Chapter 1
-Empat bulan sebelumnya-
Andrea baru sajapulang dari kerja, dihempaskan badannya ke sofa coklat di tengah ruangan dirumah mungilnya. Sulur-sulur yang merambat di depan jendela menghalangi cahayamatahari jingga yang terpekur sebelum terbenam. Dipejamkannya kedua mata, lalu menghela napas panjang, berusaha untuk santai. Biarpun memejamkan mata, Andreamasih tersenyum, teringat Eric dan obrolan ringan mereka.
Kata Sharon, Eric sebenarnya sudah mengincarnya sejak lama untuk didekati. Andrea termenung dalam senyuman yang tak kunjung hilang di bibirnya. Sejak pertama dia dikenalkan dengan Eric, salahsatu karyawan baru di divisinya, dialangsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Tetapi tidak disangkanya Ericmungkin menyimpan perasaan yang sama, hingga Sharon mengatakan kepadanya.
Siang tadi, Eric tiba-tib amendekatinya ketika Andrea sedang menuang air panas dari dispenser ke cangkirberisi kopi instantnya, Aroma kopi langsung menguar, memenuhi ruangan,menciptakan keharuman yang menyenangkan. Eric menyapanya biasa-biasa saja, danAndrea sudah salah tingkah menghadapinya. Tetapi kemudian lelaki itu bertanyaapakah Andrea ada kegiatan di akhir pekan ini – yang langsung dijawab Andrea bahwa dia tidak kemana-mana- Dan kemudian ajakan kencan itu datang. Eric mengajaknya ke sebuah acara pameran komputer di sudut kota. Bukan kencan dalam arti sebenarnya memang, tetapi bukankah ketika lelaki dan perempuan memutuskan untuk keluar bersama di akhir pekan.... bisa disebut sebagai kencan?
Dan ternyata ‘kencan’ pertama mereka itu berakhir dengan sukses, ketika Eric tersenyum lembut di depan pintu rumahAndrea, dan mengucap terimakasih atas kebersamaan mereka di akhir kencan,Andrea membalasnya dengan senyuman. Senyuman yang dibawanya bahkan sampaimenjelang tidur malam itu.
Kencan... Andrea membuka matanya dan menatap ke sekeliling ruangan rumahnya. Dia bahkan tidak pernah memikirkannya sampai akhir-akhir ini. Sejak kecelakaan yang menyebabkan ayahnya meninggal, Andrea mencoba menyibukkan diri untuk mengurus harta peninggalannya. Tetapi bisa dibilang pengacara ayahnya yang mengurusi semuanya, menjual semua kenangan indah itu, karena Andrea tidak mampu untuk sekedar melihatnya....karena dia terlalu lama tenggelam dalam kepedihan.
Sambil menghela napas panjang, Andrea berdiri, lalu melangkah ke dapur, menuangkan kopi dari mesin pembuat kopi ke cangkirnya, kopiitu sudah tidak panas lagi, karena itu adalah sisa dari kopi yang dibuatnya dipagi hari sebelum berangkat kerja. Tetapi Andrea masih bisa merasakan rasa asamkhas kopi yang nikmat di sana. Dahinya mengernyit dan menghela napas, diahampir-hampir bisa disebut kecanduan kopi. Pagi, siang dan malam... dia tidak bisa hidup tanpa menuang secangkir kopi untuk mengisi lambungnya yang kadang-kadang menolak dan berunjuk rasa dengan rasa perih yang menggigit disana.
Tetapi Andrea butuh membuka matanya.Sejak kematian ayahnya, Andrea hampir terlalu takut untuk tidur. Benaknyadipenuhi ketakutan, ketakutan yang dia tidak tahu karena apa......ketakutan itu seperti menyimpan rahasia gelap yang mengerikan. Membuat Andrea dipenuhiketakutan setiap malam, takut kalau-kalau kegelapan itu menyergapnya ketika diamemejamkan mata.
Andrea sudah menghubungi psikiater yang merawatnya sejak kejadian kecelakaan itu, kata psikiater, rasa takut tanpaalasan yang dirasakan Andrea hanyalah efek manifestasi trauma atas kecelakaanyg menyebabkan dia terluka parah, dan menewaskan ayahnya. Psikiater itu merawatnya dengan baik, session demi session, sampai kemudian Andrea merasa dirinya sudah sembuh, bebas, dan bahagia tanpa ketakutan yang menghantui.
Sekarang semuanya sudah baik-baik saja. Andrea mendesah dalam keheningan. Dia sudah bebas. Sekarang dia bias memulai hidup yang baru, bisa mencoba membuka hati dan jatuh cinta lagi.
Rasa takut itu sudah ditinggalkannya jauh-jauh. Dia bebas sekarang, tidak akan ada lagi kegelapan yang mengintai danberusaha menyakitinya. Mungkin memang cahaya terang sudah memasuki kehidupannya. Andrea tersenyum, membayangkan jalan indah yang mungkin akandilaluinya bersama Eric nanti
***
Andrea duduk siangitu menghadap pot bunga yang tersusun rapi di teras cafe yang cukup ramaidengan pengunjung. Diliriknya jam tangan dipergelangan kirinya, masih 15 menitlagi sebelum orang itu datang. Disiapkan kembali beberapa surat perjanjiankontrak, dicek kembali beberapa helai materai yang akan diperlukan nanti.
It's all set, Andrea membatin.
Ini aneh, karena sang klien meminta penandatanganan kontrak di sebuah cafe eksklusif yang sangat privat, biasanya para klien memilih menandatangani kontrak di ruang rapat kantor pusat mereka yang sudah disediakan. Tetapi bagaimanapun juga, bosnya mengatakan bahwa ini adalah klien penting, dan apapun permintaannya sesulit apapun itu, harus dituruti.
Suara berisik di pintu membuatnya menoleh. Beberapa lelaki berpakaian hitam-hitam tampak memasuki ruangan, ekspresi mereka semua sama, datar dankosong, membuat Andrea merinding. Dia memandang ke sekeliling dan terkejut, cafe itu beberapa saat tadi tampak cukupramai, tetapi sekarang, tidak ada satu orangpun di sana, suasana cukup lengangdan tidak ada aktivitas apapun, selain beberapa orang berpakaian hitam-hitamyang terus menerus masuk, dan berdiri dengan kaku, hampir membentuk barisan,seolah-olah mereka memberi jalan untuk seseorang.
Satu.. dua ...tiga... Andrea menghitung jumlah orang-orang berpakaian hitam-hitam itu, seluruhnya ada dua puluh orang.Siapakah gerangan yang membawa dua puluh orang pegawai, memberi mereka pakaianyang sama dan membuat mereka memasang ekspresi sama?
Rupanya Andrea tidak perlu menunggu lama untuk menemukan jawabannya, dipintu, masuklah seorang lelaki tua, berpakaian putih-putih, sangat kontrasdengan penampilan para pegawainya, dan langsung melangkah menuju Andrea.
Inikah klien penting mereka? Tiba-tiba Andrea gemetar karena meskipun sudah tua,lelaki itu masih menguarkan aura mendominasi yang sedikit menyesakkan dada.
Lelaki itu berdiri, mengamati Andrea lalu mengangkat alisnya.
“Nona Andrea?”
Tiba-tiba Andrea tersadar bahwa dia tidak sopan karena tetap duduk sementara sang klien penting masih berdiri di depannya. Dia langsung berdiridan mengulurkan tangannya dengan sopan.
“Betul. Saya Andrea. Anda Mr.Demiris?”
Seulas senyum yang tak disangka muncul di bibir lelaki tua itu saatmembalas uluran tangan Andrea, “Betul,Mari kita langsung bicarakan bisnis di sini.”
Lelaki itu duduk, sementara Andrea melirik orang-orang berpakaian hitam-hitam yang tetap berdiri tanpa ekspresi di sana, merasa terganggu dengankehadiran mereka. Tetapi lelaki itu rupanya sudah terbiasa, karena dia langsung membuka percakapan ke arah bisnis,
“Seluruh kontrak sudah disiapkan?”
“Sudah.” Andrea membuka map itu dan menyerahkannya ke lelaki tua itu.Mr. Demiris langsung menerima dan memeriksa isinya, dahinya berkerut dalam ketika menelaah setiap klausul yang ada. Setelah lama, dia mengangkat matanyadan tersenyum.
“Bagus. Sesuai permintaan. Dimana saya harus tandatangan?”
Jantung Andrea yang sedari tadi menunggu dengan tegang langsung terasalega, seolah napasnya meluncur dalam dan mengosongkan rongga dadanya. Dengantangan agak gemetar, dia menunjuk ruang kosong yang sudah diisi dengan materai.Sebentar lagi tender untuk kontrak paling penting di perusahaannya akan ditandatangani.
Lelaki itu meraih pena emas dari saku jas putihnya dan kemudian dengantenang dia menandatangani di tempat itudan juga diseluruh bagian yang ditunjukkan Andrea, berkas asli dan beberapa salinannya. Setelahnya dia tersenyum, menyerahkan map kertas itu kepada Andrea, memasukan pena emas ke sakunya dan kemudian langsungberdiri.
“Senang berbisnis dengan anda, sampaikan salam untuk atasan anda.”
Kemudian lelaki tua itu berbalik, melangkah meninggalkan Andrea yang masih termangu melihat langkah-langkahnya pergi. Para pegawainya yangberpakaian hitam-hitam langsung mengikutinya. Setelah semuanya pergi, café menjadi lengang, hanya Andrea yang duduk di sana. Bahkan para pegawai cafeseolah-olah lenyap ditelan bumi.
Andrea termangu, lalu mengemasi seluruh berkas penting itu, dan memasukkannya dengan teliti ke dalam map. Berkas ini sangat berharga dia harusmenjaganya baik-baik dan memastikan tidak ada yang terlewat di sana. Setelah semuanya rapi, dia melangkah berdiri, menoleh ke kiri dan kekanan dengan bingung karena tak ada seorangpun di dalam sana. Kemudian setelah menghelanapas panjang, dia meninggalkan uang di meja dan melangkah pergi.
Hatinya tenang dan lega karena sudah menyelesaikan tugas terpenting dari atasannya. Dia sudah tidak memikirkan lelaki tua itu lagi karena Andrea merasa dia tidak akan bertemu dengannya lagi.
Tidak disadarinya bahwa dia salah. Lelaki tua itu masihakan muncul dalam kehidupannya nanti di masa depan.
***
Eric mendekatinya siang itu dengan senyum lebarnya yang khas,
“Kudengar kau meng-goalkankontrak kerja paling hebat tahun ini.”
Andrea tersenyum malu-malu mendengar sapaan Eric itu. Semua orangmemujinya, padahal yang dilakukannya hanya datang dan membawa berkas untukditandatangani seperti yang diperintahkan oleh atasannya. Dan Andrea sendiri menolak semua pujian itu. Goal atas tender besar itu bukan atas usahanya, melainkan atas usaha dariatasan-atasannya yang melakukan negosiasi dengan penuh upaya. Yang dilakukanAndrea hanyalah sentuhan akhirnya, menyiapkan semua kontrak dan suratperjanjian sesuai keahliannya, lalu memastikan bahwa itu ditandatangani.
“Itu semua bukan hanya karena aku.” Jawab Andrea manis, setengahmalu-malu.
Eric tertawa mendengarnya dan mengangkat bahu, “Apapun itu, kau telah berhasil, dan kurasa kita pantas merayakannya.”
“Merayakannya?”
“Ya. Kau dan aku, makan malam bersama.”
“Makan malam bersama?”
Kali ini Eric tergelak geli, “Andrea, kau mengulangi setiap kata-kataku.”
Pipi Andrea memerah, menyadari kekonyolan sikapnya. Tetapi Eric malahantampak geli, dia mengedipkan sebelah matanya menggoda,
“Bagaimana? Mau makan malam bersamaku malam ini?”
Mata Andrea berbinar, dadanya terasa hangat, dia menganggukkan kepalanya dengan malu-malu, “Ya aku mau.”
Rasanya hari itu Andrea seperti lahir kembali, yang semula selalu bersembunyi dalam kegelapan, sekarang ditarik menuju cahaya terang yangmenyilaukan bersama Eric
***
Andrea berdiri dengan gugup di depan meja riasnya, kebingungan. Diasudah mencoba tiga macam pakaian dan entah kenapa tidak ada satupun yang terasa cocok untuknya. Yang sekarang dia pakai adalah gaunnya yang terakhir, berwarnaungu muda hingga nyaris putih, bagian atasnya sederhana, tanpa aksen, hanyasedikit kancing dengan warna ungu gelap yang membuatnya lebih manis, bagianbawahnya melebar, membuatnya tampak sangat feminim
Sepertinya gaun ini yang paling cocok. Andrea membatin. Dia tidak tahu kemana Eric akan membawanya makan malam, mungkin di tempat santai, tetapi bisajuga di tempat yang formal. Dimanapun itu, gaun ini adalah pilihan yang paling aman, mampu nampak formal sekaligus santai.
Setelah menyisir rambutnya, Andrea memakai sepatu berhak rendah warna putih miliknya, dan menatap dirinya di cermin untuk terakhir kalinya, sebelummeraih tas-nya dan melangkah ke luar kamar.
Tepat pada saat itu, bel pintu berbunyi.
Itu pasti Eric. Dengan riang Andrea melangkah bersemangat ke arah pintu,untuk kemudian langkahnya terhenti mendadak, entah kenapa merasa ragu. Andrea mengernyit dan mendesah jengkel, rasa takutnya ternyata masih tersisa,bermanifestasi menjadi rasa waspada dan curiga. Dia mengintip ke lubang pengintai di pintu, dan melihat Eric berdiri di sana. Andrea mendesah, diakesal akan ketakutan bodohnya yang tidak beralasan ini. Setelah menghela napaspanjang, Andrea membuka pintu dan berusaha tersenyum ceria.
Well sebenarnya Andrea tidak perlu terlalu berusaha untuk ceria, senyummanis Eric ketika melihatnya, dan binar mata Eric yang menunjukkan pujiannyaakan penampilan Andrea, membuat Andrea merasa tersipu dan bahagia, entahkenapa.
Eric berdehem dan mengangkat alisnya,
“Mungkin aku akan sibuk malam ini.”
“Sibuk?” Andrea menatap Eric bingung.
Eric tersenyum penuh arti, “Aku akan sibuk mengusir lelaki-lelaki yangmelirikmu dan mencoba mendekatimu karena penampilanmu ini sangat cantik.” Eric mengedipkan sebelah matanya dan setengah membungkuk, “Terimakasih sudah maumakan malam bersamaku, Andrea.”
Andrea tergelak mendengar rayuan Eric yang dibalut dalam canda itu.Ketika Eric mengulurkan tangannya dan mengajaknya memasuki mobil, Andrea mengikutinya dengan langkah ringan dan tanpa beban.
***
Ruangan itu tampak mewah, dihiasi oleh barang-barang berkelas,menunjukkan kekayaan pemiliknya, Christopher Livanos yang sekarang sedang duduk di sebuah kursi besar. Wajahnya tampak muram.
“Well?” Demiris yang duduk di depan lelaki berwajah murung itu, “Dia bahkantidak mengenalimu ketika kau berdiri menyamar dan berpakaian serupa seperti para pengawalku.”
Christopher mengangkat alisnya, ekspresi sinis yang menawan muncul dimatanya yang gelap pekat, dia setengah mendengus ketika berkata, “Aku memangtidak mengharapkan dia mengenaliku.”
“Jadi bagaimana sekarang?” Demiris menatap Christopher dengan senyumanmenggoda. “Gadis itu tidak menyadari betapa beruntungnya dia. Tidak ada yang pernah lolos dari targetmu, Christopher, kau adalah lelaki yang terkenal sebagai sang pembunuh berdarah dingin. Dia adalah satu-satunya manusia yang bisa membuatmu menghancurkan reputasimu : sebagai yang tak pernah gagal dalam melaksanakan misimu.” Demiris melemparkan pandangan memancing, “Akankah kau akan membiarkannya bebas dan tidak pernah tahu bahaya yang sedang mengintainya, ataukah kau akan menuntaskan tugasmu dan melenyapkannya seperti yang seharusnya terjadi?”
Christopher tidak terpancing tentu saja. Dia sangat mengenal Demiris,lelaki tua itu adalah mentor sekaligus sahabatnya, Demiris sangat suka memancing orang lain lalu menilaidengan ahli setelah melihat tanggapan orang itu. Hal itulah yang menyebabkan Demiris sangat sukses dalam bisnisnya, dia punya kemampuan jenius untuk menilai orang lain sampai ke dalam-dalamnya. Karena itulah Christopher memasangekspersi dingin dan tidak terbaca, bersikap sesantai mungkin.
“Waktunya akan tiba nanti.” Gumamnya seolah tak peduli.
***
“Kau tahu, sudah hampir tiga tahun sejak terakhir kali aku berkencan dengan seorang gadis.” Eric tersenyum lembut sambil menatap Andrea, mereka telah menyelesaikan makan malam di sebuahresroran elegan yang menyajikan menu-menu luar biasa nikmatnya. Lampu restoranini sengaja didominasi oleh warna kuning hangat, dengan lantai dari panel kayuberwarna gelap yang menyatu dengan suasananya. Amat sangat indah. Andrea tidakpernah menyangka, kencannya dengan lelaki – sejauhyang dia ingat – bisa semudah ini.
Andrea tersenyum, menopangkan jemarinya dengan lembur di dagu, menatap Eric yang tampak sangat tampan dibawah cahaya temaram lampu. “Apakah kau tidaktertarik mengajak seorangpun sebelumnya?”
Eric menyesap minumannya, kemudian menatap Andrea penuh arti, “Aku kehilangan orang yang kusayangi, dan kemudian berusaha menyembuhkan jiwaku sendiri, ketika aku sadar, ternyata aku telah melewatkan banyak hal.” Lelaki itu tampak sedih, “Tunanganku meninggal tiga bulan sebelum tanggal pernikahan kami.”
Wajah Andrea memucat, “Maafkan aku.”
“Jangan minta maaf, aku memang ingin bercerita.” Eric menatap Andrealembut, “Sekarang aku sudah berhasil mengenang sambil tersenyum, dan bisa melepaskan jiwanya untuk pergi dengan tenang, tanpa diberati oleh kesedihanku.”
Andrea paham perasaan Eric. Di malam-malam sepi setelah penyembuhannya, ketika Andrea dihadapkan pada kenyataan bahwa ayahnya telah meninggal, Andrea selalu menangis dalam kepedihan di dalam kamarnya, meringkuk sendirian dalam kegelapan, dia saat itu yakin bahwa dia akan terus menangis, bahwa sakit ini tidak akan tersembuhkan, dan tidak mungkin waktu bisa menyembuhkan luka.
Tetapi waktu memang bisa menyembuhkan luka. Tuhan yang begitu mencintai manusia, telah menciptakan obat paling mujarab untuk menyembuhkan luka yang tertoreh dalam di hati manusia. Obat itu adalah ‘waktu’, sebuah obat ajaib yangbisa menyembuhkan pelan-pelan bahkan tanpa disadari oleh manusia itusendiri.Tiba-tiba Andrea sudah bisa mengenang sambil tersenyum, seperti yang dikatakan Eric tadi, tiba-tiba ingatannya kepada almarhum ayahnya tidak terasa menyakitkan lagi.
“Aku pernah merasakan hal yang sama ketika ayahku meninggal,” Andrea mendesah, “Dan aku bersyukur aku bisa mengenangnya sambil tersenyum.”
Tatapan Eric tampak menusuk ke dalam, seolah berusaha menjangkaukedalaman jiwa Andrea,
“Apakah kau sangat menyayangi ayahmu?”
“Tentu saja.” Andrea tersenyum, “Dia ayahku... dan kami selalu berdua,ibuku meninggal ketika melahirkanku, aku tidak pernah bertemu dengannya, dan ayahku menyerahkan seluruh hidupnya untuk merawatku.”
Eric menganggukkan kepalanya, lalu jemarinya meraih tangan Andrea dan menggenggamnya lembut,
“Setiap orang pernah terluka. Tetapi manusia mempunyai kemampuan menyembuhkan diri, seperti kau dan aku.”
Tatapan mereka berpadu dan entah kenapa Andrea merasa seperti berlabuh,dia merasa begitu tepat di sini, berdua bersama Eric, seolah-olah mereka memangdiciptakan untuk bersama.
***
“Aku tidak sadar kalau sudah larut malam. Aku harus mengantarkanmu pulang sebelum kemalaman.” Eric bergumam sambil melirik jam tangannya.
Mereka masih bercakap-cakap di restoran yang nyaman dan indah itu,memesan secangkir kopi dan bercerita tentang segala sesuatunya. Ada banyaksekali kemiripan Andrea dengan Eric, kadang membuat mereka saling terperangah,lalu tertawa bersama seolah-olah sedang menyimpan rahasia milik mereka sendiri.
Andrea melirik jam tangannya, sudah hampir jam 10 malam. Meskipun sudahmalam, tampaknya suasana di dalamrestoran tetap banyak orang, masing-masing tampak menikmati sajian makan malamyang nikmat, dan beberapa pasangan tampaknya sengaja datang larut malam, untukmenikmati hari, karena ini malam minggu. Restoran buka sampai tengah malamkhusus di malam minggu untuk mengakomodasi pengunjung yang ingin menikmatisuasana sampai larut bersama.
Semua orang tampaknya tidak peduli akan malam yang larut, seolah-olah tidak mau mengikuti sang malam yangmulai beranjak makin dalam.... Andrea membatin sambil mengamati ekspresi parapengunjung restoran yang tampak segar dan ceria.
Dengan tatapan menyesal, Andrea berkata kepada Andre, “Aku juga tidaksadar kalau sudah malam, aku terlalu asyik menikmati percakapan kita.” Gumamnya malu-malu.
Eric terkekeh, “Kapan-kapan kita harus melakukannya lagi, inibenar-benar menyenangkan.” Lelaki itu setengah berdiri, diikuti oleh Andrea.Mereka berjalan bersisian, berdekatan. Dan ketika Eric menggenggam jemarinya,Andrea tidak menolak.
Sampai kemudian mereka melewati sebuah meja. Meja itu kosong. Tetapi ada lilin yang menyala, seolah-olah menanti seseorang. Dan di atas meja itu....
Wajah Andrea pucat pasi ketika perutnya bergolak luar biasa.
Di atas meja itu..... ada tepatnya sembilan lilin berwarna biru yang disusun dengan sempurna dan cantik menguarkan cahaya redup yang romantis,seolah-olah seorang lelaki sedang menunggu di suatu tempat untuk memberikankejutan kepada kekasihnya yang berbahagia di sana, siapapun perempuan itu pasti akan sangat senangmelihat lilin biru itu diatur begitu romantis, menguarkan cahaya temaram yangmenghangatkan hati.
Tetapi alih-alih senang dengan pemandangan yang tanpa sengaja dilihatnya itu, Andrea malah dihantam oleh perasaan yang tidak dapat dicegahnya.Lilin biru itu... pengaturan yang rapi itu.... semuanya seolah memaksa Andrea untuk membuka kenangannya akan sesuatu... sesuatu yang gelap dan menakutkan.Andrea melawan rasa takut itu sehingga menimbulkan gelombang rasa mual yang luar biasa menyiksanya, tubuh Andrea limbung, membuat Eric terperanjat danmenahannya bingung,
“Andrea... andrea ? Kau kenapa?”
Andrea hampir kehilangan kesadarannya atas rasa nyeri yang seakan merobek kepalanya, dia melirik ke arah meja kosong dengan lilin biru itu, dan rasa mual kembali bergolak di dalamdirinya,
“Aku ingin keluar dari sini.” Wajahnya pucat pasi, membuat Eric panik,untunglah lelaki itu memilih menuruti apa yang dimaui oleh Andrea, denganlembut tetapi kuat, dia setengah menopang langkah lemah Andrea keluar ruangan.
Ketika berada di luar restoran, berhadapan dengan udara segar yangdingin dan menampar pipinya, Andrea menghirup napas-dalam-dalam,menghembuskannya beberapa kali untuk kemudian melepasnya lagi. Dia menahan rasamual di perutnya, dan mengernyit.
Sementara itu Eric menatap kernyitan Andrea dan tampak makin cemas,
“Kau kenapa Andrea? Apa yang bisa kulakukan? Apakah kau mau segelasair?”
Andrea menggelengkan kepalanya, “Tidak.” Jemarinya yang lemah mencekallengan kemeja Eric yang sudah akan berbalik masuk ke restoran, “Tolong.. tunggusebentar lagi, aku akan baikan, jangan tinggalkan aku.”
Eric menatap Andrea dalam, lalu menghela napas panjang, dipeluknyaAndrea dengan sebelah lengannya, membiarkan perempuan itu bersandar di sana,
“Jangan cemas, aku ada di sini.” Bisik Eric lembut, membuat perasaanhangat mengaliri dada Andrea, dia bersandar sepenuhnya di tubuh kokoh danhangat Eric, menikmati kehangatan yang menyebar di sana.
Setelah menghela napas panjang untuk kesekian kalinya, Andrea memutuskan bahwa dia sudah merasa lebih baik. Dia mendongakkan kepalanya, dan matanya bertemu langsung dengan mata Eric yang bening,
“Terimakasih. Sepertinya aku sudah enakan.”
Eric langsung memeluknya erat, “Sama-sama Andrea, apakah kau benar-benar sudah tidak apa-apa?”
Andrea menganggukkan kepalanya dengan lembut, melepaskan diri dari topangan tubuh Eric.
“Iya. Kita bisa pulang sekarang, mungkin tekanan darahku turun tadi jadiaku sedikit limbung, tetapi sekarang aku sudah tidak apa-apa.”
Eric mengamati Andrea dengan teliti, seolah-olah tidak yakin, tetapilelaki itu kemudian tersenyum lemah dan menyerah, dia cukup bijaksana untuktidak mengkonfrontasi Andrea di saat perempuan itu sedang lemah, masih banyakwaktu nanti untuk menanyakan kondisi Andrea yang sebenar-benarnya. Sekarang diaharus mengantarkan Andrea pulang supaya bisa beristirahat.
“Ayo, kita pulang,” dengan lembut Eric menghela tubuh Andrea kembali kedalam pelukannya, dan mereka melangkah menuju mobil mereka.
***
Sementara itu, Christopher yang dari tadi berdiri di salah satu sudut yang tak kentara terkekeh geli melihat kejadian itu.
Tadi dia iseng. Memasang lilin biru itu, hanyauntuk melihat sejauh mana hal itu akan mempengaruhi Andrea.
Ternyata hasilnya luar biasa.
Christopher tersenyum simpul, pada saatnya nanti, Andrea akan tahu, apa yang sudah dia lewatkan selamaini, dan sampai hal itu terjadi, Christopher akan menunggu.... dengan perasaan tidak sabar
Novel Dating With The Dark - Santhy Agatha Chapter 2
Ko jadi aneh yah kak bukannya andrea itu anak rafael dan elena tp kan yg aku tau elena ga ninggal waktu ngelahirin putrinya
ReplyDeleteKo aku jadi bingung yah
Nanti bakalan tau deh kalo udah baca sampe part akhir, ada misteri hehe
ReplyDelete