Sunday, September 6, 2015

Dirty Little Secret - Bab 22

Bab 22

They’re telling secret that should never be revealed
There’s nothing to be gained from this
But disaster…

Segenggam peralatan makan yang ada di genggaman Jana langsung meluncur ke bak cuci
piring dengan bunyi “klang, klang, klang” nyaring.
“Mami udah gila!!!” teriaknya.
“Jana Harumi Oetomo, jangan pernah kamu ngomong sama Mami dengan nada itu. Mami
Cuma berusaha menjaga kamu!!!” Mami mendesis dengan mata berapi-api.
Jana menolak menarik kembali kata-katanya dan mengalihkan perhatiannya pada tugasnya.
Dengan sedikit kasar, Jana mengangkat semua garpu dan sendok yang tersisa di dalam bak
cuci dan memindahkannya ke dalam dishwasher.
Dia merasakan tangan Mami mencengkeram lengannya sebelum beliau berkata, “Jana,
dengar…”
“Terserah apa yang Mami bilang, tapi aku nggak akan pernah mau nikah sama Ben,” potong
Jana.
Mami melepaskan lengannya dan mengangkat kedua tangannya putus asa. “Apa lagi yang
kamu mau dari seorang suami, Jana? Ben dari keluarga ternama yang punya uang dan bisa
menjamin kehidupan kamu dan anak-anak. Ya, dia memang sudah salah sama kamu, tapi itu
sudah lama sekali. Dan dari yang Mami lihat selama beberapa minggu ini, dia sudah nyoba
memperbaiki kesalahannya. Anak-anak juga kelihatan akur sama dia. Kalo kamu nggak mau
ngomong masalah pernikahan ke dia, biar Mami aja.”
Jana menutup pintu dishwasher dan meluruskan punggungnya sebelum berkata,”No, Mam,
please, jangan ngomong apa-apa ke dia.”
“Jadi kamu maunya apa, Jana?” Tanya Mami gemas.
“Aku mau Mami nggak turut campur dalam kehidupan aku. Aku udah 27 tahun for crying
out loud. Biarin aku ngatur kehidupan aku sendiri. Aku bisa ngambil keputusan sendiri,
Mam.”
“Gimana bisa Mami membiarkan kamu ngambil keputusan sendiri kalau Mami tahu
keputusan itu salah untuk kamu?”
Jana menggeram frustasi. Dia sudah kehabisan akal untuk membuat Mami mengerti. Dia
tidak mau harus menumpahkan perasaan sebenarnya tentang Ben sekarang, ketika Ben
hanya beberapa meter dari mereka dan kemungkinan bisa mendengarnya, tapi sepertinya
dia tidak ada pilihan lain.
“Mami mau tahu kenapa aku nggak mau nikah sama Ben? He broke my heart, Mam. Aku
kasih dia seluruh hatiku dan dia… dia ngelempar semuanya balik ke mukaku seakan-akan itu
nggak ada artinya. Gimana pernah aku bisa nikah sama dia, ngasih seluruh hatiku lagi ke dia
setelah ini? Soal hubungannya dengan anak-anak, apa Mami pikir aku nggak tahu kalo Ben
akur dan sayang sama mereka? Setiap hari aku berhadapan dengan itu, Mam. Dan setiap
hari aku ngerasa seperti ibu paling parah di dunia ini karena udah misahin Erga dan Raka
dari Ben. Erga dan Raka berhak tahu gimana rasanya punya ayah, tapi sampe sekarang, aku
bahkan masih belum mampu bilang kalo Ben ayah mereka karena takut kalo mereka tahu
mereka punya pilihan orangtua, mereka akan memilih Ben daripada aku. Ibu macam apa
aku ini?”
Tanpa Jana sadari tubuhnya sudah terasa panas dan napasnya sedikit memburu ketika dia
menutup penjelasannya. Dia melihat Mami hanya berdiri diam saja di hadapannya dengan
mata terbelalak. Dalam hati dia mengucap syukur karena akhirnya bisa membuat Mami
mengerti perasaannya. Namun pengucapan syukur ini terpotong pendek ketika dia sadar
bahwa mata terbelalak Mami bukan untuknya, tapi sesuatu di belakangnya. Merasa agak
kesal karena merasa diremehkan oleh Mami yang lebih memilih menumpukan perhatiannya
pada hal lain padahal dia sedang menumpahkan isi hatinya, jana memutar tubuhnya dan
matanya langsung terkunci pada Erga dan Raka yang sedang berdiri di ambang pintu dapur
dengan Ben. Ketiga-tiganya sedang menatapnya dengan ekspresi yang sama, yaitu ekspresi
“What the hell?”
Untuk beberapa detik dia hanya berdiri di tempatnya, tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
Dalam hati dia berharap anak-anak tidak mendengar apa yang baru saja dikatakannya. Tapi
harapannya kandas di tengah jalan ketika Erga dan Raka sama-sama menarik perhatian
mereka darinya untuk mendongak menatap Ben, yang hanya bisa berdiri kaku menatap
mereka.
“Apa betul Oom Ben ayah Erga dan Raka?” Tanya Erga pelan tapi jelas.
Jana tidak bisa melihat wajah kedua anaknya yang kini sedang membelakanginya, tapi dia
bisa melihat wajah Ben dengan jelas. Ben kelihatan takut setengah mati dan Jana tahu
dalam hati Ben sedang meneriakkan semua kata sumpahan yang bisa ditemukan dalam
kamus. Jana melihat Ben menutup matanya dan menarik napas dalam. Ketika dia membuka
matanya lagi, tatapan ketakutan sudah hilang. Dia kini bergantian menatap Erga dan Raka
dengan dalam. Jana tahu dia seharusnya menyelamatkan Ben dari harus menjawab
pertanyaan ini, tapi dia tidak bisa bergerak sama sekali. Perlahan-lahan dilihatnya Ben
mengangguk.
“Iya. Oom Ben ayah Erga dan Raka.”
Jana mendengar Erga dan Raka menarik napas bersamaan, sebelum Raka bertanya, “Serius,
nggak bohong?”
Ben menurunkan tubuhnya dan berlutut di hadapan mereka. Dia tidak menyentuh mereka
sama sekali, seakan takut Erga dan Raka akan lari kalau dia melakukannya.
“Nggak. Oom Ben nggak bohong. Oom Ben memang ayah Erga dan Raka,” ucap Ben untuk
menyakinkan mereka.
Untuk beberapa detik hanya ada keheningan, yang disusul suara Erga dan Raka yang
menangis sekeras-kerasnya.
***
Melihat Erga dan Raka menangis seakan-akan hati mereka hancur berkeping-keping,
mengundang insting kebapakan yang Ben bahkan tidak tahu dia miliki.
“Erga, Raka… jangan nangis,” ucap Ben sambil mengangkat kedua tangannya ingin menarik
anak-anaknya, separo hati dan jiwanya, ke dalam pelukannya, tapi keduanya mundur pada
saat bersamaan menjauhinya.
Ben merasa dadanya seperti baru dilindas bulldozer. Melihat anak-anaknya lebih memilih
menangis sendirian daripada di dalam pelukannya membuat hatinya perlahan-lahan retak.
Lebih dari apa pun juga, yang dia ingin lakukan sekarang adalah menarik Erga dan Raka
dengan paksa ke dalam pelukannya dan menenangkan mereka, tapi dia tahu ini bukanlah
yang mereka inginkan. Akhirnya dia hanya bisa menatap kedua anaknya pasrah ketika Jana
yang tiba-tiba sudah berlutut dihadapannya menarik mereka ke dalam pelukannya.
“BUNDAAA…,” tangis Erga dan Raka sambil menenggelamkan wajah mereka di leher Jana.
“Sshhh, cup cup… bunda di sini. Bunda di sini,” bisik Jana memeluk Erga dan Raka erat.
Sambil memeluk anak-anaknya, Jana mendongak dan menatapnya. Rasa bersalah terpancar
jelas pada matanya dan meskipun dia tidak mengatakannya, Ben tahu Jana sedang
mengucapkan maaf padanya. Maaf karena sudah tidak sengaja membongkar rahasia
terbesarnya di depan anak-anak, reaksi anak-anak mendengar rahasia itu, reaksi mereka
pada Ben sekarang, dan karena Jana tidak bias memeluknya untuk menenangkannya seperti
apa yang sedang dia lakukan untuk anak-anak. Ben hanya bisa memberikan satu anggukan
tanda mengerti padanya.
Lambat laun suara tangis Erga dan Raka reda hingga hening sama sekali. Melihat Jana
berhasil menenangkan anak-anaknya dalam hitungan menit sementara mereka bahkan
tidak mau disentuh olehnya, membuat Ben merasa seperti ayah paling tidak berguna di
dunia ini. Pikirannya berkecamuk dengan alasan kenapa anak-anaknya menangis. Selama ini
dia menyangka mereka akan senang begitu tahu ayah mereka masih ada. Dia juga berharap
dengan hubungan mereka yang sudah sangat dekat selama sebulan ini, maka mereka lebih
senang lagi mengetahui dialah ayah mereka. Sepertinya dia sudah salah sangka.
Kecurigaan bahwa anak-anaknya sendiri tidak menginginkannya sebagai ayah, membuat
Ben lemas dan jatuh terduduk di lantai. Cara Erga dan Raka memeluk Jana, seakan-akan
mereka takut melepaskannya, dan cara Jana memeluk mereka dengan sangat protektif
membuat Ben merasa seperti orang asing yang kehadirannya tidak di inginkan atau
diperlukan. Kesedihan yang sangat mendalam menyerangnya dan matanya mulai terasa
panas. Dia harus menutup matanya beberapa detik untuk mengontrol emosi yang akan
meluap sebentar lagi.
“Aku mau pulang.”
Mendengar gumaman Erga, Ben langsung membuka matanya kembali dan mendengar Raka
berkata, “Aku juga.”
“Oke, ayo kalo gitu,” ucap Jana tegas.
Ben melihat Jana dengan susah payah mencoba berdiri sambil menggendong Erga dan Raka.
Ben mengulurkan tangannya untuk mengambil Raka dari pelukan Jana, tapi Jana hanya
menggelengkan kepala. Dan hatinya yang tadinya hanya retak kini sudah hancur berkepingkeping.
Bukan saja anak-anaknya menolaknya, tapi Jana juga. Dengan susah payah dia
mengontrol ekspresi wajahnya agar tidak menunjukkan kesedihan dan kekecewaan.
“Bisa tolong kamu bukain pintu mobilku? Kuncinya ada di dalam tas,” pinta Jana.
Dengan satu anggukan, Ben langsung meraih tas Jana, mengeluarkan kunci dan berlari
menuju mobil Jana. Menghidupkan mesin, menyalakan AC, dan membuka pintu belakang.
Hari ini mereka datang dengan mobil terpisah karena Jana tidak mau membuat Ben harus
mengitari Jakarta hanya untuk menjemputnya dan anak-anak dulu sebelum ke rumah
Maminya. Suatu keputusan yang sangat dia sesali sekarang karena dia tidak memiliki alasan
untuk tetap berada di sisi anak-anak selepas mereka meninggalkan rumah mami Jana. Rasa
ketakutan bahwa anak-anaknya tidak mau bertemu dengannya lagi setelah hari ini,
menyerangnya. Sebagai pelampiasan kefrustrasinya atas ketidakmampuannya melakukan
apa-apa untuk menyelamatkan situasi ini, Ben memutar tombol AC hingga maksimum.
***
Ketika Jana muncul, interior mobil sudah cukup dingin dan dia pertama mendudukan Raka,
kemudian Erga di bangku belakang. Setelah menutup pintu, dia menghadap Ben yang sedari
tadi mencoba memberikan privasi dan jarak yang di butuhkan anak-anak. Dari wajahnya
yang terlihat bingung, takut, sedih, dan frustasi, Jana tahu ini adalah hal tersulit yang pernah
harus dihadapi Ben.
“Aku minta maaf, Ben untuk… untuk…” Jana menggelengkan kepalanya mencoba mencari
kata-kata yang tepat,” untuk semuanya,” ucapnya akhirnya.
Ben mengalihkan tatapannya ke Erga dan Raka, seakan ingin mendorong mereka untuk
memberikan senyuman sumringah mereka padanya, tapi anak-anak hanya duduk diam di
dalam mobil dengan kepala menunduk. Secercah kerinduan yang ngak kesampaian
terpancar pada wajah Ben sebelum dia menunduk, mencoba menyembunyikan emosi itu.
“Mereka nggak mau aku sebagai ayah mereka,” gumamnya.
Dan Jana tidak bisa bernapas sementara hatinya hancur berkeping-keping mendengar katakata
Ben. Buru-buru dia merangkum wajah Ben, memaksanya menatapnya. “NO! jangan
pernah kamu berpikir seperti itu. Do you hear me???!!! Jangan pernah!!!” ucap Jana tegas.
Ben mencoba menoleh dan meremas pergelangan tangan Jana dengan paksa melepaskan
wajahnya pada saat bersamaan, tapi Jana tidak memperbolehkannya.
“Ben, look at me. Look at me!” seru Jana keras sehingga Ben kembali menatapnya. “You’re
the best thing that has ever happened to them. Mereka Cuma masih… kaget dan mungkin
sedikit,... takut dengan berita ini. Aku akan bicara dengan mereka. Aku akan jelaskan
semuanya,” lanjutnya sedikit kesandung dengan kata-katanya sendiri, yang diucapkan
terlalu cepat dalam usaha menyakinkan Ben.
Ben masih kelihatan ragu. “Semua ini salahku. Aku seharusnya nggak pernah ngebiarin kamu
pergi begitu aja. Aku seharusnya ngejar kamu…”
Jana menggeleng keras dan mengeratkan rangkumannya pada wajah Ben. Saking eratnya
dia bisa merasakan gesekan jenggot Ben, yang dicukur habis hari ini agar tidak membuatnya
kelihatan seperti penjahat (kata Ben), pada telapak tangannya.
“No, Ben. Jangan nyalahin diri kamu kayak gini. Kalo ada orang yang harus disalahin untuk
semua ini, itu aku. Aku yang udah lari duluan. Aku yang udah misahin kalian. Aku udah
bohong sama kamu dan mereka. Ini semua salah aku dan aku janji akan memperbaikinya.”
“I don’t think you can.”
“B, trust me, I’ll fix this.”
Jana kaget sendiri ketika dia mendengar caranya memanggil Ben barusan dan dari mata
terbelalaknya, sepertinya Ben sudah sama kagetnya. “Did you just call me, B?” tanyanya
dengan nada dan wajah tidak percaya.
Tadinya Jana mau menghindar dengan mengatakan bahwa dia sudah salah dengar, tapi dia
tahu Ben berhak menerima perlakuan lebih baik dari itu setelah apa yang baru saja dia
alami. Jana menarik napas dalam-dalam dan mengangguk.
“Say it again,” pinta Ben.
“Say what again?” Tanya Jana sedikit bingung.
Ben mengambil langkah maju sehingga dada mereka bersentuhan sebelum telapak tangnya
meraih belakang kepala Jana dan menunduk , mendekatkan wajahnya hingga kening mereka
bertemu. Jana bisa merasakan embusan napas Ben pada wajahnya. Dan sekujur tubuhnya
tiba-tiba terasa terlalu panas dan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan udara
Jakarta.
“Namaku,” bisik Ben.
“Ben…”
Ben menggeleng. “Bukan, bukan itu.”
Jana menelan ludah dan memenuhi permintaannya.
“B,” ucapnya.
Jana mendengar Ben menarik napas keras dank arena wajah mereka sangat dekat, dia bisa
merasakan gelitikan bulu mata Ben ketika dia menutup matanya, seakan ingin menyerap
pengucapan huruf itu ke seluruh jiwa raganya. Melihat Ben begitu vulnerable di
hadapannya, membuat Jana sadar bahwa bukan hanya anak-anak yang memerlukannya saat
ini, tapi Ben juga. Sebelum bisa membiarkan dirinya berpikir lagi, Jana sudah menarik wajah
Ben ke bawah dan menciumnya… di bibir. Dia berusaha melakukannya selembut mungkin,
membiarkan bibirnya tetap tertutup. Ciuman ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan
gairah atau nafsu, tapi pernyataan rasa sayang yang dia tidak bisa ucapkan.
Awalnya Ben yang terlalu terkejut seakan tidak percaya ini sedang terjadi, hanya bisa diam
saja. Tapi sedetik kemudian, ketika menyadari Jana memang sedang betul-betul
menciumnya, dia memiringkan kepala agar posisi bibir mereka bisa lebih pas dan membalas
ciuman itu. Pada sudut pikirannya jana sadar anak-anak sedang duduk di mobil hanya
sekitar semester dari mereka dan bisa melihat semua ini dengan jelas, dan itu
menambahkan satu lagi penjelasan yang harus dia berikan kepada mereka. Namun, dia
bersedia melakukan itu semua untuk bisa menenangkan Ben saat ini.
Ben terus menciumnya selama beberapa menit dan Jana membiarkannya. Ciuman Ben kali
ini sangat berbeda dengan ciuman-ciuman sebelumnya yang main serang saja tanpa peduli
apa orang yang sedang diciumnya mau dicium atau tidak. Kali ini Ben hanya menciumnya
dengan bibirnya. Kalau ciuman bisa digambarkan dengan music, ciuman-ciuman Ben
sebelumnya sudah seperti musiknya Metallica, sedangkan ciumannya yang sekarang lebih
seperti musiknya Enya. Dan Jana menemukan dirinya meleleh, lebih dari sebelumsebelumnya
setiap kali bibir Ben menyentuhnya.
Jana kini sadar bahwa terserah apa yang dia sudah katakana pada dirinya sendiri, bahwa dia
tidak akan pernah bisa memberikan hatinya lagi kepada Ben, dia tahu bahwa kenyataannya
adalah dia tidak pernah mendapatkan hatinya kembali dari Ben setelah laki-laki itu
mengambilnya bertahun-tahun yang lalu. Ben selalu memiliki hatinya, dan dari cara Ben
menciumnya dan memeluknya sekarang, seakan dia adalah benda paling berharga yang
pernah dia sentuh, sepertinya tanpa dia sadari, dia sudah memegang hati Ben di dalam
genggamannya bertahun-tahun ini juga.
Memori tentang sikap Ben selama sebulan ini tumpang tindih memenuhi kepalanya. Ben
sudah jungkir-balik melakukan segala sesuatu yang bisa dilakukan seorang laki-laki untuk
menunjukkan bahwa dia serius ingin menjalin hubungan dengannya. Dia sudah mengatakan
mencintainya, ingin menikahinya, ingin menjadi ayah anak-anaknya, kemudian
mengonfirmasi kata-katanya dengan sikapnya. Dan kalau saja yang melakukan ini semua
adalah laki-laki lain selain Ben, Jana tahu dia pasti sudah luluh dari dulu-dulu. Kenapa
membutuhkan sebegini lama sampai akhirnya matanya terbuka dan bisa menerima
kenyataan yang sudah ada di depan matanya selama ini, dia tidak tahu. Yang dia tahu adalah
bahwa rasa berat yang dia rasakan selalu menindih dadanya perlahan-lahan terangkat,
meninggalkan emosi yang hanya bisa digambarkan sebagai kebahagiaan.
Ketika Ben memisahkan bibir mereka beberapa menit kemudian dan melepaskan
pelukannya, Jana mendapati dirinya sedikit linglung. Ben mencoba memberi senyuman
meskipun sedikit terpaksa dan Jana ingin menariknya ke dalam pelukannya lagi hingga dia
bisa melihat senyuman iseng yang selalu terpancar pada wajah Ben setiap kali mereka
bertemu. Tapi dia tahu dia harus memprioritaskan anak-anak saat ini.
“Aku akan telepon kamu nanti, oke?”
Ben hanya mengangguk dan Jana meremas lengannya sebelum masuk ke dalam mobil.
Semenit kemudian dia sudah dalam perjalanan pulang.
***
Selama perjalanan pulang, Erga dan Raka tidak berbicara sepatah kata pun bahkan pada
satu sama lain, lebih memilih memperhatikan lalu-lintas melalui jendela mobil. Jana
bersyukur mereka setidak-tidaknya tidak menangis lagi. Beberapa kali Jana membuka mulut
untuk mengatakan sesuatu, tapi lalu menutup mulut sebelum bisa memulai. Dia tidak
pernah melihat Erga dan Raka sebagai upset. Erga lebih daripada Raka. Jana ada feeling
kalau Raka sebetulnya tidak betul-betul mengerti apa yang sedang terjadi, dia hanya upset
karena Erga upset. Dia menghabiskan sisa perjalanan memformulasikan penjelasan yang
harus dia berikan kepada anak-anak.
Dia tidak tahu cara terbaik untuk melakukannya tanpa membuat Erga dan Raka bingung
atau lebih parah lagi, membencinya. Dia mungkin masih mampu menghadapi kemarahan
atau kekecewaan mereka, tapi tidak kebencian. Selain itu, dia juga tidak tahu cara
mengatakan kepada mereka bahwa awalnya Ben tidak menginginkan mereka. No! dia tidak
akan menceritakan ini kepada mereka. Ini hanya akan membuat mereka membenci Ben dan
menghancurkan hati Ben. Lebih dari apa pun juga, dia tahu Ben berhak mendapatkan
kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Masalah Ben mau menceritakan betapa
messed-upnya dia delapan tahun yang lalu, itu urusan Ben.
Ketika mereka sampai rumah kurang dari sejam kemudian, Erga dan Raka langsung naik ke
lantai atas setelah melepaskan sepatu, meninggalkan Jana bingung sendiri di lantai bawah.
Tahu bahwa dia tidak bisa menunda pembicaraan lagi, Jana menuju kamar mereka. Dia
menemukan Erga dan Raka menyamping dengan punggung menghadap pintu. Raka tidur di
belakang Erga, tangan nya melingkari pinggang kembarannya dengan penuh perlindungan.
Samar-samar dia mendengar isak tangis dan suara kecil yang mencoba menenangkan.
Membutuhkan beberapa menit untuk sadar bahwa yang menangis adalah Erga, sementara
Raka sedang mencoba menghiburnya dengan membisikkan, “Erga jangan nangis. Raka ada
di sini.”
Dan Jana menarik napas dalam-dalam untuk mengusir kesedihan dan keharuan luar biasa
yang tiba-tiba menyerangnya. Kesedihan karena melihat Erga menangis lagi dan keharuan
karena untuk pertama kali menyaksikan peran Erga dan Raka dibalik. Seumur hidup, dia
tidak pernah melihat Raka bersikap sedewasa ini.
“Raka, Erga,” panggil Jana sambil berjalan mendekati tempat tidur.
“Ya, Bunda,” jawab Raka dan langsung memutar tubuhnya untuk menghadapnya.
Wajah Raka kelihatan kering, meskipun matanya sedikit merah. Jana tidak mendapatkan
jawaban dari Erga. Satu-satunya indikasi bahwa dia mendengarnya adalah gerakan tangan
menghapus air mata.
“Sayang, kita perlu bicara tentang apa yang kamu dengar di rumah Mbah tadi.”
Raka langsung menarik tubuh kecilnya ke posisi duduk, dengan begitu memberikan Jana
ruang untuk duduk di atas tempat tidur.
“Oom Ben bi-bilang kalo dia a-ayah Erga dan Raka?” ucap Erga masih sesenggukan.
Jana tidak mencoba membetulkan bahwa sebetulnya informasi itu datangnya dari dia,
bukan Ben. Dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh Erga dan Raka sebelum berkata,
“Iya, Oom Ben memang ayah kalian.”
Mendengar ini Erga langsung berbalik badan untuk menatapnya. “Jadi Oom Ben nggak
bohong?” Tanya nya.
“Nggak, Oom Ben nggak bohong,” jelas Jana.
“Ta-tapi, Bunda bilang ayah Erga dan Raka ada di surge.”
Jana mencoba tidak meringis mendengar nada tuduhan Erga. Tidak mendapatkan reaksi
darinya, Erga mencecarnya. “Jadi Bunda udah bohong sama Erga?”
Jana menarik napas sambil berdoa dalam hati bahwa Erga akan memaafkannya atas
dosanya ini. Dia meremas kaku Erga dan berkata, “Ya, Bunda udah bohong sama Erga.

Maafin Bunda ya, Sayang.”


Dirty Little Secret - Bab 23

No comments:

Post a Comment