Tuesday, September 1, 2015

A Romantic Story About Serena - Chapter 14




Dua hari kemudian, Serena berdiri di depan ruangan perawatan Rafi dengan cemas,  tangannya  menggenggam  tangan  suster  ana  setengah  menangis. Matanya semakin berkaca-kaca ketika mendengar suara teriakan dari dalam. Teriakan Rafi,

"Suster...." hati Serena terasa di iris-iris, menyadari bahwa suara pertama yang dikeluarkan Rafi setelah 2 tahun adalah teriakan kesakitan.

"Tidak apa-apa Serena, itu pertanda bagus, Rafi memang kesakitan, mereka sedang melepas selang di tenggorokan dan di dadanya, tetapi kalau Rafi bisa mengeluarkan suara, itu pertanda kondisinya sudah semakin membaik." suster Ana menggenggam tangan Serena, membagikan kekuatannya.

Suara teriakan itu terdengar lagi, begitu serak hingga Serena hampir tak mengenalinya. Air matanya mulai menetes satu-satu tanpa dapat ditahannya,

"Berapa lama lagi suster?" menunggu di luar seperti ini terasa bagaikan siksaan yang paling mengerikan.

"Sebentar lagi, nanti mereka akan mengizinkanmu menemuinya," dengan lembut suster Ana mengusap-usap Serena, "dia harus melalui ini Serena, dan nanti akan banyak kesakitan lagi, tapi ini proses penyembuhan, dia pasti akan sembuh."

Serena menganggukkan kepalanya, memejamkan matanya, menunggu.

Penantian itu terasa begitu lama, lama sekali sampai tim dokter dan perawat keluar dan mengizinkan Serena masuk,

Dengan  hati-hati,  Serena  melangkah  masuk  ke  ruangan  perawatan  Rafi. Ruangan yang sangat akrab, sangat dikenalinya. Tetapi sekarang berbeda, Rafinya tidak tidur. Rafinya tidak menutup mata, dia bangun, sadar dan hidup. Hati Serena sesak oleh euforia yang membuncah.

Serena duduk di sebelah ranjang, dan Rafi langsung menyadari kehadirannya, tangannya membuka dan dengan lembut Serena menyelipkan jemarinya kesana,

"Hai", sapa Serena lembut.

Rafi tersenyum, lalu mengeryit karena gerakan sederhana itu ternyata menyakitinya,

"Sa...kit", gumamnya susah payah.


Serena tersenyum lembut, sebelah tangannya mengusap dada Rafi yang kurus, berhati-hati agar tidak menyentuh luka di dadanya,

"Mereka sudah melepas selang di tenggorokan dan dadamu", Rafi mengeryit lagi,
"Berapa lama?", suaranya serak dan terpatah-patah, "Apanya?"
"Tidur... Berapa lama?" Serena mendesah lembut,
"Dua tahun", jawabnya pelan. Dan langsung menerima tatapan penuh kesedihan dari Rafi, "Tapi dua tahun tidak terasa lama kok, yang penting kau bangun, kau berjuang dan aku bangga padamu." sambung Serena cepat-cepat.

Rafi tampak sedikit lega mendengar penjelasan Serena, tapi lalu dia mengernyit lagi,

"Mama... Papa....?"

Serena menggenggam tangan Rafi erat-erat, "Mereka meninggal pada saat kecelakaan itu Rafi."
Dan hati Serena bagaikan diremas-remas ketika melihat Rafi memejamkan mata dan menangis, dengan lembut diusapnya air mata Rafi, dikecupnya pipi lelaki itu yang pucat dan tirus,

"Tapi aku yakin mereka sudah tenang disana. Mereka pasti bahagia sekarang, mengetahui kau sudah sadar."

Rafi membuka matanya dan menatap Serena lembut, "Maaf."
"Kenapa?" Serena mengernyit. "Karena... Kau... Ditinggal..sendiri..." Air mata ikut mengalir di pipi Serena,



"Aku tidak apa-apa, lihat? Aku sehat dan baik-baik saja. Aku bertahan buat kamu.  Dan sekarang  kamu  yang  harus berjuang  buat  aku  ya, kamu harus berjuang untuk pulih lagi, bersamaku."

Rafi mengangguk dan memejamkan mata, percakapan singkat itu membuatnya begitu kelelahan,

Dengan lembut Serena mengusap rambut Rafi,

"Istirahatlah sayang, tidurlah, aku akan ada saat kau terlelap, aku akan ada saat kau bangun lagi."

Dengan lembut Serena terus mengusap rambut Rafi sampai nafas lelaki itu berubah teratur dan tertidur pulas.

"Dia kuat, dia akan baik-baik saja."

Suara dari arah pintu yang terdengar tiba-tiba itu mengejutkan Serena, dia menoleh dan mendapati  dokter Vanessa sudah berdiri  di sana, entah sejak berapa lama.

"Dokter Vanessa?"

Vanessa tersenyum dan melangkah mendekat,

"Yah kau pasti tidak menduga kedatanganku, aku kesini bersama seseorang." Vanessa  mengedikkan  kepalanya  ke  arah  pintu,  Serena  mengikuti  arah pandangan Vanessa dan wajahnya memucat melihat Freddy berdiri di sana, tidak melangkah masuk, hanya berdiri di ambang pintu dengan ragu-ragu.

"Dia datang untuk minta maaf." jelas Vanessa lembut begitu melihat ekspresi takut Serena, "dia sudah meminta maaf kepada Damian dan Damian mengusirnya, menyuruhnya meminta maaf padamu karena kaulah yang dilukainya."

Damian. Nama itu melintas di benak Serena. Damian dan pernyataan cintanya. Tiba-tiba dada Serena terasa penuh, tapi lalu dia mengernyit. Tidak, dia harus membunuh perasaan apapun itu yang muncul untuk Damian. Dia harus fokus kepada Rafi,

"Mungkin kita bisa berbicara di luar?" Vanessa berucap setengah berbisik, melirik ke Rafi yang sedang tertidur pulas.


Serena mengangguk mengikuti dokter Vanessa sampai ke ujung lorong, dengan diam-diam Freddy mengikuti mereka.

"Maaf," gumam Freddy ketika mereka sudah ada di lorong yang sepi, dia mengeryit sedikit ketika melihat bahwa Serena menjaga jarak kepadanya, sedikit berlindung di belakang Vanessa, terlihat takut kepadanya.

Freddy mengusap rambutnya penuh perasaan bersalah, "aku sendiri tak tahu setan apa yang menghinggapiku saat itu, aku salah paham dan berbuat fatal... Mungkin aku memang pantas menerima luka-luka akibat semua pukulan ini...." Freddy mencoba menatap Serena selembut mungkin, menunjukkan ketulusannya sebesar mungkin agar Serena yakin, "kumohon jangan takut kepadaku Serena, aku minta maaf, aku benar-benar menyesal, aku malu."

Kata-kata itu merasuk ke dalam jiwa Serena, dia menatap lelaki di depannya ini. Dia memang tidak terlalu akrab dengan pengacara Damian ini, mereka berinteraksi  hanya  kalau  perlu  dan  kebanyakan  Freddy  hanya  berinteraksi dengan Damian, mengabaikannya. Tetapi sekarang lelaki ini terlihat begitu tulus, tulus   dan   berantakan,   dengan   memar   di   mana-mana,   meskipun   tidak mengurangi ketampanannya.

Serena  mencoba  menganguk  dan  memunculkan  senyum  kecil  meskipun  dia masih menjaga jarak,

"Iya", jawabnya pelan.

Freddy menatap Serena dalam-dalam, mencari kepastian di sana, dan yang dilihat di mata Serena adalah ketulusan,

"Aku dimaafkan?" tanyanya pelan. Serena akhirnya tersenyum lepas, "Iya."
Dengan lembut Freddy membalas senyuman Serena,

"Sekarang aku tahu kenapa hati Damian yang keras itu bisa melumer menjadi begitu lembut." gumamnya pelan, membuat pipi Serena merona.

Dengan lega Vanessa menarik napas panjang,


"Kalau begini masalah sudah selesai," Vanessa menoleh ke arah Freddy, "nah Freddy bisakah kau ke tempat lain dulu? Aku ingin berbicara berdua dengan Serena, percakapan dokter dengan keluarga pasien, kau tahu."

Freddy meringis dengan pengusiran itu, lalu mengangguk,

"Oke, telpon aku kalau kalian sudah selesai." gumamnya dan membalikkan tubuh melangkah  pergi  setengah  diseret  mengingat  kondisinya  yang  babak  belur setelah dihajar habis-habisan.

Mereka berdua menatap kepergian Freddy dan Vanessa tersenyum, "Dia sangat menyesal kau tahu."
Serena mengangguk,

"Saya  mengerti,"  lalu  Serena  menatap  Vanessa  dengan  penuh  ingin  tahu, "Dokter ingin berbicara tentang apa kepada saya?" kecemasan tampak terdengar dari suara Serena, apakah terjadi sesuatu dengan Rafi?

Vanessa tersenyum mencoba menenangkan Serena,

"Tenang saja, Rafi akan baik-baik saja. Aku sudah berbicara dengan dokter yang menangani Rafi, dia bilang Rafi bisa kembali pulih meski proses pemulihannya bisa berlangsung lama," dengan lembut Vanessa menggenggam tangan Serena, "Serena apakah dokter sudah memberitahukan kepadamu tentang kemungkinan.... Kemungkinan bahwa Rafi bisa lumpuh selamanya?"

Serena mengangguk, tidak tampak terkejut,

"Pada saat Rafi jatuh koma pun, dokter sudah memberitahukan kemungkinan itu kepada saya, dokter bilang kalau meskipun nanti Rafi sadar, dia bisa lumpuh selamanya."

"Tapi  kemungkinannya  tidak  seratus  persen,  masih  ada  harapan  20  persen bahwa Rafi bisa berjalan lagi kalau dia ada di tangan yang tepat....."

"Maksud dokter?", Serena mengernyitkan keningnya,

"Maksudku, aku merekomendasikan diriku untuk merawat Rafi, kau tahu aku sedang  mendalami  spesialisasi  pemulihan  tulang  dan  saraf,  jadi  aku  bisa merawat Rafi dengan baik..... Nanti ketika dia sudah boleh keluar dari rumah sakit, Rafi harus terus menjalani terapi dengan begitu masih ada kemungkinan dia bisa berjalan lagi."



"Apakah....  Apakah dokter diminta  Damian  melakukannya?" Serena  menatap dokter Vanessa sedikit curiga. Kebaikan hati perempuan cantik di depannya ini tampak diluar dugaan, apakah Damian memaksa dokter Vanessa menawarkan ini kepadanya?

Vanessa mengangkat bahu dan tersenyum lagi,

"Damian memintaku memang, tapi bukan itu alasan aku ingin merawat Rafi," Vanessa menepuk pundak Serena hangat, "Kau tahu almarhum suamiku.... Dia meninggal dalam kecelakaan beruntun di jalan tol, kecelakaan yang sama yang menewaskan kedua orang tuamu dan melukai rafi."

"Astaga", Serena menutup mulutnya dengan jemarinya, terkejut,

"Yah astaga", Vanessa tersenyum, "dunia ini sempit bukan? Kadang kebetulan- kebetulan yang terjadi sering membuatku bertanya-tanya," tatapan Vanessa berubah serius, "tapi sungguh Serena, kondisi Rafi ini kupandang sebagai kesempatan kedua,

aku tidak bisa merawat suamiku pada saat itu, tapi kurasa Tuhan memberiku kesempatan untuk merawat korban yang selamat dari kecelakaan yang sama, itupun kalau kau mengizinkan."

Serena menganggukkan kepalanya, terharu,

"Iya dokter, saya akan senang dan lega sekali menyerahkan perawatan Rafi di tangan dokter."

***




A Romantic Story About Serena - Chapter 15

No comments:

Post a Comment