Ruangan itu gelap.
Gelap dan sunyi, hingga bunyi klik ketika Serena menutup pintu terdengar begitu
keras.
Dengan gugup Serena menelan ludah. Kenapa sepi? Kemana Damian?
Apa Damian mungkin pulang ke rumahnya? Apa mungkin dia tidak tahu kalau
Serena belum pulang? Syukurlah kalau begitu kejadiannya.
Serena berusaha menenangkan
dirinya, tapi tetap saja tidak bisa
menyembunyikan rasa gugupnya
menghadapi apa yang akan
terjadi, seperti hitungan mundur penantian sebuah bom yang akan meledak saja.
Dan bom itu memang
meledak.
Dalam hitungan beberapa menit pintu depan terbuka, tidak, bukan terbuka, tapi
terdorong dengan kasarnya, lampu-lampu menyala.
Damian tampak begitu menakutkan, matanya menyala-nyala, rambutnya
acak- acakan, bahkan pakaiannya yang biasanya selalu elegan dan rapi tampak kusut
masai. Yang pasti, lelaki itu kelihatan begitu murka mendapati Serena
berdiri di
ruang tamu apartemen itu, hanya menatapnya.
Dengan gerakan kasar
dia
meraih pundak Serena
dan mengguncangnya begitu keras sampai
Serena merasa pusing,
"Kemana saja KAU?????!!!",
teriak Damian, lepas kendali.
Serena berusaha
menjawab, tetapi kepalanya terasa pusing
karena Damian masih mengguncangnya.
"Aku mencarimu ke segala penjuru, kau
tahu????!!! ", Damian masih berteriak.
“Semua rumah sakit bersalin di kota ini aku datangi satu persatu, tapi tidak ada
kamu!!!! Kemana saja KAU????"
"Damian,
kalau
kau terus
mengguncangnya seperti
itu, dia
akan
muntah sebentar lagi", sebuah suara tenang
terdengar di belakang Damian, membuat lelaki itu terpaku, seolah-olah baru menyadari kehadiran sosok di belakangnya.
Freddy berdiri dengan santai sambil menyandarkan tubuhnya
di
dinding dekat pintu, sepertinya menikmati
pemandangan Serena yang didamprat oleh Damian.
Damian menarik napas
dalam-dalam beberapa kali, berusaha mengontrol
emosinya.
Sialan benar Serena!!! Sialan benar gadis ini!!! Tidak tahukah
dia
begitu cemas
tadi ketika sampai malam Serena tidak juga pulang?? Tak tahukah
dia betapa hati Damian dicengkeram ketakutan yang amat
sangat ketika mencoba
menghubungi Serena dan menemukan bahwa ponselnya mati???
Beribu pikiran buruk tadi
berkecamuk di
dalam benak Damian, bagaimana kalau
Serena kecelakaan? Atau
dia
menjadi korban kejahatan???!!!! Bagaimana kalau
gadis itu
terluka parah dan tidak dapat datang kepadanya untuk meminta pertolongan???
Dan sekarang, menemukan gadis itu berdiri di ruang tamu apartemennya, tanpa
kekurangan suatu apapun,
membuat Damian dibanjiri perasaan lega yang
amat sangat, lega sekaligus murka, murka karena
gadis itu telah membuatnya kacau balau, murka karena gadis itu telah membuatnya berubah dari Damian yang
tenang menjadi Damian yang kacau, murka karena gadis itu telah menumbuhkan sebentuk perasaan yang tidak dia kenal sebelumnya.
"Pro... Proses melahirkan temanku
bermasalah.... Dia... Dia eh... Harus.... Dioperasi....",
Serena masih berusaha mengumpulkan nafasnya,
diguncang dengan begitu kerasnya membuat pandangannya berkunang-kunang.
Tangan Damian yang masih berada di pundaknya mencengkeramnya kuat.
"Kalau begitu, apa
susahnya meneleponku??!!! Kenapa
kau matikan ponselmu
hah??!!",
Serena mengerjapkan matanya
gugup. "Baterai
ponselku... Habis..."
"Memangnya tidak ada cara lain buat menghubungiku?! Aku
hampir gila
memikirkan
kau ada dimana!! Apa
kau pikir aku tidak mencemaskanmu??? Kau
tahu aku hampir
melaporkan kehilanganmu ke kantor polisi!!! "
"Damian, sudahlah, toh dia sudah pulang dengan selamat",
Freddy menyela,
berusaha lagi meredakan kemarahan Damian.
Dengan tajam Damian menoleh kepada sahabatnya itu,
"Cukup Freddy,
kau boleh pulang, terima kasih sudah menemaniku tadi."
Freddy hanya mengangkat bahu menghadapi pengusiran halus itu, dia menepuk-
nepuk kemejanya yang juga kusut, lalu melangkah keluar
pintu.
"Kau
harus menenangkan otakmu, kalau kau seperti ini, makin lama
aku makin tidak mengenalmu",
kata-kata Freddy ditujukan
kepada Damian, tapi matanya menatap
tajam ke arah Serena, menyalahkan.
“Dan kau, Tuan Putri, lain kali belajarlah sedikit bertanggung jawab!", sambungnya
dingin sebelum melangkah keluar dan menutup pintu di belakangnya.
Ruangan itu menjadi
begitu hening
sepeninggal Freddy.
Damian diam.
Dan Serena juga
diam,
menilai
emosi
Damian, takut salah berbicara
atau
bertindak yang mungkin bisa menyulut emosi Damian semakin parah.
Setelah mengamati
dengan hati-hati, Serena menarik kesimpulan kalau kemarahan Damian sudah mulai mereda, matanya sudah tidak menyala lagi seperti api
biru, dan napasnya sudah teratur, hanya tatapan tajam dan bibirnya
yang menipis itu yang menunjukkan masih ada sisa kemarahan di
sana.
"Maafkan aku," bisik Serena pelan, takut-takut.
Sejenak Damian tampak akan mendampratnya
lagi, tetapi lelaki itu menarik napas panjang, berusaha menahan diri.
"Sudahlah", gumamnya,
melangkah melewati Serena memasuki kamar. Dengan gugup
Serena berusaha mengejar langkah Damian yang
begitu cepat. "Maafkan aku,
aku tidak berpikir kamu akan secemas itu", tersengal Serena
berusaha menjajari langkah Damian menuju kamar. "Aku... aku terlalu terfokus
pada operasi temanku lalu aku...Damian!!", Serena setengah berseru karena
lelaki itu berjalan terus tanpa memperhatikannya.
Damian berhenti melangkah,
menatap Serena, tampak begitu dingin. "Yang penting kau sudah pulang dengan selamat",
jawabnya datar. "Damian.....?"
Serena merasa ragu mendengar nada dingin di dalam suara Damian.
"Sudah! Aku mau
tidur!”
geram
Damian marah sambil
melangkah ke arah
ranjang.
***
Lelaki itu marah, marah besar padanya.
Serena bisa merasakannya dari
suasana pagi
itu, ketika mereka bersiap-siap berangkat ke kantor.
Semalaman
Serena tidak bisa
tidur, dan Serena
yakin Damian juga tidak tidur, karena lelaki itu bergerak dengan gelisah sepanjang
malam.
Suasana
tegang di waktu sarapan pagi itu terasa seperti kawat berduri yang direntangkan, siap
putus dan melukainya.
Ia tidak menyukai suasana seperti ini, lebih baik Damian meledak-ledak marah seperti kemarin, setidaknya semua kemarahannya terlampiaskan, tidak seperti
sekarang.
Lelaki itu
murka,
tetapi menyimpannya
sehingga membuat seluruh dirinya
tegang dari ujung rambut sampai
ujung kaki.
"Kita berangkat bersama", desis Damian setelah membanting serbet makannya ke meja.
Tangan Serena yang menyuapkan roti ke mulutnya berhenti di tengah-tengah.
"Apa?"
"Kita berangkat bersama-sama", ulang Damian datar. "Tapi......"
"Tidak ada
tapi Serena," sela Damian kasar lalu berdiri dengan marah
ke pintu,
"Ayo cepat!!!"
Dengan gusar lelaki itu membukakan pintu mobil buat Serena, dan
membantingnya ketika Serena sudah duduk di kursi, tanpa dapat membantah,
tanpa dapat memberikan perlawanan.
Sepanjang jalan, lelaki itu menyetir dengan sangat
kasar, seolah-olah
melampiaskan kemarahannya. Serena hanya
duduk berdiam, tidak mau
melakukan apapun yang
dapat memancing kemarahan Damian.
"Nanti kau
pulang
denganku!!
Kau dengar itu??
Kau datang
ke ruanganku setelah jam
kantor, kita pulang bersama!!!",
gumam
Damian tanpa mau dibantah
ketika menurunkan Serena di
lobi kantor.
***
Hari ini berlalu
dengan
amat lambat
bagi Serena, perasaannya tidak
enak,
sampai
kapan Damian akan marah padanya? Sampai
kapan Damian
akan
bersikap seperti ini
kepadanya?
Dia tahu dia bersalah, tapi dia kan
sudah
meminta maaf? Lagipula kenapa permasalahan kecil semacam ini
begitu dibesar-besarkan oleh Damian?
Pemikiran itu masih berkecamuk di kepalanya ketika keluar dari lift yang
mengantarkannya
ke ruangan pribadi CEO perusahaan.
Sebenarnya Serena tadi bermaksud pulang sendiri dan mampir ke rumah Sakit
menengok Rafi, memanfaatkan waktu
bebasnya yang dijanjikan oleh Damian
pada waktu perjanjian awal
mereka.
Tapi dengan ancaman
Damian tadi pagi, Serena tidak punya pilihan lain selain menuruti permintaan Damian untuk menemuinya di
ruangannya sepulang
kerja.
Meja sekertaris Damian sudah kosong, dengan
pelan Serena
melangkah ke
pintu besar ruangan Damian,
mengetuknya pelan.
"Masuk."
Sebuah suara
mempersilahkannya
dari dalam. Serena
masuk dan menutup pintu
di
belakangnya, ketika membalikkan badannya dia terpaku.
Bukan Damian yang
ada
di sana, tetapi Freddy, lelaki itu sedang duduk santai
di sofa, menyesap
segelas brendy, menatap Serena dengan penilaian santai yang sedikit kurang ajar.
"Mr. Damian menyuruh saya kesini jam pulang kantor.", jelas Serena terbata.
Freddy tersenyum, masih duduk santai di sofa sambil menatap brendynya yang
tinggal seperempat gelas.
"Aku tahu,
Damian menyuruhku menunggumu di sini,
dia
sedang menemui tamu
penting dari Jerman di
ruang pertemuan."
"Oh."
Serena tidak tahu harus berkata apa,
suasana terasa sangat canggung. Entah
karena Serena memang tidak kenal dekat
dengan Freddy, atau
karena sikap santai
palsu yang ditunjukkan Freddy.
"Kalau begitu mungkin saya akan menunggu di luar saja",
gumam
Serena cepat- cepat, ingin segera meninggalkan ruangan itu.
"Bagaimana rasanya?"
Pertanyaan tiba-tiba Freddy itu menghentikan
gerakan tangan
Serena membuka pegangan pintu.
"Apa?"
"Bagaimana
rasanya
menjadi
wanita simpanan
taipan kaya seperti
Damian?",Freddy bangkit berdiri dari sofa dan menghampiri Serena.
Serena tidak suka
mendengar nada melecehkan dalam suara Freddy, dia ingin segera keluar
dari ruangan ini.
"Eh, mungkin saya harus menunggu di luar," Serena
berhasil membuka
pintu sedikit, tapi dengan lengannya Freddy mendorong pintu itu tertutup lagi.
"Aku bertanya padamu Tuan Putri",
ulang Freddy sinis.
Serena menatap Freddy tajam.
"Saya tidak akan membiarkan anda merendahkan
saya," desisnya pelan.
Ucapan itu membuat Freddy tertawa, penuh penghinaan.
"Merendahkan katamu?, bukannya
kau yang datang merangkak meminta
dijadikan pelacur oleh Damian???", ejeknya kasar,
lalu mencekal lengan Serena tak
kalah kasar,
tak peduli Serena mulai
meronta-ronta.
"Kau
adalah wanita
paling rendah, paling murahan yang pernah kukenal, kau mungkin berhasil merayu Damian dengan tubuhmu", Freddy menyeringai sinis,
"Tak kusangka Damian bisa
bertekuk lutut pada perempuan sepertimu, tapi kau tentu sudah tahu kan?
Damian terbiasa dikelilingi
perempuan-perempuan dewasa yang berpengalaman, jadi citra polos dan kekanak-kanakanmu tentu saja menjadi hal baru yang menyegarkan untuknya."
"Anda
salah
! Saya tidak
begitu",
Serena berusaha
menyela, berusaha
melepaskan diri dari cekalan tangan Freddy, tapi genggaman lelaki itu seperti
capit besi,
dan
dari napasnya yang
berbau brendy, sepertinya lelaki itu setengah
mabuk.
"Kau
tidak bisa membohongiku pelacur cilik!!", Freddy menggeram pelan, "Meski dulu aku terpaksa membuatkan
kontrak tiga ratus juta yang konyol itu, jangan kira aku akan membiarkanmu menyetir Damian untuk membuat kekonyolan lain
yang merugikannya!!!"
"Anda
salah
paham!!", Serena setengah
berteriak, semakin
meronta
dari
cengkeraman Freddy yang
sangat keras.
"Kau
pelacur cilik yang menjual tubuhmu
seharga tiga ratus juta", Freddy mulai
merapat ke tubuh Serena.
“Aku mulai bertanya-tanya, apakah hargamu sepadan dengan pelayananmu???"
“Tidaaak!!! Lepaskan saya!!!", Serena mulai berteriak membabi buta, berusaha
melepaskan diri dari Freddy yang semakin gelap mata.
Lelaki itu mencengkeramnya kuat, mendorongnya ke tembok dan berusaha menciumnya dengan kasar
Serena meronta membabi buta, berusaha
menghindari ciuman itu sekuat tenaga, memalingkan kepalanya seperti orang gila, dia tak mau disentuh Freddy, dia
tidak mau!!!!
Chapter 10
Bagian bawah semacam salah satu scene di pretty woman. Saat julia robert digoda pria lain (teman si richard gere)..
ReplyDelete
ReplyDeleteIt's really a nice and useful piece of info. I'm satisfied that you simply shared this useful info with 대구오피
us. Please keep us up to date like this. Thanks for sharing.