"Wajahmu pucat sekali",
salah seorang temannya
memandang Serena
dengan
cemas ketika Serena mendudukkan diri di kursinya. Tadi dia hampir terlambat dan setengah berlari ke mesin absen.
Serena memegang pipinya,
memang terasa agak panas, apakah dia demam? Dan kepalanya juga pusing sekali. Tapi tetap dipaksakannya
tersenyum,
"Engga apa-apa kok, mungkin karena belum sarapan, nanti setelah minum teh
hangat pasti agak baikan."
Tapi ternyata tidak, rasa pusing itu
makin
menusuk nusuk di kepalanya
terasa nyeri,bahkan untuk menolehkan kepalanya saja
terasa sangat sakit, badannya juga sama saja, rasanya nyeri di sekujur tubuh seperti habis dipukuli. Serena
bertahan dengan tidak bergerak di kursinya, tapi rasa
sakitnya makin
tak tertahankan,
"Serena coba kesini sebentar, lihat draft pemasaran ini
bagaimana menurutmu?",
salah seorang rekannya memanggilnya.
Dengan mengernyit Serena mencoba berdiri, tubuhnya limbung sejenak,
tapi dia berdiri dan bertahan
sambil berpegangan di tepi meja.
Lalu setelah menarik napas dalam-dalam, dia melangkahkan kaki ke
meja rekannya. Tapi tiba-tiba rasa nyeri tak tertahankan
menyerang kepalanya dan semuanya menjadi
gelap.
*** "Pingsan??!"
Damian
setengah berteriak kepada Freddy yang menyampaikan kabar
itu padanya,
"Kapan?!
Dimana?!", Damian mulai berdiri dari balik meja besarnya.
Freddy hanya
duduk santai di sofa
kulit hitam di ruangan kantor Damian, "Tadi
dalam
 perjalanan  ke 
sini  aku 
kan  mengambil  arsip
 di  sebelah
 klinik,
 ada keributan di luar, gadis itu sedang digendong salah seorang rekannya ke klinik dan di
antar beberapa rekannya yang lain juga, dalam kondisi pingsan, dia pucat
sekali
seperti kelelahan ", tambah Freddy penuh arti.
"Digendong?", kali
ini
wajah Damian menegang
karena marah, "laki-laki?"
Freddy tiba-tiba saja tidak bisa menahan tawanya,
"Simpananmu pingsan dan kau meributkan siapa yang menggendongnya?",
Tawa
Freddy kembali terdengar tak peduli pada wajah Damian yang marah," Tentu saja laki-laki, mana mungkin perempuan?"
Damian mendengus marah dan hendak melangkah keluar ruangan, tapi Freddy
berdiri dan menahannya,
"Kau pikir kau mau kemana Damian?"
Damian menatap tangan Freddy yang menahan lengannya dengan marah, "Tentu saja melihat Serena!"
"Dan membuat kehebohan di luar? Seorang CEO perusahaan
yang jarang terlihat saking sibuknya, yang bahkan
untuk berkonsultasi  dengannya harus melalui
perjanjian temu yang
sulit, tiba-tiba saja turun
menjenguk seorang staff biasa?
Kuulangi seorang staff biasa, yang
tidak ada hubungan apapun dengannya",
Freddy menatap
Damian tajam, "dan bahkan
dengan wajah pucat pasi lebih
pucat dari yang pingsan kalau boleh kutambahkan",
Freddy mulai terkekeh geli.
Damian melotot marah padanya, tapi kemudian menarik napas dan tersenyum
skeptis,
"Kau benar, aku tak bisa",
dengan pelan dia melangkah dan duduk di sofa.
Freddy menuangkan minuman untuknya dari meja bar kecil dan memberikan
kepada Damian yang
langsung menyesapnya.
"Kau tak pernah
begitu sebelumnya Damian, dan
tak kusangka
kau sebegitu perhatiannya
kepada gadis kecil ini, kukira kau hanya menganggapnya tubuh yang sudah kau beli?"
Damian meletakkan gelasnya,
lalu menatap tajam Freddy
"Dan tubuh yang
kau
katakan itu yang
sekarang
terbaring pingsan."
Freddy tersenyum
dan
duduk di sebelah Damian,
"Kemarin 
aku baru  saja bilang  kalau 
gadis itu 
membuatmu  lelah dan 
tidak berkonsentrasi, ternyata kau
berbuat lebih parah
padanya", Freddy tak dapat menahan diri untuk tersenyum lebar, "Kau apakan saja gadis kecil itu Damian?"
Damian mengacak rambutnya bingung,
"Aku juga tidak menyangka
bisa jadi
begitu terobsesi kepadanya, kau
tahu.....rasanya tidak ingin berhenti, aku ingin terus menerus menyentuhnya, ingin terus
menerus merasakannya....jadi tiap malam aku..aku.."
"Kau bermaksud bilang tiap malam kau hampir tidak pernah membiarkannya tidur?",
kali ini alis Freddy berkerut.
Damian menghindari tatapan Freddy,
"Aku  baru
 beberapa
 hari  bersamanya,
 aku  masih  belum  merasa  puas",
gumamnya tak Jelas.
Freddy menarik napas dalam,
"Damian, aku tahu
kau terbiasa dengan wanita dewasa yang berpengalaman, yang
mungkin akan melayani
marathon seksmu
dengan senang hati kalau kau mau, tapi
ini, seorang perawan, seorang gadis kecil tak
berpengalaman,
seharusnya kau lebih menahan dirimu."
"Aku
tahu!", Damian menyela dengan keras, frustasi kepada dirinya sendiri, "tapi...ah, kau tidak tahu rasanya Freddy..."
"Betul aku tidak tahu, karena itulah aku tidak mengerti, kalau memang nafsumu sebegitu besarnya, kenapa
kau tidak mencari wanita lain sebagai pelampiasan? Wanita
 lain
 yang  lebih  bisa  mengimbangimu?
 Jadi  kau 
tetap  bisa  menjaga kondisi tubuh gadis itu, tubuh
yang kau beli seharga 100 juta", Freddy mengingatkannya.
"Ah ya...ya, bisakah kau jangan menyebutnya sebagai 'gadis itu atau 'tubuh itu..? Dia punya nama Freddy, namanya Serena."
"Baiklah, Serena ini, kalau kau tidak mau
menyakitinya, seharusnya kau mencari wanita lain untuk mengimbangimu."
Damian mengernyit, wanita lain? Sepertinya itu ide yang bagus,
kalau hasratnya membuat tubuh Serena
lemah, dia seharusnya menyalurkannya
kepada wanita lain, tapi. Damian tidak bisa membayangkan wanita manapun, dia mau Serena,
hanya Serena yang membuat tubuhnya berhasrat sampai seperti ini,
"Tidak bisa
kalau bukan dia Freddy, kau tahu aku bukan maniak seks, bercinta selama ini menjadi kebutuhan
nomor duaku, bahkan aku selalu mementingkan pekerjaan dibandingkan janji temuku dengan wanita-wanita itu, tapi Serena...
Dia
seperti ada magnet dalam tubuhnya
yang mengubahku menjadi seperti ini"
Freddy menarik napas,
"Kalau
begitu, kau
harus belajar menahan diri Damian dan
lebih peka, kalau
dia terlihat lelah, jangan memaksakan kehendakmu."
***
"Apa yang
kau
lakukan padanya?",
gumam dokter Vanesa, janda berusia 33
tahun yang sangat cantik, yang
kebetulan  adalah 
sahabat  Damian 
juga,  ketika  melihat 
Damian  masuk
 ke
ruangan klinik itu, suasana sudah sepi dan dokter Vanesa
sudah
mengusir rekan-
rekan kerja Serena dari klinik itu,
Damian mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan
Vanesa,
"Kenapa kau langsung menuduhku seperti itu?", gumamnya pura-pura tersinggung.
Vanesa melirik ke
arah Serena yang tertidur pulas, tadi Serena sempat bangun
dan
Vanesa sengaja memberinya obat yang membuatnya mengantuk agar gadis itu bisa beristirahat,
"Seorang staff rendahan pingsan dan
beberapa waktu
kemudian
sang CEO perusahaan
 yang  tidak
 pernah
 menginjakkan  kakinya  di  klinik  ini
 tiba-tiba datang? Kau pikir ini
kebetulan?"
Damian tersenyum miring,
"Setidaknya
kecerdasanmu tidak berubah Vanesa",
Vanesa terkekeh pelan,
"Tentu saja aku
sama sekali tidak menduga kalau gadis itu ada hubungannya denganmu, waktu memeriksa
tubuhnya aku melihat bekas-bekas ciuman dari
leher sampai
ke perut, lalu aku berfikir, lelaki brengsek mana yang membiarkannya
sampai pingsan kelelahan begitu",
Vanesa mengangkat alisnya, " Dan tiba-tiba saja lelaki brengsek itu muncul." Damian mengerutkan alisnya lalu terkekeh,
"Sayangnya kata-kata tajammu juga tidak berubah, 
yah aku memang lelaki brengsek itu", Damian mengangkat bahu, lalu menatap ke arah Serena yang terbaring
 pucat
 di  ranjang  klinik  itu,
 "
 bagaimana
 kondisinya?",  wajahnya berubah serius.
Vanesa menarik napas,
"Aku tak mau bertanya apapun itu kehidupan pribadimu", Vanesa menatap tajam ke
arah Damian," gadis itu kelelahan, kurang tidur dan tekanan
darahnya rendah sekali, kondisi tubuhnya lemah dan karena itu dia demam, sepertinya gejala flu."
Damian mengernyitkan allisnya, menerima tatapan tajam Vanesa.
"Baik,  baik semua salahku, 
Freddy  sudah  mengatakannya padaku, 
sekarang bisakah kau meninggalkan kami sendirian sebentar?"
Vanesa melirik ke arah pintu,
"Freddy ada di luar? Bagaimana jika nanti ada
karyawan yang kebetulan ke klinik?"
"Itulah gunanya
Freddy di luar, tapi kalau sampai terjadipun aku akan bilang
kalau aku sedang
mencarimu meminta resep."
Vanesa mengangguk,
"Aku akan bergabung dengan Freddy di
luar, jangan berbuat macam-macam ya!" Damian tersenyum mendengar ancaman Vanesa. Wanita itu adalah istri dari
sahabatnya, dan merekapun ahkirnya bersahabat. Sayangnya
suami Vanesa meninggal dalam kecelakaan tragis di jalan tol beberapa tahun lalu, sejak itu
Vanesa membentengi diri dengan mulut tajam dan sifatnya yang ketus, padahal
sebenarnya dia adalah wanita penyayang, sikap
ketusnya itu tidak mempan pada Damian dan Freddy, Damian melirik keluar, seandainya saja Vanesa bisa
melirik
Freddy, bagus
sekali
kalau sahabat-sahabatnya
itu bersatu.
Dengan langkah pelan Damian melangkah ke tepi ranjang berdiri di samping
Serena yang
tertidur pulas,
Benar,  wajahnya  pucat  sekali,
 kenapa
 Damian 
tidak  menyadarinya 
dari semalam?
Tangan Damian menyentuh dahi Serena, gadis ini demam! Badannya panas
sekali...
"Jadi kau ingin mengantar
pulang Serena?",
Vanesa tiba-tiba bersuara di pintu dengan agak keras, sengaja memberi peringatan kepada Damian.
Damian langsung
menjauh dan berdiri di depan meja kerja Vanesa.
Pintu terbuka dan salah seorang laki-laki, rekan kerja Serena tapi Damian lupa namanya,
masuk membawa tas Serena yang tertinggal di ruangannya, disusul oleh Vanesa dan Freddy di
belakangnya.
Rekan kerja
Serena itu tampak sangat
kaget mengetahui Damian, CEO
perusahaan yang
hanya pernah dia lihat dari foto, sekarang berdiri langsung di depannya, wajahnya langsung pucat pasi,
"Aaaa...aaandaa....", 
 lelaki 
 itu   bahkan   tak   sanggup   berkata-kata 
 karena
kagetnya, Damian menatap
sekilas
seolah tak peduli,
"Ya, Saya memang benar
Damian", dipasangnya ekspresi paling dingin,
"Saya ada urusan dengan dokter Vanesa, tapi silahkan
selesaikan
urusan
anda
dulu, saya bisa menunggu."
"Alex hanya ingin menjemput rekannya
yang pingsan dan
mengantarkannya pulang Damian",
Freddy menyela di belakang Vanesa tapi matanya
menatap Damian
penuh peringatan.
Pulang? Damian mengernyit, tapi
Serena kan sekarang tinggal di apartement
mewah yang dia belikan, tidak mungkin dia membiarkan Alex mengantar
Serena pulang!
"Saa ...saya hanya
sebentar, saya
akan mengangkat Serena dan mengantar pulang, kebetulan saya ada janji temu dengan kilen di dekat tempat kostnya jadi
sekalian,
mohon maaf, silahkan
dokter jika ada urusan dengan Mr, Damian"
Alex cepat-cepat membalikkan tubuh tak
tahan menghadapi tatapan tajam
Damian,  memang 
benar  gosip  yang
 beredar,
 Mr.  Damian
 CEO  mereka  ini
terkenal sangat dingin dan tidak berperasaan, bahkan aslinya lebih menakutkan,
wajahnya sangat rupawan tapi aura membunuh
disekelilingnya sangat kental.
Damian masih terpaku di situ,
tempat kost? Si bodoh
ini
pasti masih mengira Serena masih
tinggal di tempat kostnya
yang lama. Dan.. Apa yang dilakukan
lelaki itu ??? Dia menyentuh
tubuh Serena ??!
Damian hampir menyeberangi  ruangan untuk menepiskan tangan Alex  yang mencoba menggendong Serena ketika Suara
Vanesa
menyela dengan cepat, menyadari
gawatnya situasi yang
terjadi,
"Jangan Alex", perintahnya
membuat Alex meletakkan tubuh Serena kembali dan menatap
Vanesa penuh tanda tanya,
"aku memberi obat tidur untuknya
supaya
dia bisa beristirahat, kalau kau
pulangkan  dia
 ke
 kostnya
 dalam     kondisi  seperti
 itu,  siapa
 yang
 akan
menjaganya nanti? Lebih baik biarkan dia beristirahat dan tidur
di sini dulu"
Alex menyadari kebenaran perkataan
dokter Vanesa dan
cepat-cepat menyetujuinya. Lagipula dia ingin cepat-cepat keluar dari ruangan ini.
Sang CEO hanya berdiri membatu di sudut ruangan tapi
tatapan matanya mengerikan, seperti
akan membunuhnya
dengan tangan kosong!
Ah, mungkin dia hanya sedang tidak enak badan, Alex berusaha menenangkan dirinya, lalu mengangguk,
"Baiklah saya akan meninggalkannya dulu, nanti kalau dia sadar saya akan menjemputnya  lagi"  gumamnya  sambil
 meletakkan 
tas  serena  di
 kursi
 dan hampir melonjak kaget ketika Damian berseru dalam bahasa Jerman yang tidak dimengertinya,
Vanesa agak menahan  senyum karena dia tahu arti kata-kata Damian, 'Langkahi
dulu mayatku',
itu
artinya
"Tidak usah Alex, biar aku yang mengantarnya sekalian pulang nanti"
Alex  mengangguk, 
sebenarnya  dia  ingin 
membantah,  dia  ingin  mengantar Serena, sebenarnya
sejak dulu dia sudah
suka pada Serena tetapi belum berani mengungkapkannya karena Serena terlihat begitu tertutup, kejadian ini
dianggapnya sebagai
kesempatan mendekati Serena,
tapi mengingat aura tak nyaman di ruangan ini, Alex
memutuskan menyerah, mungkin lain kali, putusnya
Lalu melangkah ke
luar setelah mengangguk pada semuanya,
tak bisa menahan
untuk mempercepat langkahnya
keluar dari
situ.
"Aku   yang   akan 
 membawanya  
pulang",   Damian   bergumam
  memecah
keheningan.
"Kau ada rapat satu jam lagi Damian", sela Freddy tajam. "Batalkan, mereka akan menyesuaikan jadwalnya denganku"
Vanesa dan Freddy hanya bisa berpandangan, lalu mengangkat bahu.
***
Ketika Serena membuka mata
dia
sudah ada di ranjangnya,
mengenakan
salah
satu piyama sutra
hitam milik Damian, lelaki itu sedang duduk di ranjang di
sebelahnya,bersila dengan menghadap
notebooknya, wajahnya serius sekali. Serena merasa
pusingnya sudah hilang, tapi rasa nyeri di tubuhnya belum hilang
juga, sepertinya dia masih demam.
Seolah merasakan gerakan Serena,
Damian menoleh, dan tersenyum.
"Tadi aku mencari piyama untukmu, ternyata kau tak punya piyama ataupun gaun
tidur ya? Aku tidak tahu
sebelumnya
karena aku selalu menelanjangimu sebelum tidur"
Wajah Serena memerah, bisa
bisanya
Damian memilih kata-kata itu sebagai
kalimat sapaan pembukanya.
"Kenapa aku tiba-tiba sudah di rumah? Jam berapa ini?" Damian mengangkat alisnya,
"Kau tidak tahu? Tadi pagi kau
pingsan lalu
dokter Vanesa
menyuntikmu dengan
obat yang membuatmu tidur, tapi aku
harus mengajukan
komplain karena
sepertinya dosisnya terlalu besar, kau tertidur hampir sepuluh jam....sekarang sudah jam delapan malam"
Serena terperangah, "Jam delapan malam?" Damian tersenyum,
"Besok-besok kalau kau merasa tidak enak badan jangan memaksakan diri untuk masuk, kau sangat merepotkanku, aku terpaksa pulang setengah hari untuk
menjagamu"
Wajah  Serena  memucat,  dia  telah  mengganggu  kesibukan 
Damian!  Padahal
lelaki itu punya
jadwal yang sangat padat dan terpaksa
meninggalkannya hanya gara-gara dia pingsan.
"Ma...maafkan aku...", suara Serena terdengar lemah, penuh penyesalan.
Damian menoleh mendengar nada
suara
Serena, lalu menutup notebooknya
dan meletakkannya di
meja
samping ranjang,
"Aku tidak memarahimu, lagipula sudah lama
aku tidak mengambil cuti",
dengan lembut Damian meletakkan
tangannya di
dahi Serena, "sudah mendingan, tadi kau
panas sekali tahu, aku sampai mengkompresmu dengan air
es"
Serena memejamkan
matanya merasakan tangan
Damian yang sejuk di dahinya,
kenapa lelaki ini begitu lembut dan penuh
perhatian? Sudah lama sekali rasanya
sejak ada yang memperhatikan dirinya. Setelah kedua orang tuanya
meninggal, Serena selalu berjuang sendirian, tidak pernah
sama
sekali mengijinkan dirinya
menjadi lemah.
Sekarang, perhatian yang
begitu lembut dari Damian entah
kenapa membuat dadanya sesak,
"Kau sudah bisa minum obatnya? Dokter Vanesa membawakan obat untuk kau
minum, tunggu sebentar",
Damian bangkit dari ranjang
dan melangkah keluar kamar,tak lama kemudian
dia
kembali membawa nampan, meletakkannya di meja samping ranjang
dan membantu Serena duduk,
"Kau harus makan dulu sebelum minum obat",
Aroma kuah yang
sangat menggoda itu benar benar membuat air liur menetes,
serena menoleh ke atas nampan yang diletakkan di pangkuannya,
semangkuk sup
jagung
dan
daging yang masih panas dengan aroma yang sangat enak,
"Itu bukan bubur ayam, jadi
kuharap kau tidak memuntahkannya", ada nada geli
dalam suara Damian,
Mau tak mau Serena tersenyum karena ternyata Damian masih teringat
percakapan mereka kemarin.
Dengan pelan dia berusaha mengangkat sendok sup itu, tapi Damian
menahannya,
"Aku suapi",
gumamnya sambil mengambil sendok itu.
Wajah Serena memerah canggung, tapi
ketika Damian mengarahkan sendok itu
ke mulutnya ahkirnya dia membuka mulutnya
pelan,
Dengan tenang damian
menyuapi Serena, setelah selesai dia meletakkan
mangkuk
kosong itu ke sebelah ranjang,
"Ada yang menempel di bibirmu", tanpa disangka Damian mendekatkan wajahnya, lalu menjilat sudut
bibir Serena dengan lembut, "sekarang sudah bersih",
Damian terkekeh melihat wajah Serena yang
merah padam.
"Te...terimakasih" gumam Serena terbata-bata.
Tiba-tiba saja Damian meraih pundak Serena dan menciumnya,
ciuman
yang sangat dalam dan membakar, seolah-olah ingin melumat
bibir Serena sampai
habis, lama sekali
Damian mencium Serena, sampai napas mereka berdua
terengah-engah ketika Damian melepaskan ciumannya,
"Sama-sama", gumam Damian dengan parau kemudian, "kalau begitu minum obatmu, setelah itu kau harus tidur lagi."
Dengan patuh Serena berbaring lagi di ranjang
dan
membiarkan Damian
menyelimutinya.
Lelaki itu lalu duduk di
ranjang di samping
Serena dan menyalakan notebooknya
lagi, lalu mulai tenggelam dalam pekerjaannya.
Serena termenung agak lama, Damian tidak menyentuhnya malam ini, tetapi
lelaki ini tetap bermalam di
apartement ini untuk merawatnya. Ternyata di balik sikap kejam dan arogannya, Masih ada sisi baik di jiwanya.
 
ReplyDeleteSomeone necessarily help to make significantly articles I would state.
This is the first time I frequented your website page and thus far? 풀싸롱