15.
TAHAP PENYEMBUHAN
MALAM
itu aku menghindar ketika orangtuaku ingin membahas kejadian tadi pagi.
Aku
tidak bisa memberikan penjelasan apa pun kepada mereka. Aku tahu bahwa
orangtuaku
tahu Ervin menemani aku di kamarku, tapi mereka tidak mengucapkan
sepatah
kata pun tentang itu dan aku tidak menawarkan penjelasan. Untung saja
kantorku
libur hingga hari Rabu karena Natal, membuatku punya waktu untuk
mengistirahatkan
pikiranku yang sedang tidak keruan. Aku bisa merasakan gejala
flu
mulai menyerangku. Malam itu Ervin meneleponku untuk memastikan apakah
aku
baik-baik saja dan meminta maaf karena harus meninggalkanku sebelum aku
bangun
karena ada acara keluarga malam itu. Dia terdengar agak khawatir.
Selama
beberapa hari Baron tidak menghubungiku sama sekali. Sepertinya dia
akan
menepati janjinya pada Olivia. Meskipun aku tahu bahwa aku sudah
melakukan
hal yang benar, tapi hatiku terasa remuk. Hampir setiap malam aku
pergi
tidur sambil menangis. Mataku membengkak, tampangku kacau-balau,
sehingga
membuat orangtuaku khawatir. Tapi aku meyakinkan mereka bahwa aku
hanya
terkena flu. Pada Hari Natal aku dan orangtuaku pergi ke rumah kakakku
yang
merayakan ulang tahunnya yang ke-33. Kakakku yang melihat keadaanku
langsung
khawatir juga. Aku yakin orangtuaku sudah menceritakan kejadian hari
Minggu
itu. Tapi Mbak Tita tidak menanyakan apa-apa padaku.
Selama
liburan Natal, daripada menghabiskan waktunya bersama keluarga,
Ervin
justru ada di rumahku dan menghabiskan liburan dengan keluargaku.
Orangtuaku
tidak berkeberaan sama sekali karena mereka kini telah cukup
mengenal
Ervin. Sedangkan aku sendiri juga tidak berkeberatan karena sejujurnya,
ternyata
Ervin cukup menghibur. Hubunganku dengan Ervin berangsur membaik.
Ervin
tidak pernah menyinggung soal Baron, dan aku pun tidak membahas perkara
itu.
Ervin juga tidak menyinggung mengenai kejadian aku menciumnya atau aku
melarikan
diri ketika bertemu dengannya di pernikahan Alya. Aku juga puas hanya
dengan
berdiam diri.
Hari
Kamis sewaktu aku seharusnya sudah masuk kantor lagi, Ervin
menanyakan
apa aku perlu dijemput dan diantar pulang olehnya. Tapi aku menolak
dan
memilih naik taksi. Aku tidak bisa membawa mobil sendiri karena akhir-akhir
ini
terlalu sering tiba-tiba menangis tanpa sebab kalau sedang sendirian. Daripada
nanti
kecelakaan, aku lebih pilih safety.
Hari
pertama aku kembali bekerja, ketika semua orang kantor sudah pulang,
aku
menemukan diriku sendirian di kantor. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh.
Aku
harus pulang tapi aku justru menutup pintu ruanganku, duduk bersila tanpa
sepatu
di kursi kerjaku sambil menghadap jendela dan mulai menangis sejadijadinya.
Aku
mendengar ketukan, tapi tidak kuhiraukan. Aku pikir itu pasti Mr.
Bron,
alias Brondong, salah satu office boy di kantorku yang nama aslinya adalah
Bejo.
Tapi kemudian aku mendengar pintu ruanganku dibuka.
Aku
mencoba untuk menghapus bekas-bekas air ata di wajahku.
“Kok
belum pulang, Jo?” tanyaku sambil memutar kursiku untuk menghadap
pintu.
Ternyata
bukan Bejo yang aku temui, tapi Ervin. Melihat wajahku yang merah
dan
mataku yang bengkak dia langsung tahu aku haibs menangis.
“Dri...
mmmmhhhh... gue lihat lampu ruangan lo masih nyala. Gue cuma
mau...”
Dia
tidak melanjutkan kata-katanya dan hanya tersenyum sedih melihat
keadaanku.
Aku
mencoba untuk tersenyum. “Iya, gue juga baru mau pulang,” ucapku dan
buru-buru
membereskan mejaku mencoba mengalihkan perhatian Ervin dari
wajahku.
Setelah
kejadian hari Minggu di kamar mandi itu Ervin memang tidak pernah
melihatku
menangis lagi. Setidak-tidaknya dia berusaha keras untuk menghiburku
agar
aku tidak menangis lagi. Selama itu pula aku berpura-pura tegar dan
bertingkah
laku bagaikan kejadian dengan Baron tidak berdampak apa-apa padaku.
Tapi
malam itu aku mengaku kalah, dan aku tidak peduli bahwa Ervin
memergokiku
sedang menangis.
Tiba-tiba
Ervin sudah berdiri di sampingku, menggenggam tanganku dan
memelukku.
“Vin,
I’m fine, you don’t have to do
this,” ucapku sambil mencoba untuk
melepaskan
diri dari pelukannya.
“No,” jawabnyas ingkat
dan tetap memelukku.
“Really, I’m fine,”
bujukku sekali lagi. Tapi Ervin justru mengeratkan
pelukannya.
“Lepas,”
ucapku lagi, kini dengan nada lebih serius.
“Nggak,
Dri.”
“Lepasin,
lepas... Ervin lepasin!!!” Kini aku mulai berteriak panik. Tapi Ervin
tetap
memelukku. Akhirnya bendungan air mataku meledak, dan aku tersedu-sedu
sambil
sebisa mungkin berpegang erat pada Ervin.
“Gue
cinta sama Baron, Vin. Kenapa gue nggak bisa sama dia?” ucapku di
tengah
tangisanku.
“I know,”
ucapnya pelan.
“I can’t do this,”
tangisku.
“Lo
bisa, lo pasti bisa.”
“Gimana
lo bisa tahu, lo nggak pernah patah hati,” ucapku dengan keras kepala.
Ervin
tidak mengatakan apa-apa, hanya tetap memelukku.
Aku
tidak tahu berapa lama aku berada di pelukannya, tapi pasti sudah cukup
lama
karena bekas-bekas air mata sudah mengering di pipiku. Aku mengangkat
kepalaku
dari dada Ervin dan memandangnya. Ervin pun memandangku dengan
memegang
kepalaku di antara kedua belah tangannya yang besar itu. Kemudian dia
mulai
menciumku perlahan-lahan. Mulai dari kening, kedua mataku yang masih
agak
basah, pipi, dan hidung. Ervin berhenti sesaat untuk menatap mataku yang
mungkin
terlihat bingung dan kaget. Lalu pandangannya jatuh ke bibirku, dan dia
terlihat
ragu.
“Mobil
lo di mana?” tanya Ervin setelah beberapa menit di keheningan.
“Di
rumah. Gue naik taksi ke kantor.”
“Mau
gue antar pulang?”
Aku
mengangguk. Ervin melepaskanku. Dia berdiri sejauh mungkin dari aku.
Wajahnya
terlihat serius ketika menungguku membereskan barang-barang. Aku
menunggu
dia mengatakan sesuatu, tapi tidak ada satu patah kata pun yang keluar
dari
mulutnya.
*
* *
Keesokan
paginya aku terlalu lelah dan cranky
untuk pergi ke kantor sehingga
meminta
izin sakit. Pat yang mendengar suaraku yang memang agak-agak serak
langsung
maklum dan minta aku untuk pergi ke dokter dan beristirahat hingga
sembuh.
Pukul
sembilan pagi Ervin meneleponku untuk menanyakan keberadaanku
karena
dia tidak melihatku di kantor. Aku memakai alasan kelelahan. Selama satu
hari
penuh aku tidak keluar kamar, aku hanya makan Cadbury sebanyakbanyaknya
dan
memutar hampir semua DVD romantis yang kumiliki, mulai dari
“Pretty in Pink”
hingga “27 Dresses”. Tapi rupanya Molly Ringwald dan Katherine
Heigl
tidak bisa menyelamatkanku. Akhirnya aku hanya terbaring di tempat tidur
sambil
memandangi langit-langit kamarku. Orangtuaku tidak menggangguku sama
sekali
karena setahu mereka aku memang masih sedikit flu.
Pukul
enam sore Ervin memasuki kamarku untuk melihat kondisiku dengan
menjinjing
satu kantong plastik berisi stroberi, buah kesukaanku. Ketika melihat
kamarku
yang gelap dan tubuhku yang meringkuk di atas tempat tidur, Ervin
langsung
menarikku turun dari tempat tidur.
“Addduuuuhhhhhh
sakit, Vin,” ucapku sambil meraba pergelangan tanganku
yang
merah karena cengkeraman ganas Ervin.
“Bagus,
itu berarti lo masih sadar. Pak baju, Dri, kita pergi ke Lembang malam
ini
juga,” perintahnya sambil mulai membuka-buka laci dresser dan
mengeluarkan
beberapa
kausku.
“Lo
ngapain sih?” tanyaku sebal sambil mencoba menata kaus-kausku kembali
pada
tempatnya.
“Gue
mau bawa lo liburan. Gue udah minta izin ke bonyok lo,” ucapnya
singkat.
“Gue
nggak butuh liburan,” teriakku.
“Ayo,
jalan!” geramnya balik padaku.
Kaget
atas geramannya, aku hanya bisa melongo beberapa saat.
“Apa
mau gue bilang ke orangtua lo supaya ngebawa lo ke rumah sakit?”
tanyanya.
Mendengar
kata orangtuaku disebut-sebut aku langsung ngamuk.
“Bilang
saja ke mereka, memang gue pikirin,” balasku sambil melangkah
kembali
ke tempat tidurku. Aku sebenarnya hanya menggertak. Tapi Ervin tahu
sifatku
dan menggertak balik.
“Oke,”
ucapnya lalu membuka pintu kamar.
Aku
yang melihat dia ternyata benar-benar mau mengadu ke orangtuaku
tentang
kondisiku yang sebenarnya langsung panik dan menarik tangannya.
“Eh,
jangan! Oke, gue ikut elo! Kasih gue waktu setengah jam.”
Aku
buru-buru ngacir ke kamar mandi.
Satu
jam kemudian kami sudah dalam perjalanan menuju Lembang. Ervin
menceritakan
padaku bahwa dia berkata kepada orangtuaku ada acara kantor yang
harus
dihadiri di Lembang pada hari Sabtu pagi, makanya aku harus pergi malam
itu
juga. Orangtuaku bahkan tidak menanyakan di mana aku akan tinggal. Mereka
terlalu
terkesima dengan tingkah laku Ervin yang akhir-akhir ini selalu muncul di
saat
aku memerlukannya. Aku hampir tidak pernah berbohong kepada orangtuaku,
kecuali
untuk hal-hal yang bisa membuat mereka pingsan kalau mendengar
kenyataannya.
Dan inilah salah satu keadaan di saat mereka lebih baik tidak tahu
tentang
keadaanku yang sebenarnya.
“Lembang
bukannya ramai akhir minggu ini? Kan mau Tahun Baru?” tanyaku
membuka
pembicaraan.
“Gue
ada kenalan yang punya hotel, dia bisa kasih kita tempat,” jelas Ervin
singkat.
Aku
hanya membentuk mulutku menjadi “O” sambil manggut-manggut.
Stereo
di mobil Ervin sedang melantunkan “Dirty
Little Secret” milik The All
American
Rejects. Aneh, aku tidak pernah tahu Ervin suka band rock ABG.
Mmmmhhhh,
dirty little secret. Sepertinya itu yang harus kukerjakan akhir minggu
ini.
Mengerjakan sesuatu yang gila untuk menghapus wajah Baron dari kepalaku
dan
rasa patah hatiku ini.
Kami
tiba di Lembang jam sebelas malam karena tol Cikampek ternyata padat
sekali.
Kukira sewaktu Ervin mengatakan “tempat” yang dimaksud adalahd ua
kamar
hotel, paling maksimum mungkin suatu suite. Tapi ternyata kami dibawa ke
sebuah
cottage dengan empat kamar. Hotelnya sendiri juga ternyata adalah salah
satu
hotel termahal di Lembang. Aku langsung memilih satu kamar yang paling
jauh
dari Ervin.
Pukul
satu pagi, ketika barang-barang sudah di-unpack
dan aku sudah berbaring
di
atas tempat tidur, taktik untuk meluncurkan ide dirty little secret-ku
mulai
terbentuk.
Aku baru saja selesai merencanakan langkah pertamaku untuk
melupakan
Baron, yaitu: Get real drunk and start making
out with some random guy.
Tiba-tiba
aku mendengar langkah Ervin terhenti di luar pintu kamarku. Tapi dia
tidak
mengetuk dan beberapa menit kemudian kudengar langkahnya kembali
menuju
kamarnya. Untuk pertmaa kali selama beberapa hari, aku bisa tertidur
sambil
tersenyum.
*
* *
Pagi-pagi
sekali aku sudah bangun. Setelah menelepon orangtuaku, aku pun pergi
keluar
cottage untuk jalan-jalan pagi. Aku tidak peduli Ervin masih tidur.
Kalau
memang
mau berburu laki-laki, aku harus mengerjakan ini sendiri. Aku hanya
membawa
kunci kamar dan saputangan ketika keluar dari cottage.
Cuaca
di luar cukup dingin, tapi tidak sampai membuatku menggigil. Aku
menghirup
udara segar Lembang yang bersih dan bebas polusi. Perlahan-lahan aku
mulai
berjalan menuju bangunan utama hotel. Ternyata sudah banyak tamu yang
sedang
berolahraga, beberapa dari mereka cute
juga.
Nice butt,
pikirku ketika ada dua cowok bule lari melewatiku. Kaus yang mereka
kenakan
sudah basah kuyup karena keringat. Lalu ada segerombolan anak-anak
dengan
rollerblade meluncur ke arahku. Aku memilih jalan yang agak menanjak
karena
itu bisa lebih cepat membakar kalori. Mungkin habis ini aku mau ke gym
untuk
mulai latihan cardio agar perutku tidak kelihatan terlalu buncit, habis itu
mungkin
berenang. Tapi baru berjalan selama setengah jam aku sudah kelelahan,
untung
saja aku sudah hampir sampai di bangunan utama. Aku langsung menuju
ke
restoran hotel untuk sarapan. Aku tidak memikirkan bahwa Ervin mungkin
sekarang
sedang mencariku. Bodo amat deh. Siapa suruh memaksa orang yang
sedang
tidak mau diganggu untuk pergi ke Lembang?
Aku
memasuki restoran dengan kaus yang sudah agak basah dengan keringat.
Wajahku
sudah aku sapu dengan saputangan sehingga tidak berkeringat lagi, tapi
rambutku
sudah menempel di kulit kepalaku. Aku tidak peduli. Kalau aku harus
kembali
ke cottage untuk mandi dan mengganti pakaian sebelum ke restoran, aku
bisa
telanjut mati kelaparan.
Ketika
sedang berjalan mengelilingi meja buffet, aku menyadari bahwa ada tiga
laki-laki
yang duduk di salah satu meja di dekat jendela sedang memperhatikanku.
Mungkin
mereka sedikit bingung melihat perempuan sedang sarapan sendirian di
restoran
hotel beberapa hari sebelum Tahun Baru. Lagi-lagi, bodo amat. Aku
mengambil
tiga chocolate chip waffles dan menyiramkan sirup maple
di atasnya, serta
segelas
besar orange juice. Aku memilih untuk duduk di salah satu meja khusus
untuk
dua orang di dekat dinding. Aku mulai melahap sarapanku dengan santai.
Lagi-lagi
ketiga laki-laki tadi memandangiku dengan lebih saksama. Aku tersenyum
ke
arah mereka.
Aku
memfokuskan diri pada potongan waffle
yang kedua. Tiba-tiba aku melihat
salah
seorang dari ketiga laki-laki tadi mendatangiku. Aku hampir saja tersedak
potongan
waffle yang baru masuk mulutku.
Mudah-mudahan
laki-laki ini tidak menginterpretasikan senyumku tadi sebagai
suatu
undangan untuk hal-hal yang tidak-tidak, pikirku.
“Excuse me,” ucap
laki-laki itu padaku ketika dia sudah berdiri di depan mejaku.
“Ya?”
tanyaku bingung.
“Adri,
kan?” tanyanya.
Aku
mengangguk. Lho kok nih orang bisa tahu namaku ya? Aku jelas-jelas tidak
mengenalnya.
Tapi tunggu... Oh my God, dia ini... aduhhhhh siapa namanya? Aku
kenal
dia... siapa namanya?
“Aku
Eddie, ingat nggak? Aku pernah datang ke rumahmu pas pesta Natal
beberapa
tahun yang lalu....”
“Oh my God, iya,
aku ingat. Maaf, tadi aku tidak mengenalimu, soalnya kamu...
beda,”
ucapku ketika memoriku mulai kembali. Eddie Tan adalah salah satu orang
Cina-Malaysia
yang rekan kerja Vincent. Orangnya cukup baik, bahkan terkadang
suka
kocak.
“Sori,
maksudku... kami... tidak bermaksud mengamatimu tadi, tapi kupikir aku
kenal
kamu saat kamu masuk tadi.” Eddie melambaikan tangannya pada kedua
temannya.
Aku
tertawa. “It’s alright. Kalian lagi liburan?” tanyaku sambil melambaikan
tangan
kepada teman-teman Eddie dan mempersilakan Eddie duduk di kursi di
depanku.
“Iya.
Ini liburan khusus cowok. Aku akan menikah April besok...”
“Wow!
Selamat ya!”
“Mmm...
aku sudah dengar soal kamu dan Vincent. I’m
sorry about that,”
ucapnya
penuh simpatia.
“Ah...
nggak pa-pa kok. Lagi pula, itu sudah lama lewat.”
“Kau
tau kan dia menikah dengan orang Malaysia?” tanyanya.
“Yeah,
Farah, right?”
“Ya,
kok tahu?” tanya Eddie kaget.
“Vi
ngasih tahu aku,” balasku.
“Oke...
tapi kamu tahu mereka sudah pindah ke KL?”
“What??!!
Bercanda kamu?”
Eddie
menggelengkan kepalanya. “Vincent sudah mulai kerja di sana bulan
lalu.”
“Oh
my God, dia tidak bilang-bilang soal ini, tapi yah... rasanya aku
lupa
membalas
e-mail terakhirnya,” ucapku sambil tertawa, mengingat bahwa aku
menerima
e-mail terakhir darinya sekitar tiga bulan yang lalu.
“Vincent
pasti kesal kalau kuberitahu aku bertemu denganmu di sini. Dia
tadinya
mau datang, tapi terlalu sibuk mengurus soal pindahan.”
“Ah,
kurasa dia nggak bakalan marah,” ucapku.
“Hei,
kamu sendirian di sini?”
“No, aku sama temna,
tapi dia masih tidur,” jelasku.
“Well, kamu
ada rencana malam ini? Aku dan teman-temanku akan merayakan
saat-saat
terakhir kebebasanku di bar nanti malam. Kau dan temanmu datang saja.
Aku
yang traktir minum.”
“Serius?”
Eddie
mengangguk.
“Jam
berapa?” Aku antusias juga dengan rencana malam ini.
Tiba-tiba
aku melihat Ervin berjalan ke arahku dengan wajah merah padam. Uhoh,
sepertinya
dia akan ngamuk karena aku pergi tidak bilang-bilang.
“Sekitar
jam sembilan, setelah makan malam. Bagaimana?” jawab Eddie.
“Jam
sembilan oke. Ada dress code?”
“Pakai
sesuatu yang... well, comfortable. We gonna party till dawn.” Eddie
mengucapkannya
sambil bergaya seperti John Travolta di “Pulp
Fiction”.
“Oke,
I’ll see you at nine then,” ucapku buru-buru sambil tertawa karena Ervin
sudah
hampir sampai ke mejaku.
Eddie
lalu berdiri, siap meninggalkan mejaku dan hampir saja bertabrakan
dengan
Ervin yang menatapnya dengan sangar.
“Where the hell were you?” geram Ervin ketika Eddie sudah berlalu. Dia berusaha
menahan
teriakannya.
“Well, good morning to you too,” balasku santai.
“Gue
bangun lo sudah hilang, gue tungguin nggak balik-balik. Gue cari ke
mana-mana
nggak ada, mana HP ditinggal, lagi. Nggak tahunya di sini lagi makan,”
omelnya
panjang-lebar.
“Waffles?”
tanyanya mengabaikan omelannya sambil memindahkan piringku ke
hadapannya.
Hari
ini pokoknya aku menolak untuk bertengkar dengan siapa pun. Aku tidak
mau
merusak suasana hatiku yang sudah lumayan happy.
“Vin,
hari Senin gue mesti kerja lho. Kita musti balik besok pagi.”
“Senin
kan hari kejepit, lo minta libur saja deh sama Pat. Divisi gue saja diliburin
kok.”
“Enak
saja lo, Pat mana bisa kerja kalau nggak ada gue?”
“Ya
bilang saja lo masih sakit. Gimana kek. Sekali-sekali bohong sama Bos kan
nggak
apa-apa, Dri.”
“Lo
nantangin gue?” tanyaku.
Ervin
agak kaget dengan pertanyaanku. Maksud hatiku adalah supaya kata-kata
itu
keluar dengan nada galak, tapi malah justru terdengar menggoda.
Ervin
mengeluarkan BlackBerry dari celana jinsnya dan menyodorkannya
kepadaku.
“Nggak
usah, nanti gue telepon pakai HP gue. Lagian nggak ingatlah gue
nomornya
Pat.”
Ervin
memandangiku dengan tatapan menantang.
“Oh
ya, nanti malam lo mau ikutan nggak party
sama gue?” tanyaku
mengalihkan
pembicaraan.
“Party?”
tanya Ervin sambil menusukkan garpu ke waffle
yang aku sodorkan
kepadanya
dan mulai makan.
“Bachelor party-nya
Eddie.”
“Eddie?”
tanya Ervin dengan mulut penuh. Melihat tampangnya dengan mulut
penuh
tapi masih mencoba untuk berbicara, aku jadi ingat ikan mas koki.
“Itu
tuh, cowok yang tadi duduk sama gue.” Saat itu pasukannya Eddie sudah
selesai
sarapan dan melambaikan tangan. Eddie mengacungkan jari-jarinya
menunjuk
angka sembilan. Aku mengangguk dan melambaikan tanganku.
Setelah
menelan potongan waffle yang cuku pbesar dan menghabiskan orange
juice-ku
Ervin bertanya, “Dia siapa sih?”
“Teman
pac... eh... teman gue waktu di D.C.,” ucapku akhirnya. Kalau aku
sampai
harus menceritakan tentang Vincent bisa jadi panjang urusannya.
“Memang
gue diundang?”
“Ya
iyalah diundang, Jabrik. Kalau nggak ngapain gue ajak elo? Enakan juga
pergi
sendiri biar bisa ngegaet cowok. Daripada nongol sama elo, prospek gue bisa
garing.”
Ervin
memandangku curiga. “Prospek?”
“Iya
prospek, ngaku deh. Lo bawa gue ke sini untuk nenangin gue supaya gue
bisa
lupa sama Baron, kan? Ya sudah, ini gue lagi mau usaha untuk ngelupain dia.”
Aku
berdiri dan berjalan menuju meja prasmanan untuk mengambil dua lembar
French Toast dan
segelas susu. Rupanya Ervin menunggu hingga aku sampai di meja
sebelum
ngembat salah satu rotiku.
“Aduhhhh...
ambil sendiri deh,” omelku.
Tapi
Ervin sepertinya tidak peduli. Lagi-lagi dia minum susuku sampai habis.
Tapi
kini dia berdiri dan mengisi dua gelas lagi.
Setelah
sarapan aku menolak paksaan Ervin untuk pergi ke Dago. Bodo deh, beli
baju
kan bisa di Jakarta, ngapain amat mesti beli di Bandung? Lagian juga tubuhku
tidak
akan tahan untuk melalui jalan yang berliku-liku seperti tadi malam. Akhirnya
Ervin
pun tidak jadi pergi ke Dago dan menghabiskan sisa pagi itu dengan
menonton
TV. Kubiarkan Ervin dengan HBO-nya, sementara aku menyibukkan diri
untuk
memilih-milih baju yang akan kukenakan malam itu. Setiap perempuan pasti
ada
sisi slutty-nya, dan aku berencana mengeluarkannya full force malam
ini. Aku
memutuskan
untuk menggunakan atasan warna hijau dengan plunging
neckline,
tanpa
ritsleting. Atasan itu tanpa lengan, jadi aku terpaksa mengenakan kardigan
supaya
tidak kedinginan.
Aku
dan Ervin pergi makan siang di restoran hotel jam setengah dua. Lalu aku
menemaninya
nonton TV. Aku meninggalkan Ervin untuk mandi jam setengah
enam.
Jam setengah tujuh Ervin sudah mengetuk pintu kamarku.
“Dri,
makan yuk.”
Aku
keluar dari kamarku dan bertatapan dengan Ervin yang memandangku
dengan
mulut ternganga. Tidak pernah aku melihat reaksi seperti ini di wajah Ervin.
Apalagi
penyebab utama reaksinya adalah aku. Dia memandangiku mulai dari
kakiku
yang hanya mengenakan sandal warna biru langit, rok jinsku sebatas
dengkul
dengan belahan depan, dan atasan hijauku yang kututupi dengan kardigan.
Ervin
menggunakan baju serbaputih. Celana panjang yang longgar dari bahan goni,
kemeja
putih, dan sandal. Cukup biasa, tapi tetap... ganteng.
“Yuk,”
ucapku santai.
Ervin
tidak memberikan komentar apa-apa dan berjalan bersamaku.
Kami
memutuskan untuk makan malam di bar hotel malam itu. Ketika
memasuki
bar aku sadar bahwa banyak orang yang tiba-tiba memperhatikan kami.
Aku
agak-agak risi. Ya ampun, dandananku pasti salah, pikirku dalam hati. Tapi
sudah
terlambat, aku tidak mungkin kembali lagi ke cottage
untuk ganti baju. Ervin
juga
rupanya sadar bahwa orang-orang di bar sedang memperhatikan kami karena
dia
langsung menggandeng tanganku.
Ketika
sedang menikmati makan malam, tiba-tiba ada waiter
yang mendatangi
meja
kami sambil membawa segelas Dirty Martini.
“Mbak,
ini dari cowok yang duduk di bar itu,” ucap si waiter sambil
menunjuk
ke
seorang laki-laki bule yan gdari tadi memang berusaha mendapatkan
perhatianku
tapi tidak kuhiraukan.
Aku
mengangkat gelas itu ke arahnya dan meminum seteguk. Ervin langsung
memelototiku.
“Lo
ngapain sih?” geramnya.
“Minum,”
jawabku singkat.
“Dri...”
Dari nadanya aku tahu Ervin sedang mencoba untuk mengingatkanku
agar
tidak terlalu ramah pada laki-laki yang tidak kukenal.
Aku
belum sempat menenangkan Ervin ketika Eddie dan rombongannya tiba.
Aku
buru-buru menyambut mereka.
“Hey, Eddie, meet my friend. This is Ervin. Vin, ini Eddie,” ucapku
memperkenalkan
mereka. Aku belum sempat memperkenalkan mereka di restoran
tadi
pagi karena wajah Ervin terlihat sangat sangar untuk bisa dikenalkan sebagai
temanku.
Kemudian Eddie memperkenalkan dua temannya, Zach dan Othman.
Jelas-jelas
Othman adalah keturunan Melayu Malaysia, kok dia mau sih masuk ke
bar?
Mmmmhhhh liberal juga. Beberapa jam kemudian aku sadar seberapa
liberalnya
Othman itu.
Sepanjang
malam Ervin kelihatan cukup ramah terhadap teman-temanku, tapdi
dia
menatap dingin kepadaku. Dari Eddie, Ervin akhirnya mengetahui sejarahku
dengan
Vincent. Ketika kami meninggalkan bar malam itu, cuma tinggal Zach dan
aku
yang masih sadar. Ervin kelihatan cukup sadar, tapi matanya merah
kebanyakan
minum tequilla shots dengan Eddie dan Othman. Aku dan Zach memilih
minum
Corona, karena kami berdua ternyata memang tidak biasa minum.
*
* *
Aku
dan Ervin masuk cottage sekitar pukul empat pagi. Aku sudah hampir
memenuhi
langkah pertamaku untuk get drunk
and make out with some random guy
sebelum
Ervin menarikku dari pelukan seorang laki-laki bule yang mencoba
menciumku.
Damn it.
“Cowok
tadi sempat mencium lo nggak?” tanya Ervin ketika aku sedang
menyalakan
salah satu lampu sambil melepaskan kardiganku.
“Cowok
yang mana?” tanyaku cuek sambil melepaskan sandalku.
“Cowok
yang mendorong lo ke dinding itu,” Jawabnya dengna nada meninggi.
“Nggak,
nggak jadi, elo sih ganggu, kalau nggak kan pasti sudah jadi.”
“Maksud
lo?”
Aku
menghadap Ervin sambil bertolak pinggang.
“Langkah
pertama untuk melupakan Baron, get
drunk and make-out with some
random guy.”
“Lo
bercanda.”
“Nope, I am dead serious. Gara-gara elo, jadinya gue nggak bisa menyelesaikan
langkah
pertama. Besok gue mesti cari cowok lain.”
Ervin
memandangiku bingung. Aku buru-buru menambahkan, “Iya, biar selesai
langkah
penyembuhannya.”
“Lo
drunk?”
Aku
berpikir sejenak, lalu menghadap Ervin. “Sedikit, hehehe... Lo malahan
yang
kelihatan slammed,” ujarku sambil tersenyum. Aku menolak bertengkar
dengannya.
Humorku
pun tertular ke Ervin. “I’m fine. I
have a good buzz,” jawabnya sambil
nyengir
iseng. Matanya mulai bersinar-sinar.
“Okay then, gue
mau tidur...”
Aku
baru akan melangkah ke kamarku ketika Ervin menggapai tanganku.
“Can I do it?” tanya
Ervin sambil mendekatkan dirinya padaku. Aku mundur
selangkah
dan punggungku menabrak dinding.
“Do what?”
tanyaku bingung.
“Making-out sama
elo.”
Aku
terdiam sesaat, mencoba mencerna kata-katanya. “Ya nggak bisalah, lo kan
bukan
some random guy. I need some random guy,” balasku akhirnya masih dengan
humor.
“I can be random.”
Ervin menutup jarak tiga puluh sentimeter yang memisahkan
tubuhku
dengan tubuhnya.
“Definisi
dari random guy adalah laki-laki yang gue nggak kenal dan nggak akan
ketemu
lagi setelah gue cium,” balasku sambil mencoba tidak menahan napas ketika
sadar
bahwa mata Ervin malam itu kelihatan superseksi. Semua selera humorku
telah
hilang, diganti dengan rasa ragu.
“Ya
lo pura-pura saja nggak kenal sama gue untuk beberapa menit. Dan gue
janji,
besok gue nggak akan ngomongin masalah ini lagi.” Tatapan Ervin turun dari
mata
ke bibirku.
Saat
itu juga aku berhenti bernapas. Aku mencoba mencari alasan yang lebih
masuk
akal dan teringat sesuatu yang bisa mengulur waktu.
“Apa
ini trik yang selalu lo gunakan sebelum nyium perempuan? Lo bawa dulu
dia
makan malam, pura-pura marah kalau lo lihat ada laki-laki lain yang
kelihatannya
tertarik sama perempuan itu, terus lo bawa pulang ke apartemen lo, lo
dorong
dia ke dinding, terus lo cium dia? Gitu?” jawabku ketus samibl mencoba
bergeser
ke kiri supaya ada udara untuk bernapas. Tapi usahaku diblok Ervin yang
kini
menekanku ke dinding dengan seluruh berat tubuhnya.
“Menurut
lo?” Ervin mendorong bahu kiriku ke dinding.
“Gue
nggak tahu, makanya gue tanya ke elo.” Suaraku terdengar serak. Ervin
semakin
menekan tubuhku ke dinding. Aku harus mengangkat tumitku dan berjinjit
dalam
usaha untuk menghindarinya. Aku mulai berasa gerah. Dada Ervin menekan
payudaraku.
“Biasanya
sih memang gitu, tapi malam ini kayaknya gue kurang sukses,” jawab
Ervin
cuek sambil mulai memandangiku seperti aku ini es krim yang siap dijilat.
Aku
hanya bisa tertawa lemah. Aku sudah tidak bisa berpikir lagi. Ervin mulai
bergerak
ke leherku. Aku dapat merasakan embusan napasnya di kulitku sebelum
kemudian
ujung-ujung jarinya mulai menyentuh kulitku.
“Ada
pertanyaan lagi?” bisik Ervin dengan suara sedikit serak. Jari telunjuknya
menarik
garis dari leher ke belahan dadaku. Kakiku langsung lemas.
Aku
tadinya mau mengangguk, tapi aku memang tidak punya pertanyaan lagi
untuknya.
Lebih tepatnya otakku tiba-tiba beku, sehingga aku tidak bisa berpikir
sama
sekali. Aku lalu menggeleng.
“Jangan
menghindar lagi, oke?”
Aku
harus mengangkat wajah untuk bisa menatap matanya yang terlihat sangat
serius.
Aku
menelan ludah sebelum menjawab. “Okay
then,” tantangku.
Ervin
kelihatan kaget atas jawabanku. Dari matanya tebersit sedikit keraguan
tapi
pelan-pelan dia mulai menciumku. Pertama-tama ciumannya hanya meliputi
bibirku
tapi kemudian dia pindah ke leherku, untungnya dia kemudian kembali lagi
ke
bibir, kalau tidak aku bisa pingsan di pelukannya. Tiba-tiba ciuman Ervin
menjadi
semakin dalam. Satu-satunya benda yang masih menopangku berdiri
adalah
tubuh Ervin yang menekanku ke dinding.
Ervin
meraba pahaku di bawah rok jinsku, sementara bibirnya tidak pernah
meninggalkan
bibirku. Aku mau protes, tapi Ervin menelan semua perkataanku dan
memaksaku
membuka mulut lebih legar agar dia bisa merasakan, sementara
tangannya
mengelusi bagian-bagian sensitif tubuhku. Dan untuk pertama kalinya
aku
percaya bahwa seorang perempuan bisa mencapai orgasme di luar seks.
Tubuhku
menggeletar saat aku melepaskan hiasan terakhirku. Erivn langsung
berhenti
menciumku sebelum kemudian memelukku. Ervin cukup berpengalaman
untuk
tahu bahwa dialah penyebab kenapa aku baru saja mengeluarkan teriakan
yang
agak tertelan oleh bibirnya.
Mataku
agak-agak kabur, dan aku tidak bisa melihat dengan jelas untuk
beberapa
menit. Napasku pun pendek-pendek.
“Cukup,”
ucapku mencoba melepaskan diri dari pelukannya.
Ervin
tidak bergerak dari hadapanku, dia malah mendekatkan keningnya
hingga
menyentuh keningku. Dia sepertinya juga agak shock. Napasnya memburu.
Aku
tetap menunduk karena tidak berani menatap Ervin. Aku menggelengkan
kepalaku
lemah. “I’m going to bed,” ucapku. Lalu meninggalkan Ervin di ruang tamu.
Tidak
lama kemudian aku mendengar suara kepalan tinju menghantam dinding.
Langkah
pertama untuk melupakan Baron beres. Agak sedikit keterlaluan dan
sedikit
di luar rencana karena harus melibatkan Ervin, tapi beres. Langkah kedua... I
need to have a one night stand. Aku baru sadar dari kejadian beberapa menit yang lalu
bahwa
tubuhku sudah tidak sinkron dengan otakku. Secara mental aku tidak siap
untuk
mulai berhubungan secara seksual dengan seorang laki-laki di luar nikah, tapi
secara
fisik, aku siap.
Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 16
No comments:
Post a Comment