Bab 24
We’re star catching, baby
Always star catching
“GODDAMMIT, Ben. Lepasin tangan aku. Apa
perlu kamu pake kekerasan untuk bikin wanita
tunduk sama kamu?” omel Jana sambil
dengan sekuat tenaga mencoba melepaskan
pergelangan tangannya dari cengkeraman
Ben.
Sebagai jawaban atas pertanyaan Jana,
Ben justru mengeratkan genggaman tangannya.
“Kamu masih belum ngejawab pertanyaanku,
sweetheart.”
“Sweetheart? Sweetheart???!!! Screw
this!!! Aku menolak diperlakukan seperti ini sama
siapa pun, terutama sama kamu,” teriak
Jana dan melayangkan kepalan tinju dengan tangan
kirinya ke dada Ben.
Dengan sigap Ben meraih tangan itu
sebelum kepalan tinju itu mengenai tubuhnya. Ben
tidak tahu kekuatan kosmik apa yang
sedang memengaruhi zodiaknya sebulan belakangan
ini, yang membuat para wanita di dalam
hidupnya spertinya ingin membuatnya memarmemar,
tapi yang jelas dia sudah muak
diperlakukan seperti sansak. Dia hanya ingin Jana
menjawab pertanyaannya. Itu saja.
“Kamu Cuma perlu kasih jawaban atas
pertanyaanku dan setelah itu aku akan lepasin kamu.
Aku akan Tanya sekali lagi. Are. You.
Still. In. love. With. Me?”
Jana berontak sekuat tenaga, mencoba
melepaskan diri tanpa sukses, karena setiap kali dia
melakukannya semakin erat pula genggaman
Ben.
“YES, I’M STILL IN LOVE WITH YOU!
GODDAMN YOU. Puas kamu sekarang? Teriak Jana
akhirnya dan untuk pertama kalinya
berhenti berontak.
Sesuai janjinya Ben melepaskan
genggamannya pada kedua pergelangan tangan Jana, yang
langsung mengusap-usapnya sambil
memberikan tatapan “Kamu bajingan nggak bermoral
yang sudah memaksakan kehendaknya pada
wanita”. Dan Ben tahu dia tidak seharusnya
tersenyum atau merasakan kebahagiaan
yang tidak tergambarkan, tapi dia tidak bisa
menahan diri lagi. Hatinya terasa
seperti akan meledak, tidak lagi mampu menampung
kebahagiaan yang menggebu-gebu. Senyuman
yang semakin lama semakin lebar sudah
menghiasi wajahnya.
“Ya, aku puas,” ucap Ben sambil nyengir,
alhasil membuat Jana megap-megap. “Aku rasa
percakapan kita udah selesai. Kamu
sebaiknya berangkat ke kantor sekarang kalo nggak mau
terlalu kesiangan. Aku akan ke sini
untuk makan malam nanti. Jam 19.000 oke sama kamu?”
lanjutnya sambil bangun dari sofa.
Melihat Jana masih tidak bisa berkata-kata, dia
menunduk untuk mencium pipinya dan
membisikkan, “I’ll see you at seven, J.”
Dia sudah setengah jalan menuju mobil
ketika mendengarkan Jana yang akhirnya sadar
kembali dari kekagetannya, meneriakkan
sumpah serapah padanya.
***
Pukul 18.50 Ben sudah berdiri di depan
pintu rumah Jana namun tidak bisa membuat dirinya
menekan bel. Rasa nervous yang tidak
tergambarkan tiba-tiba menyerangnya. Dia terlalu
excited ketika bersiap-siap beberapa jam
yang lalu dan dalam perjalanan ke sini, namun
sepertinya adrenalinnya kini sudah habis
sama sekali, meninggalkannya dengan jantung
berdebar-denar nggak karuan dan tangan
gemeteran. Ben mengepalkan kedua tangannya,
mencoba mengontrol getaran itu. Jesus Christ!!!
Dia bukan saja nervous, tapi ketakutan
setengah mati.
Stop being a pussy! Mereka hanya anak
kecil, bukan pasukan tembak mati, omel Ben dalam
hati. Menyadari apa yang baru terlintas
di dalam pikirannya, Ben menggeleng dan tertawa
garing. What the hell is he talking
about? Saat sekarang, dia lebih memilih berhadapan
dengan pasukan tembak mati daripada
anak-anaknya. Tahu dia tidak bisa menunda apa
yang akan terjadi, Ben mengangkat
tangannya untuk menekan bel. Dia tidak pernah
menekan Bel sebelumnya, biasanya
langsung masuk saja, tapi hari ini dia tidak tahu apakah
kehadirannya diinginkan di rumah ini,
oleh karenanya dia menekan bel. Namun pada saat
itu pintu pintu rumah terbuka dan Jana
berdiri di hadapannya. Mengingat apa yang terjadi
di antara mereka beberapa jam lalu, Ben
bersyukur Jana setidak-tidaknya tidak menatapnya
dengan tatapan siap perang.
Kemudian tatapannya jatuh pada blus
katun tipis yang dikenakan Jana dan Ben hanya bisa
berkedip. Saking tipisnya blus itu dia
bisa melihat warna dan motif bra yang dikenakan Jana.
Biru langit renda-renda. Ditambah dengan
senyuman yang dipaparkannya seakan Jana
memang sengaja mengenakan bra ini untuk
menyambut kedatangannya, otak Ben langsung
korslet dan dia hanya bisa mendesahkan,
“Hey,” dengan garingnya.
Jana hanya mengangkat alisnya bingung
atas reaksinya dan mengatakan, “Apa kamu
berencana untuk masuk ke rumah dalam
waktu dekat ini, Ben?” dengan nada bercanda dan
melangkah ke samping mempersilahkannya
masuk.
Untuk mengalihkan perjatiannya dari blus
Jana, Ben mencium pipinya dan bertanya, “Erga
dan Raka di mana?”
“Di atas. Aku masih harus nata meja
makan. Kamu bisa langsung ke kamar main mereka kalo
mau. Mereka tahu kamu akan ke sini jadi
mereka nggak akan kaget ngeliat kamu. Aku kasih
tahu kalo makan malam udah siap.”
“Apa mereka oke aku dateng ke sini malam
ini?”
“Yes, they’re okay. Aku nggak akan kasih
kamu ketemu mereka kalo menurutku mereka
nggak siap.” Ketika Jana melihat Ben
masih berdiri di hadapannya dia mencoba
menyakinkan dengan mengatakan, “Go.”
Ben langsung ngacir menuju tangga, bukan
saja karena dia harus menghindari Jana dan
keinginannya untuk menariknya ke dalam
pelukannya, tapi karena dia sudah tidak sabar
ingin bertemu anak-anaknya. Ketika dia
sampai di depan pintu kamar yang setengah
terbuka, Ben mengetuknya sebelum
mendorong pintu itu hingga terbuka lebar. Erga dan
Raka yang sedang tengkurap di atas
karpet sambil main dengan robot-robot Transformers
mendongak. Tatapan yang mereka berikan
padanya hampir membunuhnya. Mereka bukan
saja kelihatan nervous, tapi takut. Erga
bahkan kelihatan sedikit curiga.
Panic nggak ketolongan dan tidak tahu
apa yang harus dia lakukan dalam situasi ini, karena
jelas-jelas tidak ada manual yang pernah
dia baca tentang cara berkomunikasi dengan anak
kecil yang baru saja tahu bahwa Oom Ben
yang selama ini main dengan mereka adalah ayah
mereka, Ben mengikuti instingnya dengan
menyapa, “Halo, Erga, Raka,” sebelum
menurunkan tubuhnya ke karpet dan
merangkak mendekati mereka.
“Hai,” sapa Raka, yang memberikan
senyuman kecil padanya.
“Halo,” ucap Erga sebelum kembali
memfokuskan perhatiannya pada robotnya.
Ben melihat bahwa Raka sebetulnya ingin
mendekat, tapi karena kembarannya diam saja,
sebagai tanda solidaritas dia pun
melakukan hal yang sama. Untuk beberapa menit tidak ada
dari mereka yang mengatakan apa-apa.
Erga dan Raka tetap focus pada robot mereka
dengan Raka sesekali melirik padanya di
antara mengeluarkan suara berantem-beranteman.
Mereka stuck dalam posisi itu hingga Ben
tidak tahan lagi.
“Apa kalian marah sama…” Ben ragu
sesaat, tidak tahu bagaimana harus menyebut dirinya.
“Oom Ben” tidak lagi tepat untuk di
gunakan, mengingat kini Erga dan Raka tahu dia ayah
mereka, tapi memanggil dirinya “Ayah”
juga terdengar asing. “Apa kaliam marah sama Oom
Ben?” Ben mengulangi pertanyaanya,
sambil meringis ketika mendengarnya mengucapkan
“Oom Ben”/
Raka mendongak menatapnya dan
menggeleng, membuat Ben tersenyum. Erga tidak
mendongak, tapi dia mendengarnya
menggumamkan, “Nggak.”
“Jadi kalian nggak pa-pa kalo Oom main
ke sini?”
Erga hanya mengangkat bahunya, untungnya
Raka mengangguk sambil tersenyum malumalu,
membuat Ben merasa lebih baik. Ben
berpikir sejenak. Ada satu pertanyaan penting
yang ingin dia tanyakan semenjak
kemarin. Pertanyaan yang membuatnya tidak bisa tidur
tadi malam karena hatinya di gerogoti
oleh kekhawatiran. Betapapun berat untuk
menanyakannya, tapi dia mesti
mendapatkan jawaban. Kalau Erga dan Raka
menjawab”Tidak” atas pertanyaan ini, dia
tidak akan pernah mengganggu mereka lagi.
Meskipun itu akan membunuhnya, tapi dia
akan menuruti kemauan mereka. Menolak
menyiksa diri dengan ketidakpastian, Ben
bertanya, “Apa kalian mau Oom jadi ayah kalian?”
Ben menunggu jawaban pertanyaannya
dengan jantung berdebar-debar. Dia yakin Erga dan
Raka bisa mendengar detak jantungnya
yang sudah seperti gebukan drum music aliran
Death Metal. Raka yang sepertinya
mengerti dilemanya tidak membuatnya menunggu lama
untuk mengangguk sambil tersenyum
sumringah. Namun Erga sepertinya menikmati
membuatnya panas-dingin terlebih dahulu
sebelum akhirnya mengangguk. Ben
mengembuskan napas lega. Embusan
naapasnya ini rupanya lebih keras daripada yang dia
antisipasi, membuat Erga mendongak
menatapnya. Mata Erga sudah berkaca-kaca, siap
menangis, meskipun dia berusaha sekuat
tenaga menahannya kalau dilihat dari getaran
pada dagunya. Keinginan menarik Erga ke
dalam pelukannya untuk mengusir kesedihan
putranya itu membuat dadanya sesak.
Dia baru saja mendapatkan napasnya
kembali ketika pertanyaan Erga membuatnya terkena
serangan jantung. “Apa aku sama Raka
sekarang harus manggil Oom Ben ‘Ayah’?”
Oh dear God, please, yes!!! Teriak Ben
dalam hati. Untungnya dia bisa mengontrol emosinya
sebelum membuat Erga dan Raka takut
dengan teriakkanya. Menyadari bahwa percakapan
ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati,
perlahan-lahan Ben menarik tubuhnya untuk
duduk.
“Itu terserah kalian. Kalian bisa terus
manggil Oom ‘Oom Ben’, atau…” Ben tersedak dan
menelan ludah sebelum melanjutkan,
“’Ayah’, kalo kalian mau.”
Erga berkedip dan Raka mengangguk.
“Bunda bilang Oom mesti pergi jauh bulan ini,” ucap
Raka.
Ben agak sedikit terkejut bahwa Jana
sempat membicarakan ini dengan anak-anak dalam
waktu beberapa jam saja. “Iya, Oom ada
urusan yang mesti di selesaikan.”
“Apa Oom bakal balik lagi ke sini?”
“Tentu aja Oom bakal balik lagi. Oom
bakal nalik sebelum ulang tahun kalian, oke?”
Raka mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apa Oom rencana pergi jauh ninggalin kita lagi
setelah ini?” Tanya Erga.
Remuk-muk-muk hati Ben mendengar
pertanyaan Erga. Dia menarik napas dalam-dalam
sebelum berkata, “Nggak akan.. oom janji
nggak akan ninggalin kalian lagi.”
Erga mengangguk. “Apa Oom bakal nikah
sama Bunda dan tinggal di sini?” lanjutnya.
Ben mengulum senyumnya melihat tatapan
penuh harap Erga dan Raka. “Itu terserah
Bunda. Oom udah minta Bunda nikah sama
Oom, tapi Bunda nggak mau.”
“Bunda nggak mau?” teriak Erga
“Kenapa Bunda nggak mau?” teriak Raka
Serentak kedua anaknya langsung duduk
bersila di atas karpet dan menatapnya dengan
mata terbelalak, membuat Bentersenyum.
“Gimana kalo kamu Tanya ke Bunda tentang itu,
oke?”
Ben hampir saja meledak tawanya melihat
ekspresi penuh tekad yang diberikan Erga dan
Raka. Pada saat itu dia bersyukur dia
bukan Jana, lalu dia mengingatkan dirinya agar tidak
berada di dalam satu ruangan dengan Jana
ketika anak-anaknya memutuskan
menginterogasikan Bunda mereka.
“Oom Ben?” panggil Raka.
“Ya, Raka?”
“Apa Oom Ben sayang sama aku dan Erga?”
Raka kelihatan ragu dan menunduk.
“Maksudku, kayak Bunda sayang sama kami?
Aku pikir karena Oom ayah Raka dan Erga,
Oom mungkin juga sayang sama kami. Aku
Cuma mau tahu aja.”
Ben hanya bisa megap-megap menatap
ubun-ubun Raka dan mengalihkan perhatiannya ke
Erga yang menatapnya tanpa berkedip.
Kerongkongannya tiba-tiba kering dan kata-kata
yang sudah sering terlintas di dalam
pikirannya, yang hanya bisa dia ucapkan kepada
mereka di dalam hati atau ketika mereka
sedang tertidur jadi tidak bisa mendengarnya,
nyangkut tidak bisa keluar. Matanya
mulai berasa panas dan hidungnya mulai berair dan dia
yakin sebentar lagi dia akan menangis.
Dengan susah payah dia mengontrol emosinya. Dia
tidak mau membuat anak-anaknya berpikir
bahwa dia laki-laki yang gampang nangis. Lakilaki
tidak pernah menangis. Apalagi laki-laki
keluarga Barata. Ya, dia tahu itu semua hanya a
load of bullshit, mengingat dia sudah
menangis meraung-raung sebulan yang lalu, tapi dia
tetap tidak ingin ingatan pertama
anak-anak tentangnya adalah bahwa ayah mereka sudah
menangis kayak cewek di depan mereka. So
not cool!!!
Alhasil dia harus berdeham beberapa kali
sebelum akhirnya bisa berkata-kata. “Oom sayang
sekali sama kalian, lebih dari apa pun
juga.” Ucap Ben.
Selang sedetik Raka berkata, “Oh, oke
kalo gitu.” Erga hanya mengangguk.
Detik selanjutnya Erga dan Raka sudah
menyerangnya dengan pelukan mereka. Kedua
lengan mereka melingkari lehernya dan
wajah mereka terkubur pada lehernya. Erga di
sebelah kiri dan Raka di sebelah kanan.
Yang ben bisa lakukan adalah memeluk mereka balik
dengan seerat-eratnya. Ini adalah
pelukan pertama mereka sebagai ayah dan anak-anak dan
dia tidak pernah merasa betul-betul
menjadi seorang ayah, hingga detik ini. God, he loves
them to death. Dia bahkan tidak tahu
bahwa dia mampu mencinta seseorang sedalam ini.
Segala kekosongan yang dia rasakan
selama ini perlahan-lahan mulai tertutup. Dia sudah
mendapatkan 66 persen keluarganya. Yang
dia butuhkan adalah 34 persen lagi dan
keluarganya akan komplet. Hidupnya akan
komplet.
***
Beberapa hari berlalu dengan begitu
cepat sehingga tanpa Jana sadari lima hari sudah lewat.
Ben pergi wawancara pekerjaan di
perusahaan yang di sarankan mantan bosnya dan
kelihatannya wawancara itu berjalan
lancar karena Ben tersenyum lebar ketika bertemu
dengannya sore itu. Well, Ben memang
selalu tersenyum lebar kalau melihatnya, tapi kali ini
senyumannya ekstralebar.
“I guess interview-nya goes well?” Tanya
Jana sambil melepaskan sepatunya.
“Yep,” jawab Ben pendek sambil menunggu
hingga Jana mengenakan sandal rumah
sebelum mencium pipinya. Reflex, Jana
mencium Ben balik. Dia menangkap aroma sabun
dan sampo Johnson& Johnson milik
anak-anak. Sepertinya sekali lagi Ben sudah mandi di
kamar mandi anak-anak dan menggunakan
sabun dan sampo mereka. Semenjak identitas
Ben sebagai ayah anak-anak terbongkar,
Ben menghabiskan setiap detik waktunya dengan
mereka seakan besok akan kiamat dan Jana
berusaha mengakomondasi situasi ini sebaik
mungkin mengingat Ben akan berangkat ke
Amerika sebentar lagi dan nggak bisa ketemu
anak-anak sesering sekarang.
Meskipun begitu, dia berusaha menjaga
jarak anatara anak-anak dengan Ben agar mereka
tidak terlalu lengket. Dia tahu
anak-anak akan mengalami masalah berpisah dengan Ben
waktu saatnya tiba. Dia tidak mau
menjadi orangtua yang harus menenangkan mereka
setiap malam kalau mereka nangis kangen
dengan Ben sementara Ben berleha-leha di
Chicago. Oleh karena itu, tidak peduli
berapa kali anak-anak memintanya membolehkan Ben
menginap, dia selalu mengatakan tidak.
Satu kali sudah cukup, nggak pakai dua kali. Namun
sebagai kompromi, dia harus membolehkan
Ben mandi bahkan meninggalkan beberapa
helai pakaiannya di rumah.
Sejujurnya kompromi ini bukan hanya
karena dia tidak ingin dicemberuti anak-anaknya
karena keukeuh dengan pendiriannya
tentang inap-menginap, tapi juga karena dia merasa
sedikir bersalah terhadap Ben. Sampai
sekarang dia masih tidak bisa membalas kata cinta
Ben atau menolaknya dan membiarkannya
move-on dan berhenti mengharapkannya. Dia
merasa seperti sedang main yoyo dengan
perasaan Ben, tapi tidak peduli cara apa yang dia
gunakan untuk memberanikan diri
mengatakan “Tidak” kepada Ben, dia selalu mundur pada
saat-saat terakhir. Alhasil selama
beberapa hari ini Jana bersikap seakan-akan pembicaraan
penting mereka tidak pernah terjadi dan
untungnya Bn sepertinya mengerti dilemanya,
sehingga dia tidak pernah menyinggungnya
juga.
“So mereka bilang apa?” Tanya Jana,
kembali focus pada percakapan mereka.
“Mereka bilang akan kontak aku lagi
secepatnya sebelum aku berangkat ke Amerika untuk
interview selanjutnya kalo aku di
short-list.”
“Interview selanjutnya?” Tanya Jana
sambil berjalan menuju ruang makan. “Memangnya
ada berapa interview untuk ngedapetin
kerjaan itu?” dia bisa mencium aroma nasi goreng
dan telur dadar. Dan indra penciumannya
mendapat konfirmasi ketika dia melihat dua
menu ini di atas meja makan.
Kini giliran Ben yang mengangkat bahu.
“Tiga. Pertama, dengan orang yang akan kerja sama
aku. Kedua, dengan HRD . ketiga, dengan
senior partner perusahaan.”
“What? That is crazy! Mereka harus
interview sebegitu banyak untuk posisi senior
consultant?”
“Well, sebelum wawancara yang ini aku
juga harus ngambil tes personality dan IQ. Dan aku
nggak tahu apa proses ini normal atau
nggak untuk Indonesia, tapi aku ikutin aja kemauan
mereka, toh nggak ada ruginya.
Hitung-hitung belajar proses lamaran kerja di Indonesia kalo
aja aku nggak dapet kerjaan yang ini.”
“Oh, you’ll get the job. They’ll be
crazy not to have you.”
“Awww… that is sweet. Thanks, babe,”
ucap Ben dengan nada bercanda
Jana mengerutkan keningnya. “Kamu bisa
nggak berhenti manggil aku ‘babe’? itu bikin aku
ngerasa kayak piggy di film ‘Babe.”
Ben kelihatan berpikir sejenak, mencoba
mengingat film itu mungkin, sebelum tertawa
terbahak-bahak dan Jana hanya bisa
bertolak pinggang menunggu hingga dia berhenti. Pada
saat itu dia mendengar dua pasang
langkah kecil menuruni tangga, tidak lama kemudian
Erga dan Raka muncul di ujung tangga.
“Bundaaa,” teriak Raka dan berlari
memeluknya.
Jana menunduk mencium kepala Raka,
kemudian Erga.
“Anak-anak Bunda apa kabarnya hari ini?”
“Baik,” jawab Raka dan Erga bersamaan.
“Pe-er udah selesai?”
“Dah,” jawab Erga
Jana melirik kepada Raka yang tidak
menjawab namun justru mengambil posisi di meja
makan. “Raka? Pe-er kamu gimana?”
“Udah selesai dari tadi. Cuma ada satu
dan gampang banget, ya kan, Ga? Ayo, Bunda duduk
supaya kita bisa makan. Aku laper.”
Jana melirik Ben, meminta kepastian dan
mendapatinya kelihatan terhibur dengan kelakuan
Raka. Satu hal yang dia dapati tentang
Ben selama sebulan ini adalah dia tidak pernah sekali
pun mengomeli anak-anak. Menurutnya
segala sesuatu yang dilakukan mereka adalah “Lucu
dan menghibur” atau “pintar dan
membanggakan”. Intinya, di mata Ben anak-anak adalah
malaikat-malaikat kecil yang turun dari
surge. Sesuatu yang Jana tahu tidak benar sama
sekali. Namun Jana bisa memahami kenapa
Ben sangat men-support anak-anaknya.
Kehadiran Ben bukan saja membongkar
misteri siapa ayah Erga dan Raka, tapi juga asalmuasal
kebandelan mereka.
Dan dia mungkin seharusnya mengomeli Ben
karena sudah memberikan gen yang tidaktidak
pada turunannya, tapi mengingat semenjak
adanya Ben, dia semakin jarang dipanggil
guru atau Kepala Sekolah, maka dia
berkesimpulan bahwa entah bagaimana. Ben mampu
menyalurkan semua ekstra energy dan
kebandelan anak-anaknya ke sesuatu yang positif,
seperti membuat aktivitas membereskan
rumah begitu menyenangkan hingga Jana
mendapati rumah selalu kelihatan rapi
meskipun tanpa pembantu. Ya, memiliki Ben di
dalam hidupnya sudah membuat semuanya
jadi lebih mudah. Untuk pertama kalinya dia
tidak lagi merasa sendirian, bahwa ada
orang yang bisa membantu meringankan bebannya,
dan memberikan emotional support yang
semakin sering dia perlukan untuk membesarkan
anak-anak. Jadi kenapa dia tidak membuat
situasi ini permanen dengan menikahi Ben
sekalian, toh dia mencintainya dan
mereka sudah menghabiskan begitu banyak waktu
bersama-sama?
Itu mungkin karena mencintai Ben dan
menikah dengannya sudah seperti mencoba
menangkap bintang. Posisi
bintang-bintang di langit tidak pernah berubah dan kita selalu
bisa melihatnya setiap malam yang cerah
pada posisi yang sama. Namun hanya karena kita
bisa melihatnya dan tahu posisinya,
bukan berarti kita bisa menyentuhnya. Karena setiap
kali kita mengangkat tangan, tidak
peduli seberapa tingginya, bintang-bintang itu akan
selalu di luar jangkauan. Mencoba
menangkap bintang adalah aktivitas sia-sia, seperti juga
mencintai dan bermimpi menikah dengan
Ben.
Jana masih tenggelam dalam pikirannya
sendiri ketika dia mendengar Erga memanggilmanggil
memintanya duduk. Dari sudut mata dia
melihat Ben sedang memperhatikannya
dengan seksama. Takut Ben bisa membaca
pikirannya, dia buru-buru menuruti permintaan
Erga.
***
Ben menunggu kedatangan Jana dengan Erga
dan Raka dengan sedikit tidak sabar.
Pesawatnya akan berangkat sejam lagi dan
dia seharusnya sudah melewati imigrasi
sekarang. Tapi dia tidak bisa
melakukannya karena masih menunggu kedatangan
keluarganya. Ya, dia tahu apa yang dia
baru ucapkan dan dia akan mengucapkannya sekali
lagi. KELUARGANYA. Dulu kalau dia
mendengar kata “keluarga”, yang terlintas di kepalanya
adalah Mama, Papa, dan Eva. Namun kini
kata itu berkonotasi tiga orang terpenting lain
dalam hidupnya.
Where the hell are they???!!! Omel Ben
dalam hati. Dia tahu sekarang hari rabu malam dan
anak-anak besok sekolah, oleh sebab itu
dia menawarkan untuk mampir ke rumah Jana
dalam perjalanan ke bandara untuk say
goodbye dengan anak-anak daripada Jana harus
nyetir ke bandara malam-malam. Tapi
karena itu berarti Ben harus mengitari Jakarta dan
membuatnya capek padahal dia masih harus
menempuh lebih dari dua puluh jam terbang,
Jana berkeras akan menemuinya di bandara
saja. Setelah beargumentasi bolak-balik,
akhirnya Ben mengalah dan menuruti
rencana Jana. Kini dia menyesali keputusannya itu
dengan sepenuh hatinya.
Dirty Little Secret - Bab 25
No comments:
Post a Comment