Sunday, September 6, 2015

Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 14

14. MENYINGSINGKAN LENGAN BAJU

KEESOKAN harinya, pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Biasanya aku paling malas
mencuci mobilku dan selalu minta tolong Pak Yoyok. Tapi pagi itu tanpa menunggu
Pak Yoyok, aku langsung membasahi body mobilku dengan selang dan mulai
menyapunya dengan busa dan sabun. Jam delapan pagi, saat aku masih sibuk
mencuci mobilku, SUV perak Baron memasuki pekarangan rumahku. Aku
menimbang-nimbang apakah aku bisa lari masuk ke dalam rumahku tanpa terlihat
olehnya. Tapi terlambat, mobil itu sudah berhenti dan Baron melangkah keluar.
Dengan agak gugup, kuperhatikan penampilanku pagi itu. Rambut acak-acakan
yang hanya diikat asal dengan karet, kaus dan celana pendek yang sudah lusuh.
Aku mengembuskan napasku dan berharap Baron tidak memperhatikan pakaianku.
Baron berjalan ke arahku dengan penuh semangat. Dia terlihat rapi dan
superganteng untuk jam delapan pagi hari Minggu. Dia melemparkan senyumnya
ke arahku dan duniaku langsung terasa ceria. Keraguan yang kurasakan tadi malam
kini sirna dan dalam hari aku berkata, I’ll marry him today if he asks me, Olivia and all
the world be damn. Bagaimana mungkin aku bisa membandingkan Baron dengan
Ervin tadi malam? Baron cinta sejatiku, Ervin... well, aku tidak tahu apa arti Ervin
untukku. Aku mengedipkan mataku berkali-kali untuk mencegahnya berkaca-kaca.
Akhirnya Tuhan telah mendengar permintaanku dan memberiku jalan.
“Ron, kok nggak nelepon mau datang?” teriakku dengan suara seceria mungkin.
“Aku sudah tinggalin Olivia, tunangan kai batal. Sekarang aku sudah bebas, aku
bisa ngerjain apa saja yang aku mau. Dan aku mau kamu,” Baron meneriakkan katakata
itu.
Pertama-tama aku hanya bisa bengong. Hatiku menyuruhku lari ke pelukannya
dan menciumnya saat itu juga. Selang air di genggamanku masih menyala dan
mengucurkan air ke kakiku, tapi aku tidak menyadarinya. Ternyata bukan hanya
aku yang mendengar pernyataan Baron, beberapa tetanggaku yang sedang jogging
sempat berhenti untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Perlahan aku berjalan
menuju keran air dan mematikannya. Aku melirik ke pintu rumahku untuk
memastikan bahwa orangtuaku tidak mendengar teriakan Baron tadi.
Baron menghampiriku.
“Gimana, Di? Aku tahu kamu juga mau aku,” Baron memohon.
Hatiku berteriak, aku mau kamu dengan sepenuh hatiku. Andaikan aku bisa
mengungkapkan kata-kata itu kepada Baron. Tapi otak dan hatiku sepertinya tidak
bisa bekerja sama.
“Ron, kamu lagi bingung sekarang. Ayo, kita duduk dulu. Kamu harus tenang.”
Aku berjalan menuju kursi di teras rumahku.
Kepalaku mulai terasa sedikit pusing. Aku baru sadar beberapa saat kemudian
bahwa Baron tidak mengikutiku. Ketika aku berbalik menghadapnya, aku harus
mundur beberapa langkah dan meletakkan tangan kanan di dadaku. Baron sedang
berlutut di hadapanku sambil memegang cincin.
“Di... kamu mau kan nikah sama aku?” tanyanya sambil menatap wajahku.
Aku lihat mata Baron yang beberapa menit yang lalu terlihat ceria, kini
meredup. Aku selalu mengharapkan bahwa kalau seorang laki-laki melamarku,
wajahnya tidak akan terlihat sesedih dan sebingung ini. Lalu satu pemahaman
terlintas... Baron tidak mencintaiku. Dia tidak pernah betul-betul mencintaiku. Dia
terlalu bingung dengan perasaannya sendiri sehingga dia tidak tahu apa yang dia
mau.
Andaikan aku bisa mencekik seseorang saat itu juga, mungkin orang tersebut
sudah mati kehabisan napas. Lalu aku sadar bahwa Baron-lah orang yang ingin
kucekik. Bagaimana mungkin dia berani melamarku padahal dia tidak tahu
perasaannya yang sebenarnya terhadapku.
Stupid, selfish bastard!!!
Meskipun hatiku hancur berkeping-keping, aku tahu bahwa aku harus
melakukan hal yang benar. Aku berjalan ke arah Baron lalu berlutut di hadapannya.
Kugenggam tangan kanan Baron yang sedang memegang cincin.
“Ron... kamu nggak bisa nikah sama aku. Kita nggak kenal satu sama lain. Aku
cuma ingat kamu dari memoriku tentang kamu, dan setelah lebih dari sepuluh
tahun, sejujurnya aku bahkan nggak tahu apa itu memori atau imajinasiku saja. Aku
yakin kamu sudah banyak berubah semenjak itu, karena aku juga sudah banyak
berubah,” ucapku pelan.
Mataku terasa panas, dan aku harus mengedipkan mataku beberap akali untuk
mengendalikan air mataku agar tidak mengalir keluar. Aku harus menahannya.
“Orang nggak akan berubah, Di. Aku tetap mau kamu,” kata Baron keras
kepala.
“Aku juga mau kamu, tapi Oli lebih memerlukan kamu daripada aku. Dan aku
yakin kamu juga perlu Oli.”
“Aku nggak mau Oli, aku mau kamu.” Tanpa kusangka-sangka Baron mencoba
menciumku. Untung aku bisa menghindar dan jatuh terduduk di rumput halaman
rumahku. Sekarang sudah ada beberapa orang lagi yang berhenti jogging untuk
menonton kejadian menarik yang sedang berlangsung di halaman depan rumahku
itu.
Baron kelihatan tersinggung ketika aku menolak ciumannya.
“Ayo... kita bicarakan ini baik-baik, Ron.”
“Tapi kamu juga nyium aku, Di, kamu... kamu...”
Aku buru-buru mengangkat tangan untuk memotong kalimatnya, karena aku
takut akan arah pembicaraan ini kalau kubiarkan.
“Aku tahu... dan aku minta maaf soal malam itu. Itu... kecelakaan,” jawabku
dengan susah payah.
Sebelum Baron bisa membalas, tiba-tiba ada mobil lain masuk ke pekarangan
rumahku yang memang tidak berpagar itu. Sebelum sang pengemudi keluar dari
kendaraan, aku sudha tahu bahwa duniaku akan jadi lebih rumit lagi dalam
beberapa detik. Dua orang keluar dari mobil itu, Ervin dan... Oh my God... Olivia...
mampus aku. Aku buru-buru berdiri dan mencoba menarik Baron untuk berdiri
bersamaku tapi dia menolak dan tetap berlutut di hadapanku.
“Ron, bangun, Ron,” ucapku cepat.
“Bilang kamu cinta sama aku juga,” tegas Baron. Garis-garis di wajahnya lagilagi
menunjukkan kekeraskepalaannya, yang biasanya kuanggap cute sekali, tapi
tidak pagi ini.
“Thomas Baron Iskandarsyah, bangun nggak!!!” bentakku.
“Baaaaarrrrrrrrooooooooonnnnnnnnnnnnn!!!” teriakan Olivia memecahkan
keheningan pagi itu. Bapakku buru-buru keluar dari rumah, disusul ibuku.
Olivia berlari ke arahku, diikuti Ervin. Kemudian Olivia berlutut di samping
Baron.
“Dri... what’s going on?” tanya Ervin padaku ketika dia tiba di sampingku
dengan napas sedikit terengah-engah. Ervin melambaikan tangannya kepada
orangtuaku yang membalasnya dengan antusias.
“Sayang, kamu ngapain? Aku sudah bilang kita bisa selesaikan masalah ini. Kita
nggak usah married buru-buru. Aku nggak maksa.” Olivia memohon pada Baron.
Olivia sepertinya tidak menyadari posisi Baron yang sedang berlutut di
hadapanku sambil memegang cincin. Tapi Ervin sadar.
“Tom, lo lagi ngapain?” tanya Ervin curiga.
“Ngelamar Didi,” jawab Baron singkat tanpa menghiraukan Olivia sama sekali.
Aku mendengar ibuku menarik napas kaget dan menutup mulutnya yang
menganga dengan tangan kanan.
“Di, ada apa sih?” tanya ibuku.
“Nggak ada apa-apa, Bu. Ibu sama Bapak masuk saja, nanti aku jelaskan,”
ucapku, mencoba untuk mengusir mereka dari hadapanku.
Aku tidak bisa berpikir dengan jernih di bawah tatapan keingintahuan mereka.
Ibuku terlihat ragu, tapi sekali lagi bapakku menyelamatkanku dan menggiring
ibuku masuk kembali ke dalam rumah.
Tiba-tiba pikiranku terganggu oleh suara Olivia. “Sayang... tolong... jangan
gini.... Aku akan berubah, tapi kamu nggak bisa tinggalin aku. Please...” Sekarang
nada suaranya sudah hampir menangis. Tapi Baron masih tidak memperhatikannya.
Alhasil Olivia mulai menangis.
“Di?” tanya Baron lagi. Aku tidak mampu berkata-kata, aku masih terlalu kaget.
Kesedihan dan kemarahanku telah hilang, digantikan rasa kasihan pada Olivia. Aku
sadar tetangga-tetanggaku sudah pergi. Mungkin mereka sudah bosan dengan apa
yang mereka saksikan. Tapi aku yakin sore ini ibuku akan menerima banyak telepon
yang ingin menanyakan kejadian pagi ini.
Aku terkejut ketika mendengar Ervin berteriak. “For the love of God, Olivia,
bangun, ngapain lo mohon-mohon sama dia kayak gitu? Tom, bangun nggak?
Nggak kasihan apa sama calon istri lo?”
Baron merangkak bangun sambil tetap memegang cincin itu. Berlian solitaire
yang terletak di cincin itu bersinar kerlap-kerlip.
Itu cincin paling cantik yang pernah kulihat dan cincin itu tidak akan pernah
jadi milikku. Damn it all to hell, teriakku dalam hati.
Olivia yang melihat Baron bangung langsung beridiri di sampingnya dan
mencoba memeluk Baron sambil mencoba segala upaya untuk mengontrol air
matanya. Ervin menatap berapi-api padaku.
“Ol, gue minta maaf soal ini,” lanjutku. “Gue nggak tahu tentang ini sama
sekali. Baron tiba-tiba saja muncul...,” aku mencoba menjelaskan situasiku kepada
Olivia.
Olivia menatapku sedih, tapi kulihat dia mengangguk mengerti. Aku bersyukur
dia sepertinya tidak menyalahkanku sama sekali.
“Di... please... kamu harus jujur sama diri kamu sendiri. Aku cinta kamu. Kamu
cinta kan sama aku?” teriak Baron gemas.
Aku menarik napas panjang dan tanpa memang Baron aku menjawab, “Olivia
yang cinta sama kamu Ron, bukan aku.”
“Kamu bohong. Aku tahu kamu bohong,” teriak Baron. Kini dengan nada
marah.
Aku menatap Baron terkesima. Baron marah padaku?
“Sekali lagi, aku tanya kamu, kamu cinta kan sama aku?” tanya Baron lebih
keras. Tapi suaranya sudah tidak terlalu yakin.
Aku merasakan seperti ada sebongkah es di tenggorokanku.
Kali ini aku menatap mata Baron sebelum berkata. “Sori, Ron.”
Please, Di, jawab yang jujur,” Baron mencoba meyakinkanku.
Aku menggeleng. Ervin memandangku dengan tatapan menuduh. Ini bukan
pertama kali dia menatapku seperti itu. Mungkin sekali lagi dia menuduhku
mencari gara-gara dengan Baron.
Kemudian perhatian Ervin beralih kepada Baron. “Ron, Adri nggak cinta sama
elo,” ucap Ervin tiba-tiba.
Aku menlongo. WHAT? Ngapain sih dia ikut-ikutan mengomentari? Ini tidak
ada sangkut pautnya dengan dia. Ini antara aku, Baron, dan Olivia.
“Sayang, Adri nggak cinta sama kamu, tapi aku... aku ngagk bisa hidup kalau
nggak sama kamu,” desah Olivia.
Aku betul-betul tidak tega. Rasanya aku mau menampar Olivia agar dia sadar.
Buat apa dia mengemis cinta dari laki-laki gemblung seperti Baron? Ini Olivia,
wanita paling cantik yang pernah kukenal. Walaupun memang pagi ini dia tidak
kelihatan cantik sama sekali. Tanpa make-up dan rambut yang kelihatannya tidak
disisir, untuk pertama kalinya Olivia terlihat... biasa.
“Ol, sadar, Ol. Kalau lo mau cinta Baron, bukan gini caranya,” aku memohon
kepada Olivia. Kemudian beralih ke Baron, “Dan kamu, Olivia cainta sama kamu,
apa kamu nggak bisa lihat?” Aku tarik Baron dan Olivia lalu menggeret mereka
masuk ke rumah.
Selama hampir sepuluh tahun jadi psikolog, tidak pernah-pernahnya aku mau
menyingsingkan lengan bajuku untuk menjadi marriage counselor, karena aku tidak
mau pusing gara-gara memikirkan urusan cinta orang lain. Urusan cintaku saja
berantakan, bagaimana mau mengurusi orang lain?
Aku tidak tahu bagaimana aku bisa bersandiwara bagaikan aku tidak peduli
bahwa aku akan membantu laki-laki yang kucintai untuk bisa akur lagi dengan
tunangannya, meskipun hatiku hancur berkeping-keping. Aku mempersilakan
mereka duduk di ruang makan. Setelah menuangkan minum dan menghidangkan
roti untuk mereka, aku lalu memulai sesi konseling pro-bono-ku. Orangtuaku dengan
rela menghabiskan pagi itu di taman belakang.
“Sekarang lo berdua ngomong, apa sih masalah lo berdua?” tanyaku dengan
nada setenang mungkin.
Baron memandangiku, tapi aku tidak menghiraukannya karena Olivia sedang
memandangi Baron dengan tatapan penuh cinta yang sangat familier, karena itulah
tatapan yang kuberikan kepada Baron selama beberapa bulan ini.
“Aku nggak suka cara kamu mengatur hidupku,” jawab Baron sambil tetap
menghadapku.
“Ron, coba kamu bicaranya langsung ke Oli, jangan ke aku. Dan kamu pandang
dia waktu kamu sedang berbicara.”
Baron menarik napas sebelum berbicara. “Aku nggak suka cara kamu mengatur
segala sesuatu tentang hidupku.” Menuruti saranku, Baron memandangi Olivia
sewaktu berbicara padanya.
“Aku bukannya mengatur, Sayang, aku cuma mau kamu jadi orang yang lebih
baik lagi,” ucap Olivia yang juga mengikuti instruksiku dan menatap Baron.
“Apa aku masih kurang baik untuk kamu?”
“Bukan, bukan begitu... Maksud aku... daripada kita buang uang untuk bayar
sewa rumah, lebih baik kita tinggal sama orangtuaku. Setidak-tidaknya sampai ada
cukup uang untuk beli rumah.” Olivia menarik napas sebelum melanjutkan,
“Keadaan keuangan kita sekarang nggak akan cukup untuk bisa hidup di Jakarta.”
“Itu yang aku nggak ngerti sama kamu. Kalau kamu memang sudah milih aku
sebagai suami kamu, kamu harus terima aku apa adanya. Kalau memang kita cuma
punya uang untuk beli rumah yang sederhana di daerah Bogor, ya kamu harus
terima itu.” Baron melirik ke arahku yang hanya mengangguk ke arahnya sambil
mendengarkan.
Dari sudut mataku, kulihat Ervin sedang berdiri sambil menyandarkan
punggungnya ke dinding. Mmmmhhhh... aku lupa soal Ervin. Aku pikir dia sudah
pulang.
“Apa perlu kamu tiap minggu beli baju baru? Apa perlu kamu tiap tiga hari
sekali pergi ke salon untuk nge-blow rambut? Kita bisa hidup sederhana, tapi kamu
harus menyesuaikan diir. Aku terima kamu apa adanya, tapi kenapa kamu nggak
bisa?” lanjut Baron.
Dan jebol sudah bendungan air mata Olivia. Dia yang tadinya cuma terisak-isak,
sekarang sudah menangis tersedu-sedu.
Aku menyodorkan tisu yang ada di sudut meja makan. Setelah agak lebih
tenang Olivia baru bisa menjawab.
“Aku... hik hik... memang sudah milih kamu... hik... hik... dan aku bangga sama
pilihanku itu. Cuma Mama dan Papa kan sudah tua... hik... hik... aku anak satusatunya....
aku nggak mau meninggalkan mereka sendirian. Lagian juga kalau aku
harus tinggal di Bogor... hik... hik... agak-agak susah kalau aku kangen saa mereka.
Bogor terlalu jauh dari Jakarta,” akhirnya Olivia bisa menyelesaikan argumentasinya
dengan cukup mulus.
“Ya tapi Mama kamu juga selalu maksa urusan wedding kita, harus beginilah
begitulah. Kan budget-nya jadi besar, Ol.” Suara Baron yang tadinya memusuhi kini
terdengar lebih tenang.
“Tapi kan hik hik... Mama mau bantu kita, Sayang... hik... dia sudah transfer dua
puluh juta ke tabunganku untuk nambahin budget kawin.”
Pada saat itu aku sadar betul bahwa Olivia baru saja menginjak-injak harga diri
Baron. Tidak heran kalau Baron mengambil langkah seribu. Kebanyakan laki-laki
mungkin akan senang kalau calon istrinya tajir supaya mereka tidak usah
mengeluarkan uang untuk menghidupi sang istri. Tapi tidak Baron. Dia salah satu
laki-laki paling arogan yang kukenal. Dia tidak akan mau menerima sumbangan
dalam bentuk apa pun, meskipun sumbangan itu bermaksud untuk membantu.
“Itu dia yang bikin aku nggak mau nikah sama kamu. Pikiran kita nggak
sejalan.”
“Tapi kamu nggak pernah bilang kamu keberatan. Mana aku tahu?”
Kulihat Olivia menelan ludah untuk menahan tangisnya agar tidak banjir lagi.
“Kamu kan tahu aku nggak suka yang mewah-mewah. Lebih baik daripada
menghabiskan uang untuk pesta pernikahan, uangnya disimpan untuk beli rumah.”
“Kamu kan tinggal ngomong ke aku. Cuma masalah ini kok kamu sampai mau
ninggalin aku sih? Apa cinta kamu sama aku cuma sampai situ aja?”
“Aku cinta kamu, Ol, cuma kalau aku mesti hidup sama kamu dengan gaya
hidup kamu yang sekarang, aku nggak bisa. Kamu harus memilih, kamu mau aku,
atau gaya hidup kamu?”
Saat Baron mengatakan kata-kata itu, aku bisa merasakan mukaku langsung
memerah dan udara langsung terasa gerah. Mataku pun lagi-lagi terasa panas.
Ternyata dugaanku benar. Baron memang mencintai Olivia, dan aku... aku cuma
iseng.
Sialan, laki-laki memang bejat.
Aku bisa melihat tatapan Ervin kepadaku. Dari matanya kurasa dia bisa
membaca apa yang ada di pikiranku. Ya Tuhan, janganlah sampai dia tahu bahwa
aku ini cinta mati sama sobatnya.
“Maksud kamu?” tanya Olivia bingung.
“Kalau kamu ikutin aku, resepsi pernikahan kita harus di bawah dua puluh juta.
Aku nggak mau terima sumbangan dari oirangtua kamu, karena aku juga nggak
terima apa-apa dari mamaku.”
“Di bawah dua puluh juta? Mana bisa? Tamu kita banyak sekali. Belum juga jas
kamu, kebaya aku, gedung, semuanya...”
Aku lihat Olivia sudah siap menangis lagi. Aku sebetulnya agak kaget, karena
ternyata permasalahan Olivia dan Baron sangat simple. Cuma masalah uang dan
harga diri. Jelas-jelas sebagai seorang laki-laki, Baron mau dihargai sebagai provider
untuk keluarganya. Aku juga tidak pernah tahu bahwa Olivia ternyata tipe
perempuan yang gampang menangis dan materialistis.
“Kita kurangi jumlah tamunya. Pokoknya harus di bawah dua puluh juta.
Planning-nya tetap aku serahkan ke kamu. Itu penawaran dari aku. Kamu bisa
terima?”
“Kalau aku terima... hik... apa berarti kamu masih mau married sama aku?”
“Ya iyalah,” jawab Baron tidak sabaran.
“Tapi...,” Olivia mencoba untuk mencari sela-sela yang masih bisa dikompromi.
Tapi Baron rupanya sedang tidak mood untuk kompromi.
“Kalau kamu masih mikir-mikir lagi, hari ini juga kita officially putus dan aku
mau mulai dating Adri,” ucap Baron geram.
Hah???!!!!! Kenapa juga gue masih dibawa-bawa Cari mati nih orang.
Aku baru saja mau buka mulut untuk protes. Ternyata Ervin juga baru akan
melakukan hal yang sama. Tapi kami berdua dipotong oleh Olivia.
“Nggak, nggak... aku setuju,” ucap Olivia. “Tapi aku minta kamu untuk tidak
ketemu sama Adri lagi sampai kita nikah,” tegas Olivia.
“Dri, aku minta maaf soal ini, tapi bisa tolong kamu jangan mau dikontak Baron
lagi setelah hari ini? Please, Dri, aku mohon,” lanjut Olivia memohon kepadaku.
Aku ternganga mendengar komentar Olivia, tapi aku lebih kaget lagi atas
permintaannya. Baron terlihat agak-agak kaget atas permintaan itu. Dia tidak sadar
bahwa ternyata persyaratannya bisa jadi senjata makan tuan. Baron memandangku
beberapa saat.
“Ini semua gara-gara kamu, kalau kamu mau kontak aku sebelumnya,
urusannya nggak akan kayak gini.” Baron mengomeliku.
Olivia langsung memandangku bingung. Aku juga bingung, maksud dia apa
sih? Lalu aku ingat kedua e-mail yang dikirimnya. Baron menatapku tidak sabaran.
“Di... yes or no?” tegas Baron akhirnya padaku.
Aku memandang mata Baron sedalam-dalamnya, mencoba untuk telepati.
Thomas Baron Iskandarsyah, aku cinta kamu, selalu akan cinta sama kamu,
kamu sudah jadi bagian hidupku sejak aku berumur lima belas tahun. Tapi kamu
cinta sama Olivia, dan dia lebih mencintai kamu dibanding aku.
Aku tidak tahu apa pesan itu sampai ke Baron, tapi dari tatapan matanya
sepertinya sampai. “Oke,” akhirnya Baron berkata.
Aku mendengar Ervin mengembuskan napasnya. Aku berpaling padanya, yang
sedang mengacungkan kedua jempolnya kepadaku. Aku hanya bisa tersenyum
lemas.
* * *
Olivia memelukku erat-erat dan mengucapkan kata thank you berkali-kali sebelum
pulang. Begitu mobil Baron menghilang dari pandangan, aku langsung masuk
rumah dan buru-buru menuju kamarku. Topeng yang kukenakan bisa kulepaskan
sekarang, aku bisa menangis sesuka hatiku. Sudah lima jam aku menahan diri agar
tidak menangis di depan semua orang. Tapi sekarang aku sudah tidak sanggup lagi
untuk menahan. Aku HARUS mengeluarkan kesedihanku, melampiaskan patah
hatiku, rasa gondokku pada diri sendiri, yang lagi-lagi kalah kalau sudah urusan
cinta, dan karena aku sudah dibesarkan dengan norma-norma hidup yang
bertentangan dengan kemauanku sehingga aku tidak pernah bisa mendapatkan
yang kuinginkan.
“Dri...,” panggil Ervin sambil memegang bahuku.
Aku tidak menghiraukannya dan tetap berjalan menuju kamarku di lantai atas.
“Dri,” sekali lagi Ervin mencoba mendapatkan perhatianku. Kali ini dia
menggapai tanganku. Aku mengentakkan tangan Ervin dari pergelanganku.
Just give me a minute, will you?” ucapku pelan tanpa menghadap Ervin dan
langsung masuk ke kamarku dan menutup pintu.
Aku bergegas masuk ke kamar mandi dan menyalakan shower dengan air dingin
lalu duduk di bawahnya sampai semua bajuku basah. Aku mencoba menangis
dengan mengeluarkan air mata, tapi tidak ada setetes pun yang keluar. Dan itu
semakin membuatku sengsara. Dadaku sudah mau meledak.
Aku tidak tahu kapan Ervin masuk ke kamarku, tapi tahu-tahu dia sudah
duduk di sampingku. Dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun, dia juga tidak
mencoba untuk menyentuhku sama sekali. Aku tidak tahu berapa lama kami duduk
seperti itu, tapi akhirnya aku bersuara, “Kok Olivia bisa datang bareng elo sih?”
tanyaku tanpa menatap Ervin.
Beberapa jam yang lalu karena terlalu panik ketika melihat Olivia, aku tidak
memikirkan adanya kejanggalan bahwa Olivia bisa muncul bersama-sama dengan
Ervin, tapi setelah semuanya lebih tenang, aku menyadari hal ini.
Ervin mengembuskan napasnya, seakan-akan lega bahwa akhirnya aku
mengeluarkan suara juga, sebelum menjawab, “Pagi-pagi jam tujuh Olivia telepon
gue buat nanya apa Baron ada sama gue. Waktu gue bilang nggak, dia terus nanya
apa gue tahu alamat rumah lo. Gue tanyalah apa urusannya sampai Baron perlu
pergi ke rumah lo segala. Olivia langsung histeris di telepon, intinya dia bilang
kalau mereka habis berantem besar tadi malam dan Baron mutusin pertunangan
mereka. Gue nggak pasti persisnya gimana, Olivia berkesimpulan Baron bakalan
langsung lari ke elo. Gue tahu perasaan elo berdua satu sama lain, jadi gue langsung
minta dia untuk ketemu sama gue di jalan supaya kita bisa pergi barneg-bareng ke
sini.”
Aku hanya mendengarkan ini semua sambil menyandarkan kepalaku ke
dinding dan menutup mataku. Ervin mungkin tidak tahu apa yang sudah terjadi di
antara aku dan Baron, tapi sepertinya tidak begitu halnya dengan Olivia. Satusatunya
penjelasan yang bisa keluar dari kepalaku bagaimana Olivia bisa
berkesimpulan seperti itu adalah Baron sudah menceritakan kejadian tempo hari
kepada Olivia. Dan lain dari pikiranku, sepertinya Ervin tahu betul tentang
perasaanku kepada Baron, sehingga dia bisa menyambungkan titik-titik yan guntuk
orang lain mungkin hanya terlihat berantakan.
Aku tidak tahu apa yang harus aku rasakan ketika mendengar ini semua. Aku
tidak bisa menangis, apa aku harus tertawa saja dan menganggap bahwa ini semua
hanyalah suatu hiburan? Kuletakkan kedua tanganku untuk menutupi mataku.
Nggak, ini bukan hiburan.
“Dri, elo nangis?” tanya Ervin pelan. Dan entah karena suaranya atau nadanya,
aku langsung menangis tersedu-sedu. Semua kekecewaanku bisa kutumpahkan.
Ervin hanya memelukku dengan sabar.
It’s okay, it’s okay... I’m here... I’m here....” Itu saja yang perlu dia katakan dan aku
menangis semakin keras. Selama beberapa menit dia hanya terdiam dan tetap
memelukku. Aku juga tidak mampu melepaskan cengkeramanku di bahunya.
Untuk pertama kalinya aku merasa terlindungi oleh Ervin. Ervin yang sempat
membuatku menangis tersedu-sedu kemarin malam.
“Gue matiin shower-nya, ya,” bisik Ervin padaku setelah tangisku agak reda.
Aku mengangguk. Dia mematikan shower yang gagangnya memang berada
persis di atas kepalaku.
“Bisa berdiri?” tanyanya lagi.
Aku lagi-lagi mengangguk. Tapi ketika aku mencoba bangun, rasa sakit
menjalar ke sekujur tubuhku yang ternyata berasal dari kram di kaki kananku.
“Kenapa, Dri?” tanyanya panik.
Aku tidak bisa menjawab karena kakiku masih kram. Seolah berat tubuhku
hanya satu kilogram, bukannya lima puluh, Ervin langsung menggendongku kelaur
dari kamar mandi dan mendudukkanku di atas tempat tidur. Aku tahu bedcover-ku
jadi basah karenanya, tapi aku tidak peduli. Ervin menghilang sebentar dan kembali
dengan membawa dua handuk besar. Dia memintaku berdiri dengan menggunakan
tubuhnya sebagai penyangga sebelum menyingkapkan bedcover di satu sisi tempat
tidurku dan mengalasi tempat tidurku dengan satu handuk sebelum memintaku
untuk duduk kembali di atas handuk yang telah ditebarkannya di atas seprai.
Kemudian Ervin mulai mengeringkan sekujur tubuhku. Bermula dari kepala hingga
kaki dengan handuk yang satu lagi. Setelah semua cukup kering dia langsung
menyelimuti bahuku dengan bathrobe yang tadinya tergantung di pintu kamar
mandi. Dia kemudian mematikan AC kamarku dan membuka jendela besar yang
menghadap ke balkon.
“Lo harus ganti baju, kalau nggak nanti masuk angin.” Tiba-tiba dia sudah
menyodorkan satu set kaus dan celana training, juga pakaian dalam kering yang
diambilnya dari lemariku.
Ervin langsung menyibukkan diri dengan menarik bedcover-ku dan membawanya
keluar untuk dijemur di balkon. Walaupun sulit, aku mencoba melepas kausku
yang basah, juga pakaian dalamku.
Setelah selesai berpakaian, aku meringkuk di tempat tidur. Ervin masuk dan
buru-buru menyelimutiku dengan selimut. Aku lihat Ervin membereskan baju-baju
basahku dan menaruhnya di keranjang di kamar mandi. Kemudian dia keluar dari
kamarku sambil menggumam, “I’ll be right back.”
Aku baru sadar beberapa saat kemudian bahwa Ervin juga pasti basah kuyup.
Ya ampuuuunnnn... kasihan banget tuh anak. Beberapa lama kemudian dia masuk
kembali ke kamarku dan sudah mengenakan baju yang kering. Aku tahu dia selalu
membawa pakaian ganti di bagasi mobilnya untuk keadaan darurat. Ervin adalah
salah satu orang paling efisien yang kukenal. Dia selalu siap untuk menghadapi
situasi apa pun.
“Vin...,” panggilku di antara bantal-bantal dan selimut yang menutupi tubuhku
yang masih kedinginan.
“Ya, Dri?” tanya Ervin yang berjalan ke arahku, lalu berlutut di sampingku.
“Makasih ya,” ucapku pelan.
Ervin hanya tersenyum dan membelai rambutku yang masih agak basah.
Could you...” Aku menghentikan diriku sebelum mengatakan kata-kata itu.
Could you stay for a while? Karena takut terdengar terlalu memaksa.
Tapi seperti membaca pikiranku Ervin mengangguk. Dia menarik kursi ke
samping tempat tidurku dan mencoba menghangatkan tanganku yang memang
masih terasa dingin dengan menggenggamnya di antara kedua telapak tangannya
dan mulai menggosoknya. Aku baru sadar bahwa tangan Ervin terasa sangat
hangat. Tak lama aku pun tertidur.
Ketika terbangun beberapa jam kemudian, Ervin sudah hilang dari kamarku.
Aku masih bisa mencium baunya. Aku mengembuskan napas, merasa kehilangan.
Saat itu aku sadar bahwa aku melihat sisi lain dari Ervin. Sisi yang membuat semua
perempuan tergila-gila padanya, ternyata bukan hanya karena wajah Dewa Yunaninya,
tapi karena pada dasarnya, Ervin adalah orang baik.


Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 15

No comments:

Post a Comment