9.
MERENUNGI NASIB
BEBERAPA
hari setelah kepulanganku dari Singapura, hari-hariku dihiasi
persiapan-persiapan
heboh perayaan Nujuh Bulanan kakakku. Jenis kelamin si bayi
adalah
laki-laki. Nama juga sudah dipilih, Lukas. Nama yang menurutku sangat
bagus
dan terdengar kuat. Mudah-mudahan Lukas akan memiliki wajah seperti
Lukas
Haas atau Luke Wilson atau bahkan Luke Skywalker ketika dia beranjak
dewasa.
Pesta
Nujuh Bulanan itu ternyata benar-benar meriah. Cuaca di luar yang agak
mendung
menambah kedramatisan suasana sore itu. Entah kenapa, suasana acara
itu
membuatku agak sedih, terharu, dan mengingatkanku bahwa semakin hari aku
semakin
tua. Tambahan lagi, beberapa bude, pakde, oom, dan tanteku membuatku
ingin
menangis tersedu-sedu sambil guling-guling di lantai karena
pertanyaanpertanyaan
mereka.
“Di,
kapan nyusul Mbak Tita?” Pertanyaan yang berasal dari bude-bude yang
masih
cukup sopan.
“Pacarnya
kok nggak dibawa?” Pertanyaan dari bude dan pakde yang agak
kurang
sopan.
“Gimana
kabar cowok kamu?” Pertanyaan yang sangat ngeledek.
“Sudah
ada pacar belum? Apa mau Bude kenalin sama anak temannya Bude?”
Pertanyaan
yang kurang ajar.
Intinya
selama acara itu, aku rasanya ingin menggeret laki-laki tak dikenal
untuk
pura-pura jadi pacarku biar semua bude, pakde, oom, dan tanteku puassssss.
Setelah
pulang dari rumah kakakku malam itu, aku memutuskan untuk tidak
menerima
telepon dari siapa pun dan berdiam diri di kamar, merenungi nasib.
Perenungan
nasibku itu berlanjut hingga bulan berikutnya. Ina yang mencoba
menghubungiku
melalui HP sampai marah-marah karena aku tidak pernah
mengangkat
telepon dan mailbox-ku penuh sehingga dia tidak bisa meninggalkan
pesan
untuk memaki-makiku lagi. Sedangkan ketika dia mencoba untuk
menghubungiku
di rumah, aku selalu keluar rumah atau sudah tidur. Ketiga
sobatku
yang berusaha keras untuk menghubungiku pun tidak sukses.
Hingga
suatu sore di bulan November, aku sedang menikmati hari Sabut
dengan
menemani ibuku berbelanja ke Carrefour ketika berpapasan dengan Dara
yang
marah habis-habisan karena aku tidak meneleponnya balik setelah lebih dari
sepuluh
pesan yang dia tinggalkan ke semua orang di rumahku, mailbox HP-ku,
SMS,
juga e-mail.
“Dri,
aduh, Dri, elo ke mana saja sih?”
Aku
mencoba menyembunyikan rasa sedihku dengan tersenyum kepada Dara.
Semenjak
kedua sobatku yang lain menikah dan terlalu sibuk dengan keluarga
masing-masing,
Dara yang dulunya tidak pernah peduli dengan orang lain, kini jadi
leibh
jeli dalam urusan mencium masalah.
“Sori
deh, Ra. Biasa... kantor lagi gila,” akhirnya aku berkata.
“Tia
pkali gue telepon elonya nggak ada. Gue sama Jana sudah rencana mau ke
rumah
lo besok kalau lo masih nggak angkat telepon. Kami pikir lo marah sama
kami,
atau kenapa gitu.”
Aku
menatap Dara dengan pandangan memohon. Dara langsung tanggap dan
bertanya,
“Lo kenapa sih, Dri?”
Aku
hanya menggelengkan kepala sebelum menjawab. “Cuma kecapekan kok.
Sori
ya.”
Dara
mengangguk menandakan bahwa dia mengerti. Itulah hebatnya Dara. Dia
selalu
memahami apabila seseorang membutuhkan waktu atau ruang untuk
berpikir
sendirian tanpa harus memaksa.
“Ya
sudah, nanti telepon gue ya.” Ketika mau beranjak pergi, tiba-tiba dia
berbalik
memandangku. “Eh, gue hampir lupa, Nadia tuh nyoba nelepon elo buat
ngasih
tahu bulan depan ada reuni SMP di Senayan. Dia mau nanya apa lo mau
datang,
soalnya gue, dia, sama Jana sudah RSVP.”
“Oh.”
Adalah satu-satunya jawaban yang bisa kukeluarkan dari mulutku yang
ternganga.
“Jadi
gimana?” tanya Dara setelah beberapa saat.
“Nanti
gue telepon lo deh ya,” ucapku cepat, karena ibuku sudah memberikan
tanda
bahwa dia akan jalan-jalan ke area makanan.
Setelah
puas dengan penjelasanku, Dara pun mencium pipiku dan melangkah
pergi.
Tapi sebelum jauh, dia berkata lagi, “Dri, seminggu yang lalu gue ketemu
sama
anak-anak, mereka bilang Baron sudah tunangan sama Olivia lho. Itu juga
sebabnya
kenapa gue neleponin elo melulu. Gue mau ngasih tahu tentang itu.”
Aku
memandang Dara dengan tatapan kosong. Seperti mengerti sinyalku, Dara
kemudian
melambaikan tangan dan berlalu ke kasir.
*
* *
Malam
itu setelah mandi dan akan bersantai di tempat tidurku, aku memutuskan
untuk
menghubungi Dara. Aku bangkit dari posisi berbaringku dan mencari HP-ku
yang
tersembunyi di antara kertas-kertas di atas meja kerjaku. Tapi HP-ku
sepertinya
hilang ditelan bumi. Setelah mencoba mencari tanpa hasil selama lima
belas
menit, akhirnya aku turun ke ruang makan untuk menggunakan telepon
rumah.
Aku menekan nomor telepon Dara sembari menarik salah satu kursi di meja
makan
dan duduk. Setelah beberapa deringan, akhirnya aku mendengar suara Dara
di
ujung kabel telepon.
“Ra,
ini Adri.”
“Akhirnya
lo telepon juga, gue pikir kalau lo nggak telepon gue sampai jam
setengah
sepuluh, gue yang bakalan telepon elo.”
“Sori,
tadi gue beberes urusan kantor dulu.”
“Oh.”
Setelah menunggu beberapa saat dan aku diam saja, akhirnya Dara
menambahkan,
“Lo nggak apa-apa...?”
“Gue
sudah tahu Baron tunangan sama Olivia dari dua bulan yang lalu,”
ucapku
memotong kalimatnya. Apa memang sudah selama itu semenjak aku
bertemu
dengan Olivia?
“Hah,
kok lo nggak bilang ke kita-kita sih?”
“Sori
deh, tapi waktu itu gue masih dalam tahap shock. Gue sangka akan
membaik
setelah beberapa bulan, tapi nggak tahunya kok nggak juga, malahan
makin
parah.”
“Lo
bilang lo tahu dari dua bulan yang lalu? Berarti sebelum lo ke Singapur
dong.”
“Gue
ketemu sama Olivia di bandara waktu jemput bokap gue, terus gue juga
ketemu
dia di Singapur.”
“Dia
tuh siapa? Baron?”
Aku
mengangguk menjawab, setelah beberapa saat aku baru menyadari hal itu
ketika
Dara mengulangi pertanyaannya.
“Iya,”
akhirnya aku menjawab.
“Hah,
lo ketemu sama Baron lagi? Gila, heboh ini! Terus gimana, lo ngobrol
sama
dia?” Dara terdengar sangat antusias. Aneh.
“Ya
ngobrol sedikit sih.” Kemudian aku menceritakan seluruh kejadian
pertemuanku
dengan Kalvin dan Olivia, dan Baron beberapa bulan yang lalu, plus
telepon
iseng yang kubuat.
setelah
mendengar ceritaku, Dara berkata, “Ternyata intuisi gue bahwa lo masih
ada
hati sama Baron tuh benar.” Dari nadanya aku tahu bahwa Dara memang tidak
kaget
atas ceritaku.
“Dia
selalu ada di kepala gue, Ra.”
“Kenapa
lo nggak pernah cerita sih ke kami?” Suara Dara terdengar sedikit
menuduh.
“Gue
pikir lo pada nggak akan mau tahu tentang itu,” balasku.
“Tentu
saja kami mau tahu, Dri. Kami ini sobat lo, kami mau tahu segala
sesuatunya
tentang kehidupan lo,” ucap Dara berapi-api.
“Sori
ya,” ucapnya pelan.
“Tapi
dia sudah mau married lho, Dri.”
“I know,”
geramku. Aku sudah tahu tentang hal itu, dan sedang berusaha untuk
menerimanya.
Tapi terdengar orang lain mengatakannya membuatku merasa putus
asa,
karena kata-kata itu terdengar lebih final.
Ada
keheningan yang tidak mengenakkan. Dalam usahaku untuk mencairkan
suasana
agar Dara tidak lagi merasa tersinggung karena rahasiaku, aku bertanya,
“Omong-omong
reuninya siapa yang koordinir?”
Dara
sempat terdengar menarik napas sebelum menjawab. “Bangsanya si Adit,
Irene,
Gege itulah. Mereka bilang rencananya sudah pasti, jadi mereka akan mulai
ngirim
e-mail dan nelepon anak-anak buat ini.”
“Memangnya
cuma angkatan kita doang?”
“Ya
nggak, pokoknya semua angkatan waktu kita kelas tiga.”
“Wahhh...
gue nggak ikutan deh ya, habis nanti ketemu sama Baron, gue mau
ngomong
apa?”
“Biasa
deh!! Ngomong saja masalah banjir di Jakarta atau tentang betapa
panasnya
Jakarta akhir-akhir ini, atau...”
Aku
memotong usulan-usulan tersebut yang mulai terdengar sedikit sarkastis.
“Ya
sudah, elo bisa tolong RSVP-in gue?” aku akhirnya memutuskan.
“Nah
gitu dong. Ya udah, besok gue bilang ke Nadia supaay RSVP-in elo ke
panitia.”
“Memangnya
tanggal berapa sih?”
“Lima
belasan deh kalau nggak salah, pokoknya hari Sabtu.”
“Well, kalau
hari Sabtu sih gue nggak bisa nolak kali ya.”
“Dri...”
“Ya?”
Dara
terdiam selama beberapa detik sebelum berkata, “Gue khawatir deh sama
elo.”
Aku
tertawa mendengar nadanya yang serius itu.
“Jangan
khawatir, Ra. Gue nggak apa-apa.”
“Gue
lagi mikir, kalau misalnya masalah sebesar Baron saja elo nggak pernah
cerita,
hal-hal lain apa lagi yang elo simpan sendiri?”
Aku
menarik napas.
Ervin
dan keinginanku untuk melakukan in-vitro
fertilization, pikirku merasa
bersalah.
Tapi seperti biasa aku akhirnya terpaksa berbohong.
“Nggak
ada apa-apa lagi kok. Itu satu-satunya rahasia gue,” jawabku.
“Yakin?”
ledek Dara.
“Iiiihhhhhh...
rese deh lo,” ucapku sambil tertawa.
Akhirnya
setelah beberapa menit mencoba membujukku dan tidak berhasil,
Dara
pun berpamitan dan menutup telepon. Aku baru bisa bernapas lega. Aku tidak
suka
berbohong, tapi menurutku menahan suatu informasi tidak bisa digolongkan
sebagai
kebohongan, kan?
*
* *
Hari
Senin akhirnya aku memutuskan untuk membuka e-mail
pribadiku yang aku
yakin
penuh dengan segala macam message dari semua orang yang kubiarkan tak
terbaca.
Ternyata aku benar, aku menemukan lebih dari empat puluh message di email
Yahoo-ku.
Rata-rata memang dari teman-temanku. Ada satu e-mail
dari Vincent
yang
memberitahuku bahwa dia dan istrinya berencana akan pindah ke Kuala
Lumpur.
Baguslah,
itu berarti aku punya kontak kalau mau pergi ke Kuala Lumpur.
Bahagia
dengan prospek ini aku mulai membaca e-mail
lainnya.
Kebanyakan
dari Ina dan ketiga sobatku, kemudian ada dua e-mail
lain dari
Iskandarsyah_TB@yahoo.com,
satu dengan subjek “Halo lagi dari gue”, dan yang
satu
lagi “Reuni”. Aku hampir saja memutuskan untuk menghapuskan dari inbox-ku
karena
berpikir itu junk mail, ketika mengingat alamat itu. Itu e-mail Baron.
Setelah
mengumpulkan
cukup keberanian aku memutuskan untuk membuka e-mail
pertama
dan mulai membaca perlahan-lahan.
Di,
Aku cuma
mau tanya kabar kamu. Call me.
Baron
Selesai
membaca e-mail pendek itu aku merasa sedikit kecewa. Kalau dia hanya
ingin
menanyakan kabar, kenapa tidak telepon saja? Freaking
idiot, omelku sembari
membuka
e-mail Baron yang bertanggalkan sekitar sepuluh hari yang lalu.
DiDi,
Ini
Baron, ngimelin kamu lagi, soalnya kamu belum kontak aku.Kamu inget kan
kamu
janji mau telepon aku? Apa jangan-jangan kartu namaku hilang? Kalau ingat
kebiasaan
kamu yang sering teledor, aku nggak heran. Aku cuma mau bilangin ada
reunian
SMP tanggal 15 Desember hari Sabtu di Senayan. Kalau kamu sempat, bisa
tolong
imel aku balik?
Baron.
Setidak-tidaknya
e-mail yang kedua lebih panjang, meskipun tidak sepanjang
yang
kuharapkan. Nadanya pun tidak menghangat, masih tetap biasa-biasa saja.
Aku
jadi semakin yakin bahwa Baron tidak merasakan sengatan listrik yang
kurasakan
ketika memeluknya.
Aku
berdebat dengan diriku sendiri apakah aku mau menghapus kedua e-mail
yang
mengingatkan betapa bodohnya aku ini, atau menyimpannya sebagai tanda
mata
bahwa aku telah berhubungan dengan Baron, atau lebih tepatnya bahwa Baron
menghubungiku.
Aduh, merana amat sih hidup gue, ucapku dalam hati. Kenapa
aku
masih juga stuck dengan Baron? Sedangkan Baron sudah melupakanku. Aku
bahkan
yakin aku memang tidak pernah ada di pikirannya sama sekali.
Rasa
resah dan gundah menghantuiku sepanjang hari, aku tidak bisa
berkonsentrasi
di rapat ataupun saat aku harus memberikan pelatihan mengenai
Conflict Resolution.
Hahaha... tidak heran karena aku juga tidak bisa menyelesaikan
konflik
di dalam diriku ini. Kemudian ketika kembali ke kantorku setelah makan
siang,
aku salah melakukan beberapa analisis data hingga harus mengulang
semuanya
dan terpaksa tinggal di kantor hingga jam tujuh malam.
Pat
yang melihatku masih ada di mejaku sambil makan biskuit yang kusimpan
di
laci, menyapaku,
“Adriana, masih
kerja?”
“Iya
nih. Aku harus menyelesaikan laporan ini malam ini.”
“Laporan
apa?”
“Ini
lho, evaluasi pekerjaan kita bulan lalu.”
“Bukannya
ini seharusnya pekerjaan Sony?”
Aku
memang tahu ini pekerjaan seorang asisten, bukan manajer personalia
sepertiku.
Tapi Sony sedang kutugaskan untuk mengerjakan beberapa penilaian
kinejra
para pegawai di Divisi Keuangan.
“Iya
sih, tapi dia sedang banyak pekerjaan lain,” jawabku singkat.
“Well, oke.
Santai saja, itu tidak perlu buru-buru kok.”
“Tapi,
laporan ini kan harus slesai sebelum tenggat besok.”
“Memang,
tapi terlambat sedikit tidak apa-apa.”
Aku
tidak berhenti mengetik ketika berbicara dengan Pat, dan alhasil, analisisku
keluar
dengan bentuk bagan yang agak aneh. Frustrasi, aku menggeram kesal.
Pat
yang tidak pernah melihatku begitu ganas terlihat kaget. “Adri, kamu tidak
apa-apa?”
Aku
mengambil napas sedalam-dalamnya sebelum menjawab pertanyaan ini.
“Ya...
Aku baik-baik saja kok. Cuma agak banyak pikiran belakangan ini.” Aku
melemparkan
senyuman yang pasti tidak terlihat terlalu meyakinkan.
“Ya
sudah, kalau itu ceritamu.” Pat kemudian meninggalkan ruanganku setelah
menatapku
dengan gaya kebapakan yang selalu dilakukannya untuk menandakan
bahwa
apabila aku perlu teman untuk bicara, ia akan siap mendengarkan. Andaikan
Ervin
ada di kantornya, mungkin aku bisa ngobrol-ngobrol dengannya untuk
menghilangkan
kegalauan hatiku, tapi aku tahu dia sudah pulang.
Tiba-tiba,
panjang umur, Ervin muncul di ruanganku.
“Dri,
lagi ngapain, kok tampang kusut amat?” tanyanya dengan suaranya yang
bariton.
Aku
hampir loncat dari kursiku karena kaget. “Vin, lo ngagetin gue deh.”
“Sori,
sori,” tambah Ervin sambil melangkah masuk ke ruanganku dan duduk di
sofa
putih di sebelah kanan meja kerjaku.
Aku
memutar kursiku untuk menghadapnya.
“Lo
bukannya tadi sudah pulang?” tanyaku.
“Belum.
Tadi cuma ngantar Susan ke Mal Ambassador, sekalian gue cari
makan,”
jawabnya sambil menyandarkan tubuhnya yang kekar di sofaku.
“Susan
yang anak baru itu?” tanyaku.
“Bingo.”
Ervin sepertinya tidak peduli bahwa Susan adalah pegawai baru paling
cantik
di Good Life.
“Eh,
lo sibuk nggak hari Sabtu?” tanya Ervin padaku tiba-tiba.
“Mmmhhh,
ada rencana mau nonton sih.”
“Mau
nonton?!!! Kok nggak ngajak-ngajak gue?”
“Yeeee,
lo kan ada pacar lo.”
Ervin
memberikan tampang malas. “Pacar?”
Aku
memandang Ervin dengan tatapan tidak percaya.
“Lho,
itu... itu... aduh siapa sih namanya...? Itu pacar lo, kan?”
“Lo
kayak nggak kenal gue deh. Date, Dri, date, beda.”
Aku
hanya menggeleng. “Memangnya lo nggak ada rencana sama dia?”
Ervin
terdiam sebentar sebelum menjawab. “Nope.”
Aku
tahu betul kalau Ervin sudah bertingkah laku seperti ini terhadap
perempuan,
maka perempuan itu pasti sudah membuatnya ilfil dan sebentar lagi
hubungan
mereka akan history atau mungkin sudah history. “Hah, tuh perempuan lo
dumpt lagi?”
Aku memutar bola mataku. “Kenapa lagi sama yang ini, kurang punya
otak?”
candaku.
Ervin
memang tergolong laki-laki langka yang menginginkan pacarnya pintar
dan
bisa diajak bicara dibandingkan sekadar cantik.
“Gitu
deh,” jawab Ervin dengan nada bercanda.
“Lo
tuh ya, kenapa juga elo mau pergi nge-date
sama dia kalau buntutnya lo
putusin
juga?” omelku.
“Soalnya
dia ngajakin gue keluar terus, akhirnya gue nggak bisa cari alasan buat
nolak
lagi,” jelasnya polos.
Aku
tahu bahwa Ervin tidak akan bertindak kasar atau kurang ajar dengan
perempuan
mana pun kecuali sangat terpaksa.
“Lo
nggak takut dia stalk elo kayak siapa tuh cewek lo yang waktu itu?”
Ervin
mengerutkan kening dan memberikan tatapan siap perang padaku.
“Theta?”
tanyanya.
“Oh
iya, Theta. Heboh tuh dia, sampai nungguin gue pulang kerja segala karena
mau
tahu apa gue penyebab lo mutusin dia.”
Aku
tertawa keras mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu itu. Ervin ikut
tertawa.
Tanpa kurasa ternyata hatiku sudah terasa sedikit lebih lega.
“Ya
sudah, besok-besok hati-hati kalau milih perempuan ya. Gue nggak mau
sampai
nyokap lo minta gue nyariin elo perempuan baik-baik lagi.”
Ketiga
kalinya aku bertemu dengan mamanya Ervin, beliau menanyakan
apakah
hubunganku dengan Ervin serius. Ketika aku dan Ervin hanya tertawa
mendengar
pertanyaan itu, beliau meminta agar aku mencarikan perempuan yang
baik
untuk anak laki-laki satu-satunya itu. Menurut beliau, selama ini perempuan
yang
dibawa pulang oleh Ervin bentuknya tidak keruan. Ada yang masih pakai
kawat
gigi, ada yang pakai rok sampai kelihatan celana dalamnya karena terlalu
pendek,
ada yang hobinya mengibaskan rambutnya yang panjang sampai suatu kali
masuk
ke sup yang sedang dihidangkan oleh mamanya Ervin, bahkan ada yang
ngacir
pulang sambil menangis tersedu-sedu karena digonggong anjingnya Ervin,
seekor
bulldog yang sudah tergolong “anjila” alias “anjing lanjut usia” karena
umurnya
sudah dua belas tahun dan hampir buta.
“Siapa
bilang gue nggak hati-hati?”
“Biasanya
tindakan yang lebih berhati-hati datang dengan usia, dan kebanyakan
memang
perlu kedewasaan,” ucapku. Sengaja dengan nada menggurui untuk
mengganggu
Ervin.
“Siapa
bilang gue nggak dewasa?” Ervin mengambil umpanku dan langsung
terlihat
tersinggung.
“Soalnya,
laki-laki yang sudah dewasa itu nggak akan beli mobil yang hanya
punya
dua pintu, kan susah kalau mesti bawa bayi...”
Ervin
akan memotong omonganku, tapi tidak kupedulikan. “Tambahan lagi,
laki-laki
dewasa itu nggak akan tinggal di apartemen yang lebih kelihatan seperti
rumah
bordil. Laki-laki dewasa akan beli rumah. Ngerti?”
“Siapa
bilang gue nggak bisa bawa bayi dengan mobil gue yang sekarang?
Kalau
soal rumah, lo sendiri bilang apartemen gue kelihatan seksi. Kalau soal
apartemen
gue yang kayak rumah bordil, lo pasti ngomongin bedcover gue
yang
warna
hitam. Itu dikasih sama Kirana, dan gue belum ada waktu untuk beli yang
baru,”
Ervin mencoba membela diri.
“Kalau
soal women, kan gue memang masih single, jadinya boleh dong kalau
masih
milih-milih. Gue juga bingung, ngapain amat sih nyokap gue minta tolong elo
dan
adek gue untuk nyariin gue perempuan, gue kan bisa cari sendiri,” tambahnya
menutup
argumentasinya.
Aku
mengangkat kedua belah tanganku, mengalah. “Gue sih nggak peduli
sama...
kegiatan lo, asal jangan lo bawa-bawa gue kalau nanti misalnya lo kena
santet
atau leibh parah lagi... karma gara-gara aktivitas lo ini.”
Tanpa
kusangka-sangka Ervin membalas, “Gimana bisa lo mikir kalau karma
lebih
parah dari santet? Jelas-jelas santet lebih parah. Omong-omong tentang
santet...”
Sebelum
Ervin selesai dengan kalimatnya aku langsung memotong.
“Kenapa
lo nanya-nanya masalah hari Sabtu?”
Ervin
hanya nyengir melihatku mengganti topik. “Nggak kenapa-napa, cuma
mau
ngajak lo jalan,” balas Ervin sambil menatap langit-langit ruang kerjaku dan
tidak
memperhatikan ekspresi wajahku yang sedang menggigit bibir wajahku tanda
senewen.
“Oh...
jadi stok cewek lo lagi habis ya, makanya balik ke gue?” ledekku.
Sesuai
dengan perkiraanku, kata-kataku dapat menarik perhatiannya kembali ke
bumi.
Tepatnya kepadaku. Satu senyuman muncul di sudut bibirnya.
“Gue
kangen sama elo,” Ervin kemudian berkata. Wajahnya polos, tidak
berdosa.
Aku sudah cukup kebal dengan Ervin sehingga kata-kata mesranya sudah
hampir
tidak memengaruhiku lagi.
Aku
memandangi Ervin beberapa saat sebelum menjawab. “Lo tuh ya,
memangnya
gue date for rent, apa?” balasku.
Ervin
hanya melemparkan senyuman. “Ya... gue ada tiket buat nonton Jazz
Night
di Hard Rock, gue pikir daripada gue pergi sama orang lain, lebih baik pergi
sama
elo. About this date for rent...”
Aku
langsung memotong kalimatnya yang mulai tidak keruan. “Kok baru nanya
sekarang,
tadinya rencana mau pergi sama whatever
her name is, ya?” tanyaku
dengan
nada curiga.
“Nggak
lah.”
Aku
tahu betul bahwa Ervin berbohong, dan aku memang sudah lama tidak
makan
enak. Tapi hanya untuk membuat Ervin merasa bersalah aku menambahkan,
“Gue
pikir-pikir dulu ya.”
“Dri,
lo tega amat sih sama gue? Ayolah... Sori deh kalau baru nanya sekarang,”
Ervin
memohon kepadaku.
Aku
memberikan senyuman iseng padanya sebelum menjawab. “Ya sudah,
memangnya
jam berapa sih acaranya?”
“Jam
delapan. Nanti lo gue jemput jam empat ya... Jadi kita bisa dinner dulu,
oke?”
Aku
sudah tahu kebiasaan Ervin, dia paling suka mengajakku makan, karena
menurutnya
seleraku sama dengannya dan ukuran perutku selalu mampu
mengakomodasikan
porsi yang besar, sehingga tidak ada yang terbuang. Tidak
membuatnya
rugi, katanya.
Aku
mengangguk, menyetujui rencana Ervin.
Ervin
sudah siap beranjak meninggalkan ruanganku ketika aku berkata, “Thanks
ya,
Vin.”
Ervin
kembali menghadapku. “Buat apa?”
“Just thanks,”
balasku sambil tersenyum.
Tanpa
disangka-sangka kemudian Ervin menghampiriku dan mengecup
keningku.
“No problem.” Lalu dengan satu senyuman dia melangkah keluar dari
ruanganku.
Beberapa
detik kemudian dia masuk lagi, “Eh, Dri, Sarah minggu depan pulang
lho
dari Toronto.” Ervin sedang bertolak pinggang, aku lihat dia menggunakan dasi
yang
kuberikan padanya tahun lalu sebagai hadiah ulang tahun. Aku tersenyum
pada
diriku sendiri.
“Dia
mau jalan tuh,” tambah Ervin.
Hubungan
Ervin dengan keluarganya yang sangat dekat, membuatnya sebisa
mungkin
meluangkan waktu untuk berkumpul dengan mereka, terutama adiknya
yang
jarang bertemu. Oleh sebab itu, Ervin sering mengajak Sarah kalau dia sedang
jalan
denganku, membuatku juga dekat dengan adik perempuan Ervin itu.
“Lho,
kok dia pulang sih, memangnya libur?” tanyaku bingung.
“Nggak
lah. Elo sih sudah lama nggak jalan sama gue. Dia sudah lulus, lagi,”
jawab
Ervin santai.
“Oh,
gitu?”
“Tadinya
gue mau ajak dia ke Jazz Night ini...” Ervin terdiam ketika melihat
ekspresiku.
Dia tahu bahwa dia sudah tertangkap basah.
“Lho,
jadinya dia toh yang ngebatalin sama elo?” teriakku.
Ervin
terdiam sesaat sebelum menjawab, “Iya,” dengan nada bersalah. “Dia
bilang
mau pulang minggu lalu, tapi ternyata ditunda sampai minggu depan, gue
gondok
banget soalnya tiketnya sudah di tangan gue.”
Sebetulnya
aku berniat untuk membuat Ervin memohon-mohon dulu padaku,
mungkin
dengan sedikit sogokan es krim, sebelum kemudian setuju untuk pergi
dengannya.
Tapi aku sadar bahwa hari sudah semakin malam dan aku masih harus
menyelesaikan
pekerjaanku.
“So, jadi jam empat
ya,” Ervin mencoba mengkonfirmasi lagi.
“Ya,
Bos,” aku menjawab sambil mengangkat tangan ke dahi, memberikan
hormat.
Ervin
pun tersenyum dan meninggalkan ruanganku.
*
* *
Malam
itu setelah yakin bahwa aku sudah cukup kuat untuk melakukannya tanpa
menangis,
aku membalas e-mail Baron. Aku membuat nada e-mail-ku tidak kalah
biasa
dengan kedua e-mail-nya.
Halo
Baron,
Sori baru
bisa balas e-mail kamu sekarang. Nggak, kartu nama kamu nggak
hilang
kok, tapi aku memang belum sempat nelepon. Iya, aku bakalan datang ke
reunian.
Kamu dan Olivia juga, kan?
Didi
E-mail itu
cukup bersahabat, tetapi tidak terlalu hangat, hiburku pada diri
sendiri
sebelum kemudian mengirimkan e-mail
itu ke dunia maya dengan satu klik.
Aku
melipat kakiku di atas tempat tidur sambil memandangi layar laptop-ku.
Entah
apa
yang kutunggu. Ternyata Baron tidak akan langsung membalas e-mail-ku.
Dia
mungkin
sedang keluar dengan Olivia. Aku langsung merinding memikirkan
mereka
berdua berpelukan dengan mesra. Kudengar ibuku memanggilku dari lantai
bawah
untuk memberitahu bahwa aku harus mengunci pintu sebelum tidur, karena
beliau
dan bapakku akan pergi tidur sekarang. Aku memberitahunya bahwa aku
akan
segera turun untuk mengunci pintu. Orangtuaku hanya memiliki satu
pembantu
rumah tangga yang tinggal di perkampungan dekat rumahku, tetapi dia
biasanya
sudah pulang jam enam sore.
Setelah
kembali ke kamarku lagi sambil membawa secangkir Milo panas, aku
memandangi
layar e-mail Yahoo-ku, dan melihat bahwa aku memiliki satu e-mail
baru.
Aku membuka e-mail itu. Ternyata dari Baron! Aku hanya meninggalkan
kamarku
kurang dari setengah jam, jadi sedikit kaget bahwa dalam jangka waktu
sesingkat
itu, dia sudah membalas e-mail-ku.
“Adri,
jangan ge-er,” gumamku mencoba mengingatkan diriku sebelum
kemudian
mulai membaca e-mail itu.
Dear Di,
Sekarang
jam 11 malam, sebetulnya aku mau telepon kamu, tapi aku nggak
tahu
nomor HP kamu. Kamu Sabtu free? Mungkin kita bisa pergi dinner.
No HP
kamu
berapa?
Baron
Aku
membacakan beberapa kali untuk memastikan bahwa Baron benar-benar
menuliskan
kata “Dear”. Aku mencoba membaca pesan-pesan tersembunyi yang
mungkin
ada di e-mail-nya. Apa maksud dia dengan “dinner”? Tentunya bukan
hanya
aku dan dia, kan? Pasti dengan Olivia. Apa maksud dia dengan kata-kata
“sebetulnya
aku mau telepon kamu”? Apa dia memang mau telepon aku, atau
hanya
basa-basi? Aku hampir saja menerima tawarannya untuk bertemu hari Sabtu,
tapi
tiba-tiba aku teringat bahwa aku sudah ada janji dengan Ervin untuk pergi ke
Hard
Rock. Meskipun tahu bahwa Ervin akan bisa mengerti apabila aku
membatalkan
janjiku dengannya, tapi kalau Ervin bertanya alasan aku membatalkan
janjiku,
aku tidak yakin aku bisa menyimpan kebahagiaanku dan tidak
menceritakan
e-mail dari Baron ini. Setelah berdebat dengan diriku sendiri selama
lima
belas menit, akhirnya aku memutuskan untuk tidak membalas e-mail dari
Baron
dan pergi tidur.
I’ll decide it tomorrow, aku berjanji pada diriku sendiri.
*
* *
Keesokan
harinya aku masih belum bisa memutuskan bagaimana aku harus
membalas
e-mail Baron. Aku justru bertemu dengan Sarah yang ternyata sudah tiba
di
Jakarta. Hari itu aku sekali lagi menghabiskan waktuku dengan Ina. Aku
berharap
temanku itu bisa membantuku melupakan Baron untuk beberapa jam.
Kami
sedang dalam perjalanan menuju bioskop ketika aku mengenali Sarah dari
kejauhan.
“Sar,”
panggilku.
Sarah
yang mendengar namanya dipanggil celingukan mencari siapa yang
memanggilnya.
Sewaktu dia melihatku, dia langsung berteriak dan lari ke arahku
dengan
tangan terbuka.
“Mbak
Adriiiiiiii,” teriaknya keras, sehingga membuat semua orang di
sekitarnya
kaget. Aku yakin beberapa orang menyangka Sarah sedang terkena
serangan
epilepsi.
Sarah
memelukku dengan antusias. Ina yang menyaksikan reaksi Sarah sempat
terbengong-bengong
melihat kedekatan kami.
“Lho
kok malah ketemu di sini sih?” kataku pada Sarah.
“Memangnya
si Jabrik nggak bilangin ke Mbak aku sudah pulang tadi malam?”
Itulah
cara Sarah memanggil Ervin, kakak laki-laki tercintanya itu. Terkadang
melihat
cara Ervin dan Sarah berinteraksi, mengingatkanku akan kedekatanku
dengan
kakakku. Mungkin itu sebabnya aku selalu merasa nyaman di sekitar orangorang
ini,
yang menurut orang lain mungkin agak-agak gila.
“Ervin
bilang kamu baru pulang minggu depan.”
“Dasar
tuh anak, suka lupaan gitu. Tapi maklum sih, kelihatannya dia sibuk
banget.”
“Biasalah
Ervin, kalau nggak soal kerjaan, dia pasti sibuk urusan perempuan,”
jawabku
enteng.
Sarah
tertawa menggelegar. “Tuh kan, aku sudah bilang ke Ervin berkali-kali
Mbak
ini jago ngelawak, tapi dia nggak percaya.”
Aku
ikut tertawa mendengar komentar Sarah.
“Omong-omong
selamat ya sudah lulus, heboh deh. Welcome
to the real world,
lady,”
ujarku sambil menepuk bahu Sarah. “Jadi kamu pulang for good atau
ada
rencana
mau balik ke Toronto lagi?” lanjutku.
“For good.”
Ketika dia mengatakan ini aku lihat bahwa Sarah mengatakannya
dengan
nada agak tersipu-sipu, kemudian mukanya mulai memerah.
“Lho,
lho, kok jadi mirip kepiting rebus gini sih?” ledekku.
“Pacarku
mau pulang ke Jakarta bulan depan dan rencananya mau ngelamar
aku
dalam waktu dekat ini,” lapor Sarah.
Aku
ternganga. “Congratulations,” ucapku setelah shock-ku sudah agak
berkurang.
Satu orang lagi di dalam hidupku yang akan melepaskan masa
lajangnya.
“Teman
kuliah?” tanyaku.
Sarah
mengangguk. Aku kemudian teringat akan Ina yang sedang berdiri di
sampingku
dan mendengarkan dengan sabar percakapanku dengan Sarah. Buruburu
aku
memperkenalkan mereka.
“Mbak
mau ngapain di sini?” tanya Sarah.
“Sebenarnya
sih kita mau nonton, kamu mau ikutan?” tanyaku.
“Nggak
deh, aku masih perlu beli beberapa barang, soalnya bentar lagi dijemput
sama
Ervin. Kalau aku masih belum kelar shopping, dia bisa marah-marah,” jelas
Sarah.
Aku
tertawa, karena tidak bisa membayangkan Ervin memarahi Sarah. Ervin
terlalu
cinta pada adik satu-satunya ini dan tidak bakal berani menanggung risiko
Sarah
jadi ngambek karena ditegur olehnya.
Kami
lalu berpisah dan Sarah berjanji akan meneleponku kalau dia sudah selesai
unpack barang-barangnya.
Kini giliran Ina yang mulai bertanya-tanya mengenai
Ervin.
Aku hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditembakkan bagaikan
oleh
bazoka itu dengan cara menghindar.
Ina
memang telah memenuhi tugasnya untuk membantuku melupakan Baron
untuk
beberapa jam. Tapi ternyata kebingunganku tentang Baron muncul kembali
setelah
aku pulang ke rumah malam itu hingga tiga hari berikutnya. Akhirnya hari
Sabtu
pagi aku memutuskan untuk mengatasi kebingunganku dengan melakukan
suatu
tindakan. Kalau tindakan itu nantinya salah, well... aku harus menanggung
akibatnya.
Melalui e-mail aku memberitahu Baron bahwa aku tidak bisa
menemuinya
hari itu.
Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 10
No comments:
Post a Comment