Bab 22
They’re telling secret that should never
be revealed
There’s nothing to be gained from this
But disaster…
Segenggam peralatan makan yang ada di
genggaman Jana langsung meluncur ke bak cuci
piring dengan bunyi “klang, klang,
klang” nyaring.
“Mami udah gila!!!” teriaknya.
“Jana Harumi Oetomo, jangan pernah kamu
ngomong sama Mami dengan nada itu. Mami
Cuma berusaha menjaga kamu!!!” Mami
mendesis dengan mata berapi-api.
Jana menolak menarik kembali
kata-katanya dan mengalihkan perhatiannya pada tugasnya.
Dengan sedikit kasar, Jana mengangkat
semua garpu dan sendok yang tersisa di dalam bak
cuci dan memindahkannya ke dalam dishwasher.
Dia merasakan tangan Mami mencengkeram
lengannya sebelum beliau berkata, “Jana,
dengar…”
“Terserah apa yang Mami bilang, tapi aku
nggak akan pernah mau nikah sama Ben,” potong
Jana.
Mami melepaskan lengannya dan mengangkat
kedua tangannya putus asa. “Apa lagi yang
kamu mau dari seorang suami, Jana? Ben
dari keluarga ternama yang punya uang dan bisa
menjamin kehidupan kamu dan anak-anak.
Ya, dia memang sudah salah sama kamu, tapi itu
sudah lama sekali. Dan dari yang Mami
lihat selama beberapa minggu ini, dia sudah nyoba
memperbaiki kesalahannya. Anak-anak juga
kelihatan akur sama dia. Kalo kamu nggak mau
ngomong masalah pernikahan ke dia, biar
Mami aja.”
Jana menutup pintu dishwasher dan
meluruskan punggungnya sebelum berkata,”No, Mam,
please, jangan ngomong apa-apa ke dia.”
“Jadi kamu maunya apa, Jana?” Tanya Mami
gemas.
“Aku mau Mami nggak turut campur dalam
kehidupan aku. Aku udah 27 tahun for crying
out loud. Biarin aku ngatur kehidupan
aku sendiri. Aku bisa ngambil keputusan sendiri,
Mam.”
“Gimana bisa Mami membiarkan kamu
ngambil keputusan sendiri kalau Mami tahu
keputusan itu salah untuk kamu?”
Jana menggeram frustasi. Dia sudah
kehabisan akal untuk membuat Mami mengerti. Dia
tidak mau harus menumpahkan perasaan
sebenarnya tentang Ben sekarang, ketika Ben
hanya beberapa meter dari mereka dan
kemungkinan bisa mendengarnya, tapi sepertinya
dia tidak ada pilihan lain.
“Mami mau tahu kenapa aku nggak mau
nikah sama Ben? He broke my heart, Mam. Aku
kasih dia seluruh hatiku dan dia… dia
ngelempar semuanya balik ke mukaku seakan-akan itu
nggak ada artinya. Gimana pernah aku
bisa nikah sama dia, ngasih seluruh hatiku lagi ke dia
setelah ini? Soal hubungannya dengan
anak-anak, apa Mami pikir aku nggak tahu kalo Ben
akur dan sayang sama mereka? Setiap hari
aku berhadapan dengan itu, Mam. Dan setiap
hari aku ngerasa seperti ibu paling
parah di dunia ini karena udah misahin Erga dan Raka
dari Ben. Erga dan Raka berhak tahu
gimana rasanya punya ayah, tapi sampe sekarang, aku
bahkan masih belum mampu bilang kalo Ben
ayah mereka karena takut kalo mereka tahu
mereka punya pilihan orangtua, mereka
akan memilih Ben daripada aku. Ibu macam apa
aku ini?”
Tanpa Jana sadari tubuhnya sudah terasa
panas dan napasnya sedikit memburu ketika dia
menutup penjelasannya. Dia melihat Mami
hanya berdiri diam saja di hadapannya dengan
mata terbelalak. Dalam hati dia mengucap
syukur karena akhirnya bisa membuat Mami
mengerti perasaannya. Namun pengucapan
syukur ini terpotong pendek ketika dia sadar
bahwa mata terbelalak Mami bukan untuknya,
tapi sesuatu di belakangnya. Merasa agak
kesal karena merasa diremehkan oleh Mami
yang lebih memilih menumpukan perhatiannya
pada hal lain padahal dia sedang
menumpahkan isi hatinya, jana memutar tubuhnya dan
matanya langsung terkunci pada Erga dan
Raka yang sedang berdiri di ambang pintu dapur
dengan Ben. Ketiga-tiganya sedang
menatapnya dengan ekspresi yang sama, yaitu ekspresi
“What the hell?”
Untuk beberapa detik dia hanya berdiri
di tempatnya, tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
Dalam hati dia berharap anak-anak tidak
mendengar apa yang baru saja dikatakannya. Tapi
harapannya kandas di tengah jalan ketika
Erga dan Raka sama-sama menarik perhatian
mereka darinya untuk mendongak menatap
Ben, yang hanya bisa berdiri kaku menatap
mereka.
“Apa betul Oom Ben ayah Erga dan Raka?”
Tanya Erga pelan tapi jelas.
Jana tidak bisa melihat wajah kedua
anaknya yang kini sedang membelakanginya, tapi dia
bisa melihat wajah Ben dengan jelas. Ben
kelihatan takut setengah mati dan Jana tahu
dalam hati Ben sedang meneriakkan semua
kata sumpahan yang bisa ditemukan dalam
kamus. Jana melihat Ben menutup matanya
dan menarik napas dalam. Ketika dia membuka
matanya lagi, tatapan ketakutan sudah
hilang. Dia kini bergantian menatap Erga dan Raka
dengan dalam. Jana tahu dia seharusnya
menyelamatkan Ben dari harus menjawab
pertanyaan ini, tapi dia tidak bisa
bergerak sama sekali. Perlahan-lahan dilihatnya Ben
mengangguk.
“Iya. Oom Ben ayah Erga dan Raka.”
Jana mendengar Erga dan Raka menarik
napas bersamaan, sebelum Raka bertanya, “Serius,
nggak bohong?”
Ben menurunkan tubuhnya dan berlutut di
hadapan mereka. Dia tidak menyentuh mereka
sama sekali, seakan takut Erga dan Raka
akan lari kalau dia melakukannya.
“Nggak. Oom Ben nggak bohong. Oom Ben
memang ayah Erga dan Raka,” ucap Ben untuk
menyakinkan mereka.
Untuk beberapa detik hanya ada
keheningan, yang disusul suara Erga dan Raka yang
menangis sekeras-kerasnya.
***
Melihat Erga dan Raka menangis
seakan-akan hati mereka hancur berkeping-keping,
mengundang insting kebapakan yang Ben
bahkan tidak tahu dia miliki.
“Erga, Raka… jangan nangis,” ucap Ben
sambil mengangkat kedua tangannya ingin menarik
anak-anaknya, separo hati dan jiwanya,
ke dalam pelukannya, tapi keduanya mundur pada
saat bersamaan menjauhinya.
Ben merasa dadanya seperti baru dilindas
bulldozer. Melihat anak-anaknya lebih memilih
menangis sendirian daripada di dalam
pelukannya membuat hatinya perlahan-lahan retak.
Lebih dari apa pun juga, yang dia ingin
lakukan sekarang adalah menarik Erga dan Raka
dengan paksa ke dalam pelukannya dan
menenangkan mereka, tapi dia tahu ini bukanlah
yang mereka inginkan. Akhirnya dia hanya
bisa menatap kedua anaknya pasrah ketika Jana
yang tiba-tiba sudah berlutut
dihadapannya menarik mereka ke dalam pelukannya.
“BUNDAAA…,” tangis Erga dan Raka sambil
menenggelamkan wajah mereka di leher Jana.
“Sshhh, cup cup… bunda di sini. Bunda di
sini,” bisik Jana memeluk Erga dan Raka erat.
Sambil memeluk anak-anaknya, Jana
mendongak dan menatapnya. Rasa bersalah terpancar
jelas pada matanya dan meskipun dia
tidak mengatakannya, Ben tahu Jana sedang
mengucapkan maaf padanya. Maaf karena
sudah tidak sengaja membongkar rahasia
terbesarnya di depan anak-anak, reaksi
anak-anak mendengar rahasia itu, reaksi mereka
pada Ben sekarang, dan karena Jana tidak
bias memeluknya untuk menenangkannya seperti
apa yang sedang dia lakukan untuk
anak-anak. Ben hanya bisa memberikan satu anggukan
tanda mengerti padanya.
Lambat laun suara tangis Erga dan Raka
reda hingga hening sama sekali. Melihat Jana
berhasil menenangkan anak-anaknya dalam
hitungan menit sementara mereka bahkan
tidak mau disentuh olehnya, membuat Ben
merasa seperti ayah paling tidak berguna di
dunia ini. Pikirannya berkecamuk dengan
alasan kenapa anak-anaknya menangis. Selama ini
dia menyangka mereka akan senang begitu
tahu ayah mereka masih ada. Dia juga berharap
dengan hubungan mereka yang sudah sangat
dekat selama sebulan ini, maka mereka lebih
senang lagi mengetahui dialah ayah
mereka. Sepertinya dia sudah salah sangka.
Kecurigaan bahwa anak-anaknya sendiri
tidak menginginkannya sebagai ayah, membuat
Ben lemas dan jatuh terduduk di lantai.
Cara Erga dan Raka memeluk Jana, seakan-akan
mereka takut melepaskannya, dan cara
Jana memeluk mereka dengan sangat protektif
membuat Ben merasa seperti orang asing
yang kehadirannya tidak di inginkan atau
diperlukan. Kesedihan yang sangat
mendalam menyerangnya dan matanya mulai terasa
panas. Dia harus menutup matanya
beberapa detik untuk mengontrol emosi yang akan
meluap sebentar lagi.
“Aku mau pulang.”
Mendengar gumaman Erga, Ben langsung
membuka matanya kembali dan mendengar Raka
berkata, “Aku juga.”
“Oke, ayo kalo gitu,” ucap Jana tegas.
Ben melihat Jana dengan susah payah
mencoba berdiri sambil menggendong Erga dan Raka.
Ben mengulurkan tangannya untuk mengambil
Raka dari pelukan Jana, tapi Jana hanya
menggelengkan kepala. Dan hatinya yang
tadinya hanya retak kini sudah hancur berkepingkeping.
Bukan saja anak-anaknya menolaknya, tapi
Jana juga. Dengan susah payah dia
mengontrol ekspresi wajahnya agar tidak
menunjukkan kesedihan dan kekecewaan.
“Bisa tolong kamu bukain pintu mobilku?
Kuncinya ada di dalam tas,” pinta Jana.
Dengan satu anggukan, Ben langsung
meraih tas Jana, mengeluarkan kunci dan berlari
menuju mobil Jana. Menghidupkan mesin,
menyalakan AC, dan membuka pintu belakang.
Hari ini mereka datang dengan mobil
terpisah karena Jana tidak mau membuat Ben harus
mengitari Jakarta hanya untuk
menjemputnya dan anak-anak dulu sebelum ke rumah
Maminya. Suatu keputusan yang sangat dia
sesali sekarang karena dia tidak memiliki alasan
untuk tetap berada di sisi anak-anak
selepas mereka meninggalkan rumah mami Jana. Rasa
ketakutan bahwa anak-anaknya tidak mau
bertemu dengannya lagi setelah hari ini,
menyerangnya. Sebagai pelampiasan
kefrustrasinya atas ketidakmampuannya melakukan
apa-apa untuk menyelamatkan situasi ini,
Ben memutar tombol AC hingga maksimum.
***
Ketika Jana muncul, interior mobil sudah
cukup dingin dan dia pertama mendudukan Raka,
kemudian Erga di bangku belakang.
Setelah menutup pintu, dia menghadap Ben yang sedari
tadi mencoba memberikan privasi dan
jarak yang di butuhkan anak-anak. Dari wajahnya
yang terlihat bingung, takut, sedih, dan
frustasi, Jana tahu ini adalah hal tersulit yang pernah
harus dihadapi Ben.
“Aku minta maaf, Ben untuk… untuk…” Jana
menggelengkan kepalanya mencoba mencari
kata-kata yang tepat,” untuk semuanya,”
ucapnya akhirnya.
Ben mengalihkan tatapannya ke Erga dan
Raka, seakan ingin mendorong mereka untuk
memberikan senyuman sumringah mereka
padanya, tapi anak-anak hanya duduk diam di
dalam mobil dengan kepala menunduk.
Secercah kerinduan yang ngak kesampaian
terpancar pada wajah Ben sebelum dia
menunduk, mencoba menyembunyikan emosi itu.
“Mereka nggak mau aku sebagai ayah
mereka,” gumamnya.
Dan Jana tidak bisa bernapas sementara hatinya
hancur berkeping-keping mendengar katakata
Ben. Buru-buru dia merangkum wajah Ben,
memaksanya menatapnya. “NO! jangan
pernah kamu berpikir seperti itu. Do you
hear me???!!! Jangan pernah!!!” ucap Jana tegas.
Ben mencoba menoleh dan meremas
pergelangan tangan Jana dengan paksa melepaskan
wajahnya pada saat bersamaan, tapi Jana
tidak memperbolehkannya.
“Ben, look at me. Look at me!” seru Jana
keras sehingga Ben kembali menatapnya. “You’re
the best thing that has ever happened to
them. Mereka Cuma masih… kaget dan mungkin
sedikit,... takut dengan berita ini. Aku
akan bicara dengan mereka. Aku akan jelaskan
semuanya,” lanjutnya sedikit kesandung
dengan kata-katanya sendiri, yang diucapkan
terlalu cepat dalam usaha menyakinkan
Ben.
Ben masih kelihatan ragu. “Semua ini
salahku. Aku seharusnya nggak pernah ngebiarin kamu
pergi begitu aja. Aku seharusnya ngejar
kamu…”
Jana menggeleng keras dan mengeratkan
rangkumannya pada wajah Ben. Saking eratnya
dia bisa merasakan gesekan jenggot Ben,
yang dicukur habis hari ini agar tidak membuatnya
kelihatan seperti penjahat (kata Ben),
pada telapak tangannya.
“No, Ben. Jangan nyalahin diri kamu
kayak gini. Kalo ada orang yang harus disalahin untuk
semua ini, itu aku. Aku yang udah lari
duluan. Aku yang udah misahin kalian. Aku udah
bohong sama kamu dan mereka. Ini semua
salah aku dan aku janji akan memperbaikinya.”
“I don’t think you can.”
“B, trust me, I’ll fix this.”
Jana kaget sendiri ketika dia mendengar
caranya memanggil Ben barusan dan dari mata
terbelalaknya, sepertinya Ben sudah sama
kagetnya. “Did you just call me, B?” tanyanya
dengan nada dan wajah tidak percaya.
Tadinya Jana mau menghindar dengan
mengatakan bahwa dia sudah salah dengar, tapi dia
tahu Ben berhak menerima perlakuan lebih
baik dari itu setelah apa yang baru saja dia
alami. Jana menarik napas dalam-dalam
dan mengangguk.
“Say it again,” pinta Ben.
“Say what again?” Tanya Jana sedikit
bingung.
Ben mengambil langkah maju sehingga dada
mereka bersentuhan sebelum telapak tangnya
meraih belakang kepala Jana dan menunduk
, mendekatkan wajahnya hingga kening mereka
bertemu. Jana bisa merasakan embusan
napas Ben pada wajahnya. Dan sekujur tubuhnya
tiba-tiba terasa terlalu panas dan itu
sama sekali tidak ada hubungannya dengan udara
Jakarta.
“Namaku,” bisik Ben.
“Ben…”
Ben menggeleng. “Bukan, bukan itu.”
Jana menelan ludah dan memenuhi
permintaannya.
“B,” ucapnya.
Jana mendengar Ben menarik napas keras
dank arena wajah mereka sangat dekat, dia bisa
merasakan gelitikan bulu mata Ben ketika
dia menutup matanya, seakan ingin menyerap
pengucapan huruf itu ke seluruh jiwa
raganya. Melihat Ben begitu vulnerable di
hadapannya, membuat Jana sadar bahwa
bukan hanya anak-anak yang memerlukannya saat
ini, tapi Ben juga. Sebelum bisa
membiarkan dirinya berpikir lagi, Jana sudah menarik wajah
Ben ke bawah dan menciumnya… di bibir.
Dia berusaha melakukannya selembut mungkin,
membiarkan bibirnya tetap tertutup.
Ciuman ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan
gairah atau nafsu, tapi pernyataan rasa
sayang yang dia tidak bisa ucapkan.
Awalnya Ben yang terlalu terkejut seakan
tidak percaya ini sedang terjadi, hanya bisa diam
saja. Tapi sedetik kemudian, ketika
menyadari Jana memang sedang betul-betul
menciumnya, dia memiringkan kepala agar
posisi bibir mereka bisa lebih pas dan membalas
ciuman itu. Pada sudut pikirannya jana
sadar anak-anak sedang duduk di mobil hanya
sekitar semester dari mereka dan bisa
melihat semua ini dengan jelas, dan itu
menambahkan satu lagi penjelasan yang
harus dia berikan kepada mereka. Namun, dia
bersedia melakukan itu semua untuk bisa
menenangkan Ben saat ini.
Ben terus menciumnya selama beberapa
menit dan Jana membiarkannya. Ciuman Ben kali
ini sangat berbeda dengan ciuman-ciuman
sebelumnya yang main serang saja tanpa peduli
apa orang yang sedang diciumnya mau
dicium atau tidak. Kali ini Ben hanya menciumnya
dengan bibirnya. Kalau ciuman bisa
digambarkan dengan music, ciuman-ciuman Ben
sebelumnya sudah seperti musiknya
Metallica, sedangkan ciumannya yang sekarang lebih
seperti musiknya Enya. Dan Jana menemukan
dirinya meleleh, lebih dari sebelumsebelumnya
setiap kali bibir Ben menyentuhnya.
Jana kini sadar bahwa terserah apa yang
dia sudah katakana pada dirinya sendiri, bahwa dia
tidak akan pernah bisa memberikan
hatinya lagi kepada Ben, dia tahu bahwa kenyataannya
adalah dia tidak pernah mendapatkan
hatinya kembali dari Ben setelah laki-laki itu
mengambilnya bertahun-tahun yang lalu.
Ben selalu memiliki hatinya, dan dari cara Ben
menciumnya dan memeluknya sekarang,
seakan dia adalah benda paling berharga yang
pernah dia sentuh, sepertinya tanpa dia
sadari, dia sudah memegang hati Ben di dalam
genggamannya bertahun-tahun ini juga.
Memori tentang sikap Ben selama sebulan
ini tumpang tindih memenuhi kepalanya. Ben
sudah jungkir-balik melakukan segala
sesuatu yang bisa dilakukan seorang laki-laki untuk
menunjukkan bahwa dia serius ingin
menjalin hubungan dengannya. Dia sudah mengatakan
mencintainya, ingin menikahinya, ingin
menjadi ayah anak-anaknya, kemudian
mengonfirmasi kata-katanya dengan
sikapnya. Dan kalau saja yang melakukan ini semua
adalah laki-laki lain selain Ben, Jana
tahu dia pasti sudah luluh dari dulu-dulu. Kenapa
membutuhkan sebegini lama sampai
akhirnya matanya terbuka dan bisa menerima
kenyataan yang sudah ada di depan
matanya selama ini, dia tidak tahu. Yang dia tahu adalah
bahwa rasa berat yang dia rasakan selalu
menindih dadanya perlahan-lahan terangkat,
meninggalkan emosi yang hanya bisa
digambarkan sebagai kebahagiaan.
Ketika Ben memisahkan bibir mereka
beberapa menit kemudian dan melepaskan
pelukannya, Jana mendapati dirinya
sedikit linglung. Ben mencoba memberi senyuman
meskipun sedikit terpaksa dan Jana ingin
menariknya ke dalam pelukannya lagi hingga dia
bisa melihat senyuman iseng yang selalu
terpancar pada wajah Ben setiap kali mereka
bertemu. Tapi dia tahu dia harus
memprioritaskan anak-anak saat ini.
“Aku akan telepon kamu nanti, oke?”
Ben hanya mengangguk dan Jana meremas
lengannya sebelum masuk ke dalam mobil.
Semenit kemudian dia sudah dalam
perjalanan pulang.
***
Selama perjalanan pulang, Erga dan Raka
tidak berbicara sepatah kata pun bahkan pada
satu sama lain, lebih memilih
memperhatikan lalu-lintas melalui jendela mobil. Jana
bersyukur mereka setidak-tidaknya tidak
menangis lagi. Beberapa kali Jana membuka mulut
untuk mengatakan sesuatu, tapi lalu
menutup mulut sebelum bisa memulai. Dia tidak
pernah melihat Erga dan Raka sebagai
upset. Erga lebih daripada Raka. Jana ada feeling
kalau Raka sebetulnya tidak betul-betul
mengerti apa yang sedang terjadi, dia hanya upset
karena Erga upset. Dia menghabiskan sisa
perjalanan memformulasikan penjelasan yang
harus dia berikan kepada anak-anak.
Dia tidak tahu cara terbaik untuk
melakukannya tanpa membuat Erga dan Raka bingung
atau lebih parah lagi, membencinya. Dia
mungkin masih mampu menghadapi kemarahan
atau kekecewaan mereka, tapi tidak
kebencian. Selain itu, dia juga tidak tahu cara
mengatakan kepada mereka bahwa awalnya
Ben tidak menginginkan mereka. No! dia tidak
akan menceritakan ini kepada mereka. Ini
hanya akan membuat mereka membenci Ben dan
menghancurkan hati Ben. Lebih dari apa
pun juga, dia tahu Ben berhak mendapatkan
kesempatan untuk memperbaiki
kesalahannya. Masalah Ben mau menceritakan betapa
messed-upnya dia delapan tahun yang
lalu, itu urusan Ben.
Ketika mereka sampai rumah kurang dari
sejam kemudian, Erga dan Raka langsung naik ke
lantai atas setelah melepaskan sepatu,
meninggalkan Jana bingung sendiri di lantai bawah.
Tahu bahwa dia tidak bisa menunda
pembicaraan lagi, Jana menuju kamar mereka. Dia
menemukan Erga dan Raka menyamping
dengan punggung menghadap pintu. Raka tidur di
belakang Erga, tangan nya melingkari
pinggang kembarannya dengan penuh perlindungan.
Samar-samar dia mendengar isak tangis
dan suara kecil yang mencoba menenangkan.
Membutuhkan beberapa menit untuk sadar
bahwa yang menangis adalah Erga, sementara
Raka sedang mencoba menghiburnya dengan
membisikkan, “Erga jangan nangis. Raka ada
di sini.”
Dan Jana menarik napas dalam-dalam untuk
mengusir kesedihan dan keharuan luar biasa
yang tiba-tiba menyerangnya. Kesedihan
karena melihat Erga menangis lagi dan keharuan
karena untuk pertama kali menyaksikan
peran Erga dan Raka dibalik. Seumur hidup, dia
tidak pernah melihat Raka bersikap
sedewasa ini.
“Raka, Erga,” panggil Jana sambil
berjalan mendekati tempat tidur.
“Ya, Bunda,” jawab Raka dan langsung
memutar tubuhnya untuk menghadapnya.
Wajah Raka kelihatan kering, meskipun
matanya sedikit merah. Jana tidak mendapatkan
jawaban dari Erga. Satu-satunya indikasi
bahwa dia mendengarnya adalah gerakan tangan
menghapus air mata.
“Sayang, kita perlu bicara tentang apa
yang kamu dengar di rumah Mbah tadi.”
Raka langsung menarik tubuh kecilnya ke
posisi duduk, dengan begitu memberikan Jana
ruang untuk duduk di atas tempat tidur.
“Oom Ben bi-bilang kalo dia a-ayah Erga
dan Raka?” ucap Erga masih sesenggukan.
Jana tidak mencoba membetulkan bahwa
sebetulnya informasi itu datangnya dari dia,
bukan Ben. Dia mengulurkan tangannya
untuk menyentuh Erga dan Raka sebelum berkata,
“Iya, Oom Ben memang ayah kalian.”
Mendengar ini Erga langsung berbalik
badan untuk menatapnya. “Jadi Oom Ben nggak
bohong?” Tanya nya.
“Nggak, Oom Ben nggak bohong,” jelas
Jana.
“Ta-tapi, Bunda bilang ayah Erga dan
Raka ada di surge.”
Jana mencoba tidak meringis mendengar
nada tuduhan Erga. Tidak mendapatkan reaksi
darinya, Erga mencecarnya. “Jadi Bunda
udah bohong sama Erga?”
Jana menarik napas sambil berdoa dalam
hati bahwa Erga akan memaafkannya atas
dosanya ini. Dia meremas kaku Erga dan
berkata, “Ya, Bunda udah bohong sama Erga.
Maafin Bunda ya, Sayang.”
Dirty Little Secret - Bab 23
No comments:
Post a Comment