Sunday, September 6, 2015

Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 3

3. SEORANG TEMAN

AKU sudah bersiap-siap check in di konter Cathay Pacific bersama enam orang
lainnya pada pukul 12.30, hari keberangkatan tim Good Life untuk training di
Amerika, ketika mendapati Ervin sedang menuju ke arahku. Melihatnya lagi
membuatku sedikit gelisah. Aku tidak mungkin bisa berbicara seperti orang normal
dengannya, apalagi dengan gayanya hari ini yang bahkan lebih seksi daripada
seminggu yang lalu. Hari ini dia mengenakan jins berwarna gelap dan kaus putih
yang dilapisi sweatshirt bertuliskan Texas A&M.
“Hei,” ucapnya ketika sudah berdiri di sampingku.
Aku membalas sapaannya. Ervin hanya membawa sebuah koper hitam yang
agak kecil.
“Omong-omong, thanks buat minggu lalu. Oh iya, gue Adri.” Aku mengulurkan
tangan untuk berkenalan dengannya.
Ervin membalas uluran tanganku sambil tersenyum dan berkata, “I know, gue
Ervin.”
I know,” ucapku. Aku menelan ludah sebelum membalas senyumannya. Aku
hampir lupa dengan senyum mematikannya itu. Aku sempat kaget bahwa dia masih
ingat namaku. Tapi aku buru-buru menenangkan diriku yang mulai merasa sedikit
ge-er.
Proses check-in berjalan cukup lancar, sehingga kami masih memiliki banyak
waktu untuk menunggu waktu boarding di ruang tunggu. Aku sedang sibuk
membaca Henry James ketika mendengar Ervin bertanya, “Mau permen?” sambil
menyodorkan sepotong Doublemint yang masih dibungkus kertas metalnya
kepadaku.
Aku hanya tersenyum, mengambil satu potong dan memasukkannya ke tasku.
“Kok nggak dimakan?” tanya Ervin ingin tahu.
Aku memandangnya beberapa detik sebelum menjawab, “Gue baru minum
Antimo, takut bermasalah sama perut gue kalau dicampur.”
Ervin mengangguk dan aku pun kembali pada bacaanku. Tapi baru aku
membaca satu paragraf, suara Ervin melayang kembali kepadaku.
“Lo suka kena motion sickness?”
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum mengangguk.
“Khusus untuk pesawat apa kapal laut juga?” tanyanya lagi. Kini matanya
betul-betul memandangku. Aku yang kaget dengan tatapan matanya merasa sedikit
terkesima. Untung aku sedang duduk, kalau berdiri kemungkinan besar aku sudah
jatuh tersungkur ke lantai.
“Paling parah kapal laut, terutama ferry. Kalau pesawat sudah agak lumayan.
Biasanya gue berusaha membayangkan bahwa gue sedang ada di mobil dengan
kecepatan tinggi. Kalau mobil biasanya nggak masalah, selama jalannya nggak
berkelok-kelok. Tapi gue nggak pernah ada masalah kalau naik kereta api,” jelasku
panjang-lebar.
Ervin tersenyum simpul. Dan untuk beberapa detik aku tidak bisa bernapas.
Aku bertaruh pada diriku sendiri bahwa senyuman Ervin tidak akan membawa efek
samping kepadaku setelah ini. Untung kemudian Ervin mengalihkan perhatiannya
untuk melihat-lihat area ruang tunggu. Aku kembali membuka novelku pada
halaman yang kubatasi dengan telunjukku. Tapi aku tahu Ervin akan melayangkan
pertanyaan selanjutnya tidak lama lagi, jadi aku berusaha secepat mungkin
membaca satu paragraf yang menutup Bab 4.
“Lo suka baca novel?” tanya Ervin lagi.
Tuh kan...
Aku mengangguk tanpa mengangkat wajah dari buku.
“Klasik?”
Aku selesai membaca paragraf itu dan mendongak untuk menatap wajahnya.
Aku mengangguk lagi, tapi sebelum sempat menjelaskan alasanku, seorang ground
crew Cathay mengumumkan bahwa penumpang first dan business class dipersilakan
masuk ke kabin. Aku segera membereskan barang-barangku dan berjalan menuju
belalai. Sudah bertahun-tahun aku menggunakan pesawat sebagai metode
transportasi, tapi tetap saja aku masih merasa sedikit... tidak nyaman.
Ervin meremas bahu kananku dan berkata, “Biar gue duduk di sebelah lo. Gue
jagain lo biar lo nggak mabok udara.”
Aku hanya bisa memandangnya selama beberapa detik dengan mulut terbuka.
Ketika tangan Ervin menyentuh bahuku, aku dapat merasakan sengatan listrik yang
membuat jantungku berhenti berdetak.
Adri, please deh. Jangan ge-er. Dia cuma mau mastiin elo baik-baik saja, aku
mengomeli diriku sendiri.
Ervin yang sepertinya sadar bahwa dia telah membuatku merasa tidak nyaman
menarik tangannya dari bahuku.
Aku tertawa lemah untuk menutupi suaraku yang terdengar tidak stabil. “Pas
kita sampai di Hong Kong, lo pasti akan bertanya-tanya sama diri lo sendiri kenapa
lo mau duduk di sebelah gue,” candaku.
Untungnya Ervin sepertinya berpikir reaksiku disebabkan rasa “takut terbang”
bukannya karena rasa “jantungku mau copot karena laki-laki paling ganteng yang
pernah kulihat selama setahun belakangan ini menyentuhku”, sehingga aku bisa
mulai mengatur pernapasanku agar kembali normal.
Aku kebetulan dapat tempat duduk paling depan di sebelah jendela, dan
seorang ibu yang sudah beranak dua dari tim kami duduk di sebelahku. Tetapi
kemudian Ervin membujuknya untuk bertukar tempat duduk dengannya agar dia
bisa duduk di sebelahku. Ibu itu tentunya tidak bisa menolak Ervin yang sepertinya
sudah bisa merayu wanita semenjak dia masih ada di dalam kandungan. Selama
tiga puluh menit belakangan ini aku memang bertanya-tanya pada diriku sendiri,
mengapa laki-laki yang seminggu lalu sepertinya jutek padaku ini tiba-tiba bisa
berubah jadi super-ramah? Aneh.
Ketika pesawat kami siap lepas landas Ervin bertanya padaku, “Mau pegang
tangan gue?”
Aku menggeleng. Biasanya aku cukup berani untuk melewati seluruh
penerbangan sendiri, selama tidak ada turbulence. Aku sangat beruntung karena
sempat mengkonfirmasi Yahoo sebelum berangkat dari rumah, hari itu kami akan
terbang dengan cuaca cerah menuju Hong Kong. Tetapi itu bukan alasan utama
mengapa aku tidak mau memegang tangan Ervin. Membayangkan tangannya
menyentuh bagian tubuhku, walaupun hanya tanganku, sudah cukup membuatku
bergidik memikirkan sengatan listrik yang akan menyerangku. Terutama karena
aku tahu apa maksud sengatan listrik itu. Aku kayaknya mulai naksir berat pada
Ervin. Sayangnya hal tersebut hanya dialami olehku, karena sepertinya Ervin tidak
terpengaruh sama sekali.
Setibanya di Hong Kong, kami harus menunggu hingga tengah malam untuk
penerbangan selanjutnya menuju Los Angeles. Dalam penerbangan kedua itu, kami
juga ditempatkan di kabin business class dan lagi-lagi Ervin memilih untuk duduk di
sampingku. Aku tentunya tidak keberatan, karena selama penerbangan kami dari
Jakarta ke Hong Kong, Ervin tidur pulas dan aku cukup bahagia menikmati
novelku. Tapi kini sepertinya Ervin sudah merasa cukup istirahat dan
mempersiapkan diri untuk makan malam dan menonton film. Kami duduk
berdampingan, berdiam diri. Tetapi keheningan kami terasa nyaman. Sesekali Ervin
akan melirik ke monitorku sehingga kepalanya berada sangat dekat dengan
wajahku dan aku dapat mencium aroma samponya, sebelum kemudian dia kembali
ke monitornya dan mengganti channel untuk menonton film yang sama denganku.
Setelah dinner malam itu dan menonton satu film lagi, aku memutuskan untuk
tidur. Jam tanganku yang masih menunjukkan waktu Jakarta, sudah menunjukkan
pukul tiga pagi. Aku menengok, mendapati Ervin sudah pulas di kursinya dengan
bantal dan selimut yang mulai turun dari bahunya. Kulihat dia agak menggigil,
mungkin karena AC kabin terlalu dingin. Aku lalu mengatur AC itu untuk tidak
mengarah ke tubuhnya, lalu mengikuti jejaknya memejamkan mata.
Sambil mulai terlena, aku tersenyum pada diriku sendiri. Tingkah laku Ervin
dan wajahnya ketika sedang tidur mengingatkanku pada sosok cowok yang kukenal
lima belas tahun yang lalu, yang namanya dimulai dengan huruf B... Ya ampun,
kayaknya aku sudah mulai gila!!! Sejenak mataku kembali terbuka lebar. Tapi aku
segera menenangkan diri, dan memejamkan mata lagi. Malam itu aku tidak bisa
tidur nyenyak. Aku bermimpi tentang Baron.
Di dalam mimpiku aku sedang berada di Miami, menikmati sinar matahari yang
menyinari wajahku. Baron berdiri di sampingku. Wajahnya dihiasi senyumnya yang
khas. Lalu aku mencium aroma vanila bercampur suatu aroma musky lainnya.
Aroma yang cukup maskulin dan menyegarkan. Tiba-tiba aku mendengar ada
orang memanggil namaku. Aku mencoba mencari arah suara itu, tapi tidak
menemukannya. Beberapa saat kemudian aku merasakan guncangan yang cukup
dahsyat, sepertinya Miami sedang kena gempa bumi. Lalu aku tersadar. Ternyata
guncangan itu datang dari tangan berukuran besar milik Ervin. Aku buru-buru
memfokuskan mataku.
What, what?” ucapku berusaha untuk fokus. Aku tidak rela melepaskan Baron
dari mimpiku.
“Dri, bangun Dri, lo mau sarapan apa?” tanya Ervin sambil berusaha untuk
membawaku ke alam sadar.
Aku kemudian tersadar bahwa aroma vanila dan musk yang tadi kucium masih
ada, dan ternyata datang dari sebuah sweatshirt yang kini berada di pangkuanku.
Aku berpikir aroma vanila itu mungkin salah satu campuran aroma parfumku, dan
karena masih belum fokus juga aku lalu mengenakan sweatshirt itu sebelum berjalan
menuju toilet untuk mencuci muka.
Setelah mencuci muka dan bersiap-siap untuk keluar, aku mematuk diri di
depan cermin dan sadar bahwa sweatshirt yang kukenakan bukan milikku. Lalu aku
melihat satu huruf A merah yang tercetak di sebelah kanan dadaku. Sadarlah aku
bahwa aku sedang mengenakan sweatshirt Ervin yang dia kenakan ketika berangkat
kemarin dari Jakarta. Buru-buru kurapikan rambutku yang terurai dan mengikatnya
dengan karet di pergelangan tanganku. Kutanggalkan sweatshirt itu dan melipatnya
dengan rapi sebelum keluar dari toilet.
Aku menemukan Ervin sedang menyantap Fruit-Loops dari sebuah mangkuk.
“Makasih ya sweatshirt-nya.” Aku mengulurkan sweatshirt itu kepada Ervin,
sambil melangkah ke kursiku.
“Kembali,” ucap Ervin sambil mengambil sweatshirt itu dari tanganku. “Lo yakin
nggak butuh lagi?”
“Yakin. Mudah-mudahan gue tadi nggak ngilerin sweatshirt lo,” ucapku agak
khawatir.
Ervin hanya tersenyum dan memberikan sweatshirt itu kepada seorang
pramugari yang kemudian meletakkannya ke kompartemen kabin di atas kepala
kami. Aku lalu menumpukan perhatianku pada sarapanku yang rupanya telah
dipilihkan menjadi Fruit-Loops juga.
“Gue pilih sereal ini buat elo. Is it okay?”
Aku tersenyum sambil mulai menyantap sarapanku. Sebenarnya aku kurang
suka Fruit-Loops, aku lebih suka Kellogs Frosted Flakes, tapi aku tidak tega
mengatakan hal itu kepada Ervin yang sudah cukup perhatian dan memastikan
bahwa sarapanku sudah tersedia.
Aku membuka tutup jendela pesawat untuk melihat ke luar. Tetapi aku baru
saja mengangkat tutup jendela itu sekitar lima sentimeter ketika menyadari bahwa
sinar matahari yang sangat terang dan bisa membuatakan mataku memasuki kabin.
Kututup kembali jendela itu dan mulai menyantap serealku perlahan-lahan.
“Lo tadi malam nggak kedinginan?” tanyaku membuka pembicaraan setelah
selesai sarapan.
“Lumayan, tapi gue lihat elo lebih kedinginan lagi daripada gue, sampai
meringkuk di kursi. Gue nggak tega.”
Kenapa dia tidak meminta selimut dari pramugari saja buatku? Aneh, pikirku
dalam hati.
“Oh, padahal tadi malam AC yang ke arah gue sudah gue matiin lho,” jelasku.
“Oh iya? Mungkin memang AC-nya yang terlalu dingin.”
Kami kemudian tenggelam dalam percakapan lainnya, mulai dari pengalamanpengalaman
terbang kami yang penuh dengan nightmare hingga film.
“Film favorit lo apa?” tanya Ervin padaku.
Gone with the Wind, The Godfather, dan... Lord of the Rings.”
“Kenapa lo suka film-film itu?”
Aku mengerutkan kening mencoba memutuskan. “Pada dasarnya karena gue
memang suka film-film yang diadaptasi dari buku, dan biasanya gue pasti baca
bukunya dulu sebelum nonton filmnya. Ada sih beberapa film yang gue tonton
sebelum baca bukunya. Tapi, pada intinya gue harus tahu akhir dari cerita itu
sebelumnya.”
“Nggak seru dong kalau gitu, nggak ada surprise-nya,” balas Ervin.
Well, gue memang nggak suka surprises.”
Ervin hanya geleng-geleng kepala mendengar alasanku.
“Di antara tiga film itu, yang mana yang paling dekat sama bukunya?”
Aku berpikir sejenak. “Kalau menurut jalan cerita, Gone with the Wind yang
paling asli. Tapi menurut gue, Peter Jackson sukses untuk mengadaptasi Tolkien,
karena itu mungkin satu-satunya film adaptasi yang menurut gue lebih bagus dan
lebih bisa menvisualisasikan karakter dan kejadian-kejadian yang ada di novel
daripada novel itu sendiri.”
Ervin manggut-manggut sebelum berkata, “Gue sebenarnya nggak seberapa
suka film fiksi ilmiah, tapi Lord of the Rings harus gue akui memang bagus.”
Kami kemudian terdiam beberapa saat ketika tiba-tiba lampu yang menandakan
bahwa kami harus mengenakan sabuk pengaman menyala dan tidak lama
kemudian suara kapten penerbangan kami mengatakan bahwa akan ada sedikit
turbulence selama beberapa menit ke depan dan dia meminta para penumpang agar
kembali ke tempat duduk masing-masing dan mengenakan sabuk pengaman. Limat
menit kemudian aku sudah menutup mataku dan memohon kepada Tuhan agar
guncangan itu berhenti. Aku mulai agak mual dan harus menelan ludah beberapa
kali untuk mencegah agar tidak muntah. Untung kemudian guncangan itu berhenti
dan aku berani membuka mata kembali. Aku baru sadar bahwa aku sedang
meremas tangan Ervin erat-erat.
I’m sorry,” ucapku dan melepaskan tangannya.
“Gue ambilin air hangat buat lo,” ucapnya lalu berdiri dari kursinya dan menuju
ke bagian belakang kabin.
Selama dia pergi aku mencoba menarik napas perlahan-lahan untuk
menenangkan perutku. Tak lama kemudian Ervin kembali duduk di sebelahku
dengan segelas air hangat. Aku meminumnya perlahan-lahan, menunggu mualku
kambuh lagi. Tapi rasa mual itu sudah pergi.
“Lo kenapa suka The Godfather?” tanya Ervin tiba-tiba.
Aku tersenyum, karena tahu Ervin sedang berusaha mengalihkan perhatianku
dari rasa mual.
Well, pertama kali gue nonton film itu karena ada keharusan untuk salah satu
kelas gue...”
Ervin memotongku sebelum aku selesai berbicara, “Sociology?” tanyanya.
Animal behavior,” jawabku.
Ervin memandangiku seperti aku baru saja berbicara dalam bahasa yang dia
tidak mengerti. Aku hanya mengangkat bahu. “Menurut profesor gue, film itu
sangat menggambarkan teori Darwin...”
Survival of the species,” kata-kata itu keluar dari mulut Ervin sebagai suatu
pernyataan, bukan pertanyaan.
Kini giliranku yang memandanginya seakan-akan dia baru saja berbicara
dengan bahasa alien. “Lo tahu tentang Darwin?” tanyaku akhirnya.
“Bukannya semua orang tahu tentang Darwin dan teorinya?” Ervin balas
bertanya.
Benar juga, ucapku dalam hati mencoba menenangkan rasa kaget dan
kekagumanku.
So, buku jenis apa yang lo suka?” tanyaku mengganti topik, mencoba
memancing untuk mengetahui seberapa luas pengetahuan laki-laki satu ini.
“Kebanyakan biografi,” jawabnya enteng.
“Favorit lo siapa?”
Tanpa berpikir panjang Ervin langsung menjawab, “Hitler.”
Aku yakin wajahku pasti terlihat sangat bingung, karena Ervin menambahkan.
Of course, gue tidak membenarkan aksi holocaust atau war crimes lainnya yang
terjadi pada saat itu, tapi gue akui gue kagum dengan kemampuan Hitler
menggunakan politik propaganda. Dan tentunya karismanya. Lo tahu nggak his last
name is not even Hitler?”
Aku menggeleng. “Hitler itu nama ayah tirinya dan dia nggak suka sama orang
itu. Tapi Adolf tetap menggunakan nama Hitler karena terdengar lebih komersil,”
jelas Ervin.
“Gue dengar dia orang Austria,” balasku.
Ervin mengangguk. “Iya, which is odd, dia lebih Jerman daripada orang Jermannya
sendiri.”
“Gue rasa sih dia memang rada-rada gila,” jawabku. “Lo tahu kan bahwa sekitar
sepuluh persen dari human gnome belum bisa diketahui, dan diperkirakan bahwa
sepuluh persen itulah yang menentukan apakah manusia itu akan jadi baik atau
jahat.”
Ervin tersenyum mendengar penjelasanku.
Aku hanya memandangnya bingung. Untung saja, efek senyuman Ervin mulai
agak pudar. Setidak-tidaknya jantungku tidak lagi mengalami lonjakan tidak
teratur.
“Gue lupa lo anak psikologi,” candanya.
Wajahku langsung memerah.
“Aduh... berkali-kali orang bilang ke gue, jangan sok tahu, jangan sok pintar,
tapi susah buat gue untuk nggak mengemukakan yang gue tahu,” ucapku dengan
nada penuh sesal dan memohon maaf. Kututupi wajahku dengan kedua telapak
tanganku.
Tanpa kusangka-sangka Ervin malah terbahak-bahak. Beberapa kepala berputar
untuk melihat siapa yang membuat keributan. Kalau aku tidak terlalu kaget dengan
reaksinya mungkin aku akan berusaha untuk menurunkan volume tawanya, tapi
aku tetap kaget untuk berbuat apa-apa.
“Nggak apa-apa kok, setidak-tidaknya gue harus hati-hati kalau ngobrol sama
elo. Jangan-jangan lo lebih tahu daripada gue,” balas Ervin setelah tawanya reda.
“Setidak-tidaknya elo selalu akan lebih tahu tentang sejarah daripada gue,”
gumamku.
“Apa lo bilang?” tanyanya.
Nothing,” balasku.
Beberapa jam kemudian pesawat kami mendarat di Los Angeles. Di sana kai
harus menunggu sekitar tiga jam untuk mendapatkan penerbangan selanjutnya ke
Cincinnati dengan Delta. Sekali lagi aku menelan Antimo untuk mempersiapkan diri
apabila ada badai salju yang tiba-tiba melanda Pesisir Barat dan menimbulkan
turbulence di dalam penerbangan terakhir itu. Dan Ervin tidak pernah meninggalkan
sisiku.
Setibanya kami di Cincinnati, hari masih sangat pagi, dan karena kami sampai
pada hari Minggu, kami tidak mendapatkan hambatan apa pun dalam perjalanan
dari airport menuju hotel. Perwakilan Good Life yang datang menjemput adalah dua
orang summer intern dari Xavier University, sebuah universitas lokal kenamaan di
Cincinnati. Mereka kelihatan cukup lelah, tapi juga bersemangat untuk menjemput
kami. Melihat dua anak muda itu membuatku teringat pengalamanku sendiri ketika
baru lulus S1. Masih culun tapi bersemangat sekali untuk belajar. Kedua intern itu
memperkenalkan diri sebagai Sebastian dan Lisa, dan mereka langsung membawa
kami naik dua van menuju Millenium Hotel di pusat kota Cincinnati. Ada sedikit
rasa sendu yang menyentuhku ketika melihat matahari yang baru akan terbit dari
timur dan udara yang masih cukup dingin untuk bulan Maret. Aku mengambil
napas dalam-dalam dan mencoba menikmati saat-saat ini.
Aku tidak memperhatikan apa yang sedang dikerjakan Ervin, tapi ternyata dia
sedang memperhatikanku. Ketika sadar bahwa dia sedang memandangiku dengan
saksama, aku langsung risi.
“Apa?” tanyaku padanya.
“Nggak apa-apa,” jawabnya cuek, tapi dia tetap memandangiku.
“Oke, stop deh,” ucapku yang mulai gelisah.
Ervin lalu mengalihkan perhatiannya ke luar jendela. Selama sisa perjalanan ke
hotel, Ervin tidak menggangguku lagi.
Ketika tiba di hotel, ternyata kami sudah dipesankan empat kamar, yang
masing-masing diisi oleh dua orang. Setelah berbagi kamar, kami kemudian
berpisah menuju kamar masing-masing untuk beristirahat hingga waktu makan
malam. Ketika aku baru saja akan beranjak ke tempat tidur, tiba-tiba ada bunyi
ketukan di pintu kamarku. Kulirik alarm clock yang terletak di night stand yang
menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aku lihat teman sekamarku sudah tertidur pulas.
Dengan penuh keraguan aku mengintip melalui peep-hole. Ervin sedang berdiri di
luar. Aku buru-buru membuka pintu.
“Kenapa, Vin?” tanyaku ragu.
“Dri, sori gue ganggu...” Ervin tidak meneruskan kalimatnya.
Aku berdiam diri menunggu apa yang ingin dikatakannya.
“Lo mau makan nggak?” tanyanya cepat, sehingga aku harus mengerutkan
keningku untuk mencerna kata-katanya.
Aku mengembuskan napas agak keras sambil menahan tawa ketika aku sadar
apa yang dia tanyakan.
Laki-laki di mana-mana ternyata sama, pikirku dalam hati. Mereka selalu lapar,
tidak peduli jam berapa atau di mana mereka berada. Kalau memang waktunya
makan, mereka harus makan. Meskipun sangat lelah, tapi mengingat betapa Ervin
telah menjagaku selama penerbangan, aku akhirnya setuju menemaninya.
“Tunggu sebentar ya, gue ganti pakaian dulu,” ucapku, lalu menghilang
beberapa menit.
Dengan asal aku memilih menggunakan jins longgar dan melapis kamisolku
dengan sweatshirt George Washington University yang sudah cukup lusuh. Aku lalu

mengambil dompet dan keluar menemui Ervin.


Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 4

No comments:

Post a Comment