Bab 20
You told me not to worry
Then I told you where to sleep tonight
I wanted to be with you
And you wanted me to come around
Jana tidak tahu berapa jam sudah berlalu
ketika dia terbangun. Dia hanya tahu kepalanya
sudah tidak pusing lagi. Perlahan-lahan
dia mencoba mendorong tubuhnya, yang masih
terasa agak lemas, agar bisa duduk. Dan
untuk beberapa menit, itu saja yang bisa dia
lakukan. Duduk dan mencoba tidak
bernapas terlalu dalam, kalau-kalau pusing kepalanya
kembali lagi. Dia tidak tahu kenapa dia
sakit seperti ini. Sepanjang hari kemarin dia merasa
baik-baik saja, dia masih merasa oke
ketika menjemput anak-anak dari rumah Mami, tapi
kemudian dia sampai rumah dan kepalanya
mulai terasa agak pusing. Dia tidak
menghiraukannya karena berpikir itu
hanya pusing biasa. Tapi tadi pagi dia bahkan nggak
bisa mengangkat kepalanya dari atas
bantal.
Samar-samar dia ingat beberapa kali Ben
memintanya makan bubur sebelum menyodorkan
obat padanya. Dia juga ingat melihat
Erga dan Raka di kamarnya. Dia melirik ke arah jendela
untuk mengukur waktu, tapi mendapati
seseorang sudah menutup tirai jendela. Kamarnya
kini juga diterangi sinar lampu
kekuningan dari nakas sebelah kanan. Jana memicingkan
matanya untuk melihat jam dinding dan menemukan
waktu sudah menunjukkan pukul
22.15. berpikir dia sudah salah lihat,
dia meraih jam tangan di atas nakas dan waktu
menunjukkan saat yang sama. Jam sepuluh?
Malam atau pagi? Perlahan-lahan dia berjalan
menuju jendela dan menyingkapkan
tirainya, menemukan langit di luar gelap tanpa bintang.
Malam. Whoa… sudah berapa lama dia
tidur? Siapa yang mengurus anak-anak sementara
dia tidur? Dimanakah mereka sekarang?
Sambil sedikit meringis dia bergerak ke pintu kamar
yang setengah terbuka, menuju kamar
anak-anak. Dia mendorong pintu kamar anak-anak
dan melihat pemandangan teraneh yang
pernah dia lihat sepanjang hidupnya.
Membutuhkannya beberapa menit untuk
menyadari bahwa dia sedang berhadapan dengan
tenda yang terbuat dari sprai. Jana
tidak tahu bagaimana tenda itu bisa berdiri karena dia
tidak melihat sebatang pasak pun untuk
menyangganya. Tapi harus dia akui, ini adalah
tenda paling kreatif dan cool yang
pernah dia lihat.
Lain dengan kamarnya, kamar anak-anak
disinari lampu Natal yang merambat pada langitlangit
kamar, membuatnya terlihat seperti
bintang di langit pada waktu malam. Lampu itu
memberikan cukup sinar pada mulut tenda
yang terbuka sehingga dia bisa melihat dengan
jelas tubuh Ben di antara Erga dan Raka.
Ketiga-tiganya sedang tidur lelap. Tangan Erga dan
Raka memeluk tubuh Ben erat dan kedua
tangan Ben memeluk tubuh anak-anaknya dengan
tidak kalah eratnya. Bahkan dalam tidur
Ben masih mampu terlihat posesif dan protektif.
Jana yakin dia akan membuat siapa pun
yang cukup bodoh mencoba mengambil anak-anak
darinya babak-belur dalam hitungan
detik.
Suatu keinginan untuk bergabung tidur
bersama mereka menyerangnya, membuatnya
mundur selangkah dan menyandarkan
kepalanya pada kusen pintu. Dia tidak ingat kapan
terakhir kali dia tidur dengan
anak-anak. Mungkin ketika mereka berumur tiga tahun dan
mengalami krisis “Ada monster di dalam
lemari”. Atau mungkin waktu Raka terkena cacar
dan menularkannya kepada Erga sekitar
dua tahun yang lalu. Dia tidak pernah
membolehkan anak-anak tidur dengannya,
tidak peduli mereka takut atau sakit, semenjak
mereka menginjak umur empat tahun dengan
alasan mereka harus belajar mandiri, dimulai
dengan tidur sendiri.
Jadi kenapa dia tiba-tiba menginginkan
ini? Apa karena Ben tidur bersama mereka dan dia
tidak? Bahwa dia hanya jealous saja atas
kedekatan anak-anak dengan Ben? Semakin Jana
mencoba memahami keinginannya, semakin
takut dia dibuatnya. Karena dia tahu alasan
utama dia mau tidur dengan anak-anak
adalah karena Ben. Dia ingin tidur dengan Ben, No,
no, no… itu salah. Kata “dengan”
mengimplikasikan tidur dengan tanda kutip. Sesuatu yang
tidak dia inginkan sama sekali. Oke, itu
tidak benar. Dia memang mau tidur dengan Ben, tapi
tidak sekarang. Yang dia inginkan
sekarang adalah tidur “Disebelah” Ben.
Untuk mendengarkan suara napasnya yang
perlahan-lahan melambat dan teratur ketika dia
sudah tertidur. Untuk melihat wajahnya
yang bersih dari kerutan kekhawatiran, dan untuk
mengambil kesempatan menyentuhnya dengan
bebas ketika dia tidak sadar diri dan tidak
bisa menolak. Oh, God, dia terdengar
seperti seorang stalker. Jana menyalahkan semua ini
pada jumlah obat yang dia minum hari
ini, yang sudah membuatnya memikirkan yang tidaktidak.
Buru-buru dia keluar dari kamar itu dan
menutup pintu sebelum Ben terbangun dan
menemukannya sedang menatapnya dengan
mupeng.
Suara perutnya menandakan minta diisi.
Untuk pertama kali semenjak tadi pagi, dia merasa
lapar. Kalori dari beberapa suap bubur
buatan Ben yang bisa dia telan sudah lama terbakar.
Dia masih tidak percaya laki-laki itu
sudah mengurusnya dengan sangat telaten sepanjang
hari ini tanpa sekali pun kelihatan
tidak sabaran menghadapinya. Ben bahkan sudah
memanggilnya “baby” dan “babe” beberapa
kali. Tentunya dia lebih baik mati daripada
membiarkan Ben tahu bahwa diam-diam dia
menyukai panggilan itu.
***
Ben tidak tahu apa yang membangunkannya,
tapi sebelum dia mencapai kesadaran penuh,
dia ingat akan Jana dan matanya langsung
terbuka lebar. Dia melihat Erga dan Raka masih
tertidur di sampingnya dan dengan sangat
berhati-hati dia mencoba melepaskan diri dari
pelukan mereka. Erga hanya membalik
badannya sebelum tertidur kembali, sedangkan Raka
tidak bangun sama sekali. Tidak bisa
menahan diri melihat betapa menggemaskannya anakanaknya
kalau sedang tidur, dia memberikan
ciuman pada kepala mereka.
“I love you,” bisiknya pada keduanya.
Setelah menutup pintu di belakangnya,
Ben segera menuju kamar Jana. Dia melirik jam
tangan dan menemukannya sudah
menunjukkan pukul 23.00. dia tidak percaya sudah tidur
bersama anak-anak selama hampir tiga
jam, padahal dia hanya berencana menemani
mereka sampai mereka tertidur. Tadi
siang sebelum menjemput anak-anak dan menemukan
Jana masih tewas di tempat tidur setelah
mandi, dia memutuskan mengambil beberapa
helai pakaian dari rumah untuk menginap
di rumah Jana mala mini. Dia tahu keputusannya
menginap mungkin akan menimbulkan
sedikit gossip di antara tetangga Jana, tapi dia tidak
peduli. Yang dia tahu adalah bahwa Jana
tidak akan bisa mengurus anak-anak kalau dia
bahkan tidak bisa bangun dari tempat
tidur.
Ben mendorong pintu kamar Jana dan harus
mengedipkan matanya beberapa kali ketika
melihat tempat tidur kosong. Matanya
langsung beralih ke pintu kamar mandi yang terbuka.
Lho kok? Ke mana perginya Jana? Dia
memutar tubuhnya dan melangkah menuju tangga. Di
lantai dasar, ruang TV masih gelap
seperti ketika dia tinggalkan beberapa jam yang lalu. Dia
langsung menoleh kea rah dapur yang
lampunya dibiarkan menyala ketika dia menangkap
gerakan pada sudut matanya.
“Jan?” panggilnya.
Dia mendengar suara Jana, meskipun sedikit
parau memanggil namanya. Buru-buru dia
masuk ke dapur dan menemukan Jana duduk
di salah satu kursi bar yang mengitari sebuah
meja di tengah-tengah dapur dengan
semangkuk makanan yang masih panas di
hadapannya. Ben melihat bungkus mi
instan yang sudah kosong tergeletak di samping
kompor.
“How do you feel?” tanyanya.
“A lot better,” jawab Jana sambil
melahap mi instannya dengan agak ganas.
“Laper?” Tanya Ben lagi.
“Banget,” jawab Jana dengan mulut penuh.
Dan Ben tidak bisa menahan dirinya
tersenyum lebar. Beberapa jam yang lalu Jana kelihatan
sudah mau mati saking pucatnya, tapi
sekarang, wajahnya sudah jauh lebih berwarna dan
matanya bahkan sedikit berbinar. Suatu
rasa bangga menyusup ke dalam hatinya ketika
menyadari bahwa dia sudah berperan untuk
membuat Jana merasa lebih baik.
“Jangan berdiri saja di situ sambil
ngelihat aku kayak orang minta makan, Ben.”
Kata-kata Jana membuatnya sadar bahwa
dia sudah ngelihatin Jana selama beberapa menit
tanpa berkedip. Buru-buru dia
mengedipkan matanya dan berjalan menuju Jana.
“Kamu mau?” Tanya Jana sambil menunjuk
mangkuk dengan sumpitnya.
Ben menggeleng dan mendudukkan dirinya
di kursi bar yang berhadapan dengan Jana.
“Kamu bangun jam berapa tadi?” tanyanya.
“Sekitar sejam yang lalu.”
“Kenapa nggak bangunin aku?”
“Aku nggak mau ganggu. Kamu kelihatan
ngantuk banget.”
Ben menutup matanya dan memijat kelopak
matanya untuk mengusir kantuk yang masih
tersisa. “Sori. Aku mestinya jagain
kamu, tapi malah ketiduran.”
Ketika membuka matanya lagi, dia melihat
sumpit yang sedang dalam perjalanan menuju
mulut Jana tergantung di udara. Jana
sedang menatapnya dengan mulut ternganga sebelum
perlahan-lahan menurunkan sempit yang
penuh dengan mi itu. Untuk seperempat detik dia
kelihatan sangat tidak nyaman. Damn!!
Sumpah Ben dalam hati. Jana hanya mau jadi
teman, Ben. TEMAN. Ingat itu!
“About that… makasih ya udah ngurusin
aku hari ini. Aku tahu itu nggak ada dalam rencana
kamu hari ini. Dan aku minta maaf karena
bikin kamu harus jagain anak-anak seharian
penuh,” ucap Jana.
“Don’t worry about it. Sudah jadi tugas
aku sebagai orangtua untuk ngurus anak-anak. Lagi
pula Erga dan Raka gampang diurusnya,”
jelas Ben, sengaja memfokuskan jawabannya pada
anak-anak agar tidak membuat Jana tambah
tidak nyaman.
Usahanya sepertinya berhasil karena Jana
mengangguk terima kasih sambil tersenyum
sebelum kembali mengangkat sumpit untuk
melanjutkan makannya.
“Aku lihat kamu bikin tenda untuk
mereka,” ucap Jana
Ben terkekeh mengingat kejadian beberapa
jam yang lalu ketika dia sudah kehabisan ide
untuk menghibur anak-anak. Dia menelepon
Eva yang mengusulkan ide brilian itu. Tidur di
bawah tenda adalah satu hal yang paling
dia sukai ketika dia seumuran Erga dan Raka dan
dia tidak tahu kenapa dia tidak
memikirkan hal ini sebelumnya.
“Kamu belajar bangun tenda dari mana?”
Tanya Jana setelah menelan gulungan mi instan
terakhir ke dalam mulutnya.
“Pramuka.”
“Kamu serius?”
Ben ingin tertawa melihat wajah
tercengang Jana. “Iya, aku serius.”
“Apa kamu bisa bikin api hanya pake dua
tangkai pohon atau batu kayak yang aku lihat di
TV?”
Ben tersenyum melihat keantusiasan Jana
mendengar tentang pramuka. Jarang-jarang ada
orang yang masih bisa menghargai pramuka
zaman sekarang. Anak-anak gaul masa kini
lebih milih ekskul yang menurut mereka
cool, seperti ngeband, cheerleading, modern
dance, dan segala tetek-bengek lainnya.
Dia sama sekali tidak mau mengentengkan aktivitas
ekskul seperti itu, tapi terkadang dia
suka bertanya-tanya apakah ekskul yang tujuannya
hanya untuk menghibur betul-betul
berguna untuk masa depan anak-anak. Apa yang akan
mereka lakukan kalau misalnya terdampar
di suatu pulau tanpa persediaan? Apa mereka
akan makan gitar atau drum mereka? Atau
berteriak-teriak sambil loncat-loncat meminta
pertolongan sampai tenaga mereka habis?
“Mungkin kalo terus jadi pramuka, aku
bisa bikin api Cuma pake kaca pembesar dan sinar
matahari, tapi sayangnya aku berhenti
waktu SMA.”
“Kenapa berhenti?”
Ben mengangkat bahu. “Sibuk sama sekolah
dan hal lainnya.”
“Well, setidak-tidaknya kamu belajar
sesuatu dari pramuka,” ucap Jana.
Ben hanya mengangguk. Tanpa Ben
sangka-sangka Jana mengangkat mangkuk dan
menyeruput kuah mi instan sampai habis.
“Mangkuknya jangan dimakan, Jan,” ledek Ben.
“Sori,” ucap Jana tersenyum malu ketika
menurunkan mangkuk.
Dari wajah puasnya dan lidahnya yang
keluar untuk menjilat sisa-sisa kuah pada bibirnya,
Ben tahu Jana nggak “Sori” sama sekali.
“Kamu masih laper? Aku ada sisa nasi
goreng di dalam container di lemari es.”
Mata Jana langsung berbinar-binar
mendengarnya dan dia kelihatan betul-betul
mempertimbangkan tawaran ini sejenak.
Satu hal yang dia ketahui tentang Jana akhir-akhir
ini adalah, seperti anak-anaknya, dia
sudah ketagihan sama nasi goreng dan telur dadar Ben.
Sesuatu yang dia syukuri, karena selain
ayam panggang, hanya ada dua masakan itulah yang
dia tahu cara membuatnya. Dia tahu Erga
dan Raka tidak menyukai sup terongnya karena
mereka tidak pernah lagi memintanya
membuatnya.
Dia melihat Jana menggeleng dengan wajah
sedikit bersalah. “Nggak ah, nanti makin
gendut, lagi,” ucapnya sambil mengusap
perutnya dengan penuh sesal.
Gendut? Sudah gila si Jana. Dia bisa
makan berember-ember pasta, nasi, roti dan mi instan
dan Ben yakin dia masih nggak bisa
gendut. Gen gendut sama sekali nggak ada di dalam
keturunannya. Lihat saja maminya yang
kurus kering kerontang.
“Jan, kamu nih jauh dari gendut,” omel
Ben,
Jana yang sedang berjalan ke bak cuci
piring menoleh. Kemudian wajahnya sedikit memerah
sebelum berkata, “Kamu nggak usah
ngomong gitu Cuma untuk bikin aku ngerasa lebih baik,
Ben. Kamu udah lihat aku naked tadi
siang di kamar mandi. I looked horrible.”
Untuk beberapa detik Ben hanya bisa
menganga, tidak percaya akan apa yang didengarnya.
Tapi kemudian dia melihat wajah Jana
yang sedang memberikan senyuman rendah diri dan
dia sadar Jana serius. What the hell?
Apa dia sebegini tidak percaya dirinya dengan bentuk
tubuhnya yang menurut Ben perfect itu?
“Coba kesiniin perut kamu, aku mau lihat
apa betul-betul gendut,” ucapnya
Meskipun Ben mengatakannya dengan nada
bercanda, dan awalnya hanya melakukan ini
untuk membuat Jana merasa lebih baik,
dia mendapati dirinya betul-betul ingin melihat
perut Jana. Hei, dia laki-laki, oke?
Laki-laki dengan seksualitas tinggi kalau mau lebih spesifik
lagi. Wajar-wajar saja kalau dia
memikirkan tentang tubuh wanita setidak-tidaknya sejam
sekali. Terutama kalau dia pada dasarnya
sudah tidak melihat wanita naked beberapa bulan
ini. Beberapa jam yang lalu ketika dia
memandikan Jana tidak masuk hitungan, karena dia
terlalu mengkhawatirkan wanita itu.
Jana mendengus sebelum tertawa kecil.
“Aku udah ngasih kamu lihat perut aku dan
beberapa bagian lain yang sebetulnya aku
lebih pilih nggak pernah dilihat sama orang lain,
sekali hari ini. Nggak pake dua kali,”
ucapnya sambil mulai mencuci mangkuknya.
Ben nyengir puas sudah membuat Jana
kembali ceria.”Well, nggak ada salahnya nyoba. Sini
biar aku aja,” ucapnya sudah siap
mengambil mangkuk dari tangan Jana.
Jana hanya memelototinya dan dia harus
puas memarkir diri dengan menyandarkan
bokongnya pada meja dapur di samping
Jana, memperhatikan gerakan tangannya yang
lemah gemulai mencuci mangkuk dan
sumpit. Oh God, dia ingin jadi mangkuk dan sumpit
itu!
“Apa pernah ada cewek yang nurutin
permintaan konyol kamu itu?” Tanya Jana setelah
beberapa menit, menyentakkan Ben dari
fantasinya.
“Aku nggak tahu juga. Aku nggak pernah
minta itu dari cewek lain.”
Jana menatapnya dalam-dalam, sebelum
mendengus dan berkata, “Wow, that was just
lame, Ben.”
Ben tidak bisa menahan diri lagi, dia
sudah terkekeh. Ya, dia tahu gombalannya itu lame
banget dan dia sebaiknya berhenti
sekarang juga sebelum Jana kembali menarik diri
darinya, tapi dia having too much fun
bercanda dengan Jana lagi. Ada kepuasan tersendiri
untuk bisa melihat Jana kembali relaks
di sekelilingnya setelah dia menjadi kaku dan
menghindarinya selama beberapa hari ini.
Dan hanya untuk membuat Jana tetap berbicara
padanya, dia menyangkal tuduhan Jana
dengan nada sok tersinggung.
“No, it was not.”
“It sooo was and you know it,” balas
Jana sambil meletakkan mangkuk dan sumpitnya yang
sudah bersih pada rak pengering dan
mengambil serbet untuk mengeringkan tangannya.
“Oke, fine. It was lame. Tapi in my
defense, cara kamu ngomongin perut kamu terkesan
undangan untuk aku buat ngeliat, dan aku
nggak mau rude dengan nolak undangan itu.
Takut kamu jadi rendah diri dengan mikir
kalo nggak ada laki-laki yang mau lihat perut
kamu. Karena kalo itu yang kamu pikir,
kamu salah. Aku mau banget lihat perut kamu.”
Ketika dia selesai bicara, Jana sudah
menutup mulutnya untuk membendung suara tawa
terbahak-bahaknya. “Aku nggak tahu di
planet mana kamu tinggal selama ini, tapi di bumi,
itu bukan tawaran,” ucap Jana.
“Oh, gitu, ya? Tanya Ben polos.
Jana hanya geleng-geleng kepala melihat
kelakuannya. Ben mengikuti gerakan Jana yang
sedang membuang bungkus mi instan ke
tempat sampah dengan matanya, tidak
menginginkan kebersamaan mereka
berakhir. Dia tahu Jana sudah kelihatan cukup sehat
untuk mengurus dirinya sendiri dan dia
sebaiknya pulang daripada menginap, tapi dia tidak
bisa membuat dirinya melakukan itu. Dia
ingin menginap di rumah Jana, meskipun hanya
untuk semalaman saja. Tidak peduli dia
harus tidur di atas tumpukan bedcover dan selimut
di bawah tenda seprai daripada di atas
tempat tidur dan kasur empuk. Tidak peduli juga
bahwa dia akan berbagi tempat tidur dengan
Erga dan Raka daripada Jana. Dia hanya mau
ada di sini.
“Can I stay?” Tanya Ben sebelum dia bisa
menahan diri lagi.
Jana menatapnya sambil mengangkat alis.
“Of course. Aku sangka kamu emang mau nginep.
Lagian sekarang udah terlalu malam untuk
nyetir sendirian.”
YESSS!!! Ben berusaha mengatur ekspresi
wajahnya agar terlihat biasa-biasa saja. Padahal
dalam hati dia sudah jingkrak-jingkrak
nggak karuan.
“Apa kamu oke tidur di karpet sama Erga
dan Raka?”
“Fine, no problem.”
“Oke, kalo gitu. Aku sebaiknya tidur.
Udah malem dan besok aku harus ke kantor.
Goodnight, Ben,” ucap Jana.
“Goodnight, Jana,” balas Ben
Meskipun Jana tidak menawarkan pipinya
untuk dicium sebelum meninggalkannya sendirian
di dapur, tapi Ben tidak mengeluh.
Karena Jana telah memberinya sesuatu yang lebih
berharga. Yaitu kesempatan.
Dirty Little Secret - Bab 21
No comments:
Post a Comment