Novel Dating With The Dark - Santhy Agatha Chapter 8
Chapter
8
Christopher terus menghisap
payudaranya, memainkan lidahnya dengan penuh perhitungan, menyentuh ujung
payudara Andrea sehingga rasa panas itu semakin membakarnya. Tangan
Andrea yang terikat di ujung ranjang menegang, menahan dorongan untuk meremas rambut
gelap Christopher yang sekarang tenggelam di dadanya, tubuhnya melengkung
menahan perasaan nikmat yang bertentangan dengan perlawanan kuat di dalam
dirinya.
Andrea megap-megap, napasnya
terengah-engah menahankan rasa ketika Christopher mencumbunya dengan begitu
intim. Lelaki itu telah melakukan sesuatu yang begitu berani, sesuatu
yang tidak pernah dibayangkan Andrea selain dalam mimpi-mimpi erotisnya yang
aneh.
Sekarang Andrea berbaring di ranjang
bersprei sutera hitam itu, telanjang bulat di balik selimutnya, kaki dan
tangannya terborgol di ujung ranjang, membuatnya tak berdaya, sementara
Christopher terus dan terus mencumbunya payudaranya tanpa belas kasihan,
nemainkan dadanya dengan sangat ahli hingga membuat Andrea amat sangat
terangsang, dipaksa terangsang sampai kepalanya terasa pusing.
Lama kemudian, setelah puas,
Christopher mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis. Tubuh Andrea merona,
tampak di sekujur kulitnya yang putih langsat, napasnya terengah-engah,
sementara puncak payudaranya yang menjadi korban siksaan Christopher
benar-benar mengeras dan tegak menantang, seolah-olah meminta disentuh.
Christopher menatap itu semua dan
menggertakkan giginya sendiri untuk menahan gairahnya yang memuncak, membuat
kejantanannya mengeras hingga terasa nyeri di balik jubah tidurnya.
Tidak. Christoper mengeraskan hatinya. Belum saatnya. Akan
terlalu terburu-buru kalau dia melakukannya sekarang. Lelaki itu
mengamati Andrea yang terus mengawasinya dengan tatapan berkabut sekaligus
waspada, dan meskipun tak kentara, ada ketakutan di sana, di dalam tatapan mata
Andrea, ketakutan yang bercampur dengan ketidakberdayaan.
Lembut Christopher mengulurkan
tangannya dan menyadari bahwa Andrea langsung menegang, seperti hewan terluka
yang tidak percaya kepada penolongnya. Tetapi yang dilakukan Christopher
hanyalah menaikkan selimut sutera hitamnya, kembali menutupi buah dadanya.
Lelaki itu melirik ke arah lilin
berwarna biru yang menyala di kaki ranjang, yang tidak mampu dilirik oleh
Andrea karena membuat perutnya bergolak oleh sesuatu yang tidak mampu
dikendalikannya.
“Apakah lilin itu mempunyai arti
untukmu?”
Meskipun wajahnya masih merah padam
karena malu bercampur berbagai perasaan yang tak mampu diungkapkannya, Andrea
tetap menjawab dengan lantang.
“Lilin itu hanya mengingatkanku akan
perasaan mual dan ketakutan. Kalau memang tujuanmu adalah untuk menyiksaku maka
selamat, kau sudah berhasil melakukannya.”
Christopher terdiam, dan menatap
Andrea dengan pandangan dalam dan menusuk dari mata gelapnya yang berkabut,
dialalu mengangkat bahunya,
“Kau akan menyadari apa arti lilin
itu untukmu nanti, Andrea.”
Lalu tanpa berkata-kata lagi,
Christopher membalikkan tubuhnya dan meninggalkan Andrea.
Andrea yang menyadari bahwa
Christopher akan keluar dari ruangan, membiarkannya tetap dalam kondisi terikat
mulai panik.
“Apakah kau akan meninggalkanku
dalam kondisi seperti ini? Tunggu dulu! Christopher! Christopher!” Andrea
berteriak memanggil-manggil tetapi sepertinya lelaki itu tidak peduli dan
dengan langkah tenang melangkah pergi, meninggalkan pintu itu terkunci di
belakangnya dengan Andrea yang terikat sendirian di ranjang, bersama Lilin yang
masih menyala itu, membuatnya mual.
***
“Tuan tidak boleh menahannya
terborgol seperti itu, dia akan memar dan pegal setengah mati nantinya.” Richard,
tangan kanan Christopher sekaligus pelayannya yang setia mengernyitkan
keningnya ketika melihat Christopher keluar dari kamar tempat Andrea dikurung
dan menguncinya.
Christopher mengangkat alisnya.
“Kenapa kau begitu peduli kepadanya, Richard?”
Richard langsung menatap tuannya itu
dengan tatapan mata tajam dan penuh makna yang hanya bisa dimengerti oleh
Christopher.
“Tuan tahu saya pasti peduli.” Dia
menatap tuannya dengan berani, tahu bahwa tuannya akan setuju dengan
tindakannya, “Saya akan mengirimkan pelayan perempuan dan penjaga untuk
membantu nona Andrea supaya dilepaskan borgolnya.”
Christopher terdiam, tahu bahwa
biarpun dia tidak mengizinkan, pelayan tuanya yang keras kepala ini pasti akan
tetap melaksanakan niatnya. Kadangkala Christopher berpikir bahwa Richard tidak
takut kepadanya, lelaki itu terlalu lama bersamanya untuk merasa takut.
“Lakukan apa yang ingin kau lakukan.
Tapi pastikan pengawal laki-laki itu tidak melihat apapun, biarkan pelayan
perempuan yang membantu melepaskan borgolnya.” Tatapan Christopher menajam,
“Andrea telanjang bulat di balik selimutnya, dan kalau sampai pengawal itu
mencuri pandang, bunuh dia.”
Lalu dengan langkah lebar-lebar,
Christopher meninggalkan pintu kamar itu dan melangkah menuju ruang kerjanya,
dia mengangkat telepon di atas meja kerjanya yang besar dan menghubungi nomor
yang sudah dihapalnya di luar kepala.
“Halo?” sebuah suara yang tenang
menjawab langsung pada deringan pertama. Karena nomornya adalah nomor khusus
yang mana hanya orang-orang tertentu yang bisa menghubunginya, jadi siapapun
yang meneleponnya pastilah untuk urusan penting.
“Romeo.” Christopher menyapa dengan
tenang, menyebut nama rekan sekaligus sahabatnya ketika mereka pernah bertemu
di masa lalu mereka ketika sama-sama berada di jerman.
Sejenak hening di seberang sana lalu
Romeo menyapa setengah terkejut,
“Christopher?” Lalu ada senyum dalam
suara Romeo, “Kau menghubungiku akhirnya.” Sudah lima tahun sejak Romeo
memberikan nomor pribadinya ini kepada Christopher, tetapi kemudian Christopher
sepertinya menghilang ditelan bumi, dan berapa lamapun Romeo menunggu, lelaki
itu tak pernah menghuunginya lagi.
“Ya. Aku membutuhkan bantuanmu,
Romeo. Aku harap tawaranmu waktu itu masih berlaku.”
Romeo tercenung di seberang sana,
masih merasa terkejut karena tiba-tiba saja, sahabatnya yang menghilang bagai
ditelan bumi ini menghubunginya. Seharusnya Romeo tidak terkejut, dia tahu
Christopher memiliki dua sisi kehidupan, yang satu sebagai seorang
pengusaha yang sukses, Lelaki Italia kaya pemilik berhektar-hektar area
perkebunan yang begitu luas dan subur, dan yang lainnya adalah kehidupan
misterius yang penuh bahaya.
“Masih.” Jawab Romeo akhirnya, pada
akhirnya dia harus membalas budi kepada Christopher dan Romeo tidak keberatan
melakukannya, dia berhutang nyawa kepada sahabatnya yang satu itu. “Kapan kau
ingin bertemu?”
Christopher tersenyum, “Aku selalu
yakin aku bisa mengandalkanmu, aku akan menghubungimu lagi nanti untuk membahas
pertemuan kita.” Gumamnya sebelum mengakhiri percakapan.
***
Di seberang sana, dalam ruangan
kantor sementaranya ketika berkunjung ke kantor cabang, Romeo termenung sambil
menatap ponselnya yang dia letakkan di meja kerjanya.
Christopher Agnelli.... sang
bangsawan muda yang ditemuinya tanpa sengaja ketika dia melanjutkan kuliahnya
di Jerman, di kota kelahiran ayahnya. Waktu itu Romeo masih seorang pemuda yang
mencari jati dirinya, menggoda bahaya merasa tidak pernah takut akan apapun.
Lalu dia terlibat dengan sekelompok orang berbahaya yang mengancam nyawanya,
sekelompok pengedar obat bius yang semula menganggapnya sasaran empuk, tetapi
kemudian menyadari bahwa Romeo tidak bisa diajak kerjasama dan lebih baik
dimusnahkan.
Romeo hampir mati disebuah tempat
parkir yang gelap dan terpencil, tanpa ada harapan siapapun yang bisa menolongnya,
dan mungkin dia tidak akan pernah hidup sampai sekarang, mati karena dipukuli
habis-habisan oleh segerombolan orang yang memang dibayar untuk menghabisinya.
Tetapi nasib mengatakan lain, kebetulan Christopher ada di sana, lelaki itu
sedang ada urusan di area itu dan melihat ada seorang pemuda yang
meregang nyawa karena dipukuli habis-habisan.
Tanpa pikir panjang Christopher
menolong Romeo, bahkan pada usia mudapun, Christopher sudah memiliki kemampuan
bela diri yang mematikan, dengan mudahnya dia menumbangkan semua orang itu,
yang mungkin jumlahnya lebih dari tujuh orang. Lelaki itu lalu memanggul tubuh
Romeo yang sudah lunglai dan memasukkan ke mobilnya, membawanya pergi.
Christopher membawa Romeo ke
apartemennya di pusat kota dan ketika Romeo membuka matanya, itulah saat dia
berkenalan dengan Christopher Agnelli.
Christopher mempersilahkan Romeo
tinggal di apartemennya sampai lelaki itu sembuh, dan meskipun sikapnya
begitu penuh rahasia, lelaki itu pada akhirnya bersedia menjadi teman Romeo. Keakraban
mereka bisa dibilang aneh, karena mereka bukan jenis sahabat yang sering
menghabiskan waktu bersama, sering saling berkomunikasi ataupun bertatap
muka.... walaupun begitu, Christopher akan bersedia melakukan apapun untuk
menolong Romeo, demikian juga Romeo yang masih memiliki hutang nyawa kepada
Christopher, sudah tentu dia akan melakukan apapun untuk menolong sahabatnya
itu.
Tetapi Christopher bukanlah tipe
orang yang membutuhkan pertolongan dan bukan jenis orang yang suka meminta
tolong kepada orang lain.....
Romeo bertopang dagu dengan
bingung, merenung. Kalau sekarang Christopher sampai meminta tolong kepadanya,
berarti sahabatnya itu benar-benar membutuhkannya.
Romeo akan melakukan apapun
sebisanya untuk membantu.
***
Dua lelaki dengan jenis ketampanan
yang sangat berbeda duduk berhadapan di sebuah bar yang sedikit remang dan
eksklusif itu. Musik Jazz dimainkan di sudut ruangan dan orang-orang
bertebaran di seluruh ruangan, kebanyakan duduk di depan bartender,
memesan berbagai jenis minuman berstandar tinggi.
Bar ini adalah bar dan lounge
kelas atas yang ada di lantai tujuh di sebuah hotel bintang lima di kota,
mengkhususkan diri pada koleksi bir dan anggurnya yang paling lengkap, bar ini
cukup diminati untuk pertemuan kalangan eksekutif muda dari penjuru kota.
Christopher dan Romeo duduk
berhadapan di sebuah sudut yang cukup sepi, jauh dari lalu lalang orang. Sudah
hampir dua jam mereka duduk di sana. Romeo lebih banyak mendengarkan
sedangkan Christopher bercerita.
Ketika Christopher menyelesaikan
ceritanya, Romeo menyesap brendinya, brendi tua yang bagus, yang meskipun
menimbulkan rasa menyengat dan membakar di mulutnya, tetapi langsung memberikan
sensasi hangat dan nikmat yang diinginkannya.
“Aku tidak menyangka kau mempunyai
jalan cerita yang sangat pelik.... melibatkan salah seorang pegawaiku pula.”
Romeo menatap Christopher tajam, “Dan aku menyadari kau ada di ruangan meeting
itu, berdiri diam sebagai salah satu pengawal Mr. Demiris.” Romeo menatap
Christopher tajam, “ Aku kaget sebenarnya, tetapi kemudian aku berpkir entah
kau sedang dalam penyamaran atau apa karena kau bersikap seolah-olah tak
mengenalku, jadi aku tidak mau merusak apapun rencanamu itu. Kupikir setelahnya
kau akan menghubungiku. Tetapi ternyata tidak.”
Christopher terkekeh, “Maafkan aku,
aku terlalu fokus pada rencanaku sehingga melupakanmu.”
“Hah. Kau hanya mengingat sahabatmu
di saat kau membutuhkan.” Romeo bersungut-sungut meskipun ada senyuman di
mulutnya.
Sementara itu Christopher hanya
tersenyum tipis, “Jadi kau mau membantuku?”
Romeo tercenung, “Aku tentu saja
akan membantumu semampuku, meskipun aku tidak menyangka kalau untuk membantumu
aku harus melawan pihak berwajib.”
“Yang mereka inginkan hanyalah
hasil penelitian ayah Andrea, mereka berpikir Andrea tahu sesuatu tentang
sebuah penelitian yang belum selesai menyangkut mereka, dan mereka berpikir
dengan menangkapku mereka bisa mengamankan Andrea di suatu tempat, sekali
dayung dua tiga pulau terlampaui.... tetapi mereka salah, aku tidak akan
semudah itu dikalahkan.”
Romeo menatap Christopher dengan
hati-hati, “Mengenai penelitian ayah Andrea itu... apakah kau masih terikat
dengan organisasi yang menyewamu untuk membunuh ayah Andrea? Apakah sekarang
kau menculik Andrea atas perintah mereka?”
Mata Christoher tampak berkilat
dingin, “Tidak pernah ada yang bisa memerintahku, semua tahu itu. Ketika aku
melakukan semua pekerjaan itu, aku melakukannya karena aku mau, bukan karena
melaksanakan perintah mereka. Dan mengenai organisasi itu, permasalahan sudah
selesai dengan kematian ayah Andrea, mereka memang menginginkan Andrea mati,
tetapi setelah menyadari bahwa perempuan itu tidak tahu apa-apa, aku sendiri
yang membuat mereka melupakan Andrea, toh mereka sudah mendapatkan hasilnya.”
“Hasilnya?” Romeo menatap
Christopher penuh ingin tahu, “Hasil yang bagaimana?”
“Kau pikir peristiwa unjuk rasa
besar-besaran di sebuah negara yang heboh di berita beberapa waktu lalu yang
pada akhirnya berhasil menurunkan presidennya secara paksa itu hasil dari
penelitian siapa? Mereka menemukan pemicu sederhana yang tidak dipikirkan oleh
siapapun dan berhasil mengolahnya menjadi sebuah bom besar yang menggerakkan
semua orang untuk berunjuk rasa besar-besaran dan memberontak, memaksa
presiden mereka untuk turun. Organisasi itu telah mencapai tujuannya, mereka
sudah menempatkan presiden baru yang mereka inginkan, sesorang yang bisa mereka
kelola seperti boneka, seseorang yang ada di pihak mereka, memungkinkan mereka
untuk leluasa bergerak sesuka hati dan memperluas kekuasaannya.”
“Wow.” Romeo tampak benar-benar
kagum, “Dan semua itu bisa terjadi hanya karena otak jenius ayah Andrea.
Sekarang mereka sudah memetik keuntungan dari hasil penelitian ayah Andrea.”
Romeo menyimpulkan dan menatap Christopher dengan tatapan skeptis,
“Sayang sekali semua itu dilakukan dengan mengorbankan nyawa Ayah Andrea....”
“Yah, sayang sekali.” Mata
Christopher dalam, menyimpan rahasia yang tak terungkapkan. Sebuah rahasia yang
belum waktunya ia ungkapkan kepada siapapun.
***
“Bodoh!” Eric menggebrak meja dengan
marah, dihadapan kedua agen yang sekarang duduk pucat pasi di ruangan
yang biasanya dipakai sebagai ruangan interograsi itu.
Kabar itu bagaikan kabar buruk yang
menyambar Eric dan langsung menghanguskannya. Kedua agen itu baru bangun dengan
kepala pusing di pagi harinya, dan kemudian mereka menyadari bahwa Andrea sudah
hilang!
Hilang! Astaga, berbulan-bulan dia menghabiskan waktunya untuk
menjaga perempuan itu dan memastikannya aman, tetapi sekarang, hanya sehari
ketika dia meninggalkan Andrea, “Sang Pembunuh” berhasil menculik Andrea dari
balik punggungnya!
Bagaimana nasib Andrea sekarang
tidak ada yang tahu. Eric meremas rambutnya dengan frustrasi. Masihkah Andrea
hidup saat ini? Ataukah perempuan itu sekarang sudah menjadi mayat yang dingin,
dibuang atau dikubur di suatu tempat yang tak terlacak?
Eric merinding membayangkannya, dia
menggelengkan kepalanya tanpa sadar. Tidak! Selama belum ada bukti bahwa Andrea
sudah meninggal, Eric akan selalu berkeyakinan bahwa Andrea masih hidup,
lagipula berkas yang pernah ditunjukkan atasannya sedikit banyak memberi
kepastian bahwa “Sang Pembunuh mungkin tidak akan membunuh Andrea.
Matanya menatap nyalang kepada dua
agen di depannya, dua agen yang sangat teledor hingga bahkan bisa dibodohi
dengan mudahnya. Hanya agen bodoh yang bisa dibius oleh satu orang dalam waktu
bersamaan. Mereka ada dua orang, demi Tuhan! Bagaimana bisa “Sang Pembunuh”
seberuntung itu?
“Kalian katanya adalah agen terbaik
di kota ini. Tetapi sekarang aku tahu bahwa kalian hanya sampah yang tidak becus!”
Eric membungkukkan tubuhnya dan berdiri dengan kedua tangan bertumpu di meja,
membuat matanya sejajar dengan kedua agen yang duduk dengan kepala tertunduk
itu, “Tugas kalian hanya menjaga perempuan itu, memastikan dia baik-baik saja
sampai aku kembali. Terus mengawasi dan berusaha tidak terlihat. Itu adalah
tugas yang paling mudah bagi seorang agen, dan pasti bisa dilakukan kalau
kalian tidak teledor!” tatapan Eric berubah mengancam, “Kalau sampai terjadi
sesuatu kepada Andrea, aku akan memastikan kalian langsung ditendang dari
divisi ini dan tidak akan pernah bisa berkarier di bidang yang sama,
selamanya!”
Setelah meneriakkan kalimat ancaman
itu, Eric membalikkan tubuh, membanting pintu ruangan interograsi itu dan
meninggalkan dua agen yang semakin pucat pasi itu di belakangnya. Benaknya
berkecamuk, bingung.
Di mana dia bisa menemukan Andrea
sekarang?
Dengan langkah lebar-lebar dia
menuju ke ruang kerjanya dan menelepon atasannya, memberitahukan kabar terbaru,
“Mereka bahkan tidak mengingat
apapun dan tertidur pulas sampai pagi.” Eric tidak bisa menyembunyikan nada
marah di suaranya ketika mengingat dua agen yang teledor itu.
Atasannya menghela napas di seberang
sana.
“Sedikit banyak ini kesalahanku,
Eric, kalau aku tidak memanggilmu ke kantor pusat kemarin, kau pasti masih ada
di sana untuk menjaga Andrea.” Lelaki itu tercenung, “Tetapi kalau kau ada di
sana, kau akan berhadapan langsung dengan ‘Sang Pembunuh’...... dua agen itu
beruntung karena “Sang Pembunuh’ memilih untuk tidak mengkonfrontasi mereka dan
malahan membius mereka, jadi mereka bisa selamat. Tetapi kalau kau yang berada
di sana malam itu, Aku yakin kalau sang pembunuh akan mengkonfontasimu dan aku
mengkhawatirkan keselamatanmu.”
Mata Eric bercahaya sedikit marah,
“Aku pasti bisa menghadapinya,
setidaknya kalau aku ada di sana, aku bisa mencegahnya membawa Andrea.”
Atasannya mendesah, terdengar tidak
setuju,
“Sudahlah, sekarang kita harus
menemukan cara untuk menemukan Andrea, sebelum semua terlambat.”
Eric mendengus setengah frustrasi,
Andrea harus ditemukan. Eric akan menggunakan segala cara untuk mencarinya.
***
Andrea duduk kebingungan ketika
menatap ke arah para pelayan yang membereskan kamarnya, mereka sedan
membereskan tempat tidurnya jadi dia diminta duduk dulu di sofa yang ada di ujung
kamar. Matanya berkali-kali melirik ke arah pintu. Semalam setelah Christopher
pergi, seorang pelayan perempuan masuk dan melepaskan borgolnya, lalu
memberikan sebuah jubah tidur untuk dipakai menutupi ketelanjangannya.
Andrea duduk dengan tidak nyaman di
atas sofa, masih memakai jubah tidur yang sama dan masih telanjang di
baliknya.
Apakah dia akan telanjang seperti
ini terus?
Andrea mengernyit, dia merasa amat
sangat tidak nyaman sekaligus malu. Dalam benaknya dia bertanya-tanya, sampai
kapan Christopher akan menyekapnya seperti ini? Akankah dia bisa bebas, ataukah
Christopher, sang pembunuh kejam itu akan membunuhnya pada akhirnya?
Seorang pelayan lain masuk, membawa
setumpuk handuk dan pakaian, dia lalu mendekati Andrea,
“Silahkan anda mandi.”
Andrea amat sangat lega mendengar
perkataan pelayan itu, tubuhnya sudah terasa lengket, dan dia ingin memakai
baju yang normal, bukan jubah tidur kebesaran yang hanya berguna untuk menutupi
ketelanjangannya.
Dengan langkah hati-hati dia
mengikuti pelayan itu, sambil berharap meskipun pada akhirnya sedikit kecewa
karena ternyata kamar mandi itu ada di dalam kamar yang luas itu menutup
kemungkinan bagi Andrea untuk keluar dari kamar itu. Kamar mandi itu
tersembunyi di balik pintu yang berfungsi ganda sebagai rak buku di dinding.
Ketika rak buku itu dibuka layaknya sebuah pintu, maka dibaliknya ada ruangan
kamar mandi yang sangat luas dengan dominasi marmer hitam yang elegan. Andrea
mengernyit menatap kamar mandi itu. Kamar yang dia tempati sekarang terasa
sangat maskulin dengan dominasi warna coklat kayu-kayuan perabotannya dan warna
hitam untuk sprei ranjangnya, dan bahkan sekarang kamar mandinya lebih maskulin
lagi. Semuanya marmer berwarna hitam. Hiasan yang ada di sana hanyalah sebuah
palem raksasa yang ada di sebuah sudut dekat jendela berkaca buram di dalam
sebuah pot cokelat yang sangat indah, ada sebuah cermin yang sangat besar di
sana, memanjang dari atap sampai ke lantai dan lebarnya hampir memenuhi
dinding, cermin itu sekarang berkabut karena uap dari air panas yang memenuhi
kolam mandi kecil yang juga terbuat dari marmer.
“Silahkan anda berendam dulu, saya
sudah menyiapkan airnya.” Sang pelayan setengah menghela Andrea ketika dia
hanya berdiri dengan ragu menatap kolam mandi kecil berbentuk segi lima yang
mengepulkan uap hangat nan menggiurkan. Seluruh tubuh Andrea terasa kaku,
mengingat dia diborgol terentang sekian lamanya di ranjang. Mandi berendam
terasa sangat menggoda untuknya sekarang.
Pelayan itupun meninggalkannya dan
menutup pintu kamar mandi dari luar. Andrea melepas jubah tidurnya dan
meninggalkannya begitu saja di lantai, dia melangkah pelan mendekati kolam
mandi itu, dengan hati-hati mencelupkan kakinya ke sana. Hangatnya pas dan
terasa menyenangkan. Andrea menenggelamkan kakinya semakin dalam, dan pada
akhirnya melangkah memasuki kolam mandi itu.
Ketika dia berdiri, tinggi airnya
hanyalah sebetisnya. Andrea lalu duduk bersandar di salah satu dinding kolam
yang nyaman, membenamkan tubuhnya sampai sebatas leher. Dia telanjang bulat
tetapi uap air hangat itu menyembunyikannya.
Andrea membasahi rambutnya dan
bersandar lagi, lalu memejamkan mata, menikmati bagaimana air hangat itu
melemaskan otot-ototnya yang tegang. Kemudian tanpa sadar dia teringat betapa
kemarin, Christopher telah melumat buah dadanya..... matanya terbuka dan dengan
gugup dia membasuh buah dadanya, pipinya memerah berusaha mengusir bayangan
bagaimana mulut Christopher menangkup buah dadanya, terasa membakar dan
bagaimana kemudian lelaki itu menghisap dadanya......
Andrea memejamkan matanya
rapat-rapat, berusaha mengusir sensasi panas yang mulai merayapi tubuhnya
karena bayangan terlarang yang tak mau pergi itu. Dia tidak menyadari bahwa ada
seseorang yang masuk ke dalam kamar mandi itu dan mengawasinya. Ketika Andrea
menyadarinya, semua sudah terlambat.
Di sana, berdiri di depannya, adalah
Christopher Agnelli. Telanjang, dengan keindahan tubuh layaknya patung dewa-
dewa Yunani.....
Andrea terkesiap, dan langsung
merapatkan paha telanjangnya dengan lengannya langsung menutup buah dadanya.
Dia menatap marah kepada Christopher,
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Andrea membentak, ingin berteriak, tetapi yang berhasil dikeluarkannya hanyalah
suara tercekik kecil, seperti tikus yang mencicit ketika terdesak oleh kucing
besar yang lapar.
Christopher hanya berdiri di sana,
tidak peduli dengan ketelanjangannya dan menatap Andrea dengan geli.
“Ini di kamar mandi, tentu saja
aku akan.... mandi...
Christopher terus menghisap
payudaranya, memainkan lidahnya dengan penuh perhitungan, menyentuh ujung
payudara Andrea sehingga rasa panas itu semakin membakarnya. Tangan
Andrea yang terikat di ujung ranjang menegang, menahan dorongan untuk meremas
rambut gelap Christopher yang sekarang tenggelam di dadanya, tubuhnya
melengkung menahan perasaan nikmat yang bertentangan dengan perlawanan kuat di
dalam dirinya.
Andrea megap-megap, napasnya terengah-engah
menahankan rasa ketika Christopher mencumbunya dengan begitu intim. Lelaki itu
telah melakukan sesuatu yang begitu berani, sesuatu yang tidak pernah
dibayangkan Andrea selain dalam mimpi-mimpi erotisnya yang aneh.
Sekarang Andrea berbaring di ranjang
bersprei sutera hitam itu, telanjang bulat di balik selimutnya, kaki dan
tangannya terborgol di ujung ranjang, membuatnya tak berdaya, sementara
Christopher terus dan terus mencumbunya payudaranya tanpa belas kasihan,
nemainkan dadanya dengan sangat ahli hingga membuat Andrea amat sangat
terangsang, dipaksa terangsang sampai kepalanya terasa pusing.
Lama kemudian, setelah puas,
Christopher mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis. Tubuh Andrea merona,
tampak di sekujur kulitnya yang putih langsat, napasnya terengah-engah,
sementara puncak payudaranya yang menjadi korban siksaan Christopher
benar-benar mengeras dan tegak menantang, seolah-olah meminta disentuh.
Christopher menatap itu semua dan
menggertakkan giginya sendiri untuk menahan gairahnya yang memuncak, membuat
kejantanannya mengeras hingga terasa nyeri di balik jubah tidurnya.
Tidak. Christoper mengeraskan hatinya. Belum saatnya. Akan
terlalu terburu-buru kalau dia melakukannya sekarang. Lelaki itu
mengamati Andrea yang terus mengawasinya dengan tatapan berkabut sekaligus
waspada, dan meskipun tak kentara, ada ketakutan di sana, di dalam tatapan mata
Andrea, ketakutan yang bercampur dengan ketidakberdayaan.
Lembut Christopher mengulurkan
tangannya dan menyadari bahwa Andrea langsung menegang, seperti hewan terluka
yang tidak percaya kepada penolongnya. Tetapi yang dilakukan Christopher
hanyalah menaikkan selimut sutera hitamnya, kembali menutupi buah dadanya.
Lelaki itu melirik ke arah lilin
berwarna biru yang menyala di kaki ranjang, yang tidak mampu dilirik oleh
Andrea karena membuat perutnya bergolak oleh sesuatu yang tidak mampu
dikendalikannya.
“Apakah lilin itu mempunyai arti
untukmu?”
Meskipun wajahnya masih merah padam
karena malu bercampur berbagai perasaan yang tak mampu diungkapkannya, Andrea
tetap menjawab dengan lantang.
“Lilin itu hanya mengingatkanku akan
perasaan mual dan ketakutan. Kalau memang tujuanmu adalah untuk menyiksaku maka
selamat, kau sudah berhasil melakukannya.”
Christopher terdiam, dan menatap
Andrea dengan pandangan dalam dan menusuk dari mata gelapnya yang berkabut,
dialalu mengangkat bahunya,
“Kau akan menyadari apa arti lilin
itu untukmu nanti, Andrea.”
Lalu tanpa berkata-kata lagi,
Christopher membalikkan tubuhnya dan meninggalkan Andrea.
Andrea yang menyadari bahwa
Christopher akan keluar dari ruangan, membiarkannya tetap dalam kondisi terikat
mulai panik.
“Apakah kau akan meninggalkanku
dalam kondisi seperti ini? Tunggu dulu! Christopher! Christopher!” Andrea
berteriak memanggil-manggil tetapi sepertinya lelaki itu tidak peduli dan
dengan langkah tenang melangkah pergi, meninggalkan pintu itu terkunci di
belakangnya dengan Andrea yang terikat sendirian di ranjang, bersama Lilin yang
masih menyala itu, membuatnya mual.
***
“Tuan tidak boleh menahannya
terborgol seperti itu, dia akan memar dan pegal setengah mati nantinya.”
Richard, tangan kanan Christopher sekaligus pelayannya yang setia mengernyitkan
keningnya ketika melihat Christopher keluar dari kamar tempat Andrea dikurung
dan menguncinya.
Christopher mengangkat alisnya.
“Kenapa kau begitu peduli kepadanya, Richard?”
Richard langsung menatap tuannya itu
dengan tatapan mata tajam dan penuh makna yang hanya bisa dimengerti oleh
Christopher.
“Tuan tahu saya pasti peduli.” Dia
menatap tuannya dengan berani, tahu bahwa tuannya akan setuju dengan
tindakannya, “Saya akan mengirimkan pelayan perempuan dan penjaga untuk
membantu nona Andrea supaya dilepaskan borgolnya.”
Christopher terdiam, tahu bahwa
biarpun dia tidak mengizinkan, pelayan tuanya yang keras kepala ini pasti akan
tetap melaksanakan niatnya. Kadangkala Christopher berpikir bahwa Richard tidak
takut kepadanya, lelaki itu terlalu lama bersamanya untuk merasa takut.
“Lakukan apa yang ingin kau lakukan.
Tapi pastikan pengawal laki-laki itu tidak melihat apapun, biarkan pelayan
perempuan yang membantu melepaskan borgolnya.” Tatapan Christopher menajam,
“Andrea telanjang bulat di balik selimutnya, dan kalau sampai pengawal itu
mencuri pandang, bunuh dia.”
Lalu dengan langkah lebar-lebar,
Christopher meninggalkan pintu kamar itu dan melangkah menuju ruang kerjanya,
dia mengangkat telepon di atas meja kerjanya yang besar dan menghubungi nomor
yang sudah dihapalnya di luar kepala.
“Halo?” sebuah suara yang tenang
menjawab langsung pada deringan pertama. Karena nomornya adalah nomor khusus
yang mana hanya orang-orang tertentu yang bisa menghubunginya, jadi siapapun
yang meneleponnya pastilah untuk urusan penting.
“Romeo.” Christopher menyapa dengan
tenang, menyebut nama rekan sekaligus sahabatnya ketika mereka pernah bertemu
di masa lalu mereka ketika sama-sama berada di jerman.
Sejenak hening di seberang sana lalu
Romeo menyapa setengah terkejut,
“Christopher?” Lalu ada senyum dalam
suara Romeo, “Kau menghubungiku akhirnya.” Sudah lima tahun sejak Romeo
memberikan nomor pribadinya ini kepada Christopher, tetapi kemudian Christopher
sepertinya menghilang ditelan bumi, dan berapa lamapun Romeo menunggu, lelaki
itu tak pernah menghuunginya lagi.
“Ya. Aku membutuhkan bantuanmu,
Romeo. Aku harap tawaranmu waktu itu masih berlaku.”
Romeo tercenung di seberang sana,
masih merasa terkejut karena tiba-tiba saja, sahabatnya yang menghilang bagai
ditelan bumi ini menghubunginya. Seharusnya Romeo tidak terkejut, dia tahu
Christopher memiliki dua sisi kehidupan, yang satu sebagai seorang
pengusaha yang sukses, Lelaki Italia kaya pemilik berhektar-hektar area
perkebunan yang begitu luas dan subur, dan yang lainnya adalah kehidupan
misterius yang penuh bahaya.
“Masih.” Jawab Romeo akhirnya, pada
akhirnya dia harus membalas budi kepada Christopher dan Romeo tidak keberatan
melakukannya, dia berhutang nyawa kepada sahabatnya yang satu itu. “Kapan kau
ingin bertemu?”
Christopher tersenyum, “Aku selalu
yakin aku bisa mengandalkanmu, aku akan menghubungimu lagi nanti untuk membahas
pertemuan kita.” Gumamnya sebelum mengakhiri percakapan.
***
Di seberang sana, dalam ruangan
kantor sementaranya ketika berkunjung ke kantor cabang, Romeo termenung sambil
menatap ponselnya yang dia letakkan di meja kerjanya.
Christopher Agnelli.... sang bangsawan
muda yang ditemuinya tanpa sengaja ketika dia melanjutkan kuliahnya di Jerman,
di kota kelahiran ayahnya. Waktu itu Romeo masih seorang pemuda yang mencari
jati dirinya, menggoda bahaya merasa tidak pernah takut akan apapun. Lalu dia
terlibat dengan sekelompok orang berbahaya yang mengancam nyawanya, sekelompok
pengedar obat bius yang semula menganggapnya sasaran empuk, tetapi kemudian
menyadari bahwa Romeo tidak bisa diajak kerjasama dan lebih baik dimusnahkan.
Romeo hampir mati disebuah tempat
parkir yang gelap dan terpencil, tanpa ada harapan siapapun yang bisa
menolongnya, dan mungkin dia tidak akan pernah hidup sampai sekarang, mati
karena dipukuli habis-habisan oleh segerombolan orang yang memang dibayar untuk
menghabisinya. Tetapi nasib mengatakan lain, kebetulan Christopher ada di sana,
lelaki itu sedang ada urusan di area itu dan melihat ada seorang pemuda
yang meregang nyawa karena dipukuli habis-habisan.
Tanpa pikir panjang Christopher
menolong Romeo, bahkan pada usia mudapun, Christopher sudah memiliki kemampuan
bela diri yang mematikan, dengan mudahnya dia menumbangkan semua orang itu,
yang mungkin jumlahnya lebih dari tujuh orang. Lelaki itu lalu memanggul tubuh
Romeo yang sudah lunglai dan memasukkan ke mobilnya, membawanya pergi.
Christopher membawa Romeo ke
apartemennya di pusat kota dan ketika Romeo membuka matanya, itulah saat dia
berkenalan dengan Christopher Agnelli.
Christopher mempersilahkan Romeo
tinggal di apartemennya sampai lelaki itu sembuh, dan meskipun sikapnya
begitu penuh rahasia, lelaki itu pada akhirnya bersedia menjadi teman Romeo.
Keakraban mereka bisa dibilang aneh, karena mereka bukan jenis sahabat
yang sering menghabiskan waktu bersama, sering saling berkomunikasi
ataupun bertatap muka.... walaupun begitu, Christopher akan bersedia melakukan
apapun untuk menolong Romeo, demikian juga Romeo yang masih memiliki hutang
nyawa kepada Christopher, sudah tentu dia akan melakukan apapun untuk menolong
sahabatnya itu.
Tetapi Christopher bukanlah tipe
orang yang membutuhkan pertolongan dan bukan jenis orang yang suka meminta
tolong kepada orang lain.....
Romeo bertopang dagu dengan
bingung, merenung. Kalau sekarang Christopher sampai meminta tolong kepadanya,
berarti sahabatnya itu benar-benar membutuhkannya.
Romeo akan melakukan apapun
sebisanya untuk membantu.
***
Dua lelaki dengan jenis ketampanan
yang sangat berbeda duduk berhadapan di sebuah bar yang sedikit remang dan
eksklusif itu. Musik Jazz dimainkan di sudut ruangan dan orang-orang
bertebaran di seluruh ruangan, kebanyakan duduk di depan bartender,
memesan berbagai jenis minuman berstandar tinggi.
Bar ini adalah bar dan lounge
kelas atas yang ada di lantai tujuh di sebuah hotel bintang lima di kota,
mengkhususkan diri pada koleksi bir dan anggurnya yang paling lengkap, bar ini
cukup diminati untuk pertemuan kalangan eksekutif muda dari penjuru kota.
Christopher dan Romeo duduk
berhadapan di sebuah sudut yang cukup sepi, jauh dari lalu lalang orang. Sudah
hampir dua jam mereka duduk di sana. Romeo lebih banyak mendengarkan
sedangkan Christopher bercerita.
Ketika Christopher menyelesaikan
ceritanya, Romeo menyesap brendinya, brendi tua yang bagus, yang meskipun
menimbulkan rasa menyengat dan membakar di mulutnya, tetapi langsung memberikan
sensasi hangat dan nikmat yang diinginkannya.
“Aku tidak menyangka kau mempunyai
jalan cerita yang sangat pelik.... melibatkan salah seorang pegawaiku pula.”
Romeo menatap Christopher tajam, “Dan aku menyadari kau ada di ruangan meeting
itu, berdiri diam sebagai salah satu pengawal Mr. Demiris.” Romeo menatap
Christopher tajam, “ Aku kaget sebenarnya, tetapi kemudian aku berpkir entah
kau sedang dalam penyamaran atau apa karena kau bersikap seolah-olah tak
mengenalku, jadi aku tidak mau merusak apapun rencanamu itu. Kupikir setelahnya
kau akan menghubungiku. Tetapi ternyata tidak.”
Christopher terkekeh, “Maafkan aku,
aku terlalu fokus pada rencanaku sehingga melupakanmu.”
“Hah. Kau hanya mengingat sahabatmu
di saat kau membutuhkan.” Romeo bersungut-sungut meskipun ada senyuman di mulutnya.
Sementara itu Christopher hanya
tersenyum tipis, “Jadi kau mau membantuku?”
Romeo tercenung, “Aku tentu saja
akan membantumu semampuku, meskipun aku tidak menyangka kalau untuk membantumu
aku harus melawan pihak berwajib.”
“Yang mereka inginkan hanyalah
hasil penelitian ayah Andrea, mereka berpikir Andrea tahu sesuatu tentang
sebuah penelitian yang belum selesai menyangkut mereka, dan mereka berpikir
dengan menangkapku mereka bisa mengamankan Andrea di suatu tempat, sekali
dayung dua tiga pulau terlampaui.... tetapi mereka salah, aku tidak akan
semudah itu dikalahkan.”
Romeo menatap Christopher dengan
hati-hati, “Mengenai penelitian ayah Andrea itu... apakah kau masih terikat
dengan organisasi yang menyewamu untuk membunuh ayah Andrea? Apakah sekarang
kau menculik Andrea atas perintah mereka?”
Mata Christoher tampak berkilat
dingin, “Tidak pernah ada yang bisa memerintahku, semua tahu itu. Ketika aku
melakukan semua pekerjaan itu, aku melakukannya karena aku mau, bukan karena
melaksanakan perintah mereka. Dan mengenai organisasi itu, permasalahan sudah
selesai dengan kematian ayah Andrea, mereka memang menginginkan Andrea mati,
tetapi setelah menyadari bahwa perempuan itu tidak tahu apa-apa, aku sendiri
yang membuat mereka melupakan Andrea, toh mereka sudah mendapatkan hasilnya.”
“Hasilnya?” Romeo menatap
Christopher penuh ingin tahu, “Hasil yang bagaimana?”
“Kau pikir peristiwa unjuk rasa
besar-besaran di sebuah negara yang heboh di berita beberapa waktu lalu yang
pada akhirnya berhasil menurunkan presidennya secara paksa itu hasil dari
penelitian siapa? Mereka menemukan pemicu sederhana yang tidak dipikirkan oleh
siapapun dan berhasil mengolahnya menjadi sebuah bom besar yang menggerakkan
semua orang untuk berunjuk rasa besar-besaran dan memberontak, memaksa
presiden mereka untuk turun. Organisasi itu telah mencapai tujuannya, mereka
sudah menempatkan presiden baru yang mereka inginkan, sesorang yang bisa mereka
kelola seperti boneka, seseorang yang ada di pihak mereka, memungkinkan mereka
untuk leluasa bergerak sesuka hati dan memperluas kekuasaannya.”
“Wow.” Romeo tampak benar-benar
kagum, “Dan semua itu bisa terjadi hanya karena otak jenius ayah Andrea.
Sekarang mereka sudah memetik keuntungan dari hasil penelitian ayah Andrea.”
Romeo menyimpulkan dan menatap Christopher dengan tatapan skeptis,
“Sayang sekali semua itu dilakukan dengan mengorbankan nyawa Ayah Andrea....”
“Yah, sayang sekali.” Mata
Christopher dalam, menyimpan rahasia yang tak terungkapkan. Sebuah rahasia yang
belum waktunya ia ungkapkan kepada siapapun.
***
“Bodoh!” Eric menggebrak meja dengan
marah, dihadapan kedua agen yang sekarang duduk pucat pasi di ruangan
yang biasanya dipakai sebagai ruangan interograsi itu.
Kabar itu bagaikan kabar buruk yang
menyambar Eric dan langsung menghanguskannya. Kedua agen itu baru bangun dengan
kepala pusing di pagi harinya, dan kemudian mereka menyadari bahwa Andrea sudah
hilang!
Hilang! Astaga, berbulan-bulan dia menghabiskan waktunya untuk
menjaga perempuan itu dan memastikannya aman, tetapi sekarang, hanya sehari
ketika dia meninggalkan Andrea, “Sang Pembunuh” berhasil menculik Andrea dari
balik punggungnya!
Bagaimana nasib Andrea sekarang
tidak ada yang tahu. Eric meremas rambutnya dengan frustrasi. Masihkah Andrea
hidup saat ini? Ataukah perempuan itu sekarang sudah menjadi mayat yang dingin,
dibuang atau dikubur di suatu tempat yang tak terlacak?
Eric merinding membayangkannya, dia
menggelengkan kepalanya tanpa sadar. Tidak! Selama belum ada bukti bahwa Andrea
sudah meninggal, Eric akan selalu berkeyakinan bahwa Andrea masih hidup,
lagipula berkas yang pernah ditunjukkan atasannya sedikit banyak memberi
kepastian bahwa “Sang Pembunuh mungkin tidak akan membunuh Andrea.
Matanya menatap nyalang kepada dua
agen di depannya, dua agen yang sangat teledor hingga bahkan bisa dibodohi
dengan mudahnya. Hanya agen bodoh yang bisa dibius oleh satu orang dalam waktu
bersamaan. Mereka ada dua orang, demi Tuhan! Bagaimana bisa “Sang Pembunuh”
seberuntung itu?
“Kalian katanya adalah agen terbaik
di kota ini. Tetapi sekarang aku tahu bahwa kalian hanya sampah yang tidak
becus!” Eric membungkukkan tubuhnya dan berdiri dengan kedua tangan bertumpu di
meja, membuat matanya sejajar dengan kedua agen yang duduk dengan kepala
tertunduk itu, “Tugas kalian hanya menjaga perempuan itu, memastikan dia
baik-baik saja sampai aku kembali. Terus mengawasi dan berusaha tidak terlihat.
Itu adalah tugas yang paling mudah bagi seorang agen, dan pasti bisa dilakukan
kalau kalian tidak teledor!” tatapan Eric berubah mengancam, “Kalau sampai
terjadi sesuatu kepada Andrea, aku akan memastikan kalian langsung ditendang
dari divisi ini dan tidak akan pernah bisa berkarier di bidang yang sama,
selamanya!”
Setelah meneriakkan kalimat ancaman
itu, Eric membalikkan tubuh, membanting pintu ruangan interograsi itu dan
meninggalkan dua agen yang semakin pucat pasi itu di belakangnya. Benaknya
berkecamuk, bingung.
Di mana dia bisa menemukan Andrea
sekarang?
Dengan langkah lebar-lebar dia
menuju ke ruang kerjanya dan menelepon atasannya, memberitahukan kabar terbaru,
“Mereka bahkan tidak mengingat
apapun dan tertidur pulas sampai pagi.” Eric tidak bisa menyembunyikan nada
marah di suaranya ketika mengingat dua agen yang teledor itu.
Atasannya menghela napas di seberang
sana.
“Sedikit banyak ini kesalahanku,
Eric, kalau aku tidak memanggilmu ke kantor pusat kemarin, kau pasti masih ada
di sana untuk menjaga Andrea.” Lelaki itu tercenung, “Tetapi kalau kau ada di
sana, kau akan berhadapan langsung dengan ‘Sang Pembunuh’...... dua agen itu
beruntung karena “Sang Pembunuh’ memilih untuk tidak mengkonfrontasi mereka dan
malahan membius mereka, jadi mereka bisa selamat. Tetapi kalau kau yang berada
di sana malam itu, Aku yakin kalau sang pembunuh akan mengkonfontasimu dan aku
mengkhawatirkan keselamatanmu.”
Mata Eric bercahaya sedikit marah,
“Aku pasti bisa menghadapinya,
setidaknya kalau aku ada di sana, aku bisa mencegahnya membawa Andrea.”
Atasannya mendesah, terdengar tidak
setuju,
“Sudahlah, sekarang kita harus
menemukan cara untuk menemukan Andrea, sebelum semua terlambat.”
Eric mendengus setengah frustrasi,
Andrea harus ditemukan. Eric akan menggunakan segala cara untuk mencarinya.
***
Andrea duduk kebingungan ketika
menatap ke arah para pelayan yang membereskan kamarnya, mereka sedan membereskan
tempat tidurnya jadi dia diminta duduk dulu di sofa yang ada di ujung kamar.
Matanya berkali-kali melirik ke arah pintu. Semalam setelah Christopher pergi,
seorang pelayan perempuan masuk dan melepaskan borgolnya, lalu memberikan
sebuah jubah tidur untuk dipakai menutupi ketelanjangannya.
Andrea duduk dengan tidak nyaman di
atas sofa, masih memakai jubah tidur yang sama dan masih telanjang di
baliknya.
Apakah dia akan telanjang seperti
ini terus?
Andrea mengernyit, dia merasa amat
sangat tidak nyaman sekaligus malu. Dalam benaknya dia bertanya-tanya, sampai
kapan Christopher akan menyekapnya seperti ini? Akankah dia bisa bebas, ataukah
Christopher, sang pembunuh kejam itu akan membunuhnya pada akhirnya?
Seorang pelayan lain masuk, membawa
setumpuk handuk dan pakaian, dia lalu mendekati Andrea,
“Silahkan anda mandi.”
Andrea amat sangat lega mendengar
perkataan pelayan itu, tubuhnya sudah terasa lengket, dan dia ingin memakai
baju yang normal, bukan jubah tidur kebesaran yang hanya berguna untuk menutupi
ketelanjangannya.
Dengan langkah hati-hati dia
mengikuti pelayan itu, sambil berharap meskipun pada akhirnya sedikit kecewa
karena ternyata kamar mandi itu ada di dalam kamar yang luas itu menutup
kemungkinan bagi Andrea untuk keluar dari kamar itu. Kamar mandi itu
tersembunyi di balik pintu yang berfungsi ganda sebagai rak buku di dinding.
Ketika rak buku itu dibuka layaknya sebuah pintu, maka dibaliknya ada ruangan
kamar mandi yang sangat luas dengan dominasi marmer hitam yang elegan. Andrea
mengernyit menatap kamar mandi itu. Kamar yang dia tempati sekarang terasa
sangat maskulin dengan dominasi warna coklat kayu-kayuan perabotannya dan warna
hitam untuk sprei ranjangnya, dan bahkan sekarang kamar mandinya lebih maskulin
lagi. Semuanya marmer berwarna hitam. Hiasan yang ada di sana hanyalah sebuah
palem raksasa yang ada di sebuah sudut dekat jendela berkaca buram di dalam
sebuah pot cokelat yang sangat indah, ada sebuah cermin yang sangat besar di
sana, memanjang dari atap sampai ke lantai dan lebarnya hampir memenuhi
dinding, cermin itu sekarang berkabut karena uap dari air panas yang memenuhi
kolam mandi kecil yang juga terbuat dari marmer.
“Silahkan anda berendam dulu, saya
sudah menyiapkan airnya.” Sang pelayan setengah menghela Andrea ketika dia hanya
berdiri dengan ragu menatap kolam mandi kecil berbentuk segi lima yang
mengepulkan uap hangat nan menggiurkan. Seluruh tubuh Andrea terasa kaku,
mengingat dia diborgol terentang sekian lamanya di ranjang. Mandi berendam
terasa sangat menggoda untuknya sekarang.
Pelayan itupun meninggalkannya dan
menutup pintu kamar mandi dari luar. Andrea melepas jubah tidurnya dan
meninggalkannya begitu saja di lantai, dia melangkah pelan mendekati kolam
mandi itu, dengan hati-hati mencelupkan kakinya ke sana. Hangatnya pas dan
terasa menyenangkan. Andrea menenggelamkan kakinya semakin dalam, dan pada
akhirnya melangkah memasuki kolam mandi itu.
Ketika dia berdiri, tinggi airnya
hanyalah sebetisnya. Andrea lalu duduk bersandar di salah satu dinding kolam
yang nyaman, membenamkan tubuhnya sampai sebatas leher. Dia telanjang bulat
tetapi uap air hangat itu menyembunyikannya.
Andrea membasahi rambutnya dan
bersandar lagi, lalu memejamkan mata, menikmati bagaimana air hangat itu
melemaskan otot-ototnya yang tegang. Kemudian tanpa sadar dia teringat betapa
kemarin, Christopher telah melumat buah dadanya..... matanya terbuka dan dengan
gugup dia membasuh buah dadanya, pipinya memerah berusaha mengusir bayangan
bagaimana mulut Christopher menangkup buah dadanya, terasa membakar dan
bagaimana kemudian lelaki itu menghisap dadanya......
Andrea memejamkan matanya
rapat-rapat, berusaha mengusir sensasi panas yang mulai merayapi tubuhnya
karena bayangan terlarang yang tak mau pergi itu. Dia tidak menyadari bahwa ada
seseorang yang masuk ke dalam kamar mandi itu dan mengawasinya. Ketika Andrea
menyadarinya, semua sudah terlambat.
Di sana, berdiri di depannya, adalah
Christopher Agnelli. Telanjang, dengan keindahan tubuh layaknya patung dewa-
dewa Yunani.....
Andrea terkesiap, dan langsung
merapatkan paha telanjangnya dengan lengannya langsung menutup buah dadanya.
Dia menatap marah kepada Christopher,
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Andrea membentak, ingin berteriak, tetapi yang berhasil dikeluarkannya hanya
Novel Dating With The Dark - Santhy Agatha Chapter 9
ReplyDeleteAwesome issues here. I am very satisfied to look your article.
Thanks a lot and I’m taking a look forward to contact you.
안마
Will you please drop me a e-mail?