Bab 19
Don’t be shy
The night has made you drowsy and the
pills have got you high
Beberapa hari setelah dia menolak Ben
adalah hari-hari paling membingungkan sepanjang
hidup Jana. Ben mengikuti keinginannya
untuk menjadi teman dengan bersikap sopan dan
ramah, tapi tetap menjaga jarak.
Berdasarkan keinginan anak-anak, mereka tidak lagi
menghabiskan waktu di rumah Mami atau
orangtua Ben sepulang sekolah, lebih memilih
langsung pulang ke rumah. Awalnya dia
memang merasa agak aneh menemukan Ben di
rumahnya setiap kali dia pulang kerja,
tapi lambat-laun, dia mulai terbiasa dengan itu.
Untuk memudahkan hidupnya, Ben selalu
memastikan anak-anak sudah mengerjakan pe-er
sebelum memperbolehkan mereka main,
sudah mandi sebelum dia pulang kerja, dan
memasakkan makan malam untuk mereka,
jadi Jana tidak perlu memusingkan tentang itu.
Ben masih mencium pipinya setiap kali
bertemu, tapi selalu sekilas saja. Seakan dia
melakukannya hanya karena kebiasaan,
bukan karena mau. Dia masih menatapnya kalau
berbicara dengannya, tapi tatapannya itu
kini terlihat kosong, tanpa emosi. Sejujurnya Ben
terlihat agak cuek terhadapnya. Dan Jana
menemukan dirinya merindukan Ben yang dulu.
Ben yang bisa membuat celana dalamnya
kebakaran hanya dengan tatapannya, yang akan
menciumnya seakan dia bisa mati kalau
tidak melakukannya, yang tidak malu-malu
mengungkapkan perasaannya dengan
kata-kata. Dia tahu tidak seharusnya dia merasa
seperti ini, terutama setelah mengatakan
kepada Ben bahwa inilah yang dia inginkan. Dia
seharusnya merasa lega karena Ben tidak
lagi mengganggunya, dengan begitu mereka
sama-sama bisa move-on dengan kehidupan
mereka.
Tapi bagaimana dia bisa move-on kalau
harus bertemu Ben setiap hari? Ben-lah alasan dia
belum menikah sampai sekarang. Kenapa
selama delapan tahun ini dia menggunakan anakanaknya
sebagai alasan untuk nggak nge-date.
Tanpa dia sadari, dia masih mengharapkan
Ben. Jadi kenapa ketika Ben mengatakan
mencintainya, dia justru lari? Oh God, I’m a mess.
Mungkin ada baiknya dia pergi menemui
psikolog untuk menangani masalah emosinya yang
berantakan ini. Atau, untuk penyelesaian
cepat dan tanpa biaya, dia bia menyingkirkan
penyebab utama kebingungannya ini. Dia
harus menyingkirkan Ben dari hidupnya.
***
Ben tidak tahu kesalahan apa yang dia
sudah buat terhadap Jana karena selama beberapa
hari ini wanita itu memperlakukannya
seperti dia mengidap virus mematikan yang bisa
menyebar hanya dengan berbagi udara
dengannya. Dia sudah memenuhi keinginannya
untuk menjadi teman. Dia sudah
mengontrol sikap dank at-katnya kalau ada di sekelilingnya,
agar tidak dituduh mencoba menggodanya.
Apa lagi yang dia inginkan darinya?
Hari pertama dia melihat Jana
menghindar, dia pikir Jana hanya lelah saja, makanya dia
langsung naik ke kamar setelah makan
malam dan tidak turun-turun lagi sampai waktunya
Ben pulang. Ketika dia mencoba mencium
pipinya, Jana mengelak dengan mengatakan dia
sudah pakai pelembab wajah. Keesokkan
harinya ketika Ben baru saja akan menjemput
anak-anak dari sekolah, dia menerima SMS
dari Jana yang mengatakan hari ini Jana yang
akan menjemput anak-anak dan membawa
mereka ke kantor bersamanya. Hari selanjutnya
Jana berkata Ben sebaiknya membawa Erga
dan Raka ke rumah Mama dengan alasan anakanak
kangen dengan Mama dan Jana akan
menjemput mereka dari sana. Satu hari sesudah
itu Jana meminta Ben mengantarkan
anak-anak ke rumah Maminya.
Ketika sekali lagi Jana tidak menyetujui
rencananya untuk membawa anak-anak langsung ke
rumah, dia harus angkat bicara.
“Jan, anak-anak lebih seneng kalo bisa
langsung pulang ke rumah. Mereka terlalu capek kalo
harus travel ke sana kemari. Lagi pula
kalo Mami kamu atau Mama aku mau ketemu anakanak,
mereka bisa ketemu akhir minggu,” Ucap
Ben pada ponselnya.
“They’ll be fine, Ben. Kan Travel-nya
nggak setiap hari. Lagi pula ada bagusnya Erga dan Raka
hangout sama mbah-mbah mereka juga
daripada sama kamu melulu.”
Tunggu sebentar, apa Jana sudah
menuduhnya memonopoli anak-anak? That’s bullshit. Apa
dia salah kalau ingin menghabiskan waktu
dengan anak-anaknya? Lagi pula dia harus
mengejar tujuh tahun waktu hangout yang
sudah dirampas darinya. Ben harus mengambil
beberapa napas dalam sebelum
berkata-kata lagi. Dia menolak bertengkar dengan Jana.
“Tapi kamu capek kalo harus jemput
mereka setelah pulang kerja,” ucapnya setenang
mungkin.
“Oh, aku sih nggak pa-pa. seperti yang
aku bilang, kan nggak setiap hari.”
Nada santai Jana membuat Ben kesal. Dia
tahu ada alasan lain kenapa Jana bersikap seperti
ini, dan dia mau tahu itu apa.
“Jana, what’s going on?”
“Nothing is going on.”
Jana menjawab pertanyaan ini terlalu
cepat, membuat Ben semakin curiga. “Jangan bohong
sama aku. Udah beberapa hari ini kamu
mengelak dari aku dan jangan kamu pikir aku nggak
tahu itu.”
Ben mendengar Jana terkesiap sebelum
berkata dengan nada melengking, “Siapa bilang aku
mengelak?”
“Jadi kenapa kamu nggak pernah mau aku
cium lagi?”
“Kan aku udah bilang, aku udah pake
pelembab…”
“Don’t you dare lie to me!!!” geram Ben
memotong penjelasan Jana.
“Aku nggak bohong!” teriak Jana.
Untuk beberpa menit saluran telepon
sunyi. Masing-masing mencoba mengontrol
kemarahan mereka. Ketika Ben yakin dia
bisa berbicara lagi tanpa meninggikan suara, dia
berkata, “Jan, bantu aku untuk ngertiin
apa yang kamu mau dari aku. Kamu bilang mau kita
jadi teman dan meskipun aku nggak setuju
sama sekali dengan ini, aku turutin kemauan
kamu. Aku udah memperlakukan kamu
sebagai teman.”
“Teman nggak perlu cium pipi setiap kali
ketemu, Ben.”
That’s it!!! Perempuan satu ini sudah
membuatnya marah. Tidakkah dia tahu betapa
tersiksanya dia hanya bisa mencium
pipinya padahal yang di inginkannya adalah untuk
pelan-pelan menanggalkan setiap pakaian
yang dikenakannya sebelum menggodanya
dengan sentuhan tangan, bibir, dan
lidahnya sampai seluruh tubuhnya menggeletar dan dia
memanggil-manggil namanya. Dan baru
setelah dia tahu tubuh Jana bisa menerimanya
tanpa menyakitinya, dia akan
menenggelamkan dirinya di sana dan tidak akan keluar-keluar
lagi.
Dia ingin menjadi orang yang bisa
melihat wajah Jana ketika dia tertidur nyenyak kapan pun
dia mau karena mereka tidur di satu
tempat tidur. Dia ingin melakukan hal-hal kecil yang
tidak di anggap penting oleh
orang-orang, tapi penting baginya, seperti menggosok gigi
sama-sama, mandi sama-sama, bahkan
memasangkan ritsleting bajunya. Intinya dia ingin
melakukan semua hal dengan Jana. Kalau
mengejarnya habis-habisan dan membiarkannya
sendiri tidak berfungsi, hanya ada satu
cara lagi yang dia tahu bisa melelehkan wanita.
“Apa kamu lebih memilih aku dorong kamu
ke dinding dan mencium kamu sampe kamu
nggak inget nama kamu sendiri?” Tanya
Ben.
Dia mendengar Jana menarik napas
terkejut dan melanjutkan, “Atau lebih baik lagi, aku
akan mulai dari paha sebelum pelan-pelan
naik ke atas. Aku akan menghabiskan berjam-jam
pada payudara kamu, dan aku pastikan
kamu nggak akan protes.”
“Stop it,” Jana menggeram. Atau setidak
tidaknya itulah yang Ben pikir Jana coba lakukan
karena yang dia dengar hanyalah desahan.
“Aku akan menyembah tubuh kamu, Jana,
terutama di bagian…”
“Beeennn!!!” meskipun Ben merasa turn-on
setengah mati membayangkan dirinya
melakukan apa yang baru saja
dikatakannya kepada Jana, tapi dia tidak bisa menghentikan
dirinya dari tertawa mendengar nada
histeris Jana.
“Seperti yang aku bilang sebelumnya,
Jana. All you have to do ask. Kamu tahu kan aku akan
selalu available untuk kamu.”
“Well, aku mau kamu available untuk
nganter Erga dan Raka ke rumah Mami hari ini. Can
you do that?”
“Yes.”
“Good,” tandas Jana dan memutuskan
sambungan telepon.
Dan Ben tidak bisa berhenti tertawa
terbahak-bahak. Menertawakan kehidupannya yang
merana karena cinta ini. Love sucks.
Being in love is even suckier. Jadi kenapa orang-orang
tetap melakukannya? Karena kita semua
suckers.
***
Beberapa hari kemudian Ben memasuki
rumah Jana dan mendapati Erga dan Raka sudah
menunggunya untuk di antar ke sekolah,
tapi lain dari biasanya, wajah mereka sedikit
sendu. Lalu dia sadar Jana tidak ada
bersama mereka, “Bunda ke mana?” tanyanya.
“Ada di atas, Oom. Lagi sakit,” jawab
Erga muram.
Ben langsung mengerutkan dahi. Bukan karena
dia tidak menyangka Jana bisa sakit dengan
jadwalnya yang padat, dia justru heran
bagaimana Jana masih sehat-sehat saja tapi juga
karena Jana tidak menyinggung ini sama
sekali waktu dia mengirimkan SMS tadi malam,
mengonfirmasikan jadwal jemputannya.
Kemarin, atas permintaan Jana, dia membawa Erga
dan Raka ke rumah mami Jana dan
meninggalkan mereka di sana untuk menghabiskan
waktu dengan mbah mereka. Oleh karena
itu dia tidak melihat Jana semenjak kemarin pagi.
Dia pikir setelah percakapan mereka tentang
menjadi teman, Jana akan merasa cukup
nyaman untuk meminta bantuannya kalau
memerlukannya. Sepertinya dia marah besar
akan aksi menggoda Ben beberapa hari
yang lalu, karena meneleponnya untuk mengatakan
dia sakit saja, dia tidak sudi.
“Apa Bunda udah ke dokter?”
Erga dan Raka menggeleng. “Bunda bilang
Cuma kecapekan dan perlu istirahat aja,” jelas
Erga, tapi dari wajah khawatirnya Ben
tahu sakit Jana lebih serius dari itu.
Ben ragu sesaat. Apa dia sempat lari ke
atas untuk ngecek keadaan Jana? Melihat waktu
yang sudah sangat mepet akhirnya dia
memutuskan untuk mengantar Erga dan Raka dulu
kesekolah sebelum kembali untuk
melakukan itu. Buru-buru dia menggiring Erga dan Raka
ke mobil, lalu mengunci pintu di
belakangnya.
***
Kurang dari dua jam kemudian Ben kembali
berada di rumah Jana. Rumah yang biasanya
terang-benderang dan berudara segar
kelihatan gelap dan pengap karena tirai dan jendela
masih belum dibuka. Ben buru-buru
membukanya, lalu menuju lantai atas, ke kamar Jana.
Pintu kamar dalam keadaan setengah
tertutup. Sejenak dia mempertimbangkan apakah dia
perlu mengetuk pintu atau langsung masuk
saja. Akhirnya dia memutuskan untuk mengetuk
dan menunggu sesaat. Ketika tidak
mendengar gerakan sama sekali dari dalam kamar, dia
mendorong pintu dan memasukinya.
Langkahnya terhenti ketika dia menemukan
Jana terbaring menyampingnya, setengah
ditutupi selimut. Dan meskipun dia
kelihatan tertidur karena matanya tertutup, tapi Ben
bisa melihat ada kerutan pada keningnya,
seakan dia sedang berpikir wajahnya yang
biasanya cerah kelihatan pucat dan ada
beberapa helai rambut yang lembap oleh keringat
menempel pada pelipisnya. Dia kelihatan
begitu kecil dan lemah terbaring sakit seperti ini.
His Jana, yang selalu bersinar terang
bagai matahari, kininterlihat redup tidak bermaya. Ben
melarikan matanya pada beberapa botol,
obat di atas nakas di samping tempat tidur dan
gelas dan botol minuman yang sudah
kosong. Seperti dugaannya, Jana ternyata lebih sakit
daripada yang dia mau akui.
“Jan?” panggil Ben.
Tidak ada jawaban. Perlahan-lahan Ben
melangkah mendekati tempat tidur dan menyentuh
bahu Jana. Dia bisa merasakan suhu tubuh
Jana yang panas, bahkan melalui selimut. Jana
jelas-jelas demam cukup tinggi. Jesus,
kenapa dia tidak meneleponnya dan memintanya
membawanya ke dokter??!!!!
“Jan,” panggilnya lagi.
Kali ini Jana bereaksi dengan
perlahan-lahan membuka matanya yang sedikit tidak focus
karena panas tubuhnya terlalu tinggi.
Ketika dia mengenali Ben, matanya langsung melebar.
“Ben?”
“Hey, abby,” ucap Ben
“What are you doing here?” Tanya Jana
“Erga bilang kamu sakit,” jelasnya.
Jana menggeram. “You shouldn’t be here.
Aku nggak mau kamu ngeliat aku kayak begini.
You should go, Ben.”
Yeah like that ever gonna happen.
Perempuan ini sudah gila kalau berpikir dia akan
meninggalkannya. Wanita yang dicintainya
dengan sepenuh hatinya meskipun dia
sepertinya tidak merasakan hal yang
sama. Tergeletak sakit seperti ini tanpa melakukan apaapa.
“Not happening, Babe. Aku nggak akan ke
mana-mana sampe aku pastiin kamu baik-baik
aja, terserah kamu mau atau nggak. Now,
just shut it, okay?”
Jana menutup matanya dan mengerang.
Otomatis Ben langsung duduk di atas tempat tidur
untuk mengusap punggungnya. “Bilang ke
aku sakitnya di mana.”
Jana menelan ludah berkali-kali sebelum
menjawab, “Perut sakit. Kepala sakit. Badan
panas.”
“Mau ke dokter?”
Jana membuka mulutnya seakan ingin
mengatakan sesuatu, sebelum menutupnya kembali,
seakan usaha untuk berkata-kata telah
menguras semua energinya. Akhirnya dia hanya
menggerakkan kepalanya sedikit sebagai
tanda “Tidak”.
Ben betul-betul ingin mendesak agar Jana
pergi ke dokter, tapi dia nggak tega berdebat
dengannya sekarang. Dia melirik
botol-botol obat di atas nakas. Ada Aspirin, obat untuk
sakit maag, dan obat penurun demam. Oke,
biarlah kalau Jana memang ingin berobat
sendiri sekarang ini , tapi kalau dalam
beberapa jam lagi dia masih tidak membaik, Ben akan
membawanya ke rumah sakit. Untuk
sementara waktu yang dia perlu lakukan adalah
mengambil makanan untuk Jana supaya dia
bisa minum obatnya.
“I’ll be right back, okay?”
Reaksi Jana hanyalah satu anggukan
kecil.
***
Sejam kemudian Ben kembali ke kamar Jana
dengan bubur, segelas teh hangat manis, dan
segelas air putih. Dia membutuhkan
beberapa menit untuk mencari segala sesuatu di dapur
Jana dan harus menelepon Eva untuk
menanyakan bagaimana caranya membuat bubur.
Tapi dasar Eva yang seumur hidupnya
nggak pernah bisa masak kecuali bikin oatmeal
cookies, justru meminta pembantunya
untuk memberikan instruksi itu kepadanya. Dia
hanya berharap bubur ini sesuai dengan
perut Jana.
Dia meletakkan nampan di atas nakas
sebelum membangunkan Jana. “Jan, kamu bisa
bangun? Kamu harus makan supaya bisa
minum obat. Ini aku udah bikinin bubur,” ucap Ben
pelan.
Jana membuka matanya dan langsung
meringis ketika mencoba menarik tubuhnya untuk
duduk. Melihat ini Ben langsung
membantunya dengan menumpukkan bantal di
belakangnya. Dia lalu duduk di samping
Jana dan sedikit-sedikit mulai menyuapi bubur
untuknya. Dia tidak pernah menyangka
bisa menjadi seorang suster, tapi dia mendapati
dirinya semakin menyukai peran ini
setiap kali Jana membuka mulut untuk menerima
suapannya. Sesuatu yang mirip dengan
rasa bangga karena Jana bisa mempercayainya
untuk mengurusnya meremas hatinya.
Setelah enam suapan, Jana menggelengkan kepala.
Dia meminta Jana meminum teh hangat
manis sampai habis sebelum memberinya obat
demam.
“Thank you,” ucap Jana.
Ben tersenyum dan berkata, “Anytime,
babe.”
Setelah memastikan Jana terbaring dengan
nyaman, Ben meninggalkannya untuk membawa
peralatan makan kotor kembali ke dapur.
Melihat keadaan dapur yang sudah mirip kapal
pecah setelah aksi memasaknya, dia
memutuskan membersihkannya.
***
Puas dengan dapur yang sudah mengilat
kembali Ben melirik jam tangannya. Melihat bahwa
hampir dua jam sudah berlalu, dia
memutuskan untuk memeriksa Jana lagi. Dia menemukan
Jana sedang duduk di atas tempat tidur
dengan kaki menyentuh lantai, seakan sedang
mencoba bangun.
“Jan, kamu mau ke mana?”
“Aku perlu ke toilet. Tapi nggak bisa
bangun,” ucapnya.
“Mau aku bantu?”
Wajah Jana sedikit memerah sebelum dia
mengangguk. Ben menunduk dan meminta Jana
melingkarkan lengannya pada lehernya
sebelum menggendongnya. Jana sedikit mengerang
sebelum mengistirahatkan kepalanya pada
bahu Ben. Dia bisa merasakan suhu tubuh Jana
mulai menurun.
Ben mendudukkan Jana di atas toilet
sebelum bertanya, “Kamu bisa sendiri apa perlu
bantuan aku?”
“Bisa sendiri.” Ucap Jana.
“Oke. Aku tunggu di luar. Call me when
you’re done, I’ll take you back to bed.”
Ben lalu meninggalkan Jana sendiri.
Melihat tempat tidur Jana yang berantakan, dia
langsung bergegas membereskannya. Dia
baru setengah jalan ketika mendengar bunyi
keran yang disusul bunyi shower yang di
hidupkan. What the.. panik, Ben langsung
menerobos pintu kamar mandi tanpa
mengetuknya terlebih dahulu dan menemukan Jana
sedang duduk naked dan menggigil di
bawah pancuran air. Tidak ada uap sama sekali dari
pancuran itu, yang berarti itu air
dingin.
“Jana, what are you doing?” teriak Ben
yang langsung mematikan shower.
Ben bertanya-tanya apakah Jana sudah
“High” karena kebanyakan minum obat,
membuatnya melakukan hal gila seperti
ini. Apa orang bisa “High” hanya dengan dua tablet
obat demam? I don’t know, memangnya kamu
pikir aku dokter apa? Ben mengomeli dirinya
sendiri. Geez, jangankan jadi dokter,
mata pelajaran kimia saja membuatnya muntah darah.
“Ja-jangan dimatiin. A-aku mau mandi,”
ucap Jana dengan gigi bergemertak.
Ben tidak menghiraukannya dan melihat
sekelilingnya, mencari handuk untuk menutupi
tubuh Jana. Bukan karena dia malu
melihat Jana naked, tapi karena dia tidak mau Jana
kedinginan. Ketika menemukan handuk di
atas toilet dia langsung menyambarnya dan buruburu
membungkus tubuh Jana yang masih
gemetaran.
“Baby, suhu tubuh kamu masih terlalu
panas untuk mandi. Gimana kalo dilap aja?”
“Pa-panasku udah turun. Badan
leng-lengket. Ng-nggak bisa tidur. Please, Ben.”
Ben ragu sesaat. Apa aman bagi Jana
untuk mandi? Gimana kalau tiba-tiba dia kejang karena
itu. Tapi semakin dia berdebat dengan
dirinya seperti ini, semakin lama Jana duduk di lantai
shower yang dingin.
“Oke, kamu bisa mandi, tapi pake air
hangat ya?”
Jana hanya mengangguk. Ben mengangkat
tubuh Jana dan mendudukkannya di atas toilet
sementara dia mengatur suhu air shower.
Setelah puas bahwa dia mendapatkan suhu air
yang pas, dia membantu Jana menanggalkan
handuk yang menyelimutinya dan
mendudukkannya di bawah pancuran air.
Otomatis bajunya langsung basah karena ini, tapi
Ben tidak peduli. Ben menurunkan botol
sampo dan sabun dari tempatnya dan
meletakkannya di lantai dekat Jana.
Melihat Jana hanya diam saja, Ben
berkata, “Apa kamu perlu bantuan?”
Sesuatu yang mirip kepanikan dan
keraguan terlintas sekejap di mata Jana, sebelum dia
mengangguk. Ben langsung berlutut di
hadapan Jana dan mulai mencuci rambutnya, setelah
itu baru tubuhnya. Jana tidak protes sama
sekali selama Ben melakukan ini semua. Ketika
dia menyabuni tubuh Jana, terlintas di
pikirannya bahwa dia sudah melakukan sexual
harassment kepada Jana dengan melihatnya
naked dan menyentuhnya ketika Jana terlalu
lemah untuk mengatakan “Tidak”. Mungkin
sebaiknya dia menghentikan apa yang dia
lakukan sekarang dan menelepon mami Jana
untuk memintanya menggantikannya. Tapi dia
tahu betapa bodohnya ide ini. Mencoba
membuat dirinya merasa lebih baik, Ben berkata
dalam hati, “Jana membutuhkan
pertolongannya dan dia sedang memberikannya, itu saja.”
Lima menit kemudian Jana sudah bersih
dan Ben menghanduki seluruh tubuhnya hingga
kering. Dia lalu meminta Jana menunggu
sebentar supaya dia bisa mengambilkan pakaian
untuknya. Ben membuka pintu lemari Jana
dan mengambil kaus dan celana dalam pertama
yang ditemukannya sebelum kembali ke
kamar mandi dan memberikan pakaian itu kepada
Jana. Dia melihat Jana sedang menunduk
sambil menutup mata. Dia kelihatan siap jungkirbalik
dari tempat duduknya di atas toilet.
Sadar Jana kemungkinan terlalu lemah untuk
memakai pakaian sendiri, Ben
membantunya.
Setelah Jana berpakaian, Ben betanya,
“You feel better?”
Jana hanya mengangguk. Ben baru saja
akan meninggalkannya ketika dia melihat air mata
keluar dari sudut mata Jana.
“Baby, why are you crying?”
“Aku nggak tahu kenapa kamu baik banget
sama aku. Aku udah nyebelin banget sama kamu
beberapa hari ini, tapi kamu malah di
sini ngurusin aku sakit. Kenapa kamu masih di sini,
Ben?”
Ben berlutut di hadapan Jana yang
menatapnya dengan tatapan sedih dan tidak percaya.
Dia membelai rambut Jana yang masih agak
basah, menarik satu untaian ke belakang
telinganya.
“Karena kamu sakit dan perlu bantuan
aku,” ucap Ben akhirnya dan buru-buru bangun
sebelum dia melakukan sesuatu yang bodoh
dengan mengatakan apa yang sebetulnya ada
di kepalanya.
Ben meninggalkan Jana untuk
menyelesaikan membereskan tempat tidur. Setelah tempat
tidurnya rapi kembali, Ben kembali ke
kamar mandi untuk menggendong Jana ke tempat
tidur. Jana hanya sempat menggumamkan
kata terima kasihnya sebelum tewas kembali.
Dirty Little Secret - Bab 20
No comments:
Post a Comment