14.
MENYINGSINGKAN LENGAN BAJU
KEESOKAN
harinya, pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Biasanya aku paling malas
mencuci
mobilku dan selalu minta tolong Pak Yoyok. Tapi pagi itu tanpa menunggu
Pak
Yoyok, aku langsung membasahi body
mobilku dengan selang dan mulai
menyapunya
dengan busa dan sabun. Jam delapan pagi, saat aku masih sibuk
mencuci
mobilku, SUV perak Baron memasuki pekarangan rumahku. Aku
menimbang-nimbang
apakah aku bisa lari masuk ke dalam rumahku tanpa terlihat
olehnya.
Tapi terlambat, mobil itu sudah berhenti dan Baron melangkah keluar.
Dengan
agak gugup, kuperhatikan penampilanku pagi itu. Rambut acak-acakan
yang
hanya diikat asal dengan karet, kaus dan celana pendek yang sudah lusuh.
Aku
mengembuskan napasku dan berharap Baron tidak memperhatikan pakaianku.
Baron
berjalan ke arahku dengan penuh semangat. Dia terlihat rapi dan
superganteng
untuk jam delapan pagi hari Minggu. Dia melemparkan senyumnya
ke
arahku dan duniaku langsung terasa ceria. Keraguan yang kurasakan tadi malam
kini
sirna dan dalam hari aku berkata, I’ll
marry him today if he asks me, Olivia and all
the world be damn.
Bagaimana mungkin aku bisa membandingkan Baron dengan
Ervin
tadi malam? Baron cinta sejatiku, Ervin... well, aku tidak tahu apa arti Ervin
untukku.
Aku mengedipkan mataku berkali-kali untuk mencegahnya berkaca-kaca.
Akhirnya
Tuhan telah mendengar permintaanku dan memberiku jalan.
“Ron,
kok nggak nelepon mau datang?” teriakku dengan suara seceria mungkin.
“Aku
sudah tinggalin Olivia, tunangan kai batal. Sekarang aku sudah bebas, aku
bisa
ngerjain apa saja yang aku mau. Dan aku mau kamu,” Baron meneriakkan katakata
itu.
Pertama-tama
aku hanya bisa bengong. Hatiku menyuruhku lari ke pelukannya
dan
menciumnya saat itu juga. Selang air di genggamanku masih menyala dan
mengucurkan
air ke kakiku, tapi aku tidak menyadarinya. Ternyata bukan hanya
aku
yang mendengar pernyataan Baron, beberapa tetanggaku yang sedang jogging
sempat
berhenti untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Perlahan aku berjalan
menuju
keran air dan mematikannya. Aku melirik ke pintu rumahku untuk
memastikan
bahwa orangtuaku tidak mendengar teriakan Baron tadi.
Baron
menghampiriku.
“Gimana,
Di? Aku tahu kamu juga mau aku,” Baron memohon.
Hatiku
berteriak, aku mau kamu dengan sepenuh hatiku. Andaikan aku bisa
mengungkapkan
kata-kata itu kepada Baron. Tapi otak dan hatiku sepertinya tidak
bisa
bekerja sama.
“Ron,
kamu lagi bingung sekarang. Ayo, kita duduk dulu. Kamu harus tenang.”
Aku
berjalan menuju kursi di teras rumahku.
Kepalaku
mulai terasa sedikit pusing. Aku baru sadar beberapa saat kemudian
bahwa
Baron tidak mengikutiku. Ketika aku berbalik menghadapnya, aku harus
mundur
beberapa langkah dan meletakkan tangan kanan di dadaku. Baron sedang
berlutut
di hadapanku sambil memegang cincin.
“Di...
kamu mau kan nikah sama aku?” tanyanya sambil menatap wajahku.
Aku
lihat mata Baron yang beberapa menit yang lalu terlihat ceria, kini
meredup.
Aku selalu mengharapkan bahwa kalau seorang laki-laki melamarku,
wajahnya
tidak akan terlihat sesedih dan sebingung ini. Lalu satu pemahaman
terlintas...
Baron tidak mencintaiku. Dia tidak pernah betul-betul mencintaiku. Dia
terlalu
bingung dengan perasaannya sendiri sehingga dia tidak tahu apa yang dia
mau.
Andaikan
aku bisa mencekik seseorang saat itu juga, mungkin orang tersebut
sudah
mati kehabisan napas. Lalu aku sadar bahwa Baron-lah orang yang ingin
kucekik.
Bagaimana mungkin dia berani melamarku padahal dia tidak tahu
perasaannya
yang sebenarnya terhadapku.
Stupid, selfish bastard!!!
Meskipun
hatiku hancur berkeping-keping, aku tahu bahwa aku harus
melakukan
hal yang benar. Aku berjalan ke arah Baron lalu berlutut di hadapannya.
Kugenggam
tangan kanan Baron yang sedang memegang cincin.
“Ron...
kamu nggak bisa nikah sama aku. Kita nggak kenal satu sama lain. Aku
cuma
ingat kamu dari memoriku tentang kamu, dan setelah lebih dari sepuluh
tahun,
sejujurnya aku bahkan nggak tahu apa itu memori atau imajinasiku saja. Aku
yakin
kamu sudah banyak berubah semenjak itu, karena aku juga sudah banyak
berubah,”
ucapku pelan.
Mataku
terasa panas, dan aku harus mengedipkan mataku beberap akali untuk
mengendalikan
air mataku agar tidak mengalir keluar. Aku harus menahannya.
“Orang
nggak akan berubah, Di. Aku tetap mau kamu,” kata Baron keras
kepala.
“Aku
juga mau kamu, tapi Oli lebih memerlukan kamu daripada aku. Dan aku
yakin
kamu juga perlu Oli.”
“Aku
nggak mau Oli, aku mau kamu.” Tanpa kusangka-sangka Baron mencoba
menciumku.
Untung aku bisa menghindar dan jatuh terduduk di rumput halaman
rumahku.
Sekarang sudah ada beberapa orang lagi yang berhenti jogging untuk
menonton
kejadian menarik yang sedang berlangsung di halaman depan rumahku
itu.
Baron
kelihatan tersinggung ketika aku menolak ciumannya.
“Ayo...
kita bicarakan ini baik-baik, Ron.”
“Tapi
kamu juga nyium aku, Di, kamu... kamu...”
Aku
buru-buru mengangkat tangan untuk memotong kalimatnya, karena aku
takut
akan arah pembicaraan ini kalau kubiarkan.
“Aku
tahu... dan aku minta maaf soal malam itu. Itu... kecelakaan,” jawabku
dengan
susah payah.
Sebelum
Baron bisa membalas, tiba-tiba ada mobil lain masuk ke pekarangan
rumahku
yang memang tidak berpagar itu. Sebelum sang pengemudi keluar dari
kendaraan,
aku sudha tahu bahwa duniaku akan jadi lebih rumit lagi dalam
beberapa
detik. Dua orang keluar dari mobil itu, Ervin dan... Oh my God...
Olivia...
mampus
aku. Aku buru-buru berdiri dan mencoba menarik Baron untuk berdiri
bersamaku
tapi dia menolak dan tetap berlutut di hadapanku.
“Ron,
bangun, Ron,” ucapku cepat.
“Bilang
kamu cinta sama aku juga,” tegas Baron. Garis-garis di wajahnya lagilagi
menunjukkan
kekeraskepalaannya, yang biasanya kuanggap cute
sekali, tapi
tidak
pagi ini.
“Thomas
Baron Iskandarsyah, bangun nggak!!!” bentakku.
“Baaaaarrrrrrrrooooooooonnnnnnnnnnnnn!!!”
teriakan Olivia memecahkan
keheningan
pagi itu. Bapakku buru-buru keluar dari rumah, disusul ibuku.
Olivia
berlari ke arahku, diikuti Ervin. Kemudian Olivia berlutut di samping
Baron.
“Dri...
what’s going on?” tanya Ervin padaku ketika dia tiba di sampingku
dengan
napas sedikit terengah-engah. Ervin melambaikan tangannya kepada
orangtuaku
yang membalasnya dengan antusias.
“Sayang,
kamu ngapain? Aku sudah bilang kita bisa selesaikan masalah ini. Kita
nggak
usah married buru-buru. Aku nggak maksa.” Olivia memohon pada Baron.
Olivia
sepertinya tidak menyadari posisi Baron yang sedang berlutut di
hadapanku
sambil memegang cincin. Tapi Ervin sadar.
“Tom,
lo lagi ngapain?” tanya Ervin curiga.
“Ngelamar
Didi,” jawab Baron singkat tanpa menghiraukan Olivia sama sekali.
Aku
mendengar ibuku menarik napas kaget dan menutup mulutnya yang
menganga
dengan tangan kanan.
“Di,
ada apa sih?” tanya ibuku.
“Nggak
ada apa-apa, Bu. Ibu sama Bapak masuk saja, nanti aku jelaskan,”
ucapku,
mencoba untuk mengusir mereka dari hadapanku.
Aku
tidak bisa berpikir dengan jernih di bawah tatapan keingintahuan mereka.
Ibuku
terlihat ragu, tapi sekali lagi bapakku menyelamatkanku dan menggiring
ibuku
masuk kembali ke dalam rumah.
Tiba-tiba
pikiranku terganggu oleh suara Olivia. “Sayang... tolong... jangan
gini....
Aku akan berubah, tapi kamu nggak bisa tinggalin aku. Please...”
Sekarang
nada
suaranya sudah hampir menangis. Tapi Baron masih tidak memperhatikannya.
Alhasil
Olivia mulai menangis.
“Di?”
tanya Baron lagi. Aku tidak mampu berkata-kata, aku masih terlalu kaget.
Kesedihan
dan kemarahanku telah hilang, digantikan rasa kasihan pada Olivia. Aku
sadar
tetangga-tetanggaku sudah pergi. Mungkin mereka sudah bosan dengan apa
yang
mereka saksikan. Tapi aku yakin sore ini ibuku akan menerima banyak telepon
yang
ingin menanyakan kejadian pagi ini.
Aku
terkejut ketika mendengar Ervin berteriak. “For
the love of God, Olivia,
bangun,
ngapain lo mohon-mohon sama dia kayak gitu? Tom, bangun nggak?
Nggak
kasihan apa sama calon istri lo?”
Baron
merangkak bangun sambil tetap memegang cincin itu. Berlian solitaire
yang
terletak di cincin itu bersinar kerlap-kerlip.
Itu
cincin paling cantik yang pernah kulihat dan cincin itu tidak akan pernah
jadi
milikku. Damn it all to hell, teriakku dalam hati.
Olivia
yang melihat Baron bangung langsung beridiri di sampingnya dan
mencoba
memeluk Baron sambil mencoba segala upaya untuk mengontrol air
matanya.
Ervin menatap berapi-api padaku.
“Ol,
gue minta maaf soal ini,” lanjutku. “Gue nggak tahu tentang ini sama
sekali.
Baron tiba-tiba saja muncul...,” aku mencoba menjelaskan situasiku kepada
Olivia.
Olivia
menatapku sedih, tapi kulihat dia mengangguk mengerti. Aku bersyukur
dia
sepertinya tidak menyalahkanku sama sekali.
“Di...
please... kamu harus jujur sama diri kamu sendiri. Aku cinta kamu.
Kamu
cinta
kan sama aku?” teriak Baron gemas.
Aku
menarik napas panjang dan tanpa memang Baron aku menjawab, “Olivia
yang
cinta sama kamu Ron, bukan aku.”
“Kamu
bohong. Aku tahu kamu bohong,” teriak Baron. Kini dengan nada
marah.
Aku
menatap Baron terkesima. Baron marah padaku?
“Sekali
lagi, aku tanya kamu, kamu cinta kan sama aku?” tanya Baron lebih
keras.
Tapi suaranya sudah tidak terlalu yakin.
Aku
merasakan seperti ada sebongkah es di tenggorokanku.
Kali
ini aku menatap mata Baron sebelum berkata. “Sori, Ron.”
“Please, Di,
jawab yang jujur,” Baron mencoba meyakinkanku.
Aku
menggeleng. Ervin memandangku dengan tatapan menuduh. Ini bukan
pertama
kali dia menatapku seperti itu. Mungkin sekali lagi dia menuduhku
mencari
gara-gara dengan Baron.
Kemudian
perhatian Ervin beralih kepada Baron. “Ron, Adri nggak cinta sama
elo,”
ucap Ervin tiba-tiba.
Aku
menlongo. WHAT? Ngapain sih dia ikut-ikutan mengomentari? Ini tidak
ada
sangkut pautnya dengan dia. Ini antara aku, Baron, dan Olivia.
“Sayang,
Adri nggak cinta sama kamu, tapi aku... aku ngagk bisa hidup kalau
nggak
sama kamu,” desah Olivia.
Aku
betul-betul tidak tega. Rasanya aku mau menampar Olivia agar dia sadar.
Buat
apa dia mengemis cinta dari laki-laki gemblung seperti Baron? Ini Olivia,
wanita
paling cantik yang pernah kukenal. Walaupun memang pagi ini dia tidak
kelihatan
cantik sama sekali. Tanpa make-up dan rambut yang kelihatannya tidak
disisir,
untuk pertama kalinya Olivia terlihat... biasa.
“Ol,
sadar, Ol. Kalau lo mau cinta Baron, bukan gini caranya,” aku memohon
kepada
Olivia. Kemudian beralih ke Baron, “Dan kamu, Olivia cainta sama kamu,
apa
kamu nggak bisa lihat?” Aku tarik Baron dan Olivia lalu menggeret mereka
masuk
ke rumah.
Selama
hampir sepuluh tahun jadi psikolog, tidak pernah-pernahnya aku mau
menyingsingkan
lengan bajuku untuk menjadi marriage
counselor, karena aku tidak
mau
pusing gara-gara memikirkan urusan cinta orang lain. Urusan cintaku saja
berantakan,
bagaimana mau mengurusi orang lain?
Aku
tidak tahu bagaimana aku bisa bersandiwara bagaikan aku tidak peduli
bahwa
aku akan membantu laki-laki yang kucintai untuk bisa akur lagi dengan
tunangannya,
meskipun hatiku hancur berkeping-keping. Aku mempersilakan
mereka
duduk di ruang makan. Setelah menuangkan minum dan menghidangkan
roti
untuk mereka, aku lalu memulai sesi konseling pro-bono-ku. Orangtuaku dengan
rela
menghabiskan pagi itu di taman belakang.
“Sekarang
lo berdua ngomong, apa sih masalah lo berdua?” tanyaku dengan
nada
setenang mungkin.
Baron
memandangiku, tapi aku tidak menghiraukannya karena Olivia sedang
memandangi
Baron dengan tatapan penuh cinta yang sangat familier, karena itulah
tatapan
yang kuberikan kepada Baron selama beberapa bulan ini.
“Aku
nggak suka cara kamu mengatur hidupku,” jawab Baron sambil tetap
menghadapku.
“Ron,
coba kamu bicaranya langsung ke Oli, jangan ke aku. Dan kamu pandang
dia
waktu kamu sedang berbicara.”
Baron
menarik napas sebelum berbicara. “Aku nggak suka cara kamu mengatur
segala
sesuatu tentang hidupku.” Menuruti saranku, Baron memandangi Olivia
sewaktu
berbicara padanya.
“Aku
bukannya mengatur, Sayang, aku cuma mau kamu jadi orang yang lebih
baik
lagi,” ucap Olivia yang juga mengikuti instruksiku dan menatap Baron.
“Apa
aku masih kurang baik untuk kamu?”
“Bukan,
bukan begitu... Maksud aku... daripada kita buang uang untuk bayar
sewa
rumah, lebih baik kita tinggal sama orangtuaku. Setidak-tidaknya sampai ada
cukup
uang untuk beli rumah.” Olivia menarik napas sebelum melanjutkan,
“Keadaan
keuangan kita sekarang nggak akan cukup untuk bisa hidup di Jakarta.”
“Itu
yang aku nggak ngerti sama kamu. Kalau kamu memang sudah milih aku
sebagai
suami kamu, kamu harus terima aku apa adanya. Kalau memang kita cuma
punya
uang untuk beli rumah yang sederhana di daerah Bogor, ya kamu harus
terima
itu.” Baron melirik ke arahku yang hanya mengangguk ke arahnya sambil
mendengarkan.
Dari
sudut mataku, kulihat Ervin sedang berdiri sambil menyandarkan
punggungnya
ke dinding. Mmmmhhhh... aku lupa soal Ervin. Aku pikir dia sudah
pulang.
“Apa
perlu kamu tiap minggu beli baju baru? Apa perlu kamu tiap tiga hari
sekali
pergi ke salon untuk nge-blow rambut? Kita bisa hidup sederhana, tapi kamu
harus
menyesuaikan diir. Aku terima kamu apa adanya, tapi kenapa kamu nggak
bisa?”
lanjut Baron.
Dan
jebol sudah bendungan air mata Olivia. Dia yang tadinya cuma terisak-isak,
sekarang
sudah menangis tersedu-sedu.
Aku
menyodorkan tisu yang ada di sudut meja makan. Setelah agak lebih
tenang
Olivia baru bisa menjawab.
“Aku...
hik hik... memang sudah milih kamu... hik... hik... dan aku bangga sama
pilihanku
itu. Cuma Mama dan Papa kan sudah tua... hik... hik... aku anak satusatunya....
aku
nggak mau meninggalkan mereka sendirian. Lagian juga kalau aku
harus
tinggal di Bogor... hik... hik... agak-agak susah kalau aku kangen saa mereka.
Bogor
terlalu jauh dari Jakarta,” akhirnya Olivia bisa menyelesaikan argumentasinya
dengan
cukup mulus.
“Ya
tapi Mama kamu juga selalu maksa urusan wedding
kita, harus beginilah
begitulah.
Kan budget-nya jadi besar, Ol.” Suara Baron yang tadinya memusuhi kini
terdengar
lebih tenang.
“Tapi
kan hik hik... Mama mau bantu kita, Sayang... hik... dia sudah transfer dua
puluh
juta ke tabunganku untuk nambahin budget
kawin.”
Pada
saat itu aku sadar betul bahwa Olivia baru saja menginjak-injak harga diri
Baron.
Tidak heran kalau Baron mengambil langkah seribu. Kebanyakan laki-laki
mungkin
akan senang kalau calon istrinya tajir supaya mereka tidak usah
mengeluarkan
uang untuk menghidupi sang istri. Tapi tidak Baron. Dia salah satu
laki-laki
paling arogan yang kukenal. Dia tidak akan mau menerima sumbangan
dalam
bentuk apa pun, meskipun sumbangan itu bermaksud untuk membantu.
“Itu
dia yang bikin aku nggak mau nikah sama kamu. Pikiran kita nggak
sejalan.”
“Tapi
kamu nggak pernah bilang kamu keberatan. Mana aku tahu?”
Kulihat
Olivia menelan ludah untuk menahan tangisnya agar tidak banjir lagi.
“Kamu
kan tahu aku nggak suka yang mewah-mewah. Lebih baik daripada
menghabiskan
uang untuk pesta pernikahan, uangnya disimpan untuk beli rumah.”
“Kamu
kan tinggal ngomong ke aku. Cuma masalah ini kok kamu sampai mau
ninggalin
aku sih? Apa cinta kamu sama aku cuma sampai situ aja?”
“Aku
cinta kamu, Ol, cuma kalau aku mesti hidup sama kamu dengan gaya
hidup
kamu yang sekarang, aku nggak bisa. Kamu harus memilih, kamu mau aku,
atau
gaya hidup kamu?”
Saat
Baron mengatakan kata-kata itu, aku bisa merasakan mukaku langsung
memerah
dan udara langsung terasa gerah. Mataku pun lagi-lagi terasa panas.
Ternyata
dugaanku benar. Baron memang mencintai Olivia, dan aku... aku cuma
iseng.
Sialan,
laki-laki memang bejat.
Aku
bisa melihat tatapan Ervin kepadaku. Dari matanya kurasa dia bisa
membaca
apa yang ada di pikiranku. Ya Tuhan, janganlah sampai dia tahu bahwa
aku
ini cinta mati sama sobatnya.
“Maksud
kamu?” tanya Olivia bingung.
“Kalau
kamu ikutin aku, resepsi pernikahan kita harus di bawah dua puluh juta.
Aku
nggak mau terima sumbangan dari oirangtua kamu, karena aku juga nggak
terima
apa-apa dari mamaku.”
“Di
bawah dua puluh juta? Mana bisa? Tamu kita banyak sekali. Belum juga jas
kamu,
kebaya aku, gedung, semuanya...”
Aku
lihat Olivia sudah siap menangis lagi. Aku sebetulnya agak kaget, karena
ternyata
permasalahan Olivia dan Baron sangat simple. Cuma masalah uang dan
harga
diri. Jelas-jelas sebagai seorang laki-laki, Baron mau dihargai sebagai provider
untuk
keluarganya. Aku juga tidak pernah tahu bahwa Olivia ternyata tipe
perempuan
yang gampang menangis dan materialistis.
“Kita
kurangi jumlah tamunya. Pokoknya harus di bawah dua puluh juta.
Planning-nya
tetap aku serahkan ke kamu. Itu penawaran dari aku. Kamu bisa
terima?”
“Kalau
aku terima... hik... apa berarti kamu masih mau married sama
aku?”
“Ya
iyalah,” jawab Baron tidak sabaran.
“Tapi...,”
Olivia mencoba untuk mencari sela-sela yang masih bisa dikompromi.
Tapi
Baron rupanya sedang tidak mood untuk kompromi.
“Kalau
kamu masih mikir-mikir lagi, hari ini juga kita officially putus
dan aku
mau
mulai dating Adri,” ucap Baron geram.
Hah???!!!!!
Kenapa juga gue masih dibawa-bawa Cari mati nih orang.
Aku
baru saja mau buka mulut untuk protes. Ternyata Ervin juga baru akan
melakukan
hal yang sama. Tapi kami berdua dipotong oleh Olivia.
“Nggak,
nggak... aku setuju,” ucap Olivia. “Tapi aku minta kamu untuk tidak
ketemu
sama Adri lagi sampai kita nikah,” tegas Olivia.
“Dri,
aku minta maaf soal ini, tapi bisa tolong kamu jangan mau dikontak Baron
lagi
setelah hari ini? Please, Dri, aku mohon,” lanjut Olivia memohon kepadaku.
Aku
ternganga mendengar komentar Olivia, tapi aku lebih kaget lagi atas
permintaannya.
Baron terlihat agak-agak kaget atas permintaan itu. Dia tidak sadar
bahwa
ternyata persyaratannya bisa jadi senjata makan tuan. Baron memandangku
beberapa
saat.
“Ini
semua gara-gara kamu, kalau kamu mau kontak aku sebelumnya,
urusannya
nggak akan kayak gini.” Baron mengomeliku.
Olivia
langsung memandangku bingung. Aku juga bingung, maksud dia apa
sih?
Lalu aku ingat kedua e-mail yang dikirimnya. Baron menatapku tidak sabaran.
“Di...
yes or no?” tegas Baron akhirnya padaku.
Aku
memandang mata Baron sedalam-dalamnya, mencoba untuk telepati.
Thomas
Baron Iskandarsyah, aku cinta kamu, selalu akan cinta sama kamu,
kamu
sudah jadi bagian hidupku sejak aku berumur lima belas tahun. Tapi kamu
cinta
sama Olivia, dan dia lebih mencintai kamu dibanding aku.
Aku
tidak tahu apa pesan itu sampai ke Baron, tapi dari tatapan matanya
sepertinya
sampai. “Oke,” akhirnya Baron berkata.
Aku
mendengar Ervin mengembuskan napasnya. Aku berpaling padanya, yang
sedang
mengacungkan kedua jempolnya kepadaku. Aku hanya bisa tersenyum
lemas.
*
* *
Olivia
memelukku erat-erat dan mengucapkan kata thank
you berkali-kali sebelum
pulang.
Begitu mobil Baron menghilang dari pandangan, aku langsung masuk
rumah
dan buru-buru menuju kamarku. Topeng yang kukenakan bisa kulepaskan
sekarang,
aku bisa menangis sesuka hatiku. Sudah lima jam aku menahan diri agar
tidak
menangis di depan semua orang. Tapi sekarang aku sudah tidak sanggup lagi
untuk
menahan. Aku HARUS mengeluarkan kesedihanku, melampiaskan patah
hatiku,
rasa gondokku pada diri sendiri, yang lagi-lagi kalah kalau sudah urusan
cinta,
dan karena aku sudah dibesarkan dengan norma-norma hidup yang
bertentangan
dengan kemauanku sehingga aku tidak pernah bisa mendapatkan
yang
kuinginkan.
“Dri...,”
panggil Ervin sambil memegang bahuku.
Aku
tidak menghiraukannya dan tetap berjalan menuju kamarku di lantai atas.
“Dri,”
sekali lagi Ervin mencoba mendapatkan perhatianku. Kali ini dia
menggapai
tanganku. Aku mengentakkan tangan Ervin dari pergelanganku.
“Just give me a minute, will you?” ucapku pelan tanpa menghadap Ervin dan
langsung
masuk ke kamarku dan menutup pintu.
Aku
bergegas masuk ke kamar mandi dan menyalakan shower
dengan air dingin
lalu
duduk di bawahnya sampai semua bajuku basah. Aku mencoba menangis
dengan
mengeluarkan air mata, tapi tidak ada setetes pun yang keluar. Dan itu
semakin
membuatku sengsara. Dadaku sudah mau meledak.
Aku
tidak tahu kapan Ervin masuk ke kamarku, tapi tahu-tahu dia sudah
duduk
di sampingku. Dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun, dia juga tidak
mencoba
untuk menyentuhku sama sekali. Aku tidak tahu berapa lama kami duduk
seperti
itu, tapi akhirnya aku bersuara, “Kok Olivia bisa datang bareng elo sih?”
tanyaku
tanpa menatap Ervin.
Beberapa
jam yang lalu karena terlalu panik ketika melihat Olivia, aku tidak
memikirkan
adanya kejanggalan bahwa Olivia bisa muncul bersama-sama dengan
Ervin,
tapi setelah semuanya lebih tenang, aku menyadari hal ini.
Ervin
mengembuskan napasnya, seakan-akan lega bahwa akhirnya aku
mengeluarkan
suara juga, sebelum menjawab, “Pagi-pagi jam tujuh Olivia telepon
gue
buat nanya apa Baron ada sama gue. Waktu gue bilang nggak, dia terus nanya
apa
gue tahu alamat rumah lo. Gue tanyalah apa urusannya sampai Baron perlu
pergi
ke rumah lo segala. Olivia langsung histeris di telepon, intinya dia bilang
kalau
mereka habis berantem besar tadi malam dan Baron mutusin pertunangan
mereka.
Gue nggak pasti persisnya gimana, Olivia berkesimpulan Baron bakalan
langsung
lari ke elo. Gue tahu perasaan elo berdua satu sama lain, jadi gue langsung
minta
dia untuk ketemu sama gue di jalan supaya kita bisa pergi barneg-bareng ke
sini.”
Aku
hanya mendengarkan ini semua sambil menyandarkan kepalaku ke
dinding
dan menutup mataku. Ervin mungkin tidak tahu apa yang sudah terjadi di
antara
aku dan Baron, tapi sepertinya tidak begitu halnya dengan Olivia. Satusatunya
penjelasan
yang bisa keluar dari kepalaku bagaimana Olivia bisa
berkesimpulan
seperti itu adalah Baron sudah menceritakan kejadian tempo hari
kepada
Olivia. Dan lain dari pikiranku, sepertinya Ervin tahu betul tentang
perasaanku
kepada Baron, sehingga dia bisa menyambungkan titik-titik yan guntuk
orang
lain mungkin hanya terlihat berantakan.
Aku
tidak tahu apa yang harus aku rasakan ketika mendengar ini semua. Aku
tidak
bisa menangis, apa aku harus tertawa saja dan menganggap bahwa ini semua
hanyalah
suatu hiburan? Kuletakkan kedua tanganku untuk menutupi mataku.
Nggak,
ini bukan hiburan.
“Dri,
elo nangis?” tanya Ervin pelan. Dan entah karena suaranya atau nadanya,
aku
langsung menangis tersedu-sedu. Semua kekecewaanku bisa kutumpahkan.
Ervin
hanya memelukku dengan sabar.
“It’s okay, it’s okay... I’m here... I’m here....” Itu saja yang perlu dia katakan dan aku
menangis
semakin keras. Selama beberapa menit dia hanya terdiam dan tetap
memelukku.
Aku juga tidak mampu melepaskan cengkeramanku di bahunya.
Untuk
pertama kalinya aku merasa terlindungi oleh Ervin. Ervin yang sempat
membuatku
menangis tersedu-sedu kemarin malam.
“Gue
matiin shower-nya, ya,” bisik Ervin padaku setelah tangisku agak reda.
Aku
mengangguk. Dia mematikan shower yang gagangnya memang berada
persis
di atas kepalaku.
“Bisa
berdiri?” tanyanya lagi.
Aku
lagi-lagi mengangguk. Tapi ketika aku mencoba bangun, rasa sakit
menjalar
ke sekujur tubuhku yang ternyata berasal dari kram di kaki kananku.
“Kenapa,
Dri?” tanyanya panik.
Aku
tidak bisa menjawab karena kakiku masih kram. Seolah berat tubuhku
hanya
satu kilogram, bukannya lima puluh, Ervin langsung menggendongku kelaur
dari
kamar mandi dan mendudukkanku di atas tempat tidur. Aku tahu bedcover-ku
jadi
basah karenanya, tapi aku tidak peduli. Ervin menghilang sebentar dan kembali
dengan
membawa dua handuk besar. Dia memintaku berdiri dengan menggunakan
tubuhnya
sebagai penyangga sebelum menyingkapkan bedcover
di satu sisi tempat
tidurku
dan mengalasi tempat tidurku dengan satu handuk sebelum memintaku
untuk
duduk kembali di atas handuk yang telah ditebarkannya di atas seprai.
Kemudian
Ervin mulai mengeringkan sekujur tubuhku. Bermula dari kepala hingga
kaki
dengan handuk yang satu lagi. Setelah semua cukup kering dia langsung
menyelimuti
bahuku dengan bathrobe yang tadinya tergantung di pintu kamar
mandi.
Dia kemudian mematikan AC kamarku dan membuka jendela besar yang
menghadap
ke balkon.
“Lo
harus ganti baju, kalau nggak nanti masuk angin.” Tiba-tiba dia sudah
menyodorkan
satu set kaus dan celana training, juga pakaian dalam kering yang
diambilnya
dari lemariku.
Ervin
langsung menyibukkan diri dengan menarik bedcover-ku dan membawanya
keluar
untuk dijemur di balkon. Walaupun sulit, aku mencoba melepas kausku
yang
basah, juga pakaian dalamku.
Setelah
selesai berpakaian, aku meringkuk di tempat tidur. Ervin masuk dan
buru-buru
menyelimutiku dengan selimut. Aku lihat Ervin membereskan baju-baju
basahku
dan menaruhnya di keranjang di kamar mandi. Kemudian dia keluar dari
kamarku
sambil menggumam, “I’ll be right back.”
Aku
baru sadar beberapa saat kemudian bahwa Ervin juga pasti basah kuyup.
Ya
ampuuuunnnn... kasihan banget tuh anak. Beberapa lama kemudian dia masuk
kembali
ke kamarku dan sudah mengenakan baju yang kering. Aku tahu dia selalu
membawa
pakaian ganti di bagasi mobilnya untuk keadaan darurat. Ervin adalah
salah
satu orang paling efisien yang kukenal. Dia selalu siap untuk menghadapi
situasi
apa pun.
“Vin...,”
panggilku di antara bantal-bantal dan selimut yang menutupi tubuhku
yang
masih kedinginan.
“Ya,
Dri?” tanya Ervin yang berjalan ke arahku, lalu berlutut di sampingku.
“Makasih
ya,” ucapku pelan.
Ervin
hanya tersenyum dan membelai rambutku yang masih agak basah.
“Could you...” Aku
menghentikan diriku sebelum mengatakan kata-kata itu.
Could you stay for a while? Karena takut terdengar terlalu memaksa.
Tapi
seperti membaca pikiranku Ervin mengangguk. Dia menarik kursi ke
samping
tempat tidurku dan mencoba menghangatkan tanganku yang memang
masih
terasa dingin dengan menggenggamnya di antara kedua telapak tangannya
dan
mulai menggosoknya. Aku baru sadar bahwa tangan Ervin terasa sangat
hangat.
Tak lama aku pun tertidur.
Ketika
terbangun beberapa jam kemudian, Ervin sudah hilang dari kamarku.
Aku
masih bisa mencium baunya. Aku mengembuskan napas, merasa kehilangan.
Saat
itu aku sadar bahwa aku melihat sisi lain dari Ervin. Sisi yang membuat semua
perempuan
tergila-gila padanya, ternyata bukan hanya karena wajah Dewa Yunaninya,
tapi karena pada dasarnya, Ervin adalah orang baik.Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 15
No comments:
Post a Comment