3.
SEORANG TEMAN
AKU
sudah bersiap-siap check in di konter Cathay Pacific bersama enam orang
lainnya
pada pukul 12.30, hari keberangkatan tim Good Life untuk training di
Amerika,
ketika mendapati Ervin sedang menuju ke arahku. Melihatnya lagi
membuatku
sedikit gelisah. Aku tidak mungkin bisa berbicara seperti orang normal
dengannya,
apalagi dengan gayanya hari ini yang bahkan lebih seksi daripada
seminggu
yang lalu. Hari ini dia mengenakan jins berwarna gelap dan kaus putih
yang
dilapisi sweatshirt bertuliskan Texas A&M.
“Hei,”
ucapnya ketika sudah berdiri di sampingku.
Aku
membalas sapaannya. Ervin hanya membawa sebuah koper hitam yang
agak
kecil.
“Omong-omong,
thanks buat minggu lalu. Oh iya, gue Adri.” Aku mengulurkan
tangan
untuk berkenalan dengannya.
Ervin
membalas uluran tanganku sambil tersenyum dan berkata, “I know, gue
Ervin.”
“I know,” ucapku. Aku menelan ludah sebelum membalas senyumannya. Aku
hampir
lupa dengan senyum mematikannya itu. Aku sempat kaget bahwa dia masih
ingat
namaku. Tapi aku buru-buru menenangkan diriku yang mulai merasa sedikit
ge-er.
Proses
check-in berjalan cukup lancar, sehingga kami masih memiliki banyak
waktu
untuk menunggu waktu boarding di ruang tunggu. Aku sedang sibuk
membaca
Henry James ketika mendengar Ervin bertanya, “Mau permen?” sambil
menyodorkan
sepotong Doublemint yang masih dibungkus kertas metalnya
kepadaku.
Aku
hanya tersenyum, mengambil satu potong dan memasukkannya ke tasku.
“Kok
nggak dimakan?” tanya Ervin ingin tahu.
Aku
memandangnya beberapa detik sebelum menjawab, “Gue baru minum
Antimo,
takut bermasalah sama perut gue kalau dicampur.”
Ervin
mengangguk dan aku pun kembali pada bacaanku. Tapi baru aku
membaca
satu paragraf, suara Ervin melayang kembali kepadaku.
“Lo
suka kena motion sickness?”
Aku
menarik napas dalam-dalam sebelum mengangguk.
“Khusus
untuk pesawat apa kapal laut juga?” tanyanya lagi. Kini matanya
betul-betul
memandangku. Aku yang kaget dengan tatapan matanya merasa sedikit
terkesima.
Untung aku sedang duduk, kalau berdiri kemungkinan besar aku sudah
jatuh
tersungkur ke lantai.
“Paling
parah kapal laut, terutama ferry. Kalau pesawat sudah agak lumayan.
Biasanya
gue berusaha membayangkan bahwa gue sedang ada di mobil dengan
kecepatan
tinggi. Kalau mobil biasanya nggak masalah, selama jalannya nggak
berkelok-kelok.
Tapi gue nggak pernah ada masalah kalau naik kereta api,” jelasku
panjang-lebar.
Ervin
tersenyum simpul. Dan untuk beberapa detik aku tidak bisa bernapas.
Aku
bertaruh pada diriku sendiri bahwa senyuman Ervin tidak akan membawa efek
samping
kepadaku setelah ini. Untung kemudian Ervin mengalihkan perhatiannya
untuk
melihat-lihat area ruang tunggu. Aku kembali membuka novelku pada
halaman
yang kubatasi dengan telunjukku. Tapi aku tahu Ervin akan melayangkan
pertanyaan
selanjutnya tidak lama lagi, jadi aku berusaha secepat mungkin
membaca
satu paragraf yang menutup Bab 4.
“Lo
suka baca novel?” tanya Ervin lagi.
Tuh
kan...
Aku
mengangguk tanpa mengangkat wajah dari buku.
“Klasik?”
Aku
selesai membaca paragraf itu dan mendongak untuk menatap wajahnya.
Aku
mengangguk lagi, tapi sebelum sempat menjelaskan alasanku, seorang ground
crew Cathay mengumumkan bahwa penumpang first dan business class dipersilakan
masuk
ke kabin. Aku segera membereskan barang-barangku dan berjalan menuju
belalai.
Sudah bertahun-tahun aku menggunakan pesawat sebagai metode
transportasi,
tapi tetap saja aku masih merasa sedikit... tidak nyaman.
Ervin
meremas bahu kananku dan berkata, “Biar gue duduk di sebelah lo. Gue
jagain
lo biar lo nggak mabok udara.”
Aku
hanya bisa memandangnya selama beberapa detik dengan mulut terbuka.
Ketika
tangan Ervin menyentuh bahuku, aku dapat merasakan sengatan listrik yang
membuat
jantungku berhenti berdetak.
Adri,
please deh. Jangan ge-er. Dia cuma mau mastiin elo baik-baik saja, aku
mengomeli
diriku sendiri.
Ervin
yang sepertinya sadar bahwa dia telah membuatku merasa tidak nyaman
menarik
tangannya dari bahuku.
Aku
tertawa lemah untuk menutupi suaraku yang terdengar tidak stabil. “Pas
kita
sampai di Hong Kong, lo pasti akan bertanya-tanya sama diri lo sendiri kenapa
lo
mau duduk di sebelah gue,” candaku.
Untungnya
Ervin sepertinya berpikir reaksiku disebabkan rasa “takut terbang”
bukannya
karena rasa “jantungku mau copot karena laki-laki paling ganteng yang
pernah
kulihat selama setahun belakangan ini menyentuhku”, sehingga aku bisa
mulai
mengatur pernapasanku agar kembali normal.
Aku
kebetulan dapat tempat duduk paling depan di sebelah jendela, dan
seorang
ibu yang sudah beranak dua dari tim kami duduk di sebelahku. Tetapi
kemudian
Ervin membujuknya untuk bertukar tempat duduk dengannya agar dia
bisa
duduk di sebelahku. Ibu itu tentunya tidak bisa menolak Ervin yang sepertinya
sudah
bisa merayu wanita semenjak dia masih ada di dalam kandungan. Selama
tiga
puluh menit belakangan ini aku memang bertanya-tanya pada diriku sendiri,
mengapa
laki-laki yang seminggu lalu sepertinya jutek padaku ini tiba-tiba bisa
berubah
jadi super-ramah? Aneh.
Ketika
pesawat kami siap lepas landas Ervin bertanya padaku, “Mau pegang
tangan
gue?”
Aku
menggeleng. Biasanya aku cukup berani untuk melewati seluruh
penerbangan
sendiri, selama tidak ada turbulence. Aku sangat beruntung karena
sempat
mengkonfirmasi Yahoo sebelum berangkat dari rumah, hari itu kami akan
terbang
dengan cuaca cerah menuju Hong Kong. Tetapi itu bukan alasan utama
mengapa
aku tidak mau memegang tangan Ervin. Membayangkan tangannya
menyentuh
bagian tubuhku, walaupun hanya tanganku, sudah cukup membuatku
bergidik
memikirkan sengatan listrik yang akan menyerangku. Terutama karena
aku
tahu apa maksud sengatan listrik itu. Aku kayaknya mulai naksir berat pada
Ervin.
Sayangnya hal tersebut hanya dialami olehku, karena sepertinya Ervin tidak
terpengaruh
sama sekali.
Setibanya
di Hong Kong, kami harus menunggu hingga tengah malam untuk
penerbangan
selanjutnya menuju Los Angeles. Dalam penerbangan kedua itu, kami
juga
ditempatkan di kabin business class dan lagi-lagi Ervin memilih untuk duduk di
sampingku.
Aku tentunya tidak keberatan, karena selama penerbangan kami dari
Jakarta
ke Hong Kong, Ervin tidur pulas dan aku cukup bahagia menikmati
novelku.
Tapi kini sepertinya Ervin sudah merasa cukup istirahat dan
mempersiapkan
diri untuk makan malam dan menonton film. Kami duduk
berdampingan,
berdiam diri. Tetapi keheningan kami terasa nyaman. Sesekali Ervin
akan
melirik ke monitorku sehingga kepalanya berada sangat dekat dengan
wajahku
dan aku dapat mencium aroma samponya, sebelum kemudian dia kembali
ke
monitornya dan mengganti channel
untuk menonton film yang sama denganku.
Setelah
dinner malam itu dan menonton satu film lagi, aku memutuskan untuk
tidur.
Jam tanganku yang masih menunjukkan waktu Jakarta, sudah menunjukkan
pukul
tiga pagi. Aku menengok, mendapati Ervin sudah pulas di kursinya dengan
bantal
dan selimut yang mulai turun dari bahunya. Kulihat dia agak menggigil,
mungkin
karena AC kabin terlalu dingin. Aku lalu mengatur AC itu untuk tidak
mengarah
ke tubuhnya, lalu mengikuti jejaknya memejamkan mata.
Sambil
mulai terlena, aku tersenyum pada diriku sendiri. Tingkah laku Ervin
dan
wajahnya ketika sedang tidur mengingatkanku pada sosok cowok yang kukenal
lima
belas tahun yang lalu, yang namanya dimulai dengan huruf B... Ya ampun,
kayaknya
aku sudah mulai gila!!! Sejenak mataku kembali terbuka lebar. Tapi aku
segera
menenangkan diri, dan memejamkan mata lagi. Malam itu aku tidak bisa
tidur
nyenyak. Aku bermimpi tentang Baron.
Di
dalam mimpiku aku sedang berada di Miami, menikmati sinar matahari yang
menyinari
wajahku. Baron berdiri di sampingku. Wajahnya dihiasi senyumnya yang
khas.
Lalu aku mencium aroma vanila bercampur suatu aroma musky lainnya.
Aroma
yang cukup maskulin dan menyegarkan. Tiba-tiba aku mendengar ada
orang
memanggil namaku. Aku mencoba mencari arah suara itu, tapi tidak
menemukannya.
Beberapa saat kemudian aku merasakan guncangan yang cukup
dahsyat,
sepertinya Miami sedang kena gempa bumi. Lalu aku tersadar. Ternyata
guncangan
itu datang dari tangan berukuran besar milik Ervin. Aku buru-buru
memfokuskan
mataku.
“What, what?” ucapku berusaha untuk fokus. Aku tidak rela melepaskan Baron
dari
mimpiku.
“Dri,
bangun Dri, lo mau sarapan apa?” tanya Ervin sambil berusaha untuk
membawaku
ke alam sadar.
Aku
kemudian tersadar bahwa aroma vanila dan musk
yang tadi kucium masih
ada,
dan ternyata datang dari sebuah sweatshirt
yang kini berada di pangkuanku.
Aku
berpikir aroma vanila itu mungkin salah satu campuran aroma parfumku, dan
karena
masih belum fokus juga aku lalu mengenakan sweatshirt itu
sebelum berjalan
menuju
toilet untuk mencuci muka.
Setelah
mencuci muka dan bersiap-siap untuk keluar, aku mematuk diri di
depan
cermin dan sadar bahwa sweatshirt
yang kukenakan bukan milikku. Lalu aku
melihat
satu huruf A merah yang tercetak di sebelah kanan dadaku. Sadarlah aku
bahwa
aku sedang mengenakan sweatshirt Ervin yang dia kenakan ketika berangkat
kemarin
dari Jakarta. Buru-buru kurapikan rambutku yang terurai dan mengikatnya
dengan
karet di pergelangan tanganku. Kutanggalkan sweatshirt itu dan
melipatnya
dengan
rapi sebelum keluar dari toilet.
Aku
menemukan Ervin sedang menyantap Fruit-Loops dari sebuah mangkuk.
“Makasih
ya sweatshirt-nya.” Aku mengulurkan sweatshirt
itu kepada Ervin,
sambil
melangkah ke kursiku.
“Kembali,”
ucap Ervin sambil mengambil sweatshirt
itu dari tanganku. “Lo yakin
nggak
butuh lagi?”
“Yakin.
Mudah-mudahan gue tadi nggak ngilerin sweatshirt
lo,” ucapku agak
khawatir.
Ervin
hanya tersenyum dan memberikan sweatshirt
itu kepada seorang
pramugari
yang kemudian meletakkannya ke kompartemen kabin di atas kepala
kami.
Aku lalu menumpukan perhatianku pada sarapanku yang rupanya telah
dipilihkan
menjadi Fruit-Loops juga.
“Gue
pilih sereal ini buat elo. Is
it okay?”
Aku
tersenyum sambil mulai menyantap sarapanku. Sebenarnya aku kurang
suka
Fruit-Loops, aku lebih suka Kellog‟s
Frosted Flakes, tapi aku tidak tega
mengatakan
hal itu kepada Ervin yang sudah cukup perhatian dan memastikan
bahwa
sarapanku sudah tersedia.
Aku
membuka tutup jendela pesawat untuk melihat ke luar. Tetapi aku baru
saja
mengangkat tutup jendela itu sekitar lima sentimeter ketika menyadari bahwa
sinar
matahari yang sangat terang dan bisa membuatakan mataku memasuki kabin.
Kututup
kembali jendela itu dan mulai menyantap serealku perlahan-lahan.
“Lo
tadi malam nggak kedinginan?” tanyaku membuka pembicaraan setelah
selesai
sarapan.
“Lumayan,
tapi gue lihat elo lebih kedinginan lagi daripada gue, sampai
meringkuk
di kursi. Gue nggak tega.”
Kenapa
dia tidak meminta selimut dari pramugari saja buatku? Aneh, pikirku
dalam
hati.
“Oh,
padahal tadi malam AC yang ke arah gue sudah gue matiin lho,” jelasku.
“Oh
iya? Mungkin memang AC-nya yang terlalu dingin.”
Kami
kemudian tenggelam dalam percakapan lainnya, mulai dari pengalamanpengalaman
terbang
kami yang penuh dengan nightmare
hingga film.
“Film
favorit lo apa?” tanya Ervin padaku.
“Gone with the Wind, The Godfather,
dan... Lord of the Rings.”
“Kenapa
lo suka film-film itu?”
Aku
mengerutkan kening mencoba memutuskan. “Pada dasarnya karena gue
memang
suka film-film yang diadaptasi dari buku, dan biasanya gue pasti baca
bukunya
dulu sebelum nonton filmnya. Ada sih beberapa film yang gue tonton
sebelum
baca bukunya. Tapi, pada intinya gue harus tahu akhir dari cerita itu
sebelumnya.”
“Nggak
seru dong kalau gitu, nggak ada surprise-nya,” balas Ervin.
“Well, gue memang nggak suka surprises.”
Ervin
hanya geleng-geleng kepala mendengar alasanku.
“Di
antara tiga film itu, yang mana yang paling dekat sama bukunya?”
Aku
berpikir sejenak. “Kalau menurut jalan cerita, Gone with the Wind yang
paling
asli. Tapi menurut gue, Peter Jackson sukses untuk mengadaptasi Tolkien,
karena
itu mungkin satu-satunya film adaptasi yang menurut gue lebih bagus dan
lebih
bisa menvisualisasikan karakter dan kejadian-kejadian yang ada di novel
daripada
novel itu sendiri.”
Ervin
manggut-manggut sebelum berkata, “Gue sebenarnya nggak seberapa
suka
film fiksi ilmiah, tapi Lord
of the Rings harus gue akui memang bagus.”
Kami
kemudian terdiam beberapa saat ketika tiba-tiba lampu yang menandakan
bahwa
kami harus mengenakan sabuk pengaman menyala dan tidak lama
kemudian
suara kapten penerbangan kami mengatakan bahwa akan ada sedikit
turbulence selama beberapa menit ke depan dan dia meminta para penumpang
agar
kembali
ke tempat duduk masing-masing dan mengenakan sabuk pengaman. Limat
menit
kemudian aku sudah menutup mataku dan memohon kepada Tuhan agar
guncangan
itu berhenti. Aku mulai agak mual dan harus menelan ludah beberapa
kali
untuk mencegah agar tidak muntah. Untung kemudian guncangan itu berhenti
dan
aku berani membuka mata kembali. Aku baru sadar bahwa aku sedang
meremas
tangan Ervin erat-erat.
“I’m sorry,” ucapku dan melepaskan tangannya.
“Gue
ambilin air hangat buat lo,” ucapnya lalu berdiri dari kursinya dan menuju
ke
bagian belakang kabin.
Selama
dia pergi aku mencoba menarik napas perlahan-lahan untuk
menenangkan
perutku. Tak lama kemudian Ervin kembali duduk di sebelahku
dengan
segelas air hangat. Aku meminumnya perlahan-lahan, menunggu mualku
kambuh
lagi. Tapi rasa mual itu sudah pergi.
“Lo
kenapa suka The Godfather?” tanya Ervin tiba-tiba.
Aku
tersenyum, karena tahu Ervin sedang berusaha mengalihkan perhatianku
dari
rasa mual.
“Well, pertama kali gue nonton film itu karena ada keharusan untuk
salah satu
kelas
gue...”
Ervin
memotongku sebelum aku selesai berbicara, “Sociology?”
tanyanya.
“Animal behavior,” jawabku.
Ervin
memandangiku seperti aku baru saja berbicara dalam bahasa yang dia
tidak
mengerti. Aku hanya mengangkat bahu. “Menurut profesor gue, film itu
sangat
menggambarkan teori Darwin...”
“Survival of the species,” kata-kata itu keluar dari mulut Ervin sebagai suatu
pernyataan,
bukan pertanyaan.
Kini
giliranku yang memandanginya seakan-akan dia baru saja berbicara
dengan
bahasa alien. “Lo tahu tentang Darwin?” tanyaku akhirnya.
“Bukannya
semua orang tahu tentang Darwin dan teorinya?” Ervin balas
bertanya.
Benar
juga, ucapku dalam hati mencoba menenangkan rasa kaget dan
kekagumanku.
“So, buku jenis apa yang lo suka?” tanyaku mengganti topik,
mencoba
memancing
untuk mengetahui seberapa luas pengetahuan laki-laki satu ini.
“Kebanyakan
biografi,” jawabnya enteng.
“Favorit
lo siapa?”
Tanpa
berpikir panjang Ervin langsung menjawab, “Hitler.”
Aku
yakin wajahku pasti terlihat sangat bingung, karena Ervin menambahkan.
“Of course, gue tidak membenarkan aksi holocaust atau war crimes lainnya yang
terjadi
pada saat itu, tapi gue akui gue kagum dengan kemampuan Hitler
menggunakan
politik propaganda. Dan tentunya karismanya. Lo tahu nggak his last
name is not even Hitler?”
Aku
menggeleng. “Hitler itu nama ayah tirinya dan dia nggak suka sama orang
itu.
Tapi Adolf tetap menggunakan nama Hitler karena terdengar lebih komersil,”
jelas
Ervin.
“Gue
dengar dia orang Austria,” balasku.
Ervin
mengangguk. “Iya, which is odd, dia lebih Jerman daripada orang Jermannya
sendiri.”
“Gue
rasa sih dia memang rada-rada gila,” jawabku. “Lo tahu kan bahwa sekitar
sepuluh
persen dari human gnome belum bisa diketahui, dan diperkirakan bahwa
sepuluh
persen itulah yang menentukan apakah manusia itu akan jadi baik atau
jahat.”
Ervin
tersenyum mendengar penjelasanku.
Aku
hanya memandangnya bingung. Untung saja, efek senyuman Ervin mulai
agak
pudar. Setidak-tidaknya jantungku tidak lagi mengalami lonjakan tidak
teratur.
“Gue
lupa lo anak psikologi,” candanya.
Wajahku
langsung memerah.
“Aduh...
berkali-kali orang bilang ke gue, jangan sok tahu, jangan sok pintar,
tapi
susah buat gue untuk nggak mengemukakan yang gue tahu,” ucapku dengan
nada
penuh sesal dan memohon maaf. Kututupi wajahku dengan kedua telapak
tanganku.
Tanpa
kusangka-sangka Ervin malah terbahak-bahak. Beberapa kepala berputar
untuk
melihat siapa yang membuat keributan. Kalau aku tidak terlalu kaget dengan
reaksinya
mungkin aku akan berusaha untuk menurunkan volume tawanya, tapi
aku
tetap kaget untuk berbuat apa-apa.
“Nggak
apa-apa kok, setidak-tidaknya gue harus hati-hati kalau ngobrol sama
elo.
Jangan-jangan lo lebih tahu daripada gue,” balas Ervin setelah tawanya reda.
“Setidak-tidaknya
elo selalu akan lebih tahu tentang sejarah daripada gue,”
gumamku.
“Apa
lo bilang?” tanyanya.
“Nothing,” balasku.
Beberapa
jam kemudian pesawat kami mendarat di Los Angeles. Di sana kai
harus
menunggu sekitar tiga jam untuk mendapatkan penerbangan selanjutnya ke
Cincinnati
dengan Delta. Sekali lagi aku menelan Antimo untuk mempersiapkan diri
apabila
ada badai salju yang tiba-tiba melanda Pesisir Barat dan menimbulkan
turbulence di dalam penerbangan terakhir itu. Dan Ervin tidak pernah
meninggalkan
sisiku.
Setibanya
kami di Cincinnati, hari masih sangat pagi, dan karena kami sampai
pada
hari Minggu, kami tidak mendapatkan hambatan apa pun dalam perjalanan
dari
airport menuju hotel. Perwakilan Good Life yang datang menjemput adalah
dua
orang
summer intern dari Xavier University, sebuah universitas lokal kenamaan di
Cincinnati.
Mereka kelihatan cukup lelah, tapi juga bersemangat untuk menjemput
kami.
Melihat dua anak muda itu membuatku teringat pengalamanku sendiri ketika
baru
lulus S1. Masih culun tapi bersemangat sekali untuk belajar. Kedua intern itu
memperkenalkan
diri sebagai Sebastian dan Lisa, dan mereka langsung membawa
kami
naik dua van menuju Millenium Hotel di pusat kota Cincinnati. Ada sedikit
rasa
sendu yang menyentuhku ketika melihat matahari yang baru akan terbit dari
timur
dan udara yang masih cukup dingin untuk bulan Maret. Aku mengambil
napas
dalam-dalam dan mencoba menikmati saat-saat ini.
Aku
tidak memperhatikan apa yang sedang dikerjakan Ervin, tapi ternyata dia
sedang
memperhatikanku. Ketika sadar bahwa dia sedang memandangiku dengan
saksama,
aku langsung risi.
“Apa?”
tanyaku padanya.
“Nggak
apa-apa,” jawabnya cuek, tapi dia tetap memandangiku.
“Oke,
stop deh,” ucapku yang mulai gelisah.
Ervin
lalu mengalihkan perhatiannya ke luar jendela. Selama sisa perjalanan ke
hotel,
Ervin tidak menggangguku lagi.
Ketika
tiba di hotel, ternyata kami sudah dipesankan empat kamar, yang
masing-masing
diisi oleh dua orang. Setelah berbagi kamar, kami kemudian
berpisah
menuju kamar masing-masing untuk beristirahat hingga waktu makan
malam.
Ketika aku baru saja akan beranjak ke tempat tidur, tiba-tiba ada bunyi
ketukan
di pintu kamarku. Kulirik alarm
clock yang terletak di night stand yang
menunjukkan
pukul sepuluh pagi. Aku lihat teman sekamarku sudah tertidur pulas.
Dengan
penuh keraguan aku mengintip melalui peep-hole. Ervin sedang berdiri di
luar.
Aku buru-buru membuka pintu.
“Kenapa,
Vin?” tanyaku ragu.
“Dri,
sori gue ganggu...” Ervin tidak meneruskan kalimatnya.
Aku
berdiam diri menunggu apa yang ingin dikatakannya.
“Lo
mau makan nggak?” tanyanya cepat, sehingga aku harus mengerutkan
keningku
untuk mencerna kata-katanya.
Aku
mengembuskan napas agak keras sambil menahan tawa ketika aku sadar
apa
yang dia tanyakan.
Laki-laki
di mana-mana ternyata sama, pikirku dalam hati. Mereka selalu lapar,
tidak
peduli jam berapa atau di mana mereka berada. Kalau memang waktunya
makan,
mereka harus makan. Meskipun sangat lelah, tapi mengingat betapa Ervin
telah
menjagaku selama penerbangan, aku akhirnya setuju menemaninya.
“Tunggu
sebentar ya, gue ganti pakaian dulu,” ucapku, lalu menghilang
beberapa
menit.
Dengan
asal aku memilih menggunakan jins longgar dan melapis kamisolku
dengan
sweatshirt George Washington University yang sudah cukup lusuh. Aku lalu
mengambil
dompet dan keluar menemui Ervin.
Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 4
No comments:
Post a Comment