Dua hari kemudian, Serena berdiri di
depan ruangan perawatan Rafi
dengan
cemas,
tangannya menggenggam
tangan suster
ana setengah menangis.
Matanya semakin berkaca-kaca ketika mendengar suara teriakan dari dalam.
Teriakan Rafi,
"Suster...." hati Serena terasa di iris-iris, menyadari bahwa suara pertama yang dikeluarkan Rafi
setelah 2 tahun
adalah teriakan kesakitan.
"Tidak apa-apa Serena, itu
pertanda bagus, Rafi memang
kesakitan, mereka sedang melepas selang di tenggorokan dan di
dadanya, tetapi kalau
Rafi bisa mengeluarkan suara, itu
pertanda kondisinya sudah semakin membaik." suster Ana
menggenggam tangan Serena,
membagikan kekuatannya.
Suara teriakan itu
terdengar lagi, begitu serak hingga Serena
hampir tak
mengenalinya. Air matanya mulai menetes
satu-satu tanpa dapat ditahannya,
"Berapa lama lagi suster?"
menunggu di
luar seperti ini terasa bagaikan siksaan
yang paling mengerikan.
"Sebentar lagi, nanti mereka akan mengizinkanmu menemuinya," dengan lembut suster Ana mengusap-usap
Serena, "dia harus melalui ini Serena, dan nanti akan banyak kesakitan lagi, tapi ini
proses penyembuhan,
dia
pasti akan sembuh."
Serena menganggukkan kepalanya, memejamkan matanya, menunggu.
Penantian itu terasa begitu lama, lama sekali sampai tim dokter dan
perawat
keluar dan mengizinkan
Serena masuk,
Dengan hati-hati,
Serena
melangkah masuk
ke ruangan
perawatan
Rafi.
Ruangan yang sangat akrab, sangat
dikenalinya. Tetapi sekarang berbeda, Rafinya tidak tidur. Rafinya tidak menutup mata, dia bangun,
sadar dan hidup. Hati Serena sesak oleh euforia yang
membuncah.
Serena duduk
di sebelah ranjang, dan Rafi langsung menyadari kehadirannya,
tangannya membuka dan dengan lembut Serena menyelipkan jemarinya kesana,
"Hai",
sapa Serena lembut.
Rafi tersenyum,
lalu mengeryit karena gerakan sederhana itu ternyata menyakitinya,
"Sa...kit", gumamnya susah payah.
Serena tersenyum lembut, sebelah tangannya mengusap dada Rafi yang kurus, berhati-hati agar
tidak menyentuh luka di
dadanya,
"Mereka sudah melepas selang di
tenggorokan dan dadamu", Rafi mengeryit lagi,
"Berapa lama?",
suaranya serak dan terpatah-patah, "Apanya?"
"Tidur... Berapa lama?" Serena mendesah lembut,
"Dua tahun",
jawabnya pelan. Dan langsung menerima tatapan penuh kesedihan dari Rafi, "Tapi dua tahun tidak terasa lama kok,
yang penting kau bangun, kau
berjuang dan aku bangga padamu."
sambung Serena cepat-cepat.
Rafi tampak sedikit lega mendengar penjelasan Serena, tapi lalu dia mengernyit
lagi,
"Mama... Papa....?"
Serena menggenggam tangan Rafi erat-erat, "Mereka meninggal pada saat kecelakaan itu Rafi."
Dan hati Serena bagaikan diremas-remas ketika melihat Rafi memejamkan mata dan menangis, dengan lembut diusapnya air
mata Rafi, dikecupnya pipi lelaki itu yang pucat dan tirus,
"Tapi aku yakin mereka sudah tenang disana. Mereka pasti bahagia sekarang, mengetahui kau sudah sadar."
Rafi membuka matanya dan menatap
Serena lembut,
"Maaf."
"Kenapa?" Serena mengernyit.
"Karena... Kau... Ditinggal..sendiri..."
Air mata ikut mengalir di pipi Serena,
"Aku tidak apa-apa, lihat? Aku sehat dan baik-baik saja. Aku bertahan buat
kamu.
Dan sekarang
kamu yang
harus berjuang buat aku ya, kamu harus berjuang untuk pulih lagi, bersamaku."
Rafi mengangguk dan memejamkan
mata, percakapan singkat itu membuatnya
begitu kelelahan,
Dengan lembut Serena mengusap rambut Rafi,
"Istirahatlah sayang, tidurlah, aku
akan ada saat kau terlelap, aku akan
ada
saat kau bangun lagi."
Dengan lembut Serena terus mengusap rambut Rafi sampai nafas lelaki itu berubah teratur
dan
tertidur pulas.
"Dia kuat, dia akan baik-baik saja."
Suara dari arah pintu yang terdengar tiba-tiba itu mengejutkan Serena, dia menoleh dan mendapati
dokter Vanessa sudah berdiri di sana, entah
sejak berapa lama.
"Dokter Vanessa?"
Vanessa tersenyum dan melangkah mendekat,
"Yah kau pasti tidak menduga kedatanganku, aku kesini bersama seseorang."
Vanessa mengedikkan kepalanya
ke arah pintu, Serena mengikuti arah
pandangan Vanessa dan
wajahnya memucat melihat Freddy berdiri di sana, tidak melangkah masuk, hanya berdiri di
ambang
pintu dengan ragu-ragu.
"Dia datang untuk
minta maaf." jelas
Vanessa lembut begitu melihat ekspresi takut Serena, "dia sudah meminta
maaf kepada Damian dan Damian mengusirnya, menyuruhnya meminta maaf padamu karena kaulah yang dilukainya."
Damian. Nama itu melintas di benak Serena.
Damian dan pernyataan cintanya.
Tiba-tiba dada Serena terasa penuh,
tapi lalu dia mengernyit.
Tidak, dia harus
membunuh perasaan apapun itu yang muncul untuk
Damian. Dia harus fokus
kepada Rafi,
"Mungkin kita bisa
berbicara di luar?" Vanessa berucap setengah berbisik, melirik ke
Rafi yang sedang
tertidur pulas.
Serena mengangguk mengikuti dokter Vanessa sampai ke ujung lorong, dengan diam-diam Freddy mengikuti mereka.
"Maaf," gumam Freddy ketika mereka sudah ada
di
lorong yang sepi, dia
mengeryit sedikit ketika
melihat bahwa
Serena menjaga jarak
kepadanya, sedikit
berlindung di
belakang
Vanessa, terlihat takut kepadanya.
Freddy mengusap rambutnya
penuh perasaan bersalah, "aku
sendiri tak tahu
setan apa yang menghinggapiku saat itu, aku
salah
paham dan berbuat fatal...
Mungkin aku memang
pantas menerima luka-luka akibat
semua pukulan ini...." Freddy mencoba menatap Serena selembut mungkin,
menunjukkan ketulusannya sebesar mungkin agar Serena yakin, "kumohon jangan takut kepadaku Serena, aku
minta maaf, aku benar-benar menyesal,
aku malu."
Kata-kata itu merasuk ke
dalam jiwa Serena, dia menatap lelaki di depannya ini.
Dia
memang tidak terlalu akrab
dengan pengacara Damian ini,
mereka
berinteraksi
hanya kalau
perlu
dan kebanyakan Freddy
hanya berinteraksi dengan Damian, mengabaikannya.
Tetapi sekarang lelaki ini terlihat begitu tulus,
tulus dan berantakan,
dengan
memar
di mana-mana,
meskipun tidak
mengurangi ketampanannya.
Serena mencoba menganguk dan memunculkan senyum kecil meskipun
dia masih menjaga jarak,
"Iya", jawabnya pelan.
Freddy menatap
Serena dalam-dalam, mencari kepastian di sana, dan yang
dilihat di mata Serena adalah ketulusan,
"Aku dimaafkan?" tanyanya pelan. Serena
akhirnya tersenyum lepas, "Iya."
Dengan lembut Freddy membalas senyuman Serena,
"Sekarang aku
tahu kenapa hati Damian yang keras itu bisa melumer menjadi
begitu lembut."
gumamnya pelan,
membuat pipi Serena merona.
Dengan lega Vanessa menarik napas
panjang,
"Kalau
begini masalah sudah
selesai," Vanessa
menoleh ke
arah Freddy, "nah
Freddy bisakah
kau
ke tempat lain dulu? Aku
ingin berbicara berdua dengan
Serena, percakapan dokter dengan keluarga pasien, kau
tahu."
Freddy meringis dengan pengusiran itu,
lalu mengangguk,
"Oke, telpon aku
kalau kalian sudah
selesai." gumamnya dan
membalikkan tubuh
melangkah
pergi setengah diseret mengingat
kondisinya
yang babak belur setelah dihajar habis-habisan.
Mereka berdua menatap kepergian Freddy dan Vanessa tersenyum, "Dia sangat menyesal kau tahu."
Serena mengangguk,
"Saya mengerti,"
lalu Serena menatap Vanessa dengan
penuh ingin
tahu, "Dokter ingin berbicara tentang apa
kepada saya?"
kecemasan tampak terdengar dari suara Serena,
apakah terjadi sesuatu dengan Rafi?
Vanessa tersenyum mencoba menenangkan Serena,
"Tenang saja, Rafi akan baik-baik saja. Aku sudah berbicara dengan dokter yang
menangani Rafi, dia bilang Rafi bisa kembali pulih meski proses pemulihannya bisa berlangsung lama,"
dengan lembut Vanessa menggenggam tangan
Serena, "Serena apakah dokter sudah memberitahukan
kepadamu tentang kemungkinan.... Kemungkinan bahwa Rafi bisa lumpuh selamanya?"
Serena mengangguk,
tidak tampak terkejut,
"Pada saat Rafi jatuh koma pun, dokter sudah
memberitahukan kemungkinan itu
kepada saya, dokter bilang kalau meskipun nanti Rafi sadar, dia bisa lumpuh selamanya."
"Tapi kemungkinannya tidak
seratus
persen, masih
ada
harapan 20
persen bahwa Rafi bisa berjalan lagi kalau dia ada di tangan yang
tepat....."
"Maksud
dokter?", Serena mengernyitkan keningnya,
"Maksudku, aku
merekomendasikan diriku untuk merawat Rafi, kau tahu
aku sedang mendalami
spesialisasi
pemulihan tulang dan
saraf,
jadi aku bisa merawat Rafi dengan baik..... Nanti ketika
dia
sudah boleh keluar dari rumah
sakit, Rafi harus terus menjalani terapi dengan begitu masih ada kemungkinan
dia
bisa berjalan lagi."
"Apakah....
Apakah dokter
diminta Damian melakukannya?" Serena menatap dokter Vanessa
sedikit curiga. Kebaikan hati perempuan cantik di depannya ini
tampak diluar dugaan, apakah Damian memaksa dokter Vanessa menawarkan ini kepadanya?
Vanessa mengangkat bahu dan tersenyum lagi,
"Damian memintaku memang, tapi bukan
itu
alasan aku ingin merawat Rafi,"
Vanessa menepuk pundak Serena hangat, "Kau
tahu almarhum suamiku.... Dia
meninggal dalam kecelakaan beruntun
di
jalan tol, kecelakaan yang sama yang menewaskan kedua orang tuamu dan melukai rafi."
"Astaga",
Serena menutup mulutnya
dengan jemarinya, terkejut,
"Yah astaga", Vanessa tersenyum,
"dunia ini sempit bukan? Kadang kebetulan-
kebetulan yang terjadi sering membuatku bertanya-tanya," tatapan Vanessa berubah serius,
"tapi sungguh Serena, kondisi Rafi ini kupandang sebagai kesempatan kedua,
aku tidak bisa
merawat
suamiku pada saat
itu, tapi kurasa
Tuhan memberiku kesempatan untuk merawat korban yang selamat dari kecelakaan yang sama, itupun kalau kau mengizinkan."
Serena menganggukkan kepalanya, terharu,
"Iya dokter, saya akan senang
dan
lega sekali menyerahkan perawatan Rafi di
tangan dokter."
***
A Romantic Story About Serena - Chapter 15
No comments:
Post a Comment