Sunday, September 6, 2015

Dirty Little Secret - Bab 23

Bab 23
You’re seeing life like a painting, and hear it like a lullaby
And all the colors are amazing, I wonder why
Di dalam kamarnya Ben tidak bisa duduk diam, menunggu hingga Jana meneleponnya. Tiga
jam sudah berlalu semenjak tiga orang terpenting dalam hidupnya pergi meninggalkannya.
Yang berarti tiga jam penuh dengan kekhawatiran dan mondar-mandir nggak karuan hingga
menipiskan karpet antic Mama. Ketika yakin dia akan gila kalau harus menunggu sedetik
lagi, ponselnya bordering dan nama Jana berkedip-kedip pada layar.
“Jan, are they okay?” tanyanya.
“Yeah, they’re okay. Mereka lagi tidur sekarang,” desah Jana.
“Apa mereka marah sama aku sehingga mereka nangis dan nggak mau aku pegang?”
“Nggak. Mereka nggak marah sama kamu. Mereka Cuma… bingung aja. Tapi aku udah
jelasin semuanya dan sepertinya mereka ngerti.”
Ben duduk di atas tempat tidur dan membenamkan kepalanya pada telapak tangan
kanannya. Dia tahu bahwa dia harusnya merasa lega mendengar berita ini, tapi entah
kenapa, dia masih resah dan tahu tidak akan bisa tidur sampai bisa melihat anak-anaknya
lagi.
“Can I come over now? I just… I just need to see them, Jan. To make sure they’re really okay.
Bukannya aku nggak percaya omongan kamu, tapi aku Cuma… aku perlu ngeliat mereka.”
“Aku rasa lebih baik kamu kasih mereka waktu untuk mencerna berita ini dulu sebelum
ketemu kamu lagi.”
Meskipun Jana mengatakannya dengan lembut dan apa yang dia katakana masuk akal, tapi
Ben tidak bisa menghentikan kekecewaan yang memberati hatinya.
“Oh, oke,” ucap Ben lemah.
Saluran telepon hening sejenak. Ben tahu dia seharusnya menutup telepon karena tidak ada
apa-apa lagi yang bisa dia lakukan, tapi dia mendapati dirinya masih menempelkan ponsel
pada daun telinganya. Ada begitu banyak hal yang harus mereka bicarakan, dimulai dengan
ciuman mereka beberapa jam yang lalu yang terasa berbeda dan memiliki rasa yang
mendalam daripada ciuman-ciuman mereka sebelumnya, tapi tak satu pun dari mereka mau
membuka pintu itu. Mungkin karena mereka tidak tahu bagaimana memulainya, atau takut
memulainya. Karena keduanya tahu bahwa begitu pintu percakapan itu dibuka, mereka
tidak akan bisa menghentikan apa pun yang keluar darinya.
“Kamu bilang apa ke mereka?” Tanya Ben akhirnya.
“Aku ceritain semuanya. Gimana aku marah sekali sama kamu delapan tahun lalu, yang
mengakibatkan aku bohong ke mereka tentang kamu. Aku jelasin bahwa kamu nggak
pernah tahu mereka ada, makanya kamu nggak pernah datang mencari mereka.”
“Apa kamu cerita ‘kenapa’ kamu marah sama aku? Dimana aku minta kamu ngegugurin
kandungan kamu?”
“No. aku Cuma bilang kita nggak setuju tentang sesuatu dan bahwa suatu hari waktu
mereka udah cukup dewasa kita akan membicarakan hal ini lagi.”
Mendengar ini Ben mengembuskan napasnya. Otot-otot tubuhnya yang kaku selama tiga
jam ini tiba-tiba lemas dan dia jatuh telentang di atas tempat tidur. Dan untuk pertama kali
dia menyadari bahwa kepanikannya tiga jam belakangan ini bukan karena anak-anaknya
menangis begitu mendengar dia ayah mereka, tapi karena mereka akan tahu bajingan
seperti apa ayah mereka ini. Andaikan Jana sedang berdiri di hadapannya, dia pasti sudah
memeluknya dan menghujani wajahnya dengan berjuta-juta ciuman sambil mengucapkan
terima kasih berkali-kali. Tapi karena mereka sedang berbicara di telepon, Ben hanya bisa
mengatakan, “Thank you for doing that.”
“It’s the least I could do after everything I’ve put you through.”
Hah???!!! Jana sudah menyelamatkannya dari dibenci selama-lamanya oleh anak-anaknya
dan dia yang malahan yang meminta maaf padanya? Dia baru saja akan mengklarifikasi hal
ini ketika mendengar Jana mengucapkan namanya dengan nada takut-takut.
“Ya?” jawab Ben.
“Aku… aku minta maaf atas semuanya.”
Ben belum sempat mencerna kata-kata Jana ketika dia sudah nyerocos cepat, tidak
memberinya kesempatan menyela.
“Aku minta maaf karena nggak pernah bilang ke kamu tentang Erga dan Raka, dengan
begitu udah bikin kamu kelewatan tujuh tahun hidup mereka. Aku minta maaf karena nggak
pernah sekali pun mengucapkan kata ‘maaf’ dan mengakui kesalahan aku ke kamu sebelum
ini. Selama ini aku terlalu focus dengan apa yang udah kamu lakukan ke aku, nggak sekali
pun aku mikir tentang apa yang udah aku lakukan ke kamu. I’m sorry, Ben. I’m really really
sorry for everything. Please don’t hate me.”
Terkejut dengan kata-kata Jana, Ben langsung menarik tubuhnya hingga duduk sebelum
berkata, “I don’t hate you. I would never hate you. Gimana bisa kamu berpikir seperti itu
tentang aku?”
“Karena kamu berhak membenci aku,” desah Jana pasrah.
“No!” teriak Ben cepat. “Jangan pernah kamu berpikir seperti itu, oke?”
“Tapi…”
“Nggak pake tapi-tapi, Jana. Janji sama aku, kamu nggak akan pernah berpikir seperti itu lagi
tentang aku,” tegas Ben.
“But…”
“Jana!” geram Ben.
Ben mendengar Jana mengembuskan napas lalu berkata, “Oke, aku janji.”
Ben mendesah, bersyukur Jana melepaskan topic tersebut, tapi itu sebelum Jana berkata,
“Aku juga minta maaf atas perlakuan Papi terhadap kamu sepanjang makan siang.”
Ben mengeratkan genggamannya pada ponselnya, segala kemarahan yang sudah terlupakan
terhadap Papi Jana kembali lagi. “It’s fine, Jan. kamu nggak perlu minta maaf untuk papi
kamu,” ucap Ben.
“Papi memang orangnya… agak sulit.”
Ben memutar bola matanya dan mengatakan, “Tell me about it,” dalam hati.
“Kalian membicarakan apa di taman belakang?”
“Nggak ada yang penting,” ucap Ben. Dia menolak menghabiskan energy memikirkan katakata
Papi Jana yang masih membuatnya naik darah.
“Kira-kira berapa lama waktu yang Erga dan Raka butuhkan sebelum mau ketemu aku lagi?”
tanyanya, mengalihkan percakapan mereka.
Jana terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku nggak bisa pasti, tapi mungkin 24 jam ? aku
akan lihat keadaan mereka besok pagi dan kasih tahu kamu. Kita coba membiasakan ide
kamu sebagai ayah mereka pelan-pelan. Mulai dari makan malam di rumah besok,
mungkin? Aku yakin Raka nggak pa-pa, tapi Erga…”
“Dia lebih sensitive.”
“Ya.”
Ben memijat pelipisnya. Pusing memikirkan hidupnya yang sudah jungkir-balik nggak karuan
selama sebulan ini. Selama ini dia selalu berpikir dia tipe orang yang mampu menghadapi
tantangan jenis apa pun yang diberikan padanya, tapi semua tantangan itu tidak ada apaapanya
dengan apa yang dia hadapi sekarang. Dia tidak pernah ragu dalam mengambil
keputusan, itu sebabnya dia salah satu konsultan manajemen terbaik di perusahaannya,
karena dia hanya perlu memikirkan apa yang terbaik baginya atau proyeknya, peduli setan
dengan yang lain. Tapi dalam situasi ini, dia tidak bisa menggunakan logika yang sama. Dia
harus mengutamakan apa yang terbaik untuk anak-anak, peduli setan dengan dirinya. Katakata
Papa tentang menjadi laki-laki sejati terngiang kembali. Menurut beliau, seorang lakilaki
tidak akan menjadi laki-laki sejati hingga mereka menjadi seorang suami sejati hingga
mereka menjadi seorang ayah, dan dia tidak pernah betul-betul mengerti kata-kata itu
hingga sekarang.
Mengingatkan dirinya untuk mengucapkan terima kasih kepada Papa, Ben berkata, “Apa
kamu ada waktu kosong besok? Ada beberapa hal yang aku perlu bicarakan empat mata
dengan kamu.”
“Hal seperti apa itu?” Tanya Jana curiga.
“Hal yang nggak bisa dibicarakan melalui telepon. Gimana? Apa kamu ada waktu besok?”
“Ya, aku rasa aku bisa ke kantor agak siangan besok. Aku harus anter anak-anak ke sekolah
dulu besok pagi, habis itu aku bisa ketemu kamu di rumah. Gimana kalo kamu mampir ke
rumah sekitar jam 08.00?”
“Oke. I’ll be there.”
“Oke.”
“Jan?” panggil Ben sebelum Jana menutup telepon.
“Ya?”
“Cium Erga dan Raka dari aku. Bilang ke mereka… I love them,” ucap Ben dan berusaha tidak
tersedak ketika mengucapkannya.
Meskipun Ben tidak bisa melihatnya, tapi dia yakin Jana sedang tersenyum ketika berkata, “I
will.”
Lama setelah Jana sudah menutup telepon, Ben masih menempelkan ponsel pada daun
telinganya untuk membisikkan, “And I Love You.”
***
Jana menemukan Ben sudah menunggunya ketika dia sampai di rumah setelah mengantar
Erga dan Raka. Ben tidak mengatakan apa-apa, hanya mencium pipinya sebelum duduk di
sofa. Wajahnya kelihatan tertutup, membuat jantung Jana deg-degan. Rasa panic yang dia
rasakan tadi malam setelah mendengar permintaan Ben kembali lagi. Hanya ada satu alasan
kenapa Ben ingin berbicara dengannya langsung. Dia hanya berharap ketakutannya ini tidak
berdasar,
Dia mengambil tempat duduk di ujung sofa sebelum memulai pembicaraan. “Apa yang
kamu ingin bicarakan…”
“I’m ready,” potong Ben.
“Excuse me?” Tanya Jana bingung.
“Aku siap jadi ayah Erga dan Raka. Kamu kasih aku waktu satu bulan untuk betul-betul
mempertimbangkan ini. Well, aku sudah mempertimbangkannya. Aku mau jadi bagian
permanen kehidupan mereka. Aku mau mereka manggil aku ‘Ayah’.”
“Ben, slow down…”
Seakan tidak mendengarnya, Ben melanjutkan, “Ya, mungkin aku lebih milih mereka tahu
aku ayah mereka dalam situasi lain, tapi aku bersyukur mereka akhirnya tahu.” Ben berhenti
sesaat untuk mengambil napas, “Aku mau kamu melegalisasi aku sebagai ayah biologis
mereka supaya aku bisa mulai ngurus pembayaran tunjangan anak yang tertunda. Mulai
detik ini aku akan pastiin mereka menerima support keuangan sampai mereka bisa berdiri
sendiri.”
“Ben, aku nggak…”
“Tolong jangan tolak ini, Jana. Ini satu-satunya cara yang bisa aku pikirkan sekarang untuk
mastiin masa depan mereka terjamin. Mereka anak-anakku, aku wajib menjaga mereka.
Kamu udah jagain mereka selama tujuh tahun ini, sekarang giliran aku.”
Jana hanya bisa menganga, terlalu banyak hal yang berkelebatan di dalam kepalanya
sehingga otaknya tidak tahu mana dulu yang harus diprioritaskan.
“Kalo bisa aku mau menyelesaikan semua ini dalam minggu-minggu ini karena aku harus ke
Chicago pertengahan bulan ini,” lanjut Ben.
Dan Jana merasa seperti baru ditampar. Bagaimana mungkin satu menit dia bilang mau Erga
dan Raka memanggilnya “Ayah” dan menit selanjutnya dia berencana meninggalkan
mereka?
“Are you kidding me?” teriak Jana sebelum dia bisa menahan diri lagi. “Itu sebabnya kenapa
kamu ngomongin tunjangan anak, supaya kamu bisa ninggalin mereka tanpa ngerasa
bersalah?”
“Jana, kamu nih ngomong apa sih?” Tanya Ben bingung.
“Nggak usah pura-pura bingung. Kamu tahu persis apa yang aku lagi omongin. Aku nggak
tahu apa kamu bahkan ngerti maksud kata permanen, Ben, karena di kampus aku permanen
maksudnya kamu akan ada di sini untuk anak-anak, bukan beribu-ribu mil jauhnya. Dan
jangan pikir hanya dengan uang semua masalah akan terselesaikan.”
“Jana, dengerin aku. Kamu udah salah mengerti,” Ben mengangkat kedua tanganya,
mencoba menenangkan dan Jana langsung meledak.
“You know what, Ben? Aku ada ide yang lebih baik lagi untuk kamu. Gimana kalo kamu
keluar dari rumah ini sekarang juga? Bawa sekalian tunjangan anak kamu itu dan nggak
kembali-kembali lagi. Aku dan anak-anak nggak perlu charity dari kamu.”
Satu detik Jana melihat Ben yang duduk di seberang sofa sedang menatapnya dengan penuh
kebingungan, detik selanjutnya, dia menemukan dirinya sudah setengah telentang dengan
kepala menyandar pada lengan sofa dan wajah Ben hanya sekitar sejengkal dari wajahnya.
Kedua tangannya tidak bisa bergerak. Yang satu tertindih badannya sendiri, sedangkan yang
satu lagi di jepit tangan Ben. Ben kelihatan siap mengamuk. Bibirnya tertarik lurus dan
matanya berapi-api.
“Jangan pernah kamu berani menggunakan kata charity untuk ngegambarin kamu dan anakanak
di depan aku lagi. Do you hear me? NEVER!” desis Ben.
Jana hanya sempat mengatakan, “What…” sebelum telapak tangan Ben mendarat menutupi
mulutnya, dengan begitu menghentikannya dari berkata-kata.
“Kamu dan anak-anak adalah hidup aku. HIDUP AKU. Ngerti kamu?” ucap Ben tegas.
“Ngangguk kalo kamu ngerti.”
Tidak tahu lagi apa yang bisa dia lakukan selain menuruti perintah Ben, Jana mengangguk
dan Ben langsung melepaskannya. Dan untuk beberapa menit Jana hanya bisa terbaring di
sofa, mencoba mengerti apa yang baru saja terjadi. Ketika dia bisa mengumpulkan cukup
energy untuk duduk beberapa menit kemudian, dia menemukan Ben berdiri kaku di
seberang ruangan.
“You okay?” tanyanya.
“Yeah,” jawab Jana
Ben mengangguk, tapi tidak berusaha mendekat. Dengan susah payah Ben mencoba
mengontrol kemarahan yang jelas-jelas masih menyelimutinya kalau dilihat dari gerakan
naik-turun dadanya. Tapi lambat-laun Jana melihat kerutan wajahnya mengendur dan
ekspresi kemarahan berganti menjadi keraguan. Jana kenal betul ekspresi itu, ekspresi yang
Ben akan paparkan kalau ada sesuatu yang ingin dia bicarakan namun tidak tahu bagaimana
memulainya. Tapi kemudian Ben menarik napas, dan Jana melakukan hal yang sama.
“Untuk sepulu menit ke depan, bisa kamu dengerin apa yang aku harus omongin tanpa
menyela?” tanyanya.
Jana tidak menyukai permintaan yang terdengar seperti perintah ini, tapi melihat betapa
seriusnya Ben, dia mengangguk.
“Aku harus pergi ke Chicago pertengahan bulan ini karena minggu lalu aku udah resmi
resign dari kerjaanku. Aku harus balik ke kantorku di sana untuk ngeberesin meja dan
beberapa hal kantor lainnya. Setelah itu aku akan ngurus kepindahanku ke Jakarta yang
mungkin akan makan waktu sebulan, bisa lebih. Tapi aku akan usahakan untuk udah kembali
sebelum ulang tahun anak-anak.”
Seperti tidah tahan jauh-jauh darinya, Ben perlahan-lahan mendekat. “Minggu depan aku
ada interview pekerjaan baru di salah satu perusahaan konsultan manajemen di Jakarta.
Mereka perlu senior consultant. Kalo aku dapet kerjaan ini, then it’s good, tapi kalo aku
nggak dapet, aku bisa cari yang lain.”
Jana mengangguk meskipun Ben tidak melihatnya, yakin Ben akan mendapatkan perkerjaan
itu.
“Minggu lalu aku juga mulai lihat-lihat rumah. Dan rasanya aku udah nemuin satu yang
cocok. Ukurannya besar dan cukup untuk keluaga anak tiga. Letaknya persis di tengahtengah
antara kantor kamu dan sekolah anak-anak. Ada halaman belakang yang cukup luas,
yang bisa digali untuk dijadiin kolam renang kalo memang itu yang kamu mau untuk anakanak.
Areanya di gated community, jadi anak-anak bisa main di luar rumah kalo mereka mau
tanpa kamu harus khawatir bakal ketabrak mobil atau diculik orang atau apalah.”
Semakin lama Ben menggambarkan rumah itu, semakin bingung Jana dibuatnya. Kenapa
Ben mencari rumah besar yang menurutnya cukup untuk keluarga beranak tiga, toh dia
hanya akan tinggal di rumah itu sendiri? Detik ketika dia menyadari rencana Ben adalah
detik ketika Ben mengatakan, “Aku mau beli rumah itu untuk kamu dan anak-anak. Aku mau
kau, Erga, dan Raka sepenuhnya dibawah penjagaan aku. Aku mau mengurus kalian bertiga.
Aku akan pastikan kamu dan anak-anak nggak akan pernah kekurangan apa pun selama aku
ada. Dan aku akan mulai dengan minta kalian tinggal di rumah aku.”
Pada saat itu Ben mendekat dan duduk di sampingnya. Jana hanya bisa memperhatikan
gerakannya tanpa berkata-kata. Ben menatapnya dalam-dalam sebelum mengatakan, “Aku
mau jadi bagian kehidupan kamu, Erga, dan Raka, dan aku bukan ngomongin tentang bisa
nganter mereka ke sekolah setiap hari atau ngabisin akhir minggu aku sama kamu dan anakanak.
Aku mau ngabisin setiap hariku… setiap jam, menit, dan detik dengan kalian, tapi
terutama kamu. Karena aku yakin aku nggak akan bisa… atau mau hidup tanpa kamu lagi.”
Jana hanya bisa berkedip. Melihatnya diam saja, Ben meraih kedua tangannya dan
menggenggamnya erat sebelum menjatuhkan bom atomnya.
“Aku mau membangun kehidupan dengan kamu dan aku berharap kamu menginginkan hal
yang sama dengan aku. Nikah sama aku, Jan. aku mau jadi suami kamu dan ayah anak-anak
kita.”
***
Ben tahu ini permintaan gila, terutama karena dia tahu kemungkinan Jana menolaknya
adalah Sembilan puluh persen, tapi dia tidak akan menariknya kembali. Ben membiarkan
Jana memproses kata-katanya, tapi ketika mulut Jana masih menganga juga setelah
beberapa menit, dia mulai khawatir dan tahu harus mengambil beberapa langkah mundur.
“I know this is a lot to ask. Aku minta maaf karena memborbardir kamu dengan semua
permintaan ini pada saat bersamaan. Aku Cuma nggak ngeliat cara atau waktu lain yang
lebih tepat untuk ngomongin ini ke kamu.”
Jana mengatupkan mulutnya dan Ben melihatnya susah payah menelan ludah dan akhirnya
bersuara. “Gimana bisa kamu minta ini semua dari aku hanya setelah kenal aku lagi selama
sebulan, Ben?”
“Nggak sebulan. Sembilan tahun.” Jana menatap Ben bingung dan Ben menjelaskan, “Kita
udah kenal satu sama lain selama Sembilan tahun.”
“Dimana hampir delapan tahunnya kita habiskan nggak menghiraukan satu sama lain,”
sangkal Jana.
“Hanya karena kamu nggak menghiraukan aku semala ini, bukan berarti aku nggak terusterusan
mikirin kamu.”
Sejenak mata Jana melebar, terkejut mendengar pengakuannya. “Look, aku nggak minta
jawaban sekarang. Aku Cuma minta kamu mempertimbangkan permintaanku. Can you do
that for me?” pinta Ben.
Wajah Jana memaparkan gejolak emosi yang sedang berperang di dalam dirinya. Dalam hati
Ben berdoa agar Jana mengikuti sarannya dan mempertimbangkan situasi ini terlebih
dahulu, bukannya langsung menolaknya. Jana menarik kedua tangannya minta di lepaskan,
dan dengan berat hati ben melepaskannya.
“Kenapa kamu mau nikah sama aku?”
Kata-kata itu diucapkan dengan begitu pelan, sehingga Ben hampir tidak mendengarnya,
tapi dia mendengarnya dan ketika sadar apa yang Jana baru tanyakan, dia harus dengan
susah payah mengontrol omelan yang siap keluar dari mulutnya. Bagaimana mungkin Jana
menanyakan ini padanya? Tidakkah dia mendengarkan semua yang baru saja dia katakana?
Dia sudah mengatakan dan melakukan segala sesuatu yang dia tahu dan mampu lakukan
untuk menyakinkan Jana bahwa dia serius. Apa lagi yang dia inginkan darinya? Tersinggung
karena kata-kata tulusnya dipertanyakan, Ben menembakkan jawaban pertama yang
terlintas di kepalanya.
“Karena aku cinta kamu.”
Bukannya kelihatan luluh mendengar kata-katanya, Jana justru mengerutkan dahi sebelum
bertanya dengan nada ngeledek, “Karena kamu cinta aku?”
“Iya, kenapa kamu kelihatan nggak yakin gitu? Kamu tahu kan kalo cinta adalah alasan
utama kenapa orang mau nikah?”
“Dan aku juga tahu hanya karena orang saling cinta, bukan berarti mereka harus nikah.”
Menolak bertengkar dengan Jana, Ben memilih humor dengan mengatakan, “Apa ini cara
kamu untuk bilang ke aku kalo kamu juga cinta aku?”
Ben menyangka Jana akan menolak mentah-mentah asumsi tersebut, tapi yang ada Jana
malah menggigit bagian dalam mulutnya dan memaparkan wajah ragu. Membutuhkannya
beberapa detik untuk memahami reaksi Jana ini.
“Jan, apa kamu masih cinta sama aku?” tanyanya dengan hati-hati.
Mata Jana sejenak terbelalak, seakan tidak percaya Ben berani-beraninya menanyakan hal
ini padanya. Dia kemudian membuka mulutnya seakan siap meneriakkan sumpah serapah,
tapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar. Ben melihat Jana melakukan ini dua kali lagi
sebelum akhirnya dia membuang muka sambil mendesis, “We’re not having this
conversation.”
Dengan kata-kata ini Jana buru-buru bangun dari sofa, tapi Ben yang sudah mengantisipasi
tindakan ini langsung mencengkeram pergelangan tangan kanannya dan menariknya
dengan agak kasar sehingga Jana terbanting duduk kembali.
“We Are having this conversation. Right here, right now. Jawab aku, Jana. Apa kamu masih cinta sama aku?”


Dirty Little Secret - Bab 24

No comments:

Post a Comment