Bab 21
Let’s run
Let’s run away
together far away from everyone
To where the
desert meets the sky
And the mountain
meets the sun
Where no one
will ever find us
No one at all
No one
Menginjak bulan November, Ben memutuskan
mengajak Eva melihat-lihat rumah
sementara Erga dan Raka di
sekolah. Selama ini dia selalu pergi sendiri, tapi setelah
beberapa kunjungan masih tanpa
rumah karena dia tidak tahu apa yang dia perlukan untuk
menciptakan rumah yang nyaman
untuk Erga dan Raka, dia tahu dia perlu bantuan. Tadinya
dia mau mengajak Jana, tapi dia
tidak mau mengancam kedekatan dan kenyamanan yang
dia sudah bangun dengannya selama
seminggu ini. Karena jelas-jelas dia sedang melihatlihat
rumah untuk keluarga, bukan rumah
untuk laki-laki single sepertinya, sesuatu yang dia
yakin akan menyalahkan alarm
“Kabur sekarang, laki-laki ini menginginkan sesuatu yang
lebih dari hanya pertemanan”
untuk Jana. Alhasil dia stuck dengan Eva karena Mama nggak
punya cukup kesabaran untuk melakukan
ini dengannya.
“Rumah ini ada empat kamar tidur
dan tiga kamar mandi. Ada halaman belakang yang
cukup luas, sesuai dengan
permintaan Mas Ben.” Ucap Nia, agen property perumahan yang
Ben sewa beberapa hari yang lalu
untuk membantunya mencari rumah.
Ben melirik Eva yang sedang
memutar bola matanya. Sesuatu yang Ben dapati sering
dilakukannya, meskipun tidak di
depan Nia langsung, semenjak bertemu sejam yang lalu. Dia
tahu Eva tidak menyukai Nia.
Bukan saja karena menurutnya suara Nia terlalu cempreng dan
kalau ketawa mirip kuda, tapi
juga karena Nia terlihat sok ramah, bahkan mendekati ganjen
terhadap Ben. Ya, Ben tahu Nia
sudah flirt habis-habisan dengannya meskipun dia sama
sekali nggak memberikan sinyal
“Aku available” atau “Aku tertarik” padanya. Kalau Nia
bukan agen property yang kompeten
dengan rekomendasi yang baik dari salah satu teman
Mama, Ben mungkin sudah mencari
agen lain.
“Saya masih nggak tahu kenapa Mas
Ben mau property sebesar ini kalo hanya akan tinggal
sendiri. Saya bisa cari property yang
lebih kecil dan cocok untuk laki-laki single seperti Mas
Ben.”
Ketika Nia melangkah ke ruangan
lain, Ben mendengar Eva menggeram pelan, “Ugh, aku
mau tonjok aja muka nih cewek.
Boleh nggak aku tonjok mukanya?”
Dan Ben harus mengulum senyum dan
memutar tubuhnya untuk memelototi Eva. Eva
hanya mengucapkan, “What?” dengan
tampang tidak bersalah dan mereka mengikuti Nia
keruangan yang terlihat seperti
ruang keluarga dengan French doors yang terbuka ke
halaman belakang ekstraluas dan
hijau. Dia yakin bisa menggali kolam renang di halaman itu
dan masih punya cukup ruang untuk
bergerak dengan leluasa.
“Dan ini adalah ruang keluarga
yang juga bisa dijadikan ruang makan.”
Kata-kata Nia menarik
perhatiannya dari halaman belakang. Ruang keluarga itu begitu
terang dengan sinar matahari
sehingga tidak membutuhkan lampu sama sekali. Dia bisa
membayangkan dirinya dan Jana
duduk santai di sini pada hari Minggu sore sementara Erga
dan Raka berenang di luar atau
main di karpet di hadapan mereka.
“Ada dua dapur di rumah ini.
Dapur kotor dan dapur bersih,” ucap Nia sebelum suara sepatu
haknya menghilang entah ke mana.
“This is a nice room, Ben. Aku
rasa Jana bakalan suka duduk-duduk di sini.”
Mendengar komentar Eva, dia
langsung menoleh dan melihatnya sedang menatapnya
sambil tersenyum penuh
pengertian. Seperti biasa, Eva sepertinya tahu apa yang ada di
pikiran Ben tanpa dia perlu
mengungkapkannya dengan kata-kata.
Eva mendekatinya dan berbisik,
“Mungkin kamu lebih baik bilang ke Nia kalo kamu udah
nikah. Dengan begitu dia bakalan
berhenti flirting sama kamu.”
“Don’t be mean. Dia Cuma mau jual
rumah dan dia ngeliat aku sebagai sumber komisinya
bulan ini.”
Eva mendengus. “Percaya sama aku,
komisi adalah hal terakhir yang ada di pikirannya. Dia
ngeliat kamu sebagai potensi
suami.”
Oke, Ben tidak bisa menyalahkan
Eva yang berpendapat seperti ini. Dia melihat dengan
mata kepala sendiri bagaimana Nia
menatap Eva dengan sedikit curiga, bahkan
bermusuhan, sampai Ben
mengenalkannya sebagai kakaknya dan wajah Nia langsung
berubah 180 derajat menjadi
superramah. God, he hates fake women. Tingkah laku Nia dan
ibu bernama Asti dari sekolah
Erga dan Raka, yang sampai sekarang masih selalu mecoba
berbicara dengannya setiap kali
melihatnya, membuatnya semakin sadar betapa uniknya
Jana dibandingkan mereka semua.
“Ev, bisa nggak sih kamu
konsentrasi sama tugas kamu mengevaluasi rumah ini, bukan agen
property aku?” Ben mencoba
membisikkan omelannya itu.
“Okay, fine,” gerutu Eva.
Sisa tur property itu berlangsung
dengan lebih efektif dan efisien karena tanpa
sepengetahuannya, ternyata Eva
cukup tahu tentang tata ruangan rumah, dan apa yang dia
butuhkan kalau memiliki dua anak
laki-laki tinggal dengannya. Pada akhir tur, Eva berkata
rumah ini cocok untuknya dan
mengusulkan agar Ben mengajukan penawaran. Mereka
kemudian menghabiskan beberapa
menit untuk membicarakan penawaran itu, dengan Nia
yang sepertinya tidak bisa
berhenti tersenyum. Ben tidak bisa menyalahkannya, dengan
jumlah komisi yang akan dia
dapatkan dari penjualan rumah ini, dia mungkin tidak perlu
menjual rumah lagi sampai tahun
depan.
Ketika mereka memasuki mobil
setelah Nia berjanji akan mengajukan tawaran itu kepada
pemilik rumah, Eva bertanya, “So,
I guess kamu serius ya mau jadi family man?”
“Heck yeah aku serius,” balas Ben
sambil memundurkan mobil dan masuk ke jalan utama
menuju sekolah Erga dan Raka.
“Kamu serius akan berhenti dari
kerjaan kamu yang udah bagus di Chicago untuk balik ke
sini dan mulai dari awal lagi?”
“Yep. Jana kasih aku waktu
sebulan untuk mikirin ini semua. Aku sebetulnya nggak perlu
sebulan untuk mutusin apa yang
aku mau. Aku udah tahu dari awal kalo aku akan give up
apa aja untuk bisa deket sama
anak-anak.”
“Hanya anak-anak?” Tanya Eva
hati-hati.
“Well, untuk bisa deket sama Jana
juga,” jelas Ben akhirnya.
“Ben,” ucap Eva dengan nada
mengingatkan.
“Ev, aku tahu apa yang akan kamu
omongin. Dan untuk ngejawab pertanyaan yang
berputar-putar di kepala kamu
meskipun kamu nggak mau ngucapinnya, ya aku yakin sama
keputusan kamu.”
Ben melirik Eva yang sedang
menatapnya prihatin. “Aku Cuma nggak mau kamu
menggantungkan semua harapan ke
dia tanpa ada jaminan bahwa dia on the same page
sama kamu. Don’t get me wrong. I
love Jana. I think she’s great. Dan aku hormat sama dia
karena udah ngebesarin
keponakan-keponakanku dengan sangat baik sendirian, sementara
masih jadi wanita karier. Aku
juga tahu dia masih cinta sama kamu. Cuma orang buta aja
yang nggak bisa ngeliat itu.”
Ben hanya bisa tersenyum atas
assessment Eva sebelum dia melanjutkan, “Tapi aku juga
nggak tahu kalo dia takut untuk
ngebiarin dirinya percaya sama kamu lagi. Mama bahkan
bilang Jana masih kelihatan
agak-agak canggung sampe sekarang. Aku rasa dia nyoba untuk
jaga jarak dengan keluarga kita,
kalau-kalau hubungan kamu dan anak-anak nggak work-out.
So, pertanyaannya adalah, apa dia
akan membiarkan cinta atau ketakutan mendikte langkah
selanjutnya menyangkut kamu,”
lanjut Eva.
Ben mendesah panjang. “Itulah
yang aku masih coba cari tahu, Ev. Aku nggak bisa paksa dia
untuk menerima aku atau percaya
sama aku dalam hitungan minggu. Dia bahkan bilang dia
Cuma mau jadi teman.”
“She did not??!!!” teriak Eva
penuh horor.
Ben mengangguk mengiyakan.
“Kapan dia ngomong begitu?”
“Minggu lalu,” jawab Ben, mencoba
tidak meringis mengingat pembicaraan malam itu.
“Dan kamu malahan lihat-lihat
rumah yang cukup untuk menampung keluarga besar minggu
ini?” sekali lagi Ben mengangguk.
“God, you’re stupid.”
“Hey!” omel Ben tersinggung.
“Sori. But, seriously, Ben? Apa
kamu sebegini desperate-nya untuk Jana? Dia Cuma mau jadi
teman, dude!!!”
“Ev, aku ini nggak tuli, aku tahu
apa yang Jana bilang ke aku. Tapi selama dia nggak bilang
dia nggak mau lihat aku lagi,
nggak mau aku ketemu sama anak-anak, aku akan ada di sini.
Dan selama dia nggak bilang ‘Aku
udah nggak cinta sama kamu lagi’, aku tetep akan
melakukan apa aja untuk
ngeyakinin dia supaya mengubah pendapatnya, betapa pun
lamanya itu.”
“Kamu tahu kan itu bisa
selama-lamanya?”
“Yeah, I know,” ucap Ben pasrah.
“Damn boy. You got it bad,” ledek
Eva
Kalau saja orang selain Eva yang
mengatakannya dan kalau orang itu mengatakannya
tentang orang lain selain Jana,
dia mungkin sudah meninjunya. Yang ada, sekarang dia
hanya bisa tersenyum.
***
Malam itu Ben menelepon bosnya di
Chicago untuk memberitahu tentang pengunduran
dirinya. Meskipun George menerima
pengunduran dirinya tanpa mengomel, Ben tahu kalau
saja ada pilihan, dia mau tetap
mempekerjaannya. Dia bahkan memintanya untuk
menghubunginya lagi kalau saja
dia menemukan dirinya kembali di Chicago. Tanpa Ben
sangka-sangka, George berjanji
akan mengirimkan daftar nama beberapa orang yang bisa
dia hubungi tentang pekerjaan
sebagai konsultan manajemen di Jakarta. Dia bahkan tidak
tahu George punya koneksi di
Asia, apalagi di Indonesia. Setelah memastikan dia akan ke
Chicago dalam waktu dekat untuk
membereskan mejanya dan menyerahkan surat
pengunduran dirinya, Ben menutup
telepon dengan penuh tujuan.
Dia sudah dalam proses
mendapatkan rumah, yang dia perlukan sekaraang adalah
pekerjaan untuk memulai hidupnya
di Jakarta. Meskipun dia bersyukur bisa mengambil cuti
dari pekerjaan dan hangout dengan
anak-anak, tapi dia mulai merindukan hidup dengan
pekerjaan yang menantang dan
tanggung jawab lebih daripada hanya mengantar-jemput
anak-anak dari sekolah dan
menghibur mereka sampai waktu tidur. Dan dengan semangat
menggebu-gebu, dia membuka laptop
untuk mulai meng-update resume-nya. Selama
melakukan ini, dia memikirkan
waktu yang tepat untuk berbicara dengan Jana tentang
keberangkatannya ke Chicago. Tapi
ada satu hal yang lebih penting yang ingin dia
kemukakan kepada Jana. Dia ingin
Erga dan Raka tahu bahwa dia ayah mereka sebelum dia
berangkat ke Chicago.
***
Beberapa hari kemudian, mami Jana
menundang Ben makan siang di rumahnya pada hari
Minggu. Sesuatu yang menurut Jana
adalah tradisi, dan menurut Ben adalah hell. Sepanjang
makan siang yang ada di dalam
pikirannya adalah bahwa ini terakhir kalinya dia akan
melakukan ini. Peduli setan
dengan apa yang orangtua Jana mau dan tradisi yang mereka
sudah terapkan. Dia tidak
mengerti bagaimana Jana bisa tahan duduk satu meja dengan
Papinya yang sepanjang makan
siang terus mengomentari segala sesuatu yang salah dengan
Jana, mulai dari caranya
menangani proyek di kantor hingga hubungan dekatnya dengan
orang-orang yang dinilai tidak
satu level dengannya. Ketika Jana mencoba menjelaskan,
beliau langsung mengganti topic,
tidak mau mendengarkan. Untung saja beliau masih
tersenyum kepada Erga dan Raka,
kalau tidak, Ben yakin dia sudah mencekiknya. Entah
kenapa, papi Jana mengundang sisi
ganasnya keluar.
Dan dia yakin kehadirannya juga
mengundang perasaan yang sama terhadap papi Jana, yang
terus memberikan stink eye
padanya. Oke, dia mungkin berhak menerima tatapan tidak
suka Papi Jana mengingat
sejarahnya dengan Jana. Dan dia juga mungkin berhak
menerimanya karena dia baru bertatap
muka dengan beliau setelah selama sebulan menjadi
bagian kehidupan Jana dan
cucu-cucunya. Tapi sejujurnya, dia terlalu sibuk mencoba
merebut hati Jana kembali dan
berusaha menjadi ayah yang baik bagi anak-anak untuk
memikirkan tentang mertuanya.
Bah, mertua???!!! Dia bahkan tidak tahu apakah dia bisa
memanggil papi Jana mertua,
mengingat dia dan Jana tidak pernah menikah. Kalau dipikirpikir
lagi, dia bahkan tidak tahu
apakah dia mau mengasosiasikan dirinya pada papi Jana
setelah hari ini.
Sekali lagi Jana mencoba
mengucapkan maaf dengan matanya dari seberang meja dan ini
membuat Ben kesal. Jana tidak
seharusnya minta maaf atas sikap papinya. Beliau adalah
laki-laki dewasa yang bisa
meminta maaf sendiri kalau mau. Sesuatu yang Ben yakin tidak
akan terjadi. Kesan yang Ben
dapatkan tentang papi Jana adalah bahwa beliau dictator
sejati. Beliau hidup untuk
mengatur orang-orang di sekitarnya. Mungkin itu sebabnya beliau
bisa begitu sukses sebagai
pemimpin, tapi suck as hell sebagai ayah. Bertemu dengan papi
Jana membuat Ben sadar bahwa dia
lebih baik mati daripada memperlakukan anak-anaknya
seperti papi Jana memperlakukan
Jana.
Semenjak mereka tiba di rumah
ini, Jana kelihatan sangat tidak nyaman. Seolah dia takut
akan membuat kesalahan dan
diomeli. Hilang sudah wanita dewasa yang independent dan
percaya diri yang biasa di lihat
Ben, yang tersisa hanyalah sesorang yang kelihatan tidak
pasti dengan hidupnya. Dia sudah
melihat interaksi Jana dengan Maminya yang memang
tidak bisa di bilang normal, tapi
setidak-tidaknya mereka masih berbicara bak ibu dan anak.
Lain halnya dengan papi Jana yang
memperlakukannya seperti orang asing. Ben betul-betul
tidak mengerti hubungan orangtua
dan anak yang seperti ini. Anak-anak seharusnya bisa
relaks di hadapan orangtua
mereka, karena orangtua adalah tempat anak bisa mengadu
tanpa dinilai yang tidak-tidak.
Ben tahu bahwa orangtuanya,
bahkan keluarganya, sering dinilai kaku oleh orang luar, tapi
dia tahu keluarganya akan selalu
mendukungnya seratus persen dan rela melakukan apa
saja untuknya. Sesuatu yang tidak
dia lihat dari orangtua Jana. Pengalaman hari ini telah
membuka matanya akan apa yang
harus dihadapi Jana selama 27 tahun dan dia ingin
menendang dirinya karena
meninggalkan Jana sendirian di dalam lingkungan yang tidak
sehat ini. Dia ingin membawa Jana
dan anak-anaknya keluar dari sini sekarang juga dan tidak
pernah kembali lagi.
Dia tidak tahu bagaimana dia bisa
menghabiskan makanan yang ada di piringnya, tapi tahutahu
Jana sudah bangun dari kursinya
untuk membersihkan meja dan papi Jana
memerintahkan Ben untuk
mengikutinya ke taman belakang. Ya, satu lagi yang Ben dapati
tidak bisa dia toleransi dari
papi Jana adalah bahwa beliau sepertinya tidak mengenal kata
“meminta”. Semua yang keluar dari
mulutnya diucapkan sebagai perintah.
Papi Jana duduk di salah satu
kursi taman dan menyodorkan kotak kayu berisi cerutu
padanya. Dengan sopan Ben
menolak. Papi Jana tidak mengatakan apa-apa untuk beberapa
menit, sibuk dengan cerutunya.
Ben mencoba memikirkan berapa lama lagi dia harus ada di
rumah ini sebelum bisa pulang
membawa Jana dan anak-anaknya ketika dia melihat kepulan
asap keluar dari mulut papi Jana
dan aroma tembakau kuat menyerang indra
penciumannya.
“Saya rasa nggak ada gunanya bagi
saya untuk basa-basi, jadi saya akan ngomong langsung
apa yang ada di pikiran saya.”
Ben hanya bisa mengangkat alisnya
sebelum papi Jana berkata-kata lagi. “Saya nggak suka
sama kamu. Dan apa pun rencana
kamu dengan Jana dan cucu-cucu saya, saya sarankan
kamu lupakan saja. Kamu bukan
orang baik dan saya nggak mau kamu dikehidupan
mereka.”
Inilah kalimat terpanjang yang
papi Jana ucapkan padanya semenjak mereka bertemu
sehingga Ben membutuhkan beberapa
menit untuk meyakinkan dirinya bahwa beliau betulbetul
sedang berbicara padanya. Dan
ketika dia bisa mencerna kata-kata itu, segala
kekesalan yang dia rasakan
terhadap papi Jana berubah menjadi kemarahan. Beraniberaninya
laki-laki ini ngomong dengan nada
menghina seperti itu padanya. Dia bahkan
tidak mengenalnya sehingga bisa
membuat penilaian seperti itu. Untuk beberapa detik Ben
berdiam diri, mencoba menenangkan
kemarahan yang akan meluap sebentar lagi. Dia
memutar otaknya mencari balasan
yang tepat atas kata-kata papi Jana. Membalas
penghinaan dengan penghinaan
bukanlah jawaban. Dia baru saja akan memohon maaf
ketika dia melihat wajah papi
Jana yang penuh dengan kesombongan dan lupa sama sekali
dengan sopan santunnya.
Sebelum bisa berpikir lagi, Ben
sudah berkata, “Bagus Oom ngomong begitu karena saya
juga memikirkan hal yang sama
tentang Oom. Saya nggak mau Jana dan anak-anak saya
hidup di bawah control Oom lagi.
Saya akan nikahi Jana dan jadi ayah yang baik untuk anakanak
saya. Saya akan member mereka
kehidupan yang lebih dari cukup, lebih dari yang Oom
pernah berikan ke istri dan
anak-anak Oom.”
Papi Jana hanya menatapnya dengan
tenang sambil mengepulkan asap cerutunya pada
wajah Ben dan Ben berusaha
menahan diri agar tidak mencekik beliau.
“Apa yang kamu pikir kamu tahu
tentang menjadi suami dan ayah yang baik, son? Nothing.
Jangan pikir hanya karena kamu
sudah menghabiskan beberapa minggu ini dengan Erga dan
Raka, membuat kamu berhak untuk
memanggil diri kamu ayah.”
Hell no!!! he did not just say
that.
“Setidak-tidaknya anak-anak saya
selalu senang hangout sama saya, bukannya kelihatan
tertekan. Dan saya nggak perlu
membeli kasih sayang mereka dengan pura-pura membantu,
tapi sebagai balasannya memeras
emosi mereka seperti yang Oom lakukan terhadap Jana.
Oom lihat saja , saya akan bawa
mereka keluar dari lingkungan nggak sehat ini.”
“Apa kamu mengancam saya di rumah
saya sendiri?”
Ben tidak tahu bagaimana suara
dan tatapan papi Jana bisa lebih dingin dari sebelumnya,
tapi itulah yang dia dapati.
Menolak mundur, Ben menegakkan punggungnya dan balik
memerikan tatapan yang tidak
kalah dinginnya kepada papi Jana. Dia seorang Barata, dia
bisa membuat orang merinding
hanya dengan tatapannya kalau dia mau.
“Itu bukan ancaman, Oom. Itu
janju,” ucap Ben setenang mungkin.
Papi Jana menyipitkan mata,
jelas-jelas tidak menyukai komentar ini dan pada detik itu Ben
tahu kata-katanya sebelumnya
sudah mengenai beliau. Memutuskan dia tidak mau berakhir
dengan membunuh papi Jana kalau
dia tetap duduk di sini, Ben berdiri dari kursinya, siap
melangkah pergi begitu saja
meninggalkan papi Jana, membiarkannya memikirkan katakatanya.
Tapi dia dibesarkan dengan tata
krama untuk menghormati tuan rumah tempat dia
bertamu meskipun tuan rumah itu
jelas-jelas tidak berhak menerimanya.
Ben menatap papi Jana lekat-lekat
dan berkata, “Terima kasih atas makan siangnya. Selamat
siang, Oom.”
Dan Ben melangkah pergi dengan
keyakinan bahwa lain kali dia bertatap muka dengan papi
Jana, dia akan membawa
pengacaranya.
***
“Mami lihat hubungan kamu dengan
Ben udah jauh lebih baik dari minggu-minggu
kemarin.”
Jana hanya tersenyum mendengar
komentar Mami, tapi memilih tetap menutup mulut. Ya,
hubungannya dengan Ben memang
sudah jauh lebih baik. Meskipun Ben menganggap
enteng semua pertolongannya
ketika dia sakit, Jana tidak bisa melupakan kebaikan itu
begitu saja. Oleh karenanya
selama beberapa hari ini dia sudah berusaha sebisa mungkin
menerima kehadiran Ben dengan
tangan dan hati lebih terbuka.
“Apa itu ada hubungannya dengan
Ben menginap di rumah kamu?” Jana yang sedang
menumpukkan piring langsung
menoleh terkejut. “Mami tahu dari mana Ben nginep di
rumahku?”
Tanpa menjawab, Mami justru balik
bertanya. “Jadi betul Ben nginep di rumah kamu?”
tanyanya dengan mata sedikit
terbelalak.
Jana bisa menebak apa yang
terlintas di kepala Mami dan dia tidak menyukainya sama
sekali. “Mam, tolong jangan mikir
yang nggak-nggak. Aku lagi sakit dan Ben yang ngurusin
aku sampe malem. Aku nggak mau
dia nyetir sendirian malem-malem, jadi aku kasih dia
tidur sama anak-anak,” jelas
Jana.
Dasar si Mami, bukannya
mengkhawatirkan kesehatannya, beliau justru bertanya, “Apa ada
tetangga yang tahu kalo dia
nginep?”
“Aku nggak tahu dan nggak
peduli,” jawab Jana, langsung mengangkat tumpukan piring ke
dapur.
Mami mengikutinya. “Gimana bisa
kamu nggak peduli? Apa yang bakal mereka pikir tentang
kamu dengan laki-laki bukan suami
di rumah kamu semalaman?”
“Aku yakin tetangga-tetangga aku
punya kerjaan lain yang lebih penting daripada ngeliatin
siapa yang datang dan pergi dari
rumah aku.”
Dia mulai membasuh piring-piring
kotor sebelum menatanya di dalam dishwasher. Mami
hanya berdiri sambil bertolak
pinggang di sampingnya.
“Jana, jangan anggap enteng
masalah ini. Ini masalah serius. Kita sudah susah payah
membersihkan nama Oetomo beberapa
tahun ini.”
Jana memutar bola matanya. Dia
paling nggak tahan kalau Mami mulai bersikap dramatis
seperti ini. Sejujurnya, nama
Oetomo tidak sebegitu terkenalnya seperti yang Mami dan
Papi pikir. Banyak orang yang
tidak tahu dan tidak peduli siapa mereka. Tapi tentu saja dia
tidak bisa mengatakan itu kalau
tidak mau diteriaki sebagai anak kurang ajar oleh Mami.
“Mam, bisa nggak sih untuk kali
ini aja Mami nggak mendramatisasikan keadaan?” Jana
mulai membasuh sendok dan garpu
kotor dan memasukkannya juga ke dalam dishwasher.
“Mami nggak mendramatisasi
keadaan. Ini masalah genting, Jana. Mami mau kamu
ngomong sama Ben kalo dia
memikirkan mau menghabiskan lebih banyak waktu di rumah
kamu sampe tengah malam buta, dia
harus menikahi kamu.”
Dirty Little Secret - Bab 22
No comments:
Post a Comment