu.
“Ya lo pura-pura saja nggak kenal sama gue untuk beberapa menit. Dan gue
janji, besok gue nggak akan ngomongin masalah ini lagi.” Tatapan Ervin turun dari
mata ke bibirku.
Saat itu juga aku berhenti bernapas. Aku mencoba mencari alasan yang lebih
masuk akal dan teringat sesuatu yang bisa mengulur waktu.
“Apa ini trik yang selalu lo gunakan sebelum nyium perempuan? Lo bawa dulu
dia makan malam, pura-pura marah kalau lo lihat ada laki-laki lain yang
kelihatannya tertarik sama perempuan itu, terus lo bawa pulang ke apartemen lo, lo
dorong dia ke dinding, terus lo cium dia? Gitu?” jawabku ketus samibl mencoba
bergeser ke kiri supaya ada udara untuk bernapas. Tapi usahaku diblok Ervin yang
kini menekanku ke dinding dengan seluruh berat tubuhnya.
“Menurut lo?” Ervin mendorong bahu kiriku ke dinding.
“Gue nggak tahu, makanya gue tanya ke elo.” Suaraku terdengar serak. Ervin
semakin menekan tubuhku ke dinding. Aku harus mengangkat tumitku dan berjinjit
dalam usaha untuk menghindarinya. Aku mulai berasa gerah. Dada Ervin menekan
payudaraku.
“Biasanya sih memang gitu, tapi malam ini kayaknya gue kurang sukses,” jawab
Ervin cuek sambil mulai memandangiku seperti aku ini es krim yang siap dijilat.
Aku hanya bisa tertawa lemah. Aku sudah tidak bisa berpikir lagi. Ervin mulai
bergerak ke leherku. Aku dapat merasakan embusan napasnya di kulitku sebelum
kemudian ujung-ujung jarinya mulai menyentuh kulitku.
“Ada pertanyaan lagi?” bisik Ervin dengan suara sedikit serak. Jari telunjuknya
menarik garis dari leher ke belahan dadaku. Kakiku langsung lemas.
Aku tadinya mau mengangguk, tapi aku memang tidak punya pertanyaan lagi
untuknya. Lebih tepatnya otakku tiba-tiba beku, sehingga aku tidak bisa berpikir
sama sekali. Aku lalu menggeleng.
“Jangan menghindar lagi, oke?”
Aku harus mengangkat wajah untuk bisa menatap matanya yang terlihat sangat
serius.
Aku menelan ludah sebelum menjawab. “Okay then,” tantangku.
Ervin kelihatan kaget atas jawabanku. Dari matanya tebersit sedikit keraguan
tapi pelan-pelan dia mulai menciumku. Pertama-tama ciumannya hanya meliputi
bibirku tapi kemudian dia pindah ke leherku, untungnya dia kemudian kembali lagi
ke bibir, kalau tidak aku bisa pingsan di pelukannya. Tiba-tiba ciuman Ervin
menjadi semakin dalam. Satu-satunya benda yang masih menopangku berdiri
adalah tubuh Ervin yang menekanku ke dinding.
Ervin meraba pahaku di bawah rok jinsku, sementara bibirnya tidak pernah
meninggalkan bibirku. Aku mau protes, tapi Ervin menelan semua perkataanku dan
memaksaku membuka mulut lebih legar agar dia bisa merasakan, sementara
tangannya mengelusi bagian-bagian sensitif tubuhku. Dan untuk pertama kalinya
aku percaya bahwa seorang perempuan bisa mencapai orgasme di luar seks.
Tubuhku menggeletar saat aku melepaskan hiasan terakhirku. Erivn langsung
berhenti menciumku sebelum kemudian memelukku. Ervin cukup berpengalaman
untuk tahu bahwa dialah penyebab kenapa aku baru saja mengeluarkan teriakan
yang agak tertelan oleh bibirnya.
Mataku agak-agak kabur, dan aku tidak bisa melihat dengan jelas untuk
beberapa menit. Napasku pun pendek-pendek.
“Cukup,” ucapku mencoba melepaskan diri dari pelukannya.
Ervin tidak bergerak dari hadapanku, dia malah mendekatkan keningnya
hingga menyentuh keningku. Dia sepertinya juga agak shock. Napasnya memburu.
Aku tetap menunduk karena tidak berani menatap Ervin. Aku menggelengkan
kepalaku lemah. “I’m going to bed,” ucapku. Lalu meninggalkan Ervin di ruang tamu.
Tidak lama kemudian aku mendengar suara kepalan tinju menghantam dinding.
Langkah pertama untuk melupakan Baron beres. Agak sedikit keterlaluan dan
sedikit di luar rencana karena harus melibatkan Ervin, tapi beres. Langkah kedua... I
need to have a one night stand. Aku baru sadar dari kejadian beberapa menit yang lalu
bahwa tubuhku sudah tidak sinkron dengan otakku. Secara mental aku tidak siap
untuk mulai berhubungan secara seksual dengan seorang laki-laki di luar nikah, tapi

secara fisik, aku siap.


Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 16

No comments:

Post a Comment