Sunday, September 6, 2015

Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 8

8. SINGAPURA

HARI Senin sore aku dan Ina sedang menunggu waktu boarding penerbangan
Singapore Airlines yang akan membawa kami kembali ke Jakarta. Aku sibuk
memastikan bahwa paspor dan boarding pass-ku sudah siap. Sedangkan Ina sibuk
menelepon orangtuanya dari HP-nya. Setelah puas dengan segala sesuatunya, aku
kembali duduk tegak dan mulai memperhatikan ruang tunggu Bandara Changi
yang terbentang luas di hadapanku. Tanpa disangka-sangka aku melihat seseorang
yang sudah sejak lama ingin kutemui.
“Baron,” gumamku.
Saat itu Baron pun melihatku dan aku bisa melihat dia sama terkejutnya
sepertiku.
Aku berdiri dari kursi karena kulihat Baron berjalan perlahan-lahan ke arahku.
“Didi,” ucap Baron setelah dia berada beberapa langkah di hadapanku. Dari
nada suaranyam, Baron seakan-akan menanyakannya padaku, tapi aku rasa dia
hanya menggumamkan namaku pada dirinya sendiri.
Baron tidak berubah banyak, wajahnya yang dulu sangat mulus tanpa jerawat
masih sama meskipun tubuhnya yang dulu tinggi besar kini terlihat lebih gempal
dan lebih kekar. Satu-satunya perbedaan yang dapat kulihat adalah rambut ikalnya
yang dulu dibiarkan berantakan sekarang dipotong pendek dan di-gel dengan rapi.
Baron yang sedang berdiri kurang dari satu meter di hadapanku adalah Baron yang
aku ingat dari lima belas tahun yang lalu.
Tanpa bisa mengontrol diriku, tiba-tiba aku bergerak untuk memeluknya. Dan
untuk pertama kali aku dapat merasakan sengatan listrik yang kurasakan ketika
Ervin menyentuhku hampir dua tahun yang lalu tapi dengan dosis yang lebih tinggi
sehingga membuat lututku lemas. Aku dapat merasakan bahwa seluruh tubuh
Baron pun menegang. Tapi aku yakin bahw aitu bukan disebabkan oleh sengatan
listrik yang kurasakan, tapi lebih karena kaget. Aku masih dapat mencium aroma
Baron yang dulu pula, aromanya yang khas, yang merupakan paduan pewangi
pakaian dengan sedikit wangi parfum yang hingga kini tidak bisa kutebak brandnya.
Setelah beberapa saat, aku dapat merasakan tubuh Baron mulai relaks dan
membalas pelukanku, kemudian kami pun bergerak untuk memisahkan diri dari
pelukan itu.
“Apa kabar?” tanyaku dengan nada tenang yang dipaksakan. Bila kakakku ada
bersamaku, dia pasi tahu bahwa meskipun nada suaraku itu terdengar ceria, tapi
sebenarnya menyiratkan ketegangan di dalam hatiku.
Baron mencium pipiku, dan aku membalasnya.
“Baik,” jawabnya.
Aku hanya bisa tersenyum atas jawabannya. “Mau ke mana?” tanyaku setelah
aku sadar kembali dari shock-ku.
“Oh, pulang ke Jakarta, baur ada urusan di sini buat beberapa hari.”
“Kerjaan?”
“Iya, aku sekarang Stock Trader, jadi biasa, suka bolak-balik ke luar negeri.”
“Oh... seru nggak jadi Stock Trader?” Setelah mengucapkan pertanyaan itu aku
rasanya mau menendang diriku sendiri. Pertanyaan bego apa pula itu? Memangnya
main Counter Strike, seru? Dasar bloon.
Baron mengangguk dan menggerakkan tangan yang menandakan bahwa
pekerjaan itu hanya so-so. Ketika dia melakukannya aku melihat bahwa di jari manis
tangan kanannya ada sebentuk cincin emas yang jelas-jelas terlihat seperti cincin
kawin. Aku berusaha keras tidak memfokuskan tatapanku pada cincin itu, tapi
ternyata tidak berhasil.
“Omong-omong, Kal cerita ketemu kamu di bandara waktu itu,” lanjut Baron.
“Iya. Selamat ya buat tunangannya, aku juga ketemu Olivia.”
“Iya makasih. Oli cerita ketemu kamu.”
So, kapan dong D-day-nya?” Aku berusaha keras untuk tidak terdengar jealous,
tapi tidak berhasil.
“Masih belum diputusin, masih mikir-mikir.” Ketika mendengar kata-kata itu,
entah kenapa tapi hatiku terasa agak lega, karena sekarang aku bisa yakin bahwa
mereka belum menikah.
Tiba-tiba ground crew Singapore Airlines mengumumkan bahwa pesawatku
sudah siap boarding.
“Di, boarding,” panggil Ina.
Aku mengangguk ke arah Ina dan menghadap kembali ke Baron. “I think that’s
my call.”
Rupanya ketika aku sedang memandang Ina, Baron mengeluarkan kartu nama
dari dompetnya. Ketika aku menghadap kembali padanya, dia menyodorkan kartu
itu padaku. “Di, ini kartu nama aku. Kita harus ngobrol lebih lama lagi ya. Telepon
aku kapan-kapan, mungkin kita bisa pergi makan siang bareng.”
Aku mengambil kartu namanya dan merogoh tasku, mencari kartu namaku.
Setelah menemukannya, buru-buru kuberikan padanya.
I’ll call you,” ucpaku, kemudian melangkah untuk memeluk Baron. Bukannya
ganjen, tapi aku berusaha keras untuk mengenang detik-detik ini, karena aku tahu
bahwa bisa jadi ini yang terakhir.
Baron bergerak untuk memelukku. Kekakuan yang terasa beberapa menit yang
lalu kini sudah hilang dan aliran listrik yang kurasakan sebelumnya sudah agak
berkurang. Setelah memberikan ciuman di pipi masing-masing untuk terakhir
kalinya, aku pun beranjak masuk ke dalam belalai menuju pesawatku. Ina yang
menungguku di samping pintu masuk belalai hanya menatap bingung melihat
wajahku yang pucat. Aku merasa limbung. Tapi aku memberikan tanda padanya
untuk masuk ke pesawat secepat mungkin.
Aku berusaha keras untuk tidak berbalik untuk melihat apakah Baron masih
menungguku di luar. Alasan pertama adalah karena aku tidak mau melihatnya di
sana, berdiri menunggu hingga aku hilang dari pandangannya, dan yang kedua,
aku takut bahwa aku tidak akan menemukannya di sana padahal dalam hati aku
betul-betul berharap dia menungguku. I am so confused.
Beberapa menit setelah pesawat kami lepas landas, Ina mencoba mencari tahu
siapakah laki-laki yang tadi ngobrol denganku. Pertama-tama aku memutuskan
untuk berdiam diri tanpa mengatakan apa-apa, tapi akhirnya aku menyerah. Aku
memang pernah bercerita kepada Ina tentang Baron, tapi itu hanya sekilas. Ketika
aku menyebutkan nama Baron kepadanya, mata Ina langsung melebar. Untuk
pertama kalinya aku bertanya-tanya apa Ina tahu lebih banyak mengenai
perasaanku terhadap Baron daripada yang kubiarkan dilihat semua orang di dunia
ini.
Aku harus lebih berhati-hati lagi dengan Ina, ucapku dalam hati. Kalau Ina
sampai tahu tentang perasaanku terhadap Baron, maka sudah pasti kakakku pun
tahu dan itu berarti aku akan diceramahi olehnya. Kakakku adalah orang paling
praktis yang kukenal, sehingga kalau menurutnya suatu hubungan tidak akan
berakhir dengan baik, maka dia tidak akan melanjutkan hubungan itu. Kalau
kakakku tahu tentang Baron dan statusnya yang akan segera menikah, maka dia
akan memintaku untuk melupakan Baron secepat mungkin. Sedangkan aku masih
belum bisa melepaskan lelaki itu. Aku masih perlu waktu.
* * *
Tiga hari setelah kepulanganku dari Singapura, aku mencoba melupakan
pertemuanku dengan Baron, tapi entah kenapa kepalaku menolak ide itu. Alhasil
aku mengalami kesengsaraan hati yang tidak terobati. Selama ini aku sudah cukup
mengenal diriku sendiri bahwa kalau mulai merasa melankolis, aku biasanya
langsung menumpahkan perhatianku pada hal-hal lain yang bisa membuatku lupa
dengan persoalan sebenarnya. Pada saat ini, karena satu-satunya hal yang bisa
dijadikan pelarian adalah pekerjaanku, aku akhirnya bekerja seperti orang
kesetanan. Aku adalah orang pertama yang tiba di kantor dan orang terakhir yang
meninggalkan kantor. Bosku yang melihatku jadi super-rajin dan tidak bisa diam,
yakin kalau aku mungkin lupa minum Ritalin, obat yang biasanya diminum oleh
orang-orang yang memiliki ADHD alias Attention Deficit and Hyperactive Disorder.
Ternyata kolega-kolegaku juga merasa bahwa aku hidup di kantor dan tidak pernah
pulang.
Malam itu, aku menimbang-nimbang apakah aku harus menelepon Baron dan
menyelesaikan permasalahan yang sudah berlarut-larut ini. Aku memegang kartu
namanya, Thomas Baron Iskandarsyah. Nama yang selama ini ada di kepalaku,
selalu ada di kepalaku dan tidak mau pergi. Aku tertawa sendiri, menertawakan
nasibku yang menyedihkan ini.
Aku berpikir bahwa tiga hari setelah pertemuan kami adalah waktu yang cukup
untuk menghubungi Baron sekadar untuk basa-basi. Tentunya apabila Ina dan
Mbak Tita tahu aku melakukan ini, nasibku tidak akan jauh dari Joan of Arc. Aku
memegang kartu nama itu di tangan kiriku dan HP di tangan kananku. Setelah
mengumpulkan cukup keberanian aku pun menekan nomor HP Baron. Hatiku
bagaikan sedang berlari di atas treadmill dengan kecepatan 100 kilometer per jam,
menunggu hingga terdengar nada sambung dari ujung saluran telepon. Aku hampir
saja melepaskan Hp dari tanganku yang terasa agak basah ketika terdengar nada
sambung. Setelah sekitar enam deringan dan tidak ada yang menjawab, aku sudah
siap untuk menutup teleponku, tetapi tiba-tiba dari ujung telepon itu terdengar
suaranya berkata, “Halo.”
Ketika mendengar suara itu aku yakin jantungku berhenti selama satu menit,
meskipun mungkin tidak selama itu. Otakku bagaikan sedang dimasukkan ke mesin
cuci, berputar dan berputar, mencoba untuk memutuskan apakah aku cukup bernai
untuk mengatakan bahwa itu aku. Kemudian kudengar Baron berkata lagi, kini
dengan nada lebih serius.
“Halo.”
Secercah keberanian terasa di hati kecilku, dan aku melakukan hal yang aku
tidak pernah lakukan sebelumnya, aku menekan tombol END di HP-ku dan
hilanglah sambungan telepon itu. Kubiarkan HP meluncur dari tanganku ke atas
bantal dan menggeram keras. Tiba-tiba HP-ku berbunyi. Hatiku bagaikan beku, aku
betul-betul bego menelepon Baron ke HP-nya. Tentu saja dia bisa melihat nomor
yang menelepon dan menelepon balik. Sesaat perasaan panik menghujaniku.
Ya ampun, dia bisa lihat nomor HP gue, dia tahu itu gue, Ampun Adriiii... bego
banget sih elo!!!
Aku duduk tegak di tempat tidurku. Memandangi HP-ku yang masih berdering
seolah benda itu mengandung radioaktif. Beberapa saat kemudian HP-ku berhenti
berbunyi dan aku kembali menenggelamkan tubuhku di antara bedcover dan bantalbantal
yang menutupi tempat tidurku. Setelah merasa cukup tenang aku
mengangkat HP-ku untuk melihat nomor telepon yang missed call. Aku langsung
tahu itu nomor Baron. Aku juga melihat bahwa ada voice mail di mailbox-ku.
“Halo, ini Thomas Iskandarsyah, barusan ada yang menghubungi saya dari
nomor ini tapi koneksinya sepertinya kurang bagus dan putus. Kalau ini memang
emergency, silakan hubungi saya lagi di nomor ini atau hubungi saya di rumah,
nomornya...” Kemudian suara Baron mengulangi pesan itu dalam bahasa Inggris.
Aku berpikir, lho kok dia nggak tahu itu gue ya? Lalu aku teringat bahwa
nomor HP-ku memang tidak tertera di kartu namaku, hanya alamat, e-mail, nomor
telepon, dan nomor faks kantor. Ketika sadar bahwa aku sudah ketakutan tanpa
sebab, aku pun terbahak-bahak, tertawa sendiri di kamarku. Ibuku yang mendengar
tawaku yang menggelegar sempat melongokkan kepalanya di pintu untuk
menanyakan apa yang lucu. Aku hanya mengatakan padanya bahw aada sesuatu
yang lucu di buku yang sedang kubaca. Aku memandang-mandangi kartu nama
Baron lebih lama lagi, menimbang-nimbang apakah aku akan menyimpannya. Aku
takut kalau aku memutuskan untuk menyimpan kartu nama itu suatu saat aku bisa
jadi gila dan iseng-iseng meneleponnya lagi. Akhirnya aku menyimpan kartu nama

itu di sebuah kotak dan meletakkannya di dalam laci mejaku yang paling bawah.


Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 9

No comments:

Post a Comment