Sunday, September 6, 2015

Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 9

9. MERENUNGI NASIB

BEBERAPA hari setelah kepulanganku dari Singapura, hari-hariku dihiasi
persiapan-persiapan heboh perayaan Nujuh Bulanan kakakku. Jenis kelamin si bayi
adalah laki-laki. Nama juga sudah dipilih, Lukas. Nama yang menurutku sangat
bagus dan terdengar kuat. Mudah-mudahan Lukas akan memiliki wajah seperti
Lukas Haas atau Luke Wilson atau bahkan Luke Skywalker ketika dia beranjak
dewasa.
Pesta Nujuh Bulanan itu ternyata benar-benar meriah. Cuaca di luar yang agak
mendung menambah kedramatisan suasana sore itu. Entah kenapa, suasana acara
itu membuatku agak sedih, terharu, dan mengingatkanku bahwa semakin hari aku
semakin tua. Tambahan lagi, beberapa bude, pakde, oom, dan tanteku membuatku
ingin menangis tersedu-sedu sambil guling-guling di lantai karena pertanyaanpertanyaan
mereka.
“Di, kapan nyusul Mbak Tita?” Pertanyaan yang berasal dari bude-bude yang
masih cukup sopan.
“Pacarnya kok nggak dibawa?” Pertanyaan dari bude dan pakde yang agak
kurang sopan.
“Gimana kabar cowok kamu?” Pertanyaan yang sangat ngeledek.
“Sudah ada pacar belum? Apa mau Bude kenalin sama anak temannya Bude?”
Pertanyaan yang kurang ajar.
Intinya selama acara itu, aku rasanya ingin menggeret laki-laki tak dikenal
untuk pura-pura jadi pacarku biar semua bude, pakde, oom, dan tanteku puassssss.
Setelah pulang dari rumah kakakku malam itu, aku memutuskan untuk tidak
menerima telepon dari siapa pun dan berdiam diri di kamar, merenungi nasib.
Perenungan nasibku itu berlanjut hingga bulan berikutnya. Ina yang mencoba
menghubungiku melalui HP sampai marah-marah karena aku tidak pernah
mengangkat telepon dan mailbox-ku penuh sehingga dia tidak bisa meninggalkan
pesan untuk memaki-makiku lagi. Sedangkan ketika dia mencoba untuk
menghubungiku di rumah, aku selalu keluar rumah atau sudah tidur. Ketiga
sobatku yang berusaha keras untuk menghubungiku pun tidak sukses.
Hingga suatu sore di bulan November, aku sedang menikmati hari Sabut
dengan menemani ibuku berbelanja ke Carrefour ketika berpapasan dengan Dara
yang marah habis-habisan karena aku tidak meneleponnya balik setelah lebih dari
sepuluh pesan yang dia tinggalkan ke semua orang di rumahku, mailbox HP-ku,
SMS, juga e-mail.
“Dri, aduh, Dri, elo ke mana saja sih?”
Aku mencoba menyembunyikan rasa sedihku dengan tersenyum kepada Dara.
Semenjak kedua sobatku yang lain menikah dan terlalu sibuk dengan keluarga
masing-masing, Dara yang dulunya tidak pernah peduli dengan orang lain, kini jadi
leibh jeli dalam urusan mencium masalah.
“Sori deh, Ra. Biasa... kantor lagi gila,” akhirnya aku berkata.
“Tia pkali gue telepon elonya nggak ada. Gue sama Jana sudah rencana mau ke
rumah lo besok kalau lo masih nggak angkat telepon. Kami pikir lo marah sama
kami, atau kenapa gitu.”
Aku menatap Dara dengan pandangan memohon. Dara langsung tanggap dan
bertanya, “Lo kenapa sih, Dri?”
Aku hanya menggelengkan kepala sebelum menjawab. “Cuma kecapekan kok.
Sori ya.”
Dara mengangguk menandakan bahwa dia mengerti. Itulah hebatnya Dara. Dia
selalu memahami apabila seseorang membutuhkan waktu atau ruang untuk
berpikir sendirian tanpa harus memaksa.
“Ya sudah, nanti telepon gue ya.” Ketika mau beranjak pergi, tiba-tiba dia
berbalik memandangku. “Eh, gue hampir lupa, Nadia tuh nyoba nelepon elo buat
ngasih tahu bulan depan ada reuni SMP di Senayan. Dia mau nanya apa lo mau
datang, soalnya gue, dia, sama Jana sudah RSVP.”
“Oh.” Adalah satu-satunya jawaban yang bisa kukeluarkan dari mulutku yang
ternganga.
“Jadi gimana?” tanya Dara setelah beberapa saat.
“Nanti gue telepon lo deh ya,” ucapku cepat, karena ibuku sudah memberikan
tanda bahwa dia akan jalan-jalan ke area makanan.
Setelah puas dengan penjelasanku, Dara pun mencium pipiku dan melangkah
pergi. Tapi sebelum jauh, dia berkata lagi, “Dri, seminggu yang lalu gue ketemu
sama anak-anak, mereka bilang Baron sudah tunangan sama Olivia lho. Itu juga
sebabnya kenapa gue neleponin elo melulu. Gue mau ngasih tahu tentang itu.”
Aku memandang Dara dengan tatapan kosong. Seperti mengerti sinyalku, Dara
kemudian melambaikan tangan dan berlalu ke kasir.
* * *
Malam itu setelah mandi dan akan bersantai di tempat tidurku, aku memutuskan
untuk menghubungi Dara. Aku bangkit dari posisi berbaringku dan mencari HP-ku
yang tersembunyi di antara kertas-kertas di atas meja kerjaku. Tapi HP-ku
sepertinya hilang ditelan bumi. Setelah mencoba mencari tanpa hasil selama lima
belas menit, akhirnya aku turun ke ruang makan untuk menggunakan telepon
rumah. Aku menekan nomor telepon Dara sembari menarik salah satu kursi di meja
makan dan duduk. Setelah beberapa deringan, akhirnya aku mendengar suara Dara
di ujung kabel telepon.
“Ra, ini Adri.”
“Akhirnya lo telepon juga, gue pikir kalau lo nggak telepon gue sampai jam
setengah sepuluh, gue yang bakalan telepon elo.”
“Sori, tadi gue beberes urusan kantor dulu.”
“Oh.” Setelah menunggu beberapa saat dan aku diam saja, akhirnya Dara
menambahkan, “Lo nggak apa-apa...?”
“Gue sudah tahu Baron tunangan sama Olivia dari dua bulan yang lalu,”
ucapku memotong kalimatnya. Apa memang sudah selama itu semenjak aku
bertemu dengan Olivia?
“Hah, kok lo nggak bilang ke kita-kita sih?”
“Sori deh, tapi waktu itu gue masih dalam tahap shock. Gue sangka akan
membaik setelah beberapa bulan, tapi nggak tahunya kok nggak juga, malahan
makin parah.”
“Lo bilang lo tahu dari dua bulan yang lalu? Berarti sebelum lo ke Singapur
dong.”
“Gue ketemu sama Olivia di bandara waktu jemput bokap gue, terus gue juga
ketemu dia di Singapur.”
“Dia tuh siapa? Baron?”
Aku mengangguk menjawab, setelah beberapa saat aku baru menyadari hal itu
ketika Dara mengulangi pertanyaannya.
“Iya,” akhirnya aku menjawab.
“Hah, lo ketemu sama Baron lagi? Gila, heboh ini! Terus gimana, lo ngobrol
sama dia?” Dara terdengar sangat antusias. Aneh.
“Ya ngobrol sedikit sih.” Kemudian aku menceritakan seluruh kejadian
pertemuanku dengan Kalvin dan Olivia, dan Baron beberapa bulan yang lalu, plus
telepon iseng yang kubuat.
setelah mendengar ceritaku, Dara berkata, “Ternyata intuisi gue bahwa lo masih
ada hati sama Baron tuh benar.” Dari nadanya aku tahu bahwa Dara memang tidak
kaget atas ceritaku.
“Dia selalu ada di kepala gue, Ra.”
“Kenapa lo nggak pernah cerita sih ke kami?” Suara Dara terdengar sedikit
menuduh.
“Gue pikir lo pada nggak akan mau tahu tentang itu,” balasku.
“Tentu saja kami mau tahu, Dri. Kami ini sobat lo, kami mau tahu segala
sesuatunya tentang kehidupan lo,” ucap Dara berapi-api.
“Sori ya,” ucapnya pelan.
“Tapi dia sudah mau married lho, Dri.”
I know,” geramku. Aku sudah tahu tentang hal itu, dan sedang berusaha untuk
menerimanya. Tapi terdengar orang lain mengatakannya membuatku merasa putus
asa, karena kata-kata itu terdengar lebih final.
Ada keheningan yang tidak mengenakkan. Dalam usahaku untuk mencairkan
suasana agar Dara tidak lagi merasa tersinggung karena rahasiaku, aku bertanya,
“Omong-omong reuninya siapa yang koordinir?”
Dara sempat terdengar menarik napas sebelum menjawab. “Bangsanya si Adit,
Irene, Gege itulah. Mereka bilang rencananya sudah pasti, jadi mereka akan mulai
ngirim e-mail dan nelepon anak-anak buat ini.”
“Memangnya cuma angkatan kita doang?”
“Ya nggak, pokoknya semua angkatan waktu kita kelas tiga.”
“Wahhh... gue nggak ikutan deh ya, habis nanti ketemu sama Baron, gue mau
ngomong apa?”
“Biasa deh!! Ngomong saja masalah banjir di Jakarta atau tentang betapa
panasnya Jakarta akhir-akhir ini, atau...”
Aku memotong usulan-usulan tersebut yang mulai terdengar sedikit sarkastis.
“Ya sudah, elo bisa tolong RSVP-in gue?” aku akhirnya memutuskan.
“Nah gitu dong. Ya udah, besok gue bilang ke Nadia supaay RSVP-in elo ke
panitia.”
“Memangnya tanggal berapa sih?”
“Lima belasan deh kalau nggak salah, pokoknya hari Sabtu.”
Well, kalau hari Sabtu sih gue nggak bisa nolak kali ya.”
“Dri...”
“Ya?”
Dara terdiam selama beberapa detik sebelum berkata, “Gue khawatir deh sama
elo.”
Aku tertawa mendengar nadanya yang serius itu.
“Jangan khawatir, Ra. Gue nggak apa-apa.”
“Gue lagi mikir, kalau misalnya masalah sebesar Baron saja elo nggak pernah
cerita, hal-hal lain apa lagi yang elo simpan sendiri?”
Aku menarik napas.
Ervin dan keinginanku untuk melakukan in-vitro fertilization, pikirku merasa
bersalah. Tapi seperti biasa aku akhirnya terpaksa berbohong.
“Nggak ada apa-apa lagi kok. Itu satu-satunya rahasia gue,” jawabku.
“Yakin?” ledek Dara.
“Iiiihhhhhh... rese deh lo,” ucapku sambil tertawa.
Akhirnya setelah beberapa menit mencoba membujukku dan tidak berhasil,
Dara pun berpamitan dan menutup telepon. Aku baru bisa bernapas lega. Aku tidak
suka berbohong, tapi menurutku menahan suatu informasi tidak bisa digolongkan
sebagai kebohongan, kan?
* * *
Hari Senin akhirnya aku memutuskan untuk membuka e-mail pribadiku yang aku
yakin penuh dengan segala macam message dari semua orang yang kubiarkan tak
terbaca. Ternyata aku benar, aku menemukan lebih dari empat puluh message di email
Yahoo-ku. Rata-rata memang dari teman-temanku. Ada satu e-mail dari Vincent
yang memberitahuku bahwa dia dan istrinya berencana akan pindah ke Kuala
Lumpur.
Baguslah, itu berarti aku punya kontak kalau mau pergi ke Kuala Lumpur.
Bahagia dengan prospek ini aku mulai membaca e-mail lainnya.
Kebanyakan dari Ina dan ketiga sobatku, kemudian ada dua e-mail lain dari
Iskandarsyah_TB@yahoo.com, satu dengan subjek “Halo lagi dari gue”, dan yang
satu lagi “Reuni”. Aku hampir saja memutuskan untuk menghapuskan dari inbox-ku
karena berpikir itu junk mail, ketika mengingat alamat itu. Itu e-mail Baron. Setelah
mengumpulkan cukup keberanian aku memutuskan untuk membuka e-mail
pertama dan mulai membaca perlahan-lahan.
Di,
Aku cuma mau tanya kabar kamu. Call me.
Baron
Selesai membaca e-mail pendek itu aku merasa sedikit kecewa. Kalau dia hanya
ingin menanyakan kabar, kenapa tidak telepon saja? Freaking idiot, omelku sembari
membuka e-mail Baron yang bertanggalkan sekitar sepuluh hari yang lalu.
DiDi,
Ini Baron, ngimelin kamu lagi, soalnya kamu belum kontak aku.Kamu inget kan
kamu janji mau telepon aku? Apa jangan-jangan kartu namaku hilang? Kalau ingat
kebiasaan kamu yang sering teledor, aku nggak heran. Aku cuma mau bilangin ada
reunian SMP tanggal 15 Desember hari Sabtu di Senayan. Kalau kamu sempat, bisa
tolong imel aku balik?
Baron.
Setidak-tidaknya e-mail yang kedua lebih panjang, meskipun tidak sepanjang
yang kuharapkan. Nadanya pun tidak menghangat, masih tetap biasa-biasa saja.
Aku jadi semakin yakin bahwa Baron tidak merasakan sengatan listrik yang
kurasakan ketika memeluknya.
Aku berdebat dengan diriku sendiri apakah aku mau menghapus kedua e-mail
yang mengingatkan betapa bodohnya aku ini, atau menyimpannya sebagai tanda
mata bahwa aku telah berhubungan dengan Baron, atau lebih tepatnya bahwa Baron
menghubungiku. Aduh, merana amat sih hidup gue, ucapku dalam hati. Kenapa
aku masih juga stuck dengan Baron? Sedangkan Baron sudah melupakanku. Aku
bahkan yakin aku memang tidak pernah ada di pikirannya sama sekali.
Rasa resah dan gundah menghantuiku sepanjang hari, aku tidak bisa
berkonsentrasi di rapat ataupun saat aku harus memberikan pelatihan mengenai
Conflict Resolution. Hahaha... tidak heran karena aku juga tidak bisa menyelesaikan
konflik di dalam diriku ini. Kemudian ketika kembali ke kantorku setelah makan
siang, aku salah melakukan beberapa analisis data hingga harus mengulang
semuanya dan terpaksa tinggal di kantor hingga jam tujuh malam.
Pat yang melihatku masih ada di mejaku sambil makan biskuit yang kusimpan
di laci, menyapaku,
Adriana, masih kerja?”
“Iya nih. Aku harus menyelesaikan laporan ini malam ini.”
“Laporan apa?”
“Ini lho, evaluasi pekerjaan kita bulan lalu.”
“Bukannya ini seharusnya pekerjaan Sony?”
Aku memang tahu ini pekerjaan seorang asisten, bukan manajer personalia
sepertiku. Tapi Sony sedang kutugaskan untuk mengerjakan beberapa penilaian
kinejra para pegawai di Divisi Keuangan.
“Iya sih, tapi dia sedang banyak pekerjaan lain,” jawabku singkat.
Well, oke. Santai saja, itu tidak perlu buru-buru kok.”
“Tapi, laporan ini kan harus slesai sebelum tenggat besok.”
“Memang, tapi terlambat sedikit tidak apa-apa.”
Aku tidak berhenti mengetik ketika berbicara dengan Pat, dan alhasil, analisisku
keluar dengan bentuk bagan yang agak aneh. Frustrasi, aku menggeram kesal.
Pat yang tidak pernah melihatku begitu ganas terlihat kaget. “Adri, kamu tidak
apa-apa?”
Aku mengambil napas sedalam-dalamnya sebelum menjawab pertanyaan ini.
“Ya... Aku baik-baik saja kok. Cuma agak banyak pikiran belakangan ini.” Aku
melemparkan senyuman yang pasti tidak terlihat terlalu meyakinkan.
“Ya sudah, kalau itu ceritamu.” Pat kemudian meninggalkan ruanganku setelah
menatapku dengan gaya kebapakan yang selalu dilakukannya untuk menandakan
bahwa apabila aku perlu teman untuk bicara, ia akan siap mendengarkan. Andaikan
Ervin ada di kantornya, mungkin aku bisa ngobrol-ngobrol dengannya untuk
menghilangkan kegalauan hatiku, tapi aku tahu dia sudah pulang.
Tiba-tiba, panjang umur, Ervin muncul di ruanganku.
“Dri, lagi ngapain, kok tampang kusut amat?” tanyanya dengan suaranya yang
bariton.
Aku hampir loncat dari kursiku karena kaget. “Vin, lo ngagetin gue deh.”
“Sori, sori,” tambah Ervin sambil melangkah masuk ke ruanganku dan duduk di
sofa putih di sebelah kanan meja kerjaku.
Aku memutar kursiku untuk menghadapnya.
“Lo bukannya tadi sudah pulang?” tanyaku.
“Belum. Tadi cuma ngantar Susan ke Mal Ambassador, sekalian gue cari
makan,” jawabnya sambil menyandarkan tubuhnya yang kekar di sofaku.
“Susan yang anak baru itu?” tanyaku.
Bingo.” Ervin sepertinya tidak peduli bahwa Susan adalah pegawai baru paling
cantik di Good Life.
“Eh, lo sibuk nggak hari Sabtu?” tanya Ervin padaku tiba-tiba.
“Mmmhhh, ada rencana mau nonton sih.”
“Mau nonton?!!! Kok nggak ngajak-ngajak gue?”
“Yeeee, lo kan ada pacar lo.”
Ervin memberikan tampang malas. “Pacar?”
Aku memandang Ervin dengan tatapan tidak percaya.
“Lho, itu... itu... aduh siapa sih namanya...? Itu pacar lo, kan?”
“Lo kayak nggak kenal gue deh. Date, Dri, date, beda.”
Aku hanya menggeleng. “Memangnya lo nggak ada rencana sama dia?”
Ervin terdiam sebentar sebelum menjawab. “Nope.”
Aku tahu betul kalau Ervin sudah bertingkah laku seperti ini terhadap
perempuan, maka perempuan itu pasti sudah membuatnya ilfil dan sebentar lagi
hubungan mereka akan history atau mungkin sudah history. “Hah, tuh perempuan lo
dumpt lagi?” Aku memutar bola mataku. “Kenapa lagi sama yang ini, kurang punya
otak?” candaku.
Ervin memang tergolong laki-laki langka yang menginginkan pacarnya pintar
dan bisa diajak bicara dibandingkan sekadar cantik.
“Gitu deh,” jawab Ervin dengan nada bercanda.
“Lo tuh ya, kenapa juga elo mau pergi nge-date sama dia kalau buntutnya lo
putusin juga?” omelku.
“Soalnya dia ngajakin gue keluar terus, akhirnya gue nggak bisa cari alasan buat
nolak lagi,” jelasnya polos.
Aku tahu bahwa Ervin tidak akan bertindak kasar atau kurang ajar dengan
perempuan mana pun kecuali sangat terpaksa.
“Lo nggak takut dia stalk elo kayak siapa tuh cewek lo yang waktu itu?”
Ervin mengerutkan kening dan memberikan tatapan siap perang padaku.
“Theta?” tanyanya.
“Oh iya, Theta. Heboh tuh dia, sampai nungguin gue pulang kerja segala karena
mau tahu apa gue penyebab lo mutusin dia.”
Aku tertawa keras mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu itu. Ervin ikut
tertawa. Tanpa kurasa ternyata hatiku sudah terasa sedikit lebih lega.
“Ya sudah, besok-besok hati-hati kalau milih perempuan ya. Gue nggak mau
sampai nyokap lo minta gue nyariin elo perempuan baik-baik lagi.”
Ketiga kalinya aku bertemu dengan mamanya Ervin, beliau menanyakan
apakah hubunganku dengan Ervin serius. Ketika aku dan Ervin hanya tertawa
mendengar pertanyaan itu, beliau meminta agar aku mencarikan perempuan yang
baik untuk anak laki-laki satu-satunya itu. Menurut beliau, selama ini perempuan
yang dibawa pulang oleh Ervin bentuknya tidak keruan. Ada yang masih pakai
kawat gigi, ada yang pakai rok sampai kelihatan celana dalamnya karena terlalu
pendek, ada yang hobinya mengibaskan rambutnya yang panjang sampai suatu kali
masuk ke sup yang sedang dihidangkan oleh mamanya Ervin, bahkan ada yang
ngacir pulang sambil menangis tersedu-sedu karena digonggong anjingnya Ervin,
seekor bulldog yang sudah tergolong “anjila” alias “anjing lanjut usia” karena
umurnya sudah dua belas tahun dan hampir buta.
“Siapa bilang gue nggak hati-hati?”
“Biasanya tindakan yang lebih berhati-hati datang dengan usia, dan kebanyakan
memang perlu kedewasaan,” ucapku. Sengaja dengan nada menggurui untuk
mengganggu Ervin.
“Siapa bilang gue nggak dewasa?” Ervin mengambil umpanku dan langsung
terlihat tersinggung.
“Soalnya, laki-laki yang sudah dewasa itu nggak akan beli mobil yang hanya
punya dua pintu, kan susah kalau mesti bawa bayi...”
Ervin akan memotong omonganku, tapi tidak kupedulikan. “Tambahan lagi,
laki-laki dewasa itu nggak akan tinggal di apartemen yang lebih kelihatan seperti
rumah bordil. Laki-laki dewasa akan beli rumah. Ngerti?”
“Siapa bilang gue nggak bisa bawa bayi dengan mobil gue yang sekarang?
Kalau soal rumah, lo sendiri bilang apartemen gue kelihatan seksi. Kalau soal
apartemen gue yang kayak rumah bordil, lo pasti ngomongin bedcover gue yang
warna hitam. Itu dikasih sama Kirana, dan gue belum ada waktu untuk beli yang
baru,” Ervin mencoba membela diri.
“Kalau soal women, kan gue memang masih single, jadinya boleh dong kalau
masih milih-milih. Gue juga bingung, ngapain amat sih nyokap gue minta tolong elo
dan adek gue untuk nyariin gue perempuan, gue kan bisa cari sendiri,” tambahnya
menutup argumentasinya.
Aku mengangkat kedua belah tanganku, mengalah. “Gue sih nggak peduli
sama... kegiatan lo, asal jangan lo bawa-bawa gue kalau nanti misalnya lo kena
santet atau leibh parah lagi... karma gara-gara aktivitas lo ini.”
Tanpa kusangka-sangka Ervin membalas, “Gimana bisa lo mikir kalau karma
lebih parah dari santet? Jelas-jelas santet lebih parah. Omong-omong tentang
santet...”
Sebelum Ervin selesai dengan kalimatnya aku langsung memotong.
“Kenapa lo nanya-nanya masalah hari Sabtu?”
Ervin hanya nyengir melihatku mengganti topik. “Nggak kenapa-napa, cuma
mau ngajak lo jalan,” balas Ervin sambil menatap langit-langit ruang kerjaku dan
tidak memperhatikan ekspresi wajahku yang sedang menggigit bibir wajahku tanda
senewen.
“Oh... jadi stok cewek lo lagi habis ya, makanya balik ke gue?” ledekku.
Sesuai dengan perkiraanku, kata-kataku dapat menarik perhatiannya kembali ke
bumi. Tepatnya kepadaku. Satu senyuman muncul di sudut bibirnya.
“Gue kangen sama elo,” Ervin kemudian berkata. Wajahnya polos, tidak
berdosa. Aku sudah cukup kebal dengan Ervin sehingga kata-kata mesranya sudah
hampir tidak memengaruhiku lagi.
Aku memandangi Ervin beberapa saat sebelum menjawab. “Lo tuh ya,
memangnya gue date for rent, apa?” balasku.
Ervin hanya melemparkan senyuman. “Ya... gue ada tiket buat nonton Jazz
Night di Hard Rock, gue pikir daripada gue pergi sama orang lain, lebih baik pergi
sama elo. About this date for rent...
Aku langsung memotong kalimatnya yang mulai tidak keruan. “Kok baru nanya
sekarang, tadinya rencana mau pergi sama whatever her name is, ya?” tanyaku
dengan nada curiga.
“Nggak lah.”
Aku tahu betul bahwa Ervin berbohong, dan aku memang sudah lama tidak
makan enak. Tapi hanya untuk membuat Ervin merasa bersalah aku menambahkan,
“Gue pikir-pikir dulu ya.”
“Dri, lo tega amat sih sama gue? Ayolah... Sori deh kalau baru nanya sekarang,”
Ervin memohon kepadaku.
Aku memberikan senyuman iseng padanya sebelum menjawab. “Ya sudah,
memangnya jam berapa sih acaranya?”
“Jam delapan. Nanti lo gue jemput jam empat ya... Jadi kita bisa dinner dulu,
oke?”
Aku sudah tahu kebiasaan Ervin, dia paling suka mengajakku makan, karena
menurutnya seleraku sama dengannya dan ukuran perutku selalu mampu
mengakomodasikan porsi yang besar, sehingga tidak ada yang terbuang. Tidak
membuatnya rugi, katanya.
Aku mengangguk, menyetujui rencana Ervin.
Ervin sudah siap beranjak meninggalkan ruanganku ketika aku berkata, “Thanks
ya, Vin.”
Ervin kembali menghadapku. “Buat apa?”
Just thanks,” balasku sambil tersenyum.
Tanpa disangka-sangka kemudian Ervin menghampiriku dan mengecup
keningku. “No problem.” Lalu dengan satu senyuman dia melangkah keluar dari
ruanganku.
Beberapa detik kemudian dia masuk lagi, “Eh, Dri, Sarah minggu depan pulang
lho dari Toronto.” Ervin sedang bertolak pinggang, aku lihat dia menggunakan dasi
yang kuberikan padanya tahun lalu sebagai hadiah ulang tahun. Aku tersenyum
pada diriku sendiri.
“Dia mau jalan tuh,” tambah Ervin.
Hubungan Ervin dengan keluarganya yang sangat dekat, membuatnya sebisa
mungkin meluangkan waktu untuk berkumpul dengan mereka, terutama adiknya
yang jarang bertemu. Oleh sebab itu, Ervin sering mengajak Sarah kalau dia sedang
jalan denganku, membuatku juga dekat dengan adik perempuan Ervin itu.
“Lho, kok dia pulang sih, memangnya libur?” tanyaku bingung.
“Nggak lah. Elo sih sudah lama nggak jalan sama gue. Dia sudah lulus, lagi,”
jawab Ervin santai.
“Oh, gitu?”
“Tadinya gue mau ajak dia ke Jazz Night ini...” Ervin terdiam ketika melihat
ekspresiku. Dia tahu bahwa dia sudah tertangkap basah.
“Lho, jadinya dia toh yang ngebatalin sama elo?” teriakku.
Ervin terdiam sesaat sebelum menjawab, “Iya,” dengan nada bersalah. “Dia
bilang mau pulang minggu lalu, tapi ternyata ditunda sampai minggu depan, gue
gondok banget soalnya tiketnya sudah di tangan gue.”
Sebetulnya aku berniat untuk membuat Ervin memohon-mohon dulu padaku,
mungkin dengan sedikit sogokan es krim, sebelum kemudian setuju untuk pergi
dengannya. Tapi aku sadar bahwa hari sudah semakin malam dan aku masih harus
menyelesaikan pekerjaanku.
So, jadi jam empat ya,” Ervin mencoba mengkonfirmasi lagi.
“Ya, Bos,” aku menjawab sambil mengangkat tangan ke dahi, memberikan
hormat.
Ervin pun tersenyum dan meninggalkan ruanganku.
* * *
Malam itu setelah yakin bahwa aku sudah cukup kuat untuk melakukannya tanpa
menangis, aku membalas e-mail Baron. Aku membuat nada e-mail-ku tidak kalah
biasa dengan kedua e-mail-nya.
Halo Baron,
Sori baru bisa balas e-mail kamu sekarang. Nggak, kartu nama kamu nggak
hilang kok, tapi aku memang belum sempat nelepon. Iya, aku bakalan datang ke
reunian. Kamu dan Olivia juga, kan?
Didi
E-mail itu cukup bersahabat, tetapi tidak terlalu hangat, hiburku pada diri
sendiri sebelum kemudian mengirimkan e-mail itu ke dunia maya dengan satu klik.
Aku melipat kakiku di atas tempat tidur sambil memandangi layar laptop-ku. Entah
apa yang kutunggu. Ternyata Baron tidak akan langsung membalas e-mail-ku. Dia
mungkin sedang keluar dengan Olivia. Aku langsung merinding memikirkan
mereka berdua berpelukan dengan mesra. Kudengar ibuku memanggilku dari lantai
bawah untuk memberitahu bahwa aku harus mengunci pintu sebelum tidur, karena
beliau dan bapakku akan pergi tidur sekarang. Aku memberitahunya bahwa aku
akan segera turun untuk mengunci pintu. Orangtuaku hanya memiliki satu
pembantu rumah tangga yang tinggal di perkampungan dekat rumahku, tetapi dia
biasanya sudah pulang jam enam sore.
Setelah kembali ke kamarku lagi sambil membawa secangkir Milo panas, aku
memandangi layar e-mail Yahoo-ku, dan melihat bahwa aku memiliki satu e-mail
baru. Aku membuka e-mail itu. Ternyata dari Baron! Aku hanya meninggalkan
kamarku kurang dari setengah jam, jadi sedikit kaget bahwa dalam jangka waktu
sesingkat itu, dia sudah membalas e-mail-ku.
“Adri, jangan ge-er,” gumamku mencoba mengingatkan diriku sebelum
kemudian mulai membaca e-mail itu.
Dear Di,
Sekarang jam 11 malam, sebetulnya aku mau telepon kamu, tapi aku nggak
tahu nomor HP kamu. Kamu Sabtu free? Mungkin kita bisa pergi dinner. No HP
kamu berapa?
Baron
Aku membacakan beberapa kali untuk memastikan bahwa Baron benar-benar
menuliskan kata “Dear”. Aku mencoba membaca pesan-pesan tersembunyi yang
mungkin ada di e-mail-nya. Apa maksud dia dengan “dinner”? Tentunya bukan
hanya aku dan dia, kan? Pasti dengan Olivia. Apa maksud dia dengan kata-kata
“sebetulnya aku mau telepon kamu”? Apa dia memang mau telepon aku, atau
hanya basa-basi? Aku hampir saja menerima tawarannya untuk bertemu hari Sabtu,
tapi tiba-tiba aku teringat bahwa aku sudah ada janji dengan Ervin untuk pergi ke
Hard Rock. Meskipun tahu bahwa Ervin akan bisa mengerti apabila aku
membatalkan janjiku dengannya, tapi kalau Ervin bertanya alasan aku membatalkan
janjiku, aku tidak yakin aku bisa menyimpan kebahagiaanku dan tidak
menceritakan e-mail dari Baron ini. Setelah berdebat dengan diriku sendiri selama
lima belas menit, akhirnya aku memutuskan untuk tidak membalas e-mail dari
Baron dan pergi tidur.
I’ll decide it tomorrow, aku berjanji pada diriku sendiri.
* * *
Keesokan harinya aku masih belum bisa memutuskan bagaimana aku harus
membalas e-mail Baron. Aku justru bertemu dengan Sarah yang ternyata sudah tiba
di Jakarta. Hari itu aku sekali lagi menghabiskan waktuku dengan Ina. Aku
berharap temanku itu bisa membantuku melupakan Baron untuk beberapa jam.
Kami sedang dalam perjalanan menuju bioskop ketika aku mengenali Sarah dari
kejauhan.
“Sar,” panggilku.
Sarah yang mendengar namanya dipanggil celingukan mencari siapa yang
memanggilnya. Sewaktu dia melihatku, dia langsung berteriak dan lari ke arahku
dengan tangan terbuka.
“Mbak Adriiiiiiii,” teriaknya keras, sehingga membuat semua orang di
sekitarnya kaget. Aku yakin beberapa orang menyangka Sarah sedang terkena
serangan epilepsi.
Sarah memelukku dengan antusias. Ina yang menyaksikan reaksi Sarah sempat
terbengong-bengong melihat kedekatan kami.
“Lho kok malah ketemu di sini sih?” kataku pada Sarah.
“Memangnya si Jabrik nggak bilangin ke Mbak aku sudah pulang tadi malam?”
Itulah cara Sarah memanggil Ervin, kakak laki-laki tercintanya itu. Terkadang
melihat cara Ervin dan Sarah berinteraksi, mengingatkanku akan kedekatanku
dengan kakakku. Mungkin itu sebabnya aku selalu merasa nyaman di sekitar orangorang
ini, yang menurut orang lain mungkin agak-agak gila.
“Ervin bilang kamu baru pulang minggu depan.”
“Dasar tuh anak, suka lupaan gitu. Tapi maklum sih, kelihatannya dia sibuk
banget.”
“Biasalah Ervin, kalau nggak soal kerjaan, dia pasti sibuk urusan perempuan,”
jawabku enteng.
Sarah tertawa menggelegar. “Tuh kan, aku sudah bilang ke Ervin berkali-kali
Mbak ini jago ngelawak, tapi dia nggak percaya.”
Aku ikut tertawa mendengar komentar Sarah.
“Omong-omong selamat ya sudah lulus, heboh deh. Welcome to the real world,
lady,” ujarku sambil menepuk bahu Sarah. “Jadi kamu pulang for good atau ada
rencana mau balik ke Toronto lagi?” lanjutku.
For good.” Ketika dia mengatakan ini aku lihat bahwa Sarah mengatakannya
dengan nada agak tersipu-sipu, kemudian mukanya mulai memerah.
“Lho, lho, kok jadi mirip kepiting rebus gini sih?” ledekku.
“Pacarku mau pulang ke Jakarta bulan depan dan rencananya mau ngelamar
aku dalam waktu dekat ini,” lapor Sarah.
Aku ternganga. “Congratulations,” ucapku setelah shock-ku sudah agak
berkurang. Satu orang lagi di dalam hidupku yang akan melepaskan masa
lajangnya.
“Teman kuliah?” tanyaku.
Sarah mengangguk. Aku kemudian teringat akan Ina yang sedang berdiri di
sampingku dan mendengarkan dengan sabar percakapanku dengan Sarah. Buruburu
aku memperkenalkan mereka.
“Mbak mau ngapain di sini?” tanya Sarah.
“Sebenarnya sih kita mau nonton, kamu mau ikutan?” tanyaku.
“Nggak deh, aku masih perlu beli beberapa barang, soalnya bentar lagi dijemput
sama Ervin. Kalau aku masih belum kelar shopping, dia bisa marah-marah,” jelas
Sarah.
Aku tertawa, karena tidak bisa membayangkan Ervin memarahi Sarah. Ervin
terlalu cinta pada adik satu-satunya ini dan tidak bakal berani menanggung risiko
Sarah jadi ngambek karena ditegur olehnya.
Kami lalu berpisah dan Sarah berjanji akan meneleponku kalau dia sudah selesai
unpack barang-barangnya. Kini giliran Ina yang mulai bertanya-tanya mengenai
Ervin. Aku hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditembakkan bagaikan
oleh bazoka itu dengan cara menghindar.
Ina memang telah memenuhi tugasnya untuk membantuku melupakan Baron
untuk beberapa jam. Tapi ternyata kebingunganku tentang Baron muncul kembali
setelah aku pulang ke rumah malam itu hingga tiga hari berikutnya. Akhirnya hari
Sabtu pagi aku memutuskan untuk mengatasi kebingunganku dengan melakukan
suatu tindakan. Kalau tindakan itu nantinya salah, well... aku harus menanggung
akibatnya. Melalui e-mail aku memberitahu Baron bahwa aku tidak bisa

menemuinya hari itu.


Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 10

No comments:

Post a Comment