Bab 25
Nothing seems to help me since you went
away
I’m so tired of this town
Untuk yang kesekian kalinya dia
menelepon ponsel Jana dan untuk yang kesekian kalinya
pula panggilannya dibiarkan tidak
terangkat. God, dia akan membunuh Jana kalau sampai
terlambat nongol di bandara. Dua jam
lalu dia sampai di bandara di antar oleh Eva dan
sopirnya. Setelah selesai check-in dan
Jana masih belum muncul juga, dia pikir Jana hanya
terjebak kemacetan saja dank arena dia
tidak mau mengganggu Jana yang kemungkinan
sedang nyetir, dia menunggu hingga sejam
baru kemudian meneleponnya. Sejujurnya,
sekarang kekesalannya sudah beralih ke
khawatiran. Apa sesuatu terjadi pada Jana dan
anak-anak, sehingga mereka terlambat
datang? Oh, dear God. Jangan biarkan apa-apa
terjadi kepada mereka. Dan dengan begitu
kekhawatirannya berubah menjadi kepanikan.
“Ben, tenang, Ben. Mereka akan sampe
sebentar lagi,” ucap Eva mencoba
menenangkannya, namun tidak berhasil
karena goyangan kakinya justru semakin parah.
Ben hanya bisa mengangguk dan duduk diam
di bangku tempat banyak orang menunggu.
Tidak ada gunanya membuka mulut dan
dengan tidak sengaja mengomeli Eva, toh yang
ingin dia omeli adalah Jana. Dan
kemacetan Jakarta. Dan semua orang yang punya mobil
dan memutuskan nyetir mobil mereka mala
mini dan menyebabkan jalan macet. Mmmhhh,
sementara dia lagi ngomel, tambahkan
sekalian….
“Ayah!”
Anak kecil itu memanggil-manggil
ayahnya, sementara anak-anaknya sampai sekarang
belum memanggilnya “Ayah”… God, dia
ingin meninju semua ayah yang memiliki
kemewahan dipanggil seperti itu oleh
anak-anak mereka. FUCKING BASTARDS!!!
“AYAAAHHH!!!!”
Ben mendengus kesal mendengar suara anak
kecil itu semakin keras memanggil ayahnya.
Serius deh. Mana sih ayah anak itu? Apa
dia tuli sampai nggak bisa dengar anaknya manggilmanggil
dari tadi? Pada saat itu dia mendengar
Eva memanggil namanya sambil menariknarik
bahu kemejanya.
“Apa sih, Ev?” geram Ben pada Eva yang
berdiri di hadapannya, yang tatapannya sedang
mengarah kepada satu titik di kejauhan.
“Ben, they’re here.”
“Who?”
“Anak-anak kamu, you idiot,” omel Eva
sambil menunjuk.
Ben mengikuti arah telunjuk itu dan
menemukan Erga dan Raka sedang berlari ke arahnya
meneriakkan, “Ayaaah!!!”
Untuk beberapa detik Ben hanya bisa
berdiam diri, tidak mempercayai penglihatan dan
pendengarannya. Apa Erga dan Raka memang
ada di sini dan baru saja memanggilnya
“Ayah”? seakan ingin membuktikan bahwa
dia tidak sedang berhalusinasi, Erga dan Raka
melemparkan diri mereka pada tubuh Ben
dan sama-sama meneriakkan, “AYAAAHHH!!!”
Oh my God! Dia tidak sedang
berhalusinasi. Anak-anaknyalah yang baru saja memanggilnya.
Oh! Dia tidak akan pernah melupakan
momen ini. Momen saat anak-anaknya untuk
pertama kali mengakuinya sebagai milik
mereka. Dia sudah menunggu momen ini semenjak
mereka tahu siapa dirinya hampir dua
minggu lalu. Setiap kali dia mendengar mereka masih
memanggilnya “Oom Ben”, semakin retak
hatinya dibuatnya. Selama ini dia selalu mencoba
meyakinkan diri bahwa mereka perlu waktu
untuk mulai memanggilnya “Ayah”, tapi bukan
berarti dia bisa tidak mengeratkan
rahangnya setiap kali mendengarnya. Namun sekarang,
semua itu tidak penting.
Yang penting adalah mereka di sini,
memeluknya seakan mereka tidak akan pernah mau
melepaskannya lagi. Which is fine by
him, karena tidak yakin akan mampu melepaskan
mereka. Ben mengangkat tubuh Erga dan
Raka dan mendudukkan mereka di pangkuannya
dan menghujankan berjuta-juta ciuman
pada wajah mereka. Dia tahu tindakannya ini
mungkin sudah membuat mereka malu atau
takut karena seorang ayah tidak seharusnya
mencium anak laki-laki mereka di depan
umum dan menunjukkan kasih sayangnya sampai
sebegini intensnya, tapi dia tidak
peduli. Dia mencintai anak-anaknya setengah mati dan
sepertinya anak-anaknya merasakan hal
yang sama terhadapnya dan dia ingin semua orang
satu bandara, bahkan satu dunia, tahu
itu.
***
Jana tidak bisa melakukan apa-apa
kecuali berdiri diam beberapa meter dari Ben dan anakanaknya
sambil menutup mulut dengan tangan
kanan, mencoba menahan rasa haru yang
dia rasakan. Inilah pertama kali dia
mendengar Erga dan Raka memanggil Ben “Ayah”. Dan
bukannya merasakan kejanggalan dengan
panggilan ini, dia justru merasakan a sense of
rightness. Tidak ada laki-laki lain yang
lebih pantas dipanggil ayah oleh Erga dan Raka selain
Ben karena Ben adalah ayah terbaik yang
bisa dia minta untuk anak-anaknya. Dan dengan
begitu Jana merasakan dirinya semakin
jatuh cinta lagi pada Ben.
Oh God! Apa yang telah dia lakukan
selama ini? Mencoba menjauhkan Ben darinya?
Mencoba melawan perasaanya? Tidakkah dia
tahu itu sia-sia? Dia tidak akan pernah bisa
melihat dirinya dengan orang lain
setelah ini Karen Ben sudah menghancurkannya untuk
laki-laki lain. Sekarang setiap kali dia
memikirkan membagi hidupnya dengan seseorang,
yang terlintas di kepalanya adalah Ben.
Dia mencintai Ben dengan seluruh hati dan jiwanya,
dan dia tahu Ben merasakan hal yang
sama. Asumsinya terdahulu sudah salah. Mencintai
Ben memang seperti mencoba menangkap
bintang, yang dia tidak pernah perhitungkan
adalah bahwa terkadang bintang suka
jatuh ke bumi. Dan itulah Ben. Sebuah bintang yang
sudah lama jatuh ke bumi untuk dirinya.
Seperti sadar dia sedang diperhatikan,
Ben mendongak dan ketika tatapan mereka bertemu
dia langsung nyengir lebar. Dear God!
Dia mau bangun setiap pagi melihat cengiran itu pada
wajah Ben. Koreksi… dia ingin bangun
setiap pagi di sisi Ben dengan cengiran atau tanpa
cengiran. Lebih baik dengan cengiran,
tapi kalau nggak juga nggak pa-pa. SHIT! Kenapa juga
pikirannya jadi ke mana-mana?
Ketika dia melirik Ben lagi dia sedang
mencoba melepaskan diri dari pelukan Erga dan Raka,
yang seperti biasa berbicara satu mil
per menit. Tahu sebentar lagi Ben akan
menghampirinya membuat Jana panik. Dia
belum siap berbicara dengan Ben tentang
perasaanya sekarang, beberapa menit
sebelum Ben akan pergi meninggalkannya selama
sebulan. Dia tidak mau Ben berpikir dia
mengatakan kata cintanya hanya karena kepepet
seperti waktu itu atau emosi yang
tiba-tiba meluap gara-gara mereka sedang ada di terminal
keberangkatan bandara, tempat yang
paling banyak mengundang ucapan kata cinta setelah
gereja dan kamar tidur. Tidak! Kata
cintanya lebih berharga dari itu dan Ben berhak
mendengarnya di tempat lain pada waktu
lain. Wajahnya pasti menggambarkan dilemanya
karena Ben mengangkat alisnya penuh
pertanyaan. Jana hanya bisa melambaikan tangannya
kaku, caranya mengatakan “Hi” tanpa
harus mengucapkan sepatah kata pun. Dia tidak
berani membuka mulut, takut bahwa
kata-kata pertama yang akan keluar adalah “I love
you. I want to marry you, have more kids
with you, and spend the rest of my life with you”.
Tidak tahan dengan tatapan Ben yang
semakin lama semakin intens, Jana mengalihkan
perhatiannya kepada… Eva, yang dia tidak
sadari berdiri tidak jauh darinya. Tanpa pikir
panjang lagi dia langsung mendekatinya.
Eva kelihatan terkejut ketika Jana memeluk dan
mencium pipinya, namun Jana tidak
peduli. Saat sekarang dia akan melakukan apa saja
untuk mengusir berjuta-juta kupu-kupu
yang berterbangan di dalam perutnya. Jana baru
saja akan membuka pembicaraan dengan Eva
ketika dia mendengar suara Ben di belakang
telinga kanannya. “Hey.”
Jana menutup matanya, mencoba mengontrol
detak jantungnya yang menggila. Ya Tuhan,
tidak bisakkah engkau memberiku sedikit
waktu untuk bisa menenangkan perasaanku yang
tidak keruan ini sebelum membuat orang
yang menjadi penyebab perasaan tersebut
mengistirahatkan tangannya pada
pinggangnya seperti ini dan mengatakan “Hey” dengan
suara seseksi itu? Setelah beberapa
detik dan tangan Ben masih menempel pada
pinggangnya, Jana memutuskan dia harus
mengambil tindakan sendiri karena Tuhan belum
berkenan mengabulkan pintanya hari ini.
Jana memutar tubuhnya dan sebelum
betul-betul menghadap Ben, dia sudah nyerocos,
“Sori terlambat. Aku ninggalin kantor
agak telat dan anak-anak perlu waktu lama sekali
untuk siap-siap. Pas kami udah di jalan,
macet lagi di tol. Terus tempat parkir penuh banget
jadi…”
Kata-kata Jana terpotong oleh bibir Ben
yang mendarat di bibirnya dan segala usahanya
untuk tetap stay cool, buyar. Dia
membalas ciuman Ben seakan Ben akan berangkat ke
medan perang dan kemungkinan tidak akan
kembali lagi. Samar-samar dia mendengar
seseorang mengatakan, “Ewww… Ayah,
Bunda, berhenti ciuman!” diikuti kekehan Eva,
namun sepertinya Ben tidak mendengar
atau sengaja nyuekin mereka karena dia tidak
berhenti mencium Jana.
Beberapa menit kemudian ketika mereka
sama-sama kehabisan napas, Ben mengangkat
kepala, menatap Jana dalam-dalam dan
mendesahkan, “Hi.”
Jana tidak bisa menahan diri dan
mendengus mencoba menahan tawa atas kegirangan
ucapan Ben. Ben sepertinya sadar akan
kegirangannya dan mengatakan, “You’re here.”
“Yes, I’m here. Sori terlambat…”
Ben menempelkan jari telunjuknya pada
bibir Jana, memotong permintaan maafnya. “Aku
nggak peduli kenapa kamu terlambat. Yang
penting kamu dan anak-anak ada di sini.”
Jana mengangguk dan Ben mengangkat jari
telunjuknya dari bibirnya. “Apa kamu nggak
sebaiknya masuk sekarang? Pesawat kamu
bakalan boarding sebentar lagi.”
Ben melirik jam tangannya. “Aku bisa
tunggu lima menit lagi. Aku mau ngabisin sebanyakbanyaknya
waktu sama kamu dan anak-anak sebelum
berangkat.”
Oh my God! Bagaimana dia bisa tidak
mengucapkan kata cintanya pada Ben sekarang saat
Ben melemparkan kata-kata seperti itu
padanya dengan wajah begitu tulus?
“Aku akan telepon kamu begitu sampai di
Chicago.” Jana mengangguk, hanya setengah
mendengarkan kata-kata Ben. “Inget
computer di rumah kamu udah aku set-up pake Skype,
jadi kita bisa video chat kapan aja kamu
dan anak-anak mau. Oke?”
Bilang sekarang. Jangan. Sekarang.
Nggak, tunggu. Sekarang. Sekarang. Sekarang. Oh for
heaven sakes. SHUT UP!!!
“Jana, are you okay? Kamu kok kelihatan
nggak focus gitu?” Tanya Ben
Untuk beberapa detik Jana hanya bisa
menatap Ben yang menatapnya bingung. Tiba-tiba
Jana merasa tidak lagi bisa menahan
keinginannya untuk mengatakan kepada Ben semua
yang ada di dalam hatinya. Dadanya akan
meledak kalau dia harus menunggu lagi. Dia akan
mengatakannya sekarang. Peduli setan
mereka sedang di bandara. Jana menarik napas, siap
menumpahkan isi hatinya.
“A…”
Kata-kata Jana terpotong suara
pengumuman bandara yang meminta semua penumpang
pesawat yang Ben tumpangi untuk masuk ke
ruang tunggu. Dari sudut mata dia melihat Eva
melambaikan tangan meminta Ben segera
masuk. Kemudian Erga dan Raka menyerang Ben,
meminta dipeluk untuk terakhir kali, dan
dengan begitu membuldozer kesempatan Jana
untuk mengucapkan kata cintanya. Ben
melangkah menjauh darinya untuk mencium dan
memeluk anak-anak untuk terakhir kali,
kemudian Ben mencium Eva di pipi, dan terakhir
dirinya, di bibir. Jana hanya mengikuti
semua ini bagai orang sedang bermimpi, ketika dia
sadar kembali, Ben sudah menghilang dari
pandangannya, tanpa tahu apa yang dia rasakan
tentangnya.
NOOOOOO!!!
***
Dengan langkah sedikit terhuyung Ben
mengikuti arus orang-orang yang baru turun dari
pesawat di Bandara Chicago O’Hare menuju
imigrasi. Matanya terasa pedas karena
sepanjang perjalanan dia tidak bisa tidur.
Dia bahkan hampir tidak bisa menelan makanan
yang diberikan kru pesawat, dan ini
bukan karena makanannya tidak enak, karena orangorang
di sekitarnya seperti tidak mengalami
masalah melahap makanan taraf kelas bisnis
mereka itu. Berpikir dia kemungkinan
agar tidak enak badan, makannya tidak bisa makan
atau tidur, dia menelan Aspirin. Ketika
itu tidak membantunya, dia menelan satu lagi yang
malah membuat perutnya mual. Akhirnya
dia hanya bisa tiduran merana di atas kursi
pesawatnya selama sisa perjalanan,
mencoba memikirkan kenapa dia merasa seperti itu.
Dia sedang memikirkan apa dia sudah
salah makan waktu di Jakarta sebelum berangkat
ketika tatapannya jatuh pada seorang ibu
yang duduk berseberangan dengannya dan
berbicara dengan nada membujuk kepada anaknya.
Ben tidak tahu apa yang dikatakannya
karena ibu itu menggunakan bahasa
Jepang, tapi dari cara ibu itu menunjuk sayuran tak
termakan di piring anaknya, dan gelengan
kencang anak itu Ben bisa menebak isi
pembicaraan mereka. Ben mengucap syukur
dia tidak perlu menghadapi masalah itu dengan
Erga dan Raka. Oh, Erga dan Raka. His
boys, his love, his life. Entah bagaimana dia bisa
melalui sebulan ke depan tanpa mereka.
Well, jawabannya gampang saja. Dia nggak
bisa. Baru pada saat itulah dia sadar bahwa
alasan dia merasa like shit beberapa jam
belakangan ini adalah karena kangen pada anakanaknya.
Pengakuan ini membuatnya meringis. Damn
it! What the hell is wrong with him?
Dia baru meninggalkan mereka kurang dari
sehari dan dia merasa seperti ingin menjambak
rambutnya sendiri saking kangennya.
Hell! Apakah begini rasanya menjadi Ayah? Apakah ini
normal? Dan kalau ini normal, bagaimana
para ayah yang jauh dari anak-anak mereka setiap
harinya? Dia hanya berharap rasa
kehilangan ini lambat laun akan berkurang, karena kalau
tidak, dia tidak tahu apa yang akan dia
lakukan.
Semburan udara dingin November di
Chicago menyandarkan bahwa dia sudah melewati
imigrasi dan pengambilan bagasi dan
sekarang sedang mengantre taksi untuk pulang. Dia
melirik jam tangannya yang baru
menunjukkan pukul 10.30, yang berarti dia harus
memastikan dirinya tetap terjaga selama
setidak-tidaknya delapan jam ke depan kalau tidak
mau jetlag besok waktu pergi ketemu
George di kantor. Tidak lama kemudian gilirannya
menaiki taksi tiba dan setelah memberitahukan
alamatnya pada sopir taksi, Ben
menyandarkan tubuhnya pada kursi mobil
dan menutup mata.
Dia merasa baru saja memejamkan mata
selama sedetik, tapi ketika membuka matanya
kembali, dia sudah sampai di depan
bangunan apartemennya. Whoa… dia sudah tertidur
selama empat puluh menit, dia harus
memastikan itu tidak terjadi lagi. Namun sepertinya
tekad dan kenyataan tidak selalu sejalan
karena Ben menemukan dirinya tengkurap di atas
tempat tidur dengan masih berpakaian
lengkap. Dan dilihat dari letak matahari yang masuk
melalui jendela, hari sudah lebih sore
daripada yang dia perkirakan. DAMN! Dia ternyata
lebih lelah daripada yang dia
perkirakan. Dia ingin menelepon Jana untuk memberitahu dia
sudah sampai, tapi membatalkan niatnya
ketika melirik jam pada nakas di samping tempat
tidur. Pukul 03.00. yang ada Jana akan
ngamuk-ngamuk di telepon. Merasa kesal karena
ketiduran oleh karena itu harus menunggu
empat jam lagi sebelum bisa mendengar suara
Erga dan Raka, tapi lebih fresh daripada
beberapa jam yang lalu, Ben memutuskan mandi
untuk membersihkan aroma pesawat dari
tubuhnya. Dia mungkin bahkan akan berendam
air hangat untuk mengusir rasa
pegal-pegal pada sendinya.
Sejam kemudian dan merasa seperti
manusia lagi, Ben menyadari untuk pertama kalinya dia
merasa lapar. Dia menelepon restoran
Cina favoritnya untuk memesan makanan. Setelah
menutup telepon, Ben memutar tubuhnya
dan untuk pertama kali selama bertahun-tahun
tinggal di Apartemen ini, mengambil
inventori apartemen tersebut. Apartemennya masih
kelihatan rapi dan bersih, seperti
biasa, tapi kini juga kelihatan sepi dan dingin. Observasi ini
semakin membuatnya merindukan Jana dan
anak-anak. Dia kini sadar bahwa selama ini dia
sudah hidup dalam hitam-putih dan
kehadiran mereka sudah memberikan warna dalam
hidupnya. Dan seperti banyak orang yang
sudah mengalami dunia penuh warna, dia tidak
mau kembali lagi ke hitam-putih.
Dengan satu desahan panjang, Ben
mengeluarkan laptop dari tasnya dan menuju ruang
tamu/ruang TV. Dalam perjalanan dia
menyalakan TV dengan remote, tanpa memedulikan
channel, dia langsung menekan tombol
mute sebelum duduk di sofa, sebagaimana
kebiasaannya. Namun setelah beberapa
menit dia merasa kesepian dan harus mengaktifkan
volume TV. Suara announcer melaporkan
hasil pertandingan ice hockey kemarin malam
mengisi ruangan. Merasa lebih baik, dia
menyalakan laptopnya. Pertama-tama dia
mengecek e-mail kantor yang ternyata
sepi-sepi saja, hanya ada beberapa update dan
reminder tentang pertemuannya dengan
George besok. Kemudian dia membuka akun
Yahoo-nya dan mendapati sepuluh e-mail
baru. Dia melarikan matanya pada daftar e-mail
yang kebanyakan dari Facebook, tapi
kemudian matanya berhenti pada e-mail terakhir. Email
itu dari Jana dengan topik URGENT!!!
What the hell???!!! Ben langsung duduk
tegak sambil membuka e-mail itu yang berisi pesan
paling pendek yang pernah dia lihat
sepanjang hidupnya.
B,
I love you.
Aku mengatakan ini bukan karena dipaksa,
terpaksa, atau rela, tapi karena dadaku rasanya
bisa meledak kalo nggak bilang ini ke
kamu. Aku perlu kamu tahu kalo aku cinta kamu dgn
sepenuh hatiku. Selalu dan selamanya.
J.
Ben hanya bisa menatap e-mail itu selama
beberapa menit tanpa bisa berkata-kata. Berpikir
dia sudah salah baca, dia membaca e-mail
itu sekali lagi dan beberapa kali lagi setelah itu.
Kata-kata pada e-mail itu tidak berubah.
Apa Jana betul-betul baru mengatakan dia
mencintainya? Melalui e-mail?! Is she
kidding me???!!! Ben tertawa, menertawakan dirinya
karena mencintai wanita paling
menggemaskan yang pernah dia temui sepanjang hidupnya.
Dia tidak tahu apakah dia ingin mencekik
atau mencium Jana sekarang. Dia memutuskan
mencari jalan tengah dan menulis e-mail
balasan.
***
Jana sedang duduk bengong di meja dapur
pada pukul 04.00 dengan secangkir teh hangat di
hadapannya, menunggu telepon dari Ben.
Pesawatnya sudah mendarat berjam-jam yang
lalu, jadi kenapa Ben masih belum
meneleponnya juga? Dia sudah mencoba menelepon
nomor ponsel yang diberikan Ben beberapa
kali, tapi operator mengatakan ponsel itu tidak
aktif. Sekali lagi dia melirik
ponselnya, menginginkannya bordering. Dan setelah lima menit
ponsel itu masih diam saja, Jana
meletakkannya kembali ke meja dan mengusap mata.
Semalaman dia tidak bisa tidur, bukan
saja karena menunggu telepon dari Ben untuk
mengatakan dia telah sampai dengan
selamat, tapi juga reaksi Ben atas e-mail yang
dikirimnya beberapa jam setelah pesawat
Ben lepas landas. Dia msaih tidak percaya sudah
mengatakan apa yang dia katakana kepada
Ben, kata-kata paling penting yang pernah dia
ucapkan sepanjang hidupnya kepada Ben,
melalu e-mali.
Tapi apa pilihan yang dia punya? Hatinya
sudah tidak lagi mampu menampung semua
perasaan itu, dia perlu pelampiasan.
Alhasil tertulis dan terkirimlah e-mail itu. Oh, God!
Gimana kalau ternyata Ben sudah tidak
mencintainya lagi? Bahwa dia sudah bosan
menunggu dan memutuskan mencintainya
hanya buang-buang waktu saja? Toh Ben tidak
pernah lagi menyinggung-nyinggung
tentang perasaannya selama dua minggu belakangan
ini. Entah mau ditaruh di mana mukanya
ini kalau Ben ternyata sudah tidak
menginginkannya lagi. Stupid! Stupid!
Stupid! Dia tidak seharusnya mengirim e-mail itu. Dia
seharusnya menunggu hingga Ben
mengucapkannya sekali lagi, sebelum dia balas
mengucapkannya. Setidaknya dengan begitu
dia bisa yakin bahwa perasaan Ben
terhadapnya masih belum berubah. Shit!
Apa Ben sudah membaca e-mail itu?
Mudah-mudahan belum, mungkin dia bisa mencari
tahu cara untuk menarik kembali e-mail
tersebut sebelum Ben sempat membacanya. Jana
buru-buru berlari menuju laptonya yang
layarnya masih memampangkan inbox e-mailnya
sebagaimana dia tinggalkan 30 menit yang
lalu. Dia baru saja akan menutup e-mail itu ketika
melihat e-mail baru yang terletak paling
atas pada inbox-nya. E-mail itu dari Ben. Jelas-jelas
dia tidak melihat e-mail ini setengah
jam lalu, yang berarti Ben baru saja mengirimkannya.
Buru-buru dia membukanya.
My dearest J,
It’s about goddamn time. I love you too.
Always. Call me once you read this e-mail so I can
hear you say it.
Love.
B.
Jana mengangkat tanganya menutupi mulut
agar tidak tersedak. God! Ben masih
mencintainya. Setelah dia membuatnya
menunggu sebegini lama, dia masih mencintainya.
Dengan tangan gemeteran Jana menekan
nomor ponsel Ben di Chocago yang hanya perlu
bordering satu kali sebelum dia
mendengar suara Ben mengatakan, “Hi”
Dan yang Jana bisa lakukan hanya
mengucapkan, “I love you.”
Hening, tidak ada balasan apa-apa dari
Ben. Berpikir bahwa Ben tidak mendengarnya, dia
mengulangi, “Ben? Kamu dengar aku nggak?
Aku bilang aku cinta kamu.”
Sekali lagi hanya ada keheningan dan Jana
menarik ponselnya dari daun telinga untuk
memastikan telepon mereka masih
tersambung. Ya, telepon mereka masih tersambung. Jadi
kenapa Ben tidak mengatakan apa-apa?
“Ben? Are you there? Can you hear me?”
Jana mendengar Ben mengembuskan napasnya
sebelum mengatakan, “Yes, baby, I hear
you. Aku Cuma lagi nyoba ngeyakinin
diriku sendiri kalo aku lagi nggak mimpi.”
Dalam hati Jana tersenyum. Dia memang
betul-betul suka kalau Ben memanggilnya “J”, tapi
dia nggak keberatan dengan “baby”. “No,
kamu nggak lagi mimpi. Kita sedang bicara dan
aku bilang aku cinta kamu.”
“Coba ulang sekali lagi.”
Mau tidak mau Jana terkekeh dan
mengucapkannya sekali lagi, “Aku cinta kamu, B”
“Dan aku cinta kamu, J”
Jana menutup matanya, mencoba menyerap
kata-kata itu. Ya, dia akhirnya bisa menangkap
bintangnya.
Dirty Little Secret - Epilog
No comments:
Post a Comment