8.
SINGAPURA
HARI
Senin sore aku dan Ina sedang menunggu waktu boarding
penerbangan
Singapore
Airlines yang akan membawa kami kembali ke Jakarta. Aku sibuk
memastikan
bahwa paspor dan boarding pass-ku sudah siap. Sedangkan Ina sibuk
menelepon
orangtuanya dari HP-nya. Setelah puas dengan segala sesuatunya, aku
kembali
duduk tegak dan mulai memperhatikan ruang tunggu Bandara Changi
yang
terbentang luas di hadapanku. Tanpa disangka-sangka aku melihat seseorang
yang
sudah sejak lama ingin kutemui.
“Baron,”
gumamku.
Saat
itu Baron pun melihatku dan aku bisa melihat dia sama terkejutnya
sepertiku.
Aku
berdiri dari kursi karena kulihat Baron berjalan perlahan-lahan ke arahku.
“Didi,”
ucap Baron setelah dia berada beberapa langkah di hadapanku. Dari
nada
suaranyam, Baron seakan-akan menanyakannya padaku, tapi aku rasa dia
hanya
menggumamkan namaku pada dirinya sendiri.
Baron
tidak berubah banyak, wajahnya yang dulu sangat mulus tanpa jerawat
masih
sama meskipun tubuhnya yang dulu tinggi besar kini terlihat lebih gempal
dan
lebih kekar. Satu-satunya perbedaan yang dapat kulihat adalah rambut ikalnya
yang
dulu dibiarkan berantakan sekarang dipotong pendek dan di-gel dengan
rapi.
Baron
yang sedang berdiri kurang dari satu meter di hadapanku adalah Baron yang
aku
ingat dari lima belas tahun yang lalu.
Tanpa
bisa mengontrol diriku, tiba-tiba aku bergerak untuk memeluknya. Dan
untuk
pertama kali aku dapat merasakan sengatan listrik yang kurasakan ketika
Ervin
menyentuhku hampir dua tahun yang lalu tapi dengan dosis yang lebih tinggi
sehingga
membuat lututku lemas. Aku dapat merasakan bahwa seluruh tubuh
Baron
pun menegang. Tapi aku yakin bahw aitu bukan disebabkan oleh sengatan
listrik
yang kurasakan, tapi lebih karena kaget. Aku masih dapat mencium aroma
Baron
yang dulu pula, aromanya yang khas, yang merupakan paduan pewangi
pakaian
dengan sedikit wangi parfum yang hingga kini tidak bisa kutebak brandnya.
Setelah
beberapa saat, aku dapat merasakan tubuh Baron mulai relaks dan
membalas
pelukanku, kemudian kami pun bergerak untuk memisahkan diri dari
pelukan
itu.
“Apa
kabar?” tanyaku dengan nada tenang yang dipaksakan. Bila kakakku ada
bersamaku,
dia pasi tahu bahwa meskipun nada suaraku itu terdengar ceria, tapi
sebenarnya
menyiratkan ketegangan di dalam hatiku.
Baron
mencium pipiku, dan aku membalasnya.
“Baik,”
jawabnya.
Aku
hanya bisa tersenyum atas jawabannya. “Mau ke mana?” tanyaku setelah
aku
sadar kembali dari shock-ku.
“Oh,
pulang ke Jakarta, baur ada urusan di sini buat beberapa hari.”
“Kerjaan?”
“Iya,
aku sekarang Stock Trader, jadi biasa, suka bolak-balik ke luar negeri.”
“Oh...
seru nggak jadi Stock Trader?” Setelah mengucapkan pertanyaan itu aku
rasanya
mau menendang diriku sendiri. Pertanyaan bego apa pula itu? Memangnya
main
Counter Strike, seru? Dasar blo‟on.
Baron
mengangguk dan menggerakkan tangan yang menandakan bahwa
pekerjaan
itu hanya so-so. Ketika dia melakukannya aku melihat bahwa di jari manis
tangan
kanannya ada sebentuk cincin emas yang jelas-jelas terlihat seperti cincin
kawin.
Aku berusaha keras tidak memfokuskan tatapanku pada cincin itu, tapi
ternyata
tidak berhasil.
“Omong-omong,
Kal cerita ketemu kamu di bandara waktu itu,” lanjut Baron.
“Iya.
Selamat ya buat tunangannya, aku juga ketemu Olivia.”
“Iya
makasih. Oli cerita ketemu kamu.”
“So, kapan dong D-day-nya?”
Aku berusaha keras untuk tidak terdengar jealous,
tapi
tidak berhasil.
“Masih
belum diputusin, masih mikir-mikir.” Ketika mendengar kata-kata itu,
entah
kenapa tapi hatiku terasa agak lega, karena sekarang aku bisa yakin bahwa
mereka
belum menikah.
Tiba-tiba
ground crew Singapore Airlines mengumumkan bahwa pesawatku
sudah
siap boarding.
“Di,
boarding,” panggil Ina.
Aku
mengangguk ke arah Ina dan menghadap kembali ke Baron. “I think that’s
my call.”
Rupanya
ketika aku sedang memandang Ina, Baron mengeluarkan kartu nama
dari
dompetnya. Ketika aku menghadap kembali padanya, dia menyodorkan kartu
itu
padaku. “Di, ini kartu nama aku. Kita harus ngobrol lebih lama lagi ya. Telepon
aku
kapan-kapan, mungkin kita bisa pergi makan siang bareng.”
Aku
mengambil kartu namanya dan merogoh tasku, mencari kartu namaku.
Setelah
menemukannya, buru-buru kuberikan padanya.
“I’ll call you,”
ucpaku, kemudian melangkah untuk memeluk Baron. Bukannya
ganjen,
tapi aku berusaha keras untuk mengenang detik-detik ini, karena aku tahu
bahwa
bisa jadi ini yang terakhir.
Baron
bergerak untuk memelukku. Kekakuan yang terasa beberapa menit yang
lalu
kini sudah hilang dan aliran listrik yang kurasakan sebelumnya sudah agak
berkurang.
Setelah memberikan ciuman di pipi masing-masing untuk terakhir
kalinya,
aku pun beranjak masuk ke dalam belalai menuju pesawatku. Ina yang
menungguku
di samping pintu masuk belalai hanya menatap bingung melihat
wajahku
yang pucat. Aku merasa limbung. Tapi aku memberikan tanda padanya
untuk
masuk ke pesawat secepat mungkin.
Aku
berusaha keras untuk tidak berbalik untuk melihat apakah Baron masih
menungguku
di luar. Alasan pertama adalah karena aku tidak mau melihatnya di
sana,
berdiri menunggu hingga aku hilang dari pandangannya, dan yang kedua,
aku
takut bahwa aku tidak akan menemukannya di sana padahal dalam hati aku
betul-betul
berharap dia menungguku. I am so
confused.
Beberapa
menit setelah pesawat kami lepas landas, Ina mencoba mencari tahu
siapakah
laki-laki yang tadi ngobrol denganku. Pertama-tama aku memutuskan
untuk
berdiam diri tanpa mengatakan apa-apa, tapi akhirnya aku menyerah. Aku
memang
pernah bercerita kepada Ina tentang Baron, tapi itu hanya sekilas. Ketika
aku
menyebutkan nama Baron kepadanya, mata Ina langsung melebar. Untuk
pertama
kalinya aku bertanya-tanya apa Ina tahu lebih banyak mengenai
perasaanku
terhadap Baron daripada yang kubiarkan dilihat semua orang di dunia
ini.
Aku
harus lebih berhati-hati lagi dengan Ina, ucapku dalam hati. Kalau Ina
sampai
tahu tentang perasaanku terhadap Baron, maka sudah pasti kakakku pun
tahu
dan itu berarti aku akan diceramahi olehnya. Kakakku adalah orang paling
praktis
yang kukenal, sehingga kalau menurutnya suatu hubungan tidak akan
berakhir
dengan baik, maka dia tidak akan melanjutkan hubungan itu. Kalau
kakakku
tahu tentang Baron dan statusnya yang akan segera menikah, maka dia
akan
memintaku untuk melupakan Baron secepat mungkin. Sedangkan aku masih
belum
bisa melepaskan lelaki itu. Aku masih perlu waktu.
*
* *
Tiga
hari setelah kepulanganku dari Singapura, aku mencoba melupakan
pertemuanku
dengan Baron, tapi entah kenapa kepalaku menolak ide itu. Alhasil
aku
mengalami kesengsaraan hati yang tidak terobati. Selama ini aku sudah cukup
mengenal
diriku sendiri bahwa kalau mulai merasa melankolis, aku biasanya
langsung
menumpahkan perhatianku pada hal-hal lain yang bisa membuatku lupa
dengan
persoalan sebenarnya. Pada saat ini, karena satu-satunya hal yang bisa
dijadikan
pelarian adalah pekerjaanku, aku akhirnya bekerja seperti orang
kesetanan.
Aku adalah orang pertama yang tiba di kantor dan orang terakhir yang
meninggalkan
kantor. Bosku yang melihatku jadi super-rajin dan tidak bisa diam,
yakin
kalau aku mungkin lupa minum Ritalin, obat yang biasanya diminum oleh
orang-orang
yang memiliki ADHD alias Attention
Deficit and Hyperactive Disorder.
Ternyata
kolega-kolegaku juga merasa bahwa aku hidup di kantor dan tidak pernah
pulang.
Malam
itu, aku menimbang-nimbang apakah aku harus menelepon Baron dan
menyelesaikan
permasalahan yang sudah berlarut-larut ini. Aku memegang kartu
namanya,
Thomas Baron Iskandarsyah. Nama yang selama ini ada di kepalaku,
selalu
ada di kepalaku dan tidak mau pergi. Aku tertawa sendiri, menertawakan
nasibku
yang menyedihkan ini.
Aku
berpikir bahwa tiga hari setelah pertemuan kami adalah waktu yang cukup
untuk
menghubungi Baron sekadar untuk basa-basi. Tentunya apabila Ina dan
Mbak
Tita tahu aku melakukan ini, nasibku tidak akan jauh dari Joan of Arc. Aku
memegang
kartu nama itu di tangan kiriku dan HP di tangan kananku. Setelah
mengumpulkan
cukup keberanian aku pun menekan nomor HP Baron. Hatiku
bagaikan
sedang berlari di atas treadmill dengan kecepatan 100 kilometer per jam,
menunggu
hingga terdengar nada sambung dari ujung saluran telepon. Aku hampir
saja
melepaskan Hp dari tanganku yang terasa agak basah ketika terdengar nada
sambung.
Setelah sekitar enam deringan dan tidak ada yang menjawab, aku sudah
siap
untuk menutup teleponku, tetapi tiba-tiba dari ujung telepon itu terdengar
suaranya
berkata, “Halo.”
Ketika
mendengar suara itu aku yakin jantungku berhenti selama satu menit,
meskipun
mungkin tidak selama itu. Otakku bagaikan sedang dimasukkan ke mesin
cuci,
berputar dan berputar, mencoba untuk memutuskan apakah aku cukup bernai
untuk
mengatakan bahwa itu aku. Kemudian kudengar Baron berkata lagi, kini
dengan
nada lebih serius.
“Halo.”
Secercah
keberanian terasa di hati kecilku, dan aku melakukan hal yang aku
tidak
pernah lakukan sebelumnya, aku menekan tombol END
di HP-ku dan
hilanglah
sambungan telepon itu. Kubiarkan HP meluncur dari tanganku ke atas
bantal
dan menggeram keras. Tiba-tiba HP-ku berbunyi. Hatiku bagaikan beku, aku
betul-betul
bego menelepon Baron ke HP-nya. Tentu saja dia bisa melihat nomor
yang
menelepon dan menelepon balik. Sesaat perasaan panik menghujaniku.
Ya
ampun, dia bisa lihat nomor HP gue, dia tahu itu gue, Ampun Adriiii... bego
banget
sih elo!!!
Aku
duduk tegak di tempat tidurku. Memandangi HP-ku yang masih berdering
seolah
benda itu mengandung radioaktif. Beberapa saat kemudian HP-ku berhenti
berbunyi
dan aku kembali menenggelamkan tubuhku di antara bedcover dan
bantalbantal
yang
menutupi tempat tidurku. Setelah merasa cukup tenang aku
mengangkat
HP-ku untuk melihat nomor telepon yang missed
call. Aku langsung
tahu
itu nomor Baron. Aku juga melihat bahwa ada voice
mail di mailbox-ku.
“Halo,
ini Thomas Iskandarsyah, barusan ada yang menghubungi saya dari
nomor
ini tapi koneksinya sepertinya kurang bagus dan putus. Kalau ini memang
emergency,
silakan hubungi saya lagi di nomor ini atau hubungi saya di rumah,
nomornya...”
Kemudian suara Baron mengulangi pesan itu dalam bahasa Inggris.
Aku
berpikir, lho kok dia nggak tahu itu gue ya? Lalu aku teringat bahwa
nomor
HP-ku memang tidak tertera di kartu namaku, hanya alamat, e-mail, nomor
telepon,
dan nomor faks kantor. Ketika sadar bahwa aku sudah ketakutan tanpa
sebab,
aku pun terbahak-bahak, tertawa sendiri di kamarku. Ibuku yang mendengar
tawaku
yang menggelegar sempat melongokkan kepalanya di pintu untuk
menanyakan
apa yang lucu. Aku hanya mengatakan padanya bahw aada sesuatu
yang
lucu di buku yang sedang kubaca. Aku memandang-mandangi kartu nama
Baron
lebih lama lagi, menimbang-nimbang apakah aku akan menyimpannya. Aku
takut
kalau aku memutuskan untuk menyimpan kartu nama itu suatu saat aku bisa
jadi
gila dan iseng-iseng meneleponnya lagi. Akhirnya aku menyimpan kartu nama
itu
di sebuah kotak dan meletakkannya di dalam laci mejaku yang paling bawah.
Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 9
No comments:
Post a Comment