Thursday, August 20, 2015

A Romantic Story About Serena - Chapter 8






Damian duduk di tepi ranjang, dan mengamati Serena, panasnya sudah agak turun dan gadis itu tidur seperti bayi, entah kenapa dan sejak kapan dia merasa kalau gadis kecil ini menjadi begitu penting baginya. Mungkin karena kedekatan mereka selama ini, Damian tidak pernah membiarkan orang lain sedekat dengan dirinya.

Tiba-tiba bunyi getaran disamping ranjang mengejutkan Damian, ponsel kecil itu bergetar dan Damian mengernyitkan keningnya, ponsel milik Serena? Dia baru pertama melihatnya, karena Serena tidak pernah menggunakannya di depannya.

Dan yang terlintas pertama kali di otak Damian ketika melihat ponsel itu adalah, dia harus membelikan Serena ponsel yang lebih baik.

Ponsel itu terus bergetar, rupanya penelpon di seberang sana tidak mau menyerah, Damian meraih ponsel itu karena tidak mau getarannya mengganggu Serena yang sedang tertidur lelap.

Suster  Ana?  Damian  mengernyit  membaca  nama  penelphon  di  ponsel  itu, sebelum mengangkatnya,

"Serena?", suara diseberang telephone langung menyahut cemas, "maafkan aku karena menelephone,aku cemas karena kau sudah dua hari tidak kemari dan tidak ada kabar sama sekali darimu, padahal kau tidak pernah melewatkan satu haripun, apakah kau baik baik saja?"

Jeda sejenak, Damian ragu untuk bersuara, tetapi kemudian dia bersuara,


"Maaf, Serena sedang tidur", ketika Damian bersuara, dia mendengar suara terkesiap   diseberang   sana,   sepertinya   lawan   bicaranya   sangat   terkejut mendengar dia yang menyahut,

"Oh...maaf....", suster Ana tampak kehilangan kata-kata.

"Serena sedang sakit, dua hari ini dia demam tinggi, mungkin besok saya akan memberitahunya kalau anda menelephone", lanjut Damian tenang dan tanpa memperkenalkan dirinya, tentu saja dia tidak berniat memperkenalkan dirinya.

"Oh, baiklah, terimakasih", suara diseberang terdengar sangat gugup, lalu telephone ditutup dengan begitu cepat sehingga Damian mengernyit.

Ada yang aneh, wanita diseberang itu memang kaget mendengar suaranya, tetapi tidak ada kesan bertanya-tanya mendengar suara Damian yang menjawab telephone. Apakah wanita diseberang itu mengetahui siapa Damian ? Dan apa yang dimaksud dengan datang setiap hari dan tidak pernah melewatkan satu haripun? Datang kemana? Untuk apa?

Pertanyaan-pertanyaan   itu   memenuhi   kepala   Damian   dan   membuatnya menyadari bahwa dia tidak tahu apa-apa tentang Serena.

***

Vanessa sedang duduk di bar bersama dengan Freddy, lalu mengernyit, "menurutmu apakah bos kita itu sudah main hati?"
Freddy menyesap minumannya, "Apa maksudmu?"
"Gadis kecil itu, Serena"

Hening sejenak dan Freddy menyesap minumannya lagi,

"Menurutku Damian sudah gila", gumamnya dengan nada tidak setuju," Dia sudah bertindak di luar kehati-hatiannya yang biasa menyangkut gadis itu."

Vanesa menolehkan kepalanya ke Freddy dengan penuh rasa ingin tahu, "sebenarnya  aku  sangat  penasaran  dengan  hubungan  mereka,  menurutku Damian menyimpan perasaan yang dalam...."


"Ralat, nafsu yang dalam", sela Freddy, "Damian sudah merasakan nafsu yang dalam ketika melihat gadis itu pertama kalinya dan menginginkannya. Dan gadis itu, Serena, dia memanfaatkan itu dengan menjual dirinya kepada Damian", gumamnya jijik.

Vanessa mengernyit lagi,

"Serena tidak kelihatan seperti gadis yang sengaja menjual dirinya"

"Dia menjual dirinya seharga tiga ratus juta. Aku sendiri yang membuatkan kontrak  perjanjian  jual  beli  yang  konyol  itu,  setelah  itu  Damian  masih membelikan  apartemen  untuk  tempat  dia  tinggal,  dan  bahkan  berencana melunasi hutang gadis itu yang hampir 40juta di perusahaan, aku sudah menasehatinya kalau dia mulai berlebihan, tapi Damian tidak peduli", gumam Freddy frustasi.

Vanessa merenung dengan serius, tiga ratus juta? Itu uang yang tidak sedikit untuk perempuan seumuran Serena. Dan gadis itu juga berhutang 40 juta di perusahaan, sungguh pengeluaran fantastis untuk gadis dengan penampilan sederhana seperti Serena,

"Menurutmu untuk apa uang itu? Kalau untuk bermewah-mewah sepertinya tidak mungkin, gadis itu tinggal di tempat kost sederhana, pakaian   dan barang- barangnya tidak ada yang bermerk, dia juga selalu naik kendaraan umum ke kantor", gumam Vanessa pelan.

Freddy menoleh dan mengangkat alisnya,

"Untuk seorang dokter perusahaan, tampaknya kau tahu banyak" Vanessa tertawa pelan,
"Tentu saja, aku banyak berhubungan dengan karyawan kau tahu. Freddy, tampaknya kau tidak boleh terlalu berprasangka dulu pada Serena", Vanessa berubah serius, "Damian bukan orang bodoh, dia tidak akan membiarkan dirinya dimanfaatkan, kecuali dia melakukannya dengan sukarela"

"Dia mabuk kepayang, lelaki yang mabuk kepayang tidak akan menggunakan akal sehatnya, dan kalau hal itu mulai keterlaluan, aku sendiri yang akan memperingatkan Serena", gumam Freddy dengan penuh tekat.

Vanessa  diam  saja,  memahami  betapa  dalamnya  rasa  persahabatan  antara
Freddy dan Damian, dan betapa Freddy sangat ingin menjaga sahabatnya itu.


Tetapi ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sesuatu tentang Serena, gadis itu terasa familiar tetapi Vanessa tidak bisa mengingatnya, kapan? Dimana?

***

Serena   mulai   sembuh,   meskipun   dia   belum   bekerja,   Damian   tidak mengijinkannya. Laki-laki itu bersikeras bahwa Serena belum boleh bekerja, dan dia memerintahkan dokter Vanessa menghubungi langsung atasan Serena sehingga tidak masuknya Serena selama empat hari ini tidak akan menjadi masalah.

Well, besok dia harus masuk, dia sudah sehat, itu hanya flu biasa dan dengan perawatan Damian yang sengat intensif disertai dengan obat dari dokter Vanessa yang sangat manjur, dia sudah merasa cukup kuat hari ini.

Dan  Serena  merindukan  Rafi,  sudah  empat  hari  dia  tidak  ke  rumah  sakit, kemarin tubuhnya masih terlalu lemah, tetapi sekarang dia sudah agak kuat dan tidak sabar ingin segera melihat Rafi,

Suster Ana menelephon dan menceritakan perihal Damian yang mengangkat telephonnya pada waktu Serena tertidur,  sekaligus meminta maaf jika dia sudah hampir membuka rahasia Serena.

Setelah itu, Serena bersikap hati-hati kepada Damian, menunggu lelaki itu bertanya kepadanya. Tetapi Damian besikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Jadi Serena berpikir Damian tidak menganggap telephone dari suster Ana itu sebagai sesuatu yang serius.

Serena sudah berpakaian rapi, saat itu jam lima sore, Damian masih akan pulang jam sembilan malam, jadi dia masih punya waktu lebih dari cukup untuk menengok Rafi.

Dengan riang karena akhirnya bisa berkunjung lagi ke rumah sakit, Serena berjalan dan membuka pintu keluar apartemennya, hanya untuk berhadapan dengan sosok Damian yang akan membuka pintu untuk masuk, Damian mengamati Serena yang berpenampilan rapi,

"Mau kemana?", tanyanya langsung.

Sejenak Serena terperangah tak menyangka akan berhadapan dengan Damian, matanya mengerjap gugup.

"Serena?", Damian mengulang pertanyaannya dalam matanya.


"Eh aku...", Serena mengerjap lagi, "aku mau membeli bahan makanan di supermarket", gumamnya, mengucapkan hal pertama yang terpikir di dalam benaknya.

Damian mengernyit,

"Kau masih sakit, tidak boleh keluar-keluar, kau bisa membeli bahan makanan itu besok, lagipula aku sudah membawa makanan", Damian menunjukkan kantong kertas di tangannya dan melangkah masuk lalu menutup pintu apartement, ketika dirasakannya Serena masih terpaku dia menoleh dan mengangkat kantong makanan itu,
"Kau tidak mau menatanya di piring sementara aku mandi?", tanyanya lembut, Serena tergeragap, dan mengangguk, lalu menerima kantong itu dari Damian, Ketika Damian melangkah ke kamar dan mandi, Serena menata makanan di
dapur dengan frustasi, kenapa Damian sudah pulang sore-sore begini? kenapa
waktunya begitu tidak tepat?

Serena menyempatkan diri menghubungi Suster Ana dan menjelaskan perihal batalnya  kunjungannya ke rumah sakit,  untunglah  suster Ana mengerti  lalu menjelaskan  secara  singkat  kondisi  Rafi  yang  stabil  sehingga  kemungkinan operasi ginjalnya bisa dilakukan beberapa hari lagi. Serena merasa sangat lega mendengarnya, dengan cepat dipanjatkannya doa permohonan untuk Rafi lalu melanjutkan menata makanan itu.

Semua masakan yang dibeli Damian tampak hangat dan menggiurkan sehingga mau tak mau menggugah selera Serena,

"Kau pasti menyukainya, itu menu andalan dari restaurant favoritku", Damian masuk kedapur dengan mengenakan pakaian santai, dia sudah bertransformasi dari pebisinis yang dingin ke lelaki yang lebih mudah didekati.

"Mana kopiku?", gumamnya disebelah Serena,

Damian berdiri begitu dekat hingga membuat Serena gugup, dengan ceroboh dia hampir melompat menjauh dari Damian, membuat lelaki itu mengangkat sebelah alisnya sambil menatap Serena,

"A....akan kubuatkan", gumam Serena dengan pipi merah padam.

"Tidak, nanti saja akan kubuat sendiri, kemarilah aku belum memeriksamu sejak tadi", Damian merentangkan tanggannya sambil bersandar di meja dapur.



Serena memandang ragu-ragu ke tangan Damian yang terentang, lalu beralih kemata Damian yang menyiratkan perintah tanpa kata-kata.

Dengan  ragu dia melangkah mendekat ke arah Damian,  lelaki itu langsung merengkuhnya ke dalam pelukannya,

"Hmmmm kau harum seperti aroma bayi", gumam Damian tenggelam disela sela rambut Serena.

Damian juga harum, pikir Serena dalam hati, aroma sabun dan aftershave, aroma yang sudah familiar dengannya dan mau tak mau Serena merasa nyaman ada di dalam pelukan Damian,
Mereka berdiri sambil berpelukan beberapa lama, tanpa suara tanpa kata-kata, Ketika akhirnya Damian mengangkat kepalanya dan menatap Serena, matanya
tampak membara,

"Kau sudah tidak demam lagi", suaranya terdengar serak, dan Serena mengerti artinya, Damian sudah terlalu lama menahan diri, lelaki itu tidak menyentuhnya selama tiga malam, dan mengingat besarnya gairah Damian kepadanya, sepertinya itu sudah hampir mencapai batas maksimal pengorbanan Damian. Serena sangat mengerti.

“Iya, aku sudah tidak demam lagi”, balas Serena lembut.

Damian mengerang lalu menekankan tubuhnya makin rapat pada tubuh Serena, hingga kejantanannya yang sudah mengeras menekan Serena membuat pipi Serena memerah. Dengan lembut Damian mengusap pipi Serena,

Begitu liar di ranjang, tapi masih bisa memerah pipinya ketika kugoda”, dengan lembut  Damian  meniupkan  napas  panas  di  telinga  Serena,  membuat  tubuh Serena menggelenyar, “Apakah aku juga bisa membuat yang di bawah sana merona ketika kugoda?”

Tangan Damian menyentuh Serena dengan lembut, membuat napas Serena terengah, jemari yang kuat itu menelusup ke dalam, menyentuh Serena dan menggodanya, membuatnya basah.

Damian mendorong Serena ke atas meja dapur membuka pahanya, lalu dengan cepat   membuka   celananya   dan   menyatukan   dirinya   dengan   Serena. Kerinduannya begitu dalam sehingga kenikmatan yang terasa begitu menyengat seakan-akan jiwanya dipukul dengan tabuhan percikan orgasme tanpa ampun.



Entah hati mereka saling berseberangan, tetapi ternyata tubuh mereka saling membutuhkan. Serena setengah terbaring di atas meja dapur dengan tubuh Damian melingkupinya, Lelaki itu membutuhkannya dan Serena dengan caranya sendiri membutuhkan Damian. Ketika paha mungil Serena melingkupi pinggang Damian, Damian menekankan dirinya kuat kuat, menggoda batas pertahanan Serena.

Damian...”, Serena merintih, tanpa sadar mengucapkan nama Damian, dan ucapan itu bagaikan musik hangat di telinga Damian,

“Ya manis, katakan manis, kau ingin aku berbuat apa?”, bisik Damian parau disela tubuhnya yang bergolak untuk memuaskan Serena, di sela napasnya yang tersengal yang terpacu cepat. Kau ingin aku memuaskanmu ya? Aku akan memuaskanmu manis, aku akan memuaskanmu sampai kau tidak akan pernah bias menemukan kepuasan yang sama dari siapapun.”, Dengan posesif Damian menekan Serena menyatakan kepemilikannya,

Kau tidak akan pernah menemukan lelaki lain...”, suara Damian tercekat ketika hantaman orgasme melandanya, membawa Serena ikut dalam pusaran puncak kenikmatannya.

Dan  akhirnya,  mereka baru  menyantap  makan  malam  hampir  lewat  tengah malam.



***



Ruangan itu sangat sunyi, hanya suara alat-alat penunjang kehidupan yang berbunyi secara teratur.

Serena  duduk disana, disamping  ranjang  Rafi,  menatap  Rafi  yang  terbaring dengan damai. Dua jam lagi operasi ginjal Rafi akan dilaksanakan.

Kau harus kuat bertahan ya? demi aku kau harus bertahan, kau harus bertahan, demi aku Rafi...

Berkali-kali Serena merapalkan kata-kata itu seperti sebuah doa yang tidak ada putus-putusnya.

Rafi tampak lebih kurus, dan pucat, dan begitu diam, tetapi Serena meyakini masih  ada  kekuatan  hidup  yang  tersembunyi  di  dalam  tubuh  Rafi,  Serena


mempercayainya.  Serena  percaya  kepada  Rafi,  seluruh  harapannya  masih bertumpu kepada kepercayaannya itu.

Kemungkinan keberhasilan operasi itu adalah 40:60, dan Serena bergantung kepada 40% itu. Dia percaya Rafi adalah lelaki yang kuat, buktinya dia sudah berhasil bertahan sampai sejauh ini.

Suster Ana masuk ke dalam ruangan, dan menyentuh pundak Serena. “Kondisinya stabil Serena, aku yakin dia akan berhasil melalui ini semua.” “Iya suster, Rafi pasti kuat.
Suster Ana mengecek denyut nadi Rafi lalu menatap Serena seolah teringat sesuatu.

Bagaimana kau berpamitan dengan Mr. Damian?” Serena merona.
“Aku bilang  menemani teman yang akan melahirkan, gumamnya pelan, merasa berdosa karena tidak biasa berbohong.

Hari  ini  hari  minggu,  Damian  kebetulan  berencana  melewatkan  waktunya seharian dengan Serena. Tetapi dengan alasan palsu dan kebohongan yang terbata-bata, Serena  berhasil membuat Damian melepaskannya.

Meskipun dahi Damian tampak berkerut curiga ketika Serena berpamitan tadi pagi.

Kalau begitu kenapa kau tak mau kuantar?” kejar Damian tadi pagi ketika
Serena menolak tawarannya.

Karena temanku ini mengenalmu sebagai bosku, nanti dia bisa mengetahui semuanya.” jawab Serena cepat-cepat.

Lelaki itu mengerutkan keningnya lagi, tidak puas. “Apakah dia salah satu pegawaiku?”
Bukan!”

Serena langsung menyela keras, karena setelah mengenal Damian lebih dekat, Serena tahu, jika dia menjawab ‘iya, maka Damian pasti akan menyuruh salah


satu staf personalianya untuk mengecek apakah benar ada karyawannya yang akan melahirkan, dan dia akan mendapati kalau Serena berbohong.

Dia bukan pegawaimu, tapi dia banyak mengenal teman-teman kantor  dan dia tahu tentangmu, jadi kalau dia melihatmu dia bisa bertanya-tanya kepada yang lain….

“Oke, kalau begitu di Rumah Sakit mana?”

Serena kehilangan kata-kata, berusaha mencari jawaban. “Eh...aku tidak tahu di Rumah Sakit mana.
Dengan   cepat   Damian   melangkah   ke   hadapan   Serena   yang   berusaha menghindari tatapannya.

Kau bilang akan menemani temanmu itu di Rumah sakit, bagaimana mungkin kau tidak tahu di mana rumah sakitnya???”

“A...aku...”, dengan gugup Serena menelan ludah, Aku akan menunggu di kost yang lama, suaminya akan menjemputku nanti , disyukurinya   jawaban yang terlintas cepat di otaknya, Dia jarang berbohong, dan tidak pandai berbohong, sementara Damian terlihat seperti seorang detektif yang mencurigai tindakan kriminal yang dilakukan di belakangnya.

“Suaminya?”

Jawaban itu sepertinya membuat Damian tidak senang karena ekspresi wajahnya semakin menggelap.
Kau membiarkan suaminya menjemputmu? kalian hanya berdua di jalan?” Serena  merasa  gugup,  tapi  kemudian  dia  merasa  ingin  tertawa  mendengar
perkataan Damian yang terasa aneh.

Damian, gumam Serena jengkel, Dia seorang suami, dan isterinya akan melahirkan anaknya, apa yang ada di dalam pikiranmu?”

Perkataan itu membuat pipi Damian merona, dan dia melangkah mundur.

“Ah ya...maaf, lalu lelaki itu menatap Serena tajam, Kau boleh pergi, tapi begitu sampai di rumah sakit  itu kau harus menghubungiku”

“Ya, jawaban Serena terlalu cepat sehingga Damian menatapnya makin curiga.



Kau harus menghubungiku, Oke?” “Oke”, jawab Serena terlalu cepat. “Serena!” Suara Damian terdengar jengkel. “Oke, Aku janji.” Jawab Serena akhirnya.
Dan sebelum jam delapan malam kau harus pulang.
Baik Damian”, Serena berjanji meski tidak tahu apakah dia bisa menepatinya. Dan sekarang, dengan sengaja Serena mematikan ponselnya. Bagaimanapun
kemarahan Damian nanti akan ditanggungnya, sekarang yang paling penting adalah Rafi.

"Sudah waktunya", gumam suster Ana, membuyarkan lamunan Serena.

Dua perawat lain masuk ke ruangan dan mulai mempersiapkan mesin-mesin penunjang kehidupan untuk Rafi. Lalu mulai mendorong tubuh Rafi keluar ruangan.

Serena mengikuti di belakang, sampai Rafi menghilang di pintu khusus ruang operasi.

Dengan lemah dia menoleh ke suster Ana,

"Berapa lama suster operasinya?" Suster Ana memeluk Serena lembut. "Untuk operasi berat seperti ini, minimal 4 jam Serena.
***

4 jam

5 jam

6 jam

......

Napas Serena mulai terasa sesak, berkali kali dia melirik lampu di atas pintu ruang operasi. Tetapi tetap tidak ada gerakan di sana. Di setiap detik yang


terlewatkan  dengan  begitu  lambat,  napas  Serena  terasa  makin  lama  makin sesak.

Kenapa  lama  sekali??  Apa  yang  terjadi?  Apakah  para  dokter  mengalami kesulitan? Bagaimana kondisi Rafi disana?

Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di dalam benak Serena, membuatnya makin cemas dan ketakutan.

Suster Ana sudah berkali-kali menengok keadaan Serena di sela-sela tugas jaganya, membawakan Serena segelas teh dan makanan kecil karena Serena tidak mau makan.

"Makanlah dulu Serena. Aku tidak mau kau pingsan nantinya." gumam suster
Ana sambil memijit lembut pundak Serena.

Dengan lemah Serena menggeleng. "Tidak bisa suster, aku terlalu cemas untuk makan."

"Kalau begitu minumlah tehmu, kau sama sekali belum makan sejak tadi, setidaknya teh manis bisa memberikanmu sedikit tenaga."

Dengan patuh Serena meneguk teh manisnya, lalu menatap ke pintu lagi dengan cemas.

"Kenapa lama sekali suster operasinya?" Suster Ana menghela napas.
"Aku tidak tahu Serena, tapi Rafi kan kasus khusus, para dokter harus benar- benar berhati-hati menanganinya, mungkin itu yang memerlukan waktu lebih lama."

Pandangan Serena tetap tidak terlepas dari pintu ruang operasi.

Ketegangannya semakin meningkat, ketika lampu di atas pintu ruang operasi menyala, tanpa sadar dia terlompat dari tempatnya berdiri dan setengah berlari menyongsong dokter.

Dokter itu tersenyum sebelum Serena bertanya, dia mengenal Serena, mengenal kegigihan gadis itu memperjuangkan kehidupan tunangannya. Dan tanpa sadar turut merasakan empati pada pasangan itu.

"Tidak apa-apa Serena, Rafi lelaki yang kuat, operasinya berhasil."



Tubuh Serena langsung lunglai penuh rasa syukur   hingga sang dokter harus menopangnya.

"Selamat Serena, kamu berhasil... Kalian berdua berhasil."

***

"Pulanglah dulu Serena, ini sudah hampir jam tiga pagi", suster Ana yang masih setia menemani mengguncang pundak Serena.

Dia kasihan melihat gadis itu tertidur kelelahan di samping ranjang Rafi, begitu Rafi keluar dari ruang pemulihan dan kembali ke kamar perawatan intensif, Serena tak pernah beranjak dari sisi Rafi, tidak makan, tidak minum. Hanya duduk disana mengenggam tangan Rafi yang tidak terbalut infus, seolah olah akan ada keajaiban dimana Rafi akhirnya sadarkan diri.

Kasihan sekali kau nak, suster Ana menggumamkan rasa tersentuhnya dalam hati.

Serena berusaha mengumpulkan kesadarannya, tanpa terasa tadi dia tertidur karena kelelahan.
"Kamu harus pulang Serena, ingat, mungkin Damian kebingungan mencarimu." Astaga!!  Astaga!!  Astaga!!  Ya  Tuhan,  Serena  benar-benar  lupa,  Damian!!!
Astaga, lelaki itu pasti akan mencarinya dan sekarang dia pasti sedang  marah
besar!!!

Dengan gugup Serena bangkit dari kursinya, sedikit gemetar membayangkan kemarahan Damian nantinya.

"Aku meminta supir rumah sakit mengantarmu pulang, jadi kamu tidak perlu naik taksi dini hari begini", Suster Ana berusaha meredakan kegugupan Serena.

Dengan   cepat   Serena   mengecup   tangan   Rafi   yang   masih   ada   dalam genggamannya, memeluk suster Ana dan setengah berlari keluar.



1 comment:

  1. Thanks to my father who shared with me concerning this website, this web site is truly amazing.

    Here is my web site - 부산오피

    ReplyDelete