Bab
8
Losers Never Win
ORION merasa sekujur tubuhnya dibasahi oleh
keringat dingin. Dia pun sangat2 tegang sehingga tak bisa merasakan kedua
kakinya. Orion melirik cemas ke arah penonton yg semakin memadati halaman
kampus untuk menonton final.
"Tenang, woy," Odi tertawa geli melihat
tampang Orion. "Santai aja."
Orion meringis tak jelas pada Odi, lalu tanpa
sengaja matanya tertumbuk pada Raul yg sedang berbicara dengan seseorang di
tribun atas. Pasti ayahnya, kalau dilihat dari sikap hormat Raul yg hampir
berlebihan. Orion juga dapat melihat beberapa utusan dari tim2 besar IBL
berdatangan dan duduk di tenda VIP. Orion sekarang serasa menelan sebongkah
batu besar.
"Eh, ngomong2, si Lala sama Reina jadi akrab
ya?" kata Odi lagi, membuat Orion menoleh untuk melihat Reina dan Lala.
Mereka sedang duduk bersama di tribun, tepat di
seberang Orion berada, dan mereka tampak akur. Kedua gadis itu tertawa-tawa
sambil memegang bendera kampus, lalu mengibar- ngibarkannya sambil bernyanyi
entah apa. Orion hanya nyengir melihatnya. Orion benar2 tidak mengerti kaum
hawa.
Reina dan Lala menangkap tatapan Orion, lalu
melambai ke arahnya. Orion balas melambai, lalu mendadak tersadar. Ares tidak
datang. Orion merasa setengah tenaganya lenyap tertiup angin. Entah mengapa,
Orion benar2 mengharapkan kedatangannya di pertandingan penting ini, melebihi
siapa pun. Orion ingin melihat Ares sesekali bangga padanya.
Raul melintas di depannya sambil menatap tajam.
Orion balas menatapnya. Tanpa dia duga, Raul malah mendatanginya.
"Gue sebenernya nggak mau ngelakuin ini,"
Raul menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tapi lo udah maksa gue."
"Apa sih maksud lo?" tanya Orion bingung.
"Setelah pertandingan ini, lo bakal tau,"
kata Raul geram. "Jadi, kalo sampe terjadi, jangan salahin gue."
"Anceman kosong," Orion meludah. "Lo
nggak jantan. Lo kalah, makanya lo bakal balas dendam. Gue nggak takut."
"Oke, kalo gitu," kata Raul enteng.
"Kita liat aja nanti."
Raul berbalik lalu bergabung dengan tim. Orion
menghela napas, lalu bergerak mengikutinya untuk bergabung dengan tim. Orion
memang merasa ada sesuatu yg salah, tapi dia tidak bisa mundur lagi. Dia harus
melakukannya seperti laki2, dan Ares pasti bangga karnanya.
"Oke," kata Reno dengan suara khawatir yg
dikuat-kuatkan. "Kita punya tim yg bagus. Kita punya strategi bagus. Kita
datang ke sini untuk menang, kan?"
Suara Reno tenggelam oleh riuh rendah para penonton
yg sudah memenuhi lapangan.
"Selamat datang di UII Cup, Turnamen Bola
Basket antarkampus 2005, antara Universitas Kencana dan tuan rumah, Universitas
Internasional Indonesia!" suara announcer membahana, membuat suasana
semakin bising.
"POSISI STARTER KAYAK KEMAREN!" sahut
Reno mengatasi suara announcer dan penonton yg menggila. "Aryo, Odi, Heru,
Faisal, Orion!"
Anak2 mengangguk mengerti, sementara Reno
menjelaskan strategi. Orion malah hampir2 tak mendengar suara Reno. Dia hanya
memikirkan akan bermain sebaik mungkin sehingga membuat semua orang bangga.
"Dari Universitas Kencana, dengan nomor
punggung 5, Mario! 17, Hernan! 11, Arman! 22, Rio!
10, Simon!"
Suara riuh rendah mengiringi saat para pemain
basket dari Universitas Kencana memasuki lapangan.
"Dan dari Universitas Internasional Indonesia,
yg pastinya sudah ditunggu-tunggu, dengan nomor punggung 13, Aryo! 9, Odi! 17,
Heru! 5, Faisal! Dan, pada nomor punggung 21, sang kapten, Orion!"
Orion merasakan telinganya mulai pekak karna
kebisingan yg luar biasa saat suaranya disebutkan. Dia menarik napas mantap,
lalu mulai berlari-lari kecil memasuki lapangan. Sebelumnya dia sempat melirik
Raul yg menatapnya benci.
Orion melemaskan semua ototnya sebelum bersalaman
dengan anak2 dari UK. Orion mengenali salah satu dari mereka. Simon, si
playmaker dari UK adalah teman SMA-nya dulu, dan juga satu tim basket. Orion
melemparkan cengiran kepadanya yg segera dibalas.
Wasit sudah memasuki lapangan. Orion segera
mengambil tempat. Tangannya sudah basah karna keringat, tapi Orion harus tetap
fokus.
"Mulai!"
Orion dengan gesit menyambar bola hasil lemparan
sang wasit dan bola itu ditangkap oleh Odi. Orion segera berlari, melepaskan
diri dari kawalan Hernan, lalu Odi dengan tanggap menerima sinyal Orion. Odi
mengoper bola itu kepada Orion, yg segera dilesakkan ke ring.
"Fast break yg manis dari Orion, 2-0 untuk tim
UII!"
Orion kembali sigap mengawal Hernan. Dan harus
tetap fokus... "Assist pada Simon... Tembakan tiga angka yg bagus!"
Terdengar seruan2 marah dari penonton. Simon
nyengir kepada Orion -yg dibalas gugup. Orion tiak tahu Simon sudah berkembang
sepesat ini. Bola tadi masuk tanpa menyentuh ring sedikit pun.
"Sekarang bola ada pada Heru... dioper ke
Odi... Orion sudah ada di depan, assist, jump shot!
AH! Orion gagal... di-rebound oleh Hernan..."
Sial. Orion merasa konsentrasinya pecah karna
memikirkan Simon. Dia kembali fokus dan berhasil merebut bola dari tangan
Hernan.
"Steal yg bagus! Orion tidak terjaga... Three
points! 5-3 untuk tim UII!" Penonton bersorak heboh. Lala bahkan
menumpahkan minumannya.
Pertandingan berjalan alot selama lima belas menit
kuarter pertama. Hasil sekarang sudah 20-
19. Orion terduduk saat time out.
"Orion, lo udah bagus. Pertahanin permainan
lo. Jaga kondisi lo," kata Reno, tampak senewen. Orion tak menjawab. Dia hanya
menatap Reno sebal. Hanya dirinya pemain yg bermain penuh selama kuarter
pertama tadi, dan kontribusinya sangat besar. Dari dua puluh poin milik timnya,
15 diantaranya dicetak Orion.
"Di, lo jaga Simon yg bener. Dia
berbahaya," Reno memberikan arahan kepada Odi yg hanya menggumam tak jelas
sambil meneguk minumannya.
Kemudian, kuarter kedua dimulai. Lagi2, Orion
sempat menangkap raut wajah kesal Raul. Tapi
Orion tak punya waktu untuk memedulikannya.
"Bola di Mario, dioper di Arman... Steal dari
Aryo, assist ke Orion... masuk! 22-19 untuk tim UII!" Lima belas menit
berikutnya terasa sangat berat bagi Orion. Reno belum juga menggantinya. Timnya
memang masih unggul 40-37. Tapi dengan keadaannya sekarang, Orion yakin timnya
akan tersusul apabila dia tidak diganti.
"Bola ada pada Simon, dia lepas dari kawalan
Odi, three points! Sekarang kedudukan 40 sama!" Orion mengumpat kesal. Dia
butuh istirahat. Dia merasa sebentar lagi paru-parunya akan pecah. "Bola
ada pada Heru, assist pada Odi, Orion, mencoba three points... gagal! Rebound
oleh Hernan... Ini bola keempat kalinnya yg miss dari Orion... tampaknya dia
mulai kelelahan... sebagai catatan, hanya Orion yg belum diganti oleh pelatih
Reno... Sepanjang pertandingan dia sudah mencetak 35
poin!"
"Dengar itu, sialan!" umpat Orion kesal
sambil melirik Reno yg tampak tak acuh dan malah meneriaki Odi yg sedang
mengawal Simon.
Kuarter kedua selesai. Tim UII sekarang tertinggal
42-50. Reno mengamuk tak karuan.
"Pengawalan lo Di, ancur! Lo liat kan beberapa
kali Simon bisa nyetak three points gara2 lo ketinggalan! Terus lo Ri! Ngapain
aja lo sepuluh menit terakhir? Lo cuma bisa nyetak dua angka!" sahut Reno
kalap.
"Lo nggak kasih gue istirahat! Gue
capek!" Orion balas menyahut.
"Oh, jadi lo capek? Lo mau diganti? Boleh, tapi
jangan harap lo main lagi!" seru Reno membuat semua orang bengong.
Orion hanya mengumpat pelan sambil menendang botol
minumannya. Beberapa menit kemudian kuarter tiga dimulai. Orion menarik napas
dalam2.
"Oh, ternyata playmaker dari tim UII kembali
masuk! Entah apa strategi coach Reno, tapi sepertinya hanya Orion yg
diandalkan... padahal mereka memiliki three points shooter, Raul!" Orion
sekali lagi melirik Raul, yg meremas botol minumannya sampai gepeng. Sebenarnya
Orion merasa bersalah karna Raul sama sekali tidak dimainkan oleh Reno. Tapi
semua ini diluar kuasanya. Entah kenapa, Reno malah memainkan Orion secara
penuh, tapi tidak memberikan kesempatan bagi Raul. Padahal, saat ini Orion akan
dengan senang hati diganti untuk beristirahat sebentar.
"Bola ada di Orion, dia mencoba mengulur
waktu... Tampaknnya pemain ini sudah lelah... Dioper ke Faisal, ke Damar...
Damar adalah pemain pengganti Aryo... Assist dari Odi ke Orion, Odi sudah
melakukan rebound sebanyak 5 kali sepanjang pertandingan... Three points Orion,
gagal! Rebound oleh Hernan! Simon... three points! Tim UII semakin jauh
tertinggal... 42-53!"
Orion mengumpat lagi. Dia harus melakukan sesuatu.
Harus. Tak peduli kalau paru-parunya sampai pecah dan urat2 kakinya putus.
"Bola ada pada Odi... dioper ke Orion... dia
melesat lepas dari kawalan Hernan, three points! Tampaknya tim UII mulai
bangkit! 45-53!"
Orion bisa mendengar kembali teriakan2 heboh dari
pinggir lapangan yg rasanya tadi mulai menghilang. Orion merasakan semangatnya
kembali berkobar.
"Bola pada Mario... Steal! Orion tidak
dikawal... Three points! Ini adalah three points ketujuh kali yg dibuat Orion
sepanjang pertandingan! 48-53 untuk tim UII! Sekarang bola ada pada Arman...
mencoba mengulur waktu... STEAL LAGI! Three points ke delapan oleh Orion!
Benar2 luar biasa permainan Orion hari ini..."
Orion nyengir saat Odi menepuk kepalanya. Orion
menikmati saat2 ini, saat semua orang memanggil namanya keras2.
Kuarter keempat berakhir dengan poin 59-60 untuk
tim UK. Orion sendiri sudah mencetak empat puluh tujuh poin. Sekarang dia
terduduk kelelahan di pinggir lapangan.
"Begitu dong Ri kalo maen! Yg semangat!"
sahut Reno senang. "Kita sekarang cuma ketinggalan satu angka! Kita bisa
menang!"
"Yeah, dan playmaker kita bisa mati,"
gumam Odi disambut ringisan oleh Orion.
Orion menghela napas, lalu melirik le arah
penonton. Orion masih belum melihat Ares.
Ares mengawasi Orion dari atas gedung. Si pelatih
bodoh itu sepertinya sudah gila karna tidak mengganti Orion. Orion sekarang
tampak terkapar tak berdaya.
Bukannya Ares tak senang, dia justru senang Orion
bermain sangat bagus dan sebagainya. Tapi dia juga tak ingin melihat Orion mati
konyol karna kelelahan bermain basket.
Ares sudah melihat perjuangan Orion. Ares hampir
saja merasa bangga karnanya. Mungkin memang bangga, tapi sedikit rasa gengsi
menyergapnya. Ares tak pernah merasa apa yg dilakukan Orion membanggakan. Ares
dulu merasa basket adalah hal konyol yg dilakukan Orion untuk memikat gadis2.
Tapi melihat Orion berjuang keras seperti ini membuatnya sadar, kalau setiap
orang memiliki cita2 yg berbeda-beda. Basket adalah hal yg ingin dilakukan
Orion, sebagaimana Ares menginginkan menjadi pilot. Orion mencintai basket.
Ares tahu sekarang. Setiap orang bersinar dengan caranya sendiri2.
"Kuarter keempat sudah dimulai... Ini akan
menentukan siapa juaranya... Orion ternyata kembali dimainkan! Mungkin dia
mengincar MVP? Entahlah, tapi seharusnya usahanya tidak usah sekeras ini... Dia
memimpin top scorer sementara dengan 47 poin, sementara Simon ada tepat di
bawahnya dengan 45 poin... Bola sekarang ada pada Arman dari tim UK, dioper ke
Hernan... jump shot, masuk! 59-62 untuk tim UK!"
Orion menyeka peluhnya lalu kembali berkonsentrasi.
Dia harus memenangkan pertandingan ini untuk beberapa hal. Untuk Reina. Untuk
masa depannya. Untuk Ares.
Lima menit lagi pertandingan usai. Tim UII masih
tertinggal 70-73, padahal Orion dan teman- temannya sudah berusaha keras. Orion
merasa kondisinya benar2 ambruk. Dia hampir2 tak sanggup berlari dan menjaga
Hernan.
"Time out dari tim UII! Tampaknya akan ada
pergantian pemain... HARUS ada pergantian pemain kalau coach Reno tidak ingin
playmaker-nya ambruk..."
"Tinggal empat menit lagi," Reno jelas2
tak mengacuhkan saran si announcer. "Ri, empat menit lagi. Lo mau menang
kan? Lo mau MVP kan?"
"Tapi dia nggak mau mati," kata Aryo
kesal.
"Diem lo! Cuma dia harapan gue! Emang lo bisa
ngehasilin angka kayak dia, hah?"
"Tapi kondisinya udah nggak fit lagi! Mainin
dia sama aja bohong!" Kali ini, Faisal yg menyahut. "Look, dia butuh
dianti. Masih ada Raul. Lo nggak mau minin dia?" tanya Odi dan secara
serempak semua orang menoleh kepada Raul.
"Nggak. Gue butuh menang. Dan untuk itu gue
butuh Orion. Gue percaya sama dia, dia bisa bawa kita ke kemenangan. Lo ngerti,
Ri?" sahut Reno kepada Orion.
"Ya," kata Orion membuat semua temannya
mengernyit. "Nggak apa2 guys, gue masih bisa kok. Let's finish the
game."
"Ya ampun... ternyata Orion kembali
diturunkan! Ini menjadikan dia sebagai satu-satunya pemain yg tidak diganti
selama empat kuarter! Entah apa ini menguntungkan atau malah merugikan bagi
timnya... Maksudnya, Orion memang bagus, tapi sekarang sepertinya dia sudah
tidak fit! Sekarang bola ada pada Arman... Hernan... Simon... Jump shot, gagal!
Rebound oleh Odi... Orion sudah di depan, tak terjaga! Lay up... masuk!
72-73!"
Orion merasakan kakinya sudah lemas, seolah tak
bertulang. Hernan sekarang sudah bebas dari pengawalannya, membuat kerja Aryo
dua kali lebih berat karna harus menjaga dua orang sekaligus. Orion tak punya
cukup tenaga untuk kembali ke posisinya, jadi dia hanya menunggu di depan.
"Steal yg bagus dari Aryo! Lemparan yg jauh ke
depan... ternyata ada Orion! Astaga... ini berarti
Orion tidak kembali ke posisi menjaga... lay up
lagi... masuk! Sekarang tim UII berhasil mengejar! 74-73!"
Orion kembali mendengar sorak-sorai penonton, tapi
tidak membuatnya kembali bersemangat.
Tubuhnya terasa remuk seakan baru saja dilindas
truk.
Ketika pertandingan tinggal satu menit lagi,
kedudukan 83-79.
"Bola ada pada Simon... gawat, tidak terjaga!
AAHH! Three points! Kedudukan menjadi 83-82! Kalau begini tim UII akan susah
untuk mengungguli tim UK! Bola ada pada Odi, mencoba mengulur waktu... Ya
ampun! Steal dari Simon! Three points lagi! 83-85! Waktu tinggal dua belas
detik!"
Orion menegakkan kepalanya. Jantungnya berdegup tak
karuan. Bisa-bisanya mereka kecolongan saat waktu sudah tinggal dua belas detik
lagi. Orion merasa semua semangatnya lenyap. Mereka akan kalah.
Orion melirik ke arah temannya yg lain. Wajah
mereka masih bersemangat. Odi menganggukkan kepalanya. Orion jadi merasa malu
telah putus asa duluan. Orion balas mengangguk mantap.
"Ya ampun... Ini saat2 menegangkan... Bola ada
pada Odi, 10 detik lagi... Sial, Odi dikepung oleh dua orang... tujuh detik
lagi... Odi masih belum bisa juga melepaskan diri... LIMA DETIK LAGI! Odi
meleparkan bolanya asal saja! Di saat2 penting begini! Apa sih yg dia pikir
-Oh, ternyata ada Orion! Dua detik lagi! Orion menembak dari jarak yg sangat
jauh!"
Orion menunggu detik2 ini, bersama kira2 ratusan
orang lainnya. Bola itu sepertinya melenceng dari ring... Orion bisa
mendengarkan tanda pertandingan berakhir tepat saat dia menembak tadi...
Semuanya serasa menjadi slow motion bagi Orion saat melihat bolanya bergerak
lamban menuju ring. Tampaknya arahnya oke2 saja...
"MASUUK!!" seru announcer, membuat semua
orang bersorak dengan gegap gempita. Orion belum sepenuhnya lega. Semua orang
yg ada di lapangan belum sepenuhnya lega. Mereka tahu di papan nilai tim UII
belum bertambah.
"Oh, tunggu sebentar... Tim UII belum tentu
menang! Orion memembak tepat saat bel pertandingan selesai! Kita dengarkan
keputusan wasit!"
Suasana mendadak hening dan semua mata menatap sang
wasit. Mendadak dia membuat pergerakan dengan kedua tangannya.
"Basket count!!" serunya, membuat kaki
Orion lemas seketika.
Seketika suasana menjadi heboh lagi saat melihat
kedudukan berubah 86-85 untuk kemenangan tim UII.
Orion tidak sadar saat teman-temannya menyerbu dan
menabrak tubuhnya yg lemas. Pikiran Orion kosong dan dia hanya bisa melihat
langit yg biru cerah. Orion terlalu senang untuk merasakan pukulan dan pelukan
kencang dari teman-temannya dan Reno.
"Hebat lo Ri!" seru Odi sambil
mengacak-acak rambut Orion yg basah.
"Dengan demikian, tim UII menang 86-85 atas
tim UK! Piala Turnamen UII Cup tetap di tangan tuan rumah! Good game,
guys!"
"ORIOOON!" seru Lala dan Reina bersama
dari pinggir lapangan sambil melambai-lambaikan tangan. Orion bergegas
mendekati mereka setelah bisa membebaskan diri dari teman- temannya.
"Gila, kamu keren banget!" seru Reina sambil
memeluk Orion penuh rasa haru.
Orion nyengir lalu ber-high five dengan Lala yg
juga nyengir lebar. "Lo emang jago, Ri," kata Lala sambil mengacak
rambut Orion.
"Thanks," kata Orion lagi. "Ini kado
buat lo Rei, sebelum lo berangkat ke Amrik."
"Hua... kadonya bagus banget! Aku sampe
deg-degan tadi!" sahut Reina dengan mata berkaca- kaca.
Orion hanya nyengir melihat ekspresi Reina. Dengan
begini, dia sudah membuktikan kepada Reina kalau dia bukanlah anak kecil yg
cengeng lagi.
Tahu-tahu, Orion melihat sosok Ares yg sedang
berdiri di sebelah pohon tak jauh darinya. Tatapan Ares tak sinis seperti
biasa. Orion merasa Ares sedang memberinya selamat melalui tatapannya itu.
Selama beberapa detik, Orion hanya bisa bengong
menatap kakaknya. Ares lalu tersenyum. Kepada Orion. Orion sampai tidak
memercayai penglihatannya. Untuk pertama kali, Ares tersenyum kepadanya. Senyum
bangga. Orion dengan segera membalasnya dengan cengiran. Ares kemudia beranjak
pergi. Orion merasa lelahnya terbayar. Kakak satu-satunya sudah melihat
perjuangannya. Ares sudah melihat bagaimana Orion bisa membuatnya bangga.
"Ri, maaf ya, Ares nggak dateng. Tadi aku udah
ajak dia, tapi dia nggak mau. Dia sekarang nungguin aku di pintu belakang
kampus, sekalian mau nganter aku ke bandara," kata Reina. "Hah?"
kata Orion bingung, lalu berikutnya dia paham. "Oh, nggak apa2 kok."
Orion tahu Ares tadi menontonnya.
"Yak, sekarang saatnya pengumuman MVP! Dan
dapat ditebak, MVP untuk pertandingan ini adalah Orion dari tim UII!"
Reina dan Lala bersorak bersamaan, sambil mendorong
Orion ke arah panggung. Orion naik ke panggung dengan senyum lebar. Titel juara
dam MVP di tangannya. Selain itu, Ares menonton pertandingannya. Semuanya
terasa seperti mimpi.
Setelah pembagian hadiah dan medali, Orion kembali
menghampiri Reina dan Lala untuk memamerkan medalinya.
"Iya deh, yg medalinya bagus," goda Lala,
lalu tertawa.
"Eh, aku harus cepet2 ke Ares nih, ntar dia
ngamuk nungguinnya kelamaan," kata Reina tiba2, membuat sebuah batu
kembali memenuhi lambung Orion. Reina harus pergi.
"Rei, jangan luapin aku, ya?" pinta
Orion.
Reina bengong sesaat, lalu memukul Orion. "Ya
nggak akan lah!" serunya, lalu memeluk Orion. "Thanks ya Ri, untuk
segalanya. Dan kamu harus janji, kamu bakal baikan sama Ares. Ya?" Orion
mengangguk, lalu melepaskan medalinya, dan mengalungkannya ke Reina. Reina
bengong menatap Orion.
"Hadiah buat kamu. Supaya kamu inget terus
sama aku."
Reina tersenyum manis, lalu mengangguk.
"Orion? Kita punya urusan yg belum
selesai," kata Raul yg muncul tiba-tiba. Orion menoleh, memandang sengit
Raul, lalu kembali menatap Reina dan Lala.
"La, lo anterin Reina ke belakang ya, gue
masih punya urusan," kata Orion, lalu mengikuti Raul
yg sudah jalan duluan.
Reina dan Lala menatap kepergian mereka cemas.
Sementara itu, Ares berjalan tenang menuju pintu
belakang kampus. Sayup2, baru saja didengarnya bahwa Orion adalah MVP untuk
pertandingan ini. Orion memang pantas mendapatkannya. Dan tentang Reno, Ares
tadi sudah sempat menghajarnya sebelum pergi. Ares hanya memastikan Reno tidak
akan melatih tim kampusnya lagi dan pergi untuk selamanya.
Ares berhenti sesaat, lalu merogoh sesuatu dari
saku celananya. Copy formulir Deraya. Sebentar lagi Ares akan kembali ke sana,
untuk melakukan tes bahasa Inggris. Setelah itu, Ares akan mendapatkan Student
Pilot Permit yg sudah lama diinginkannya. Ares sudah tak sabar ingin tahu
bagaimana reaksi keluarganya. Ares tersenyum sendiri. Orion sudah membuatnya
bangga, dan sekarang giliran Ares yg melakukannya.
Saat Ares hendak kembali berjalan, dia berpapasan
dengan sekelompok orang yg terlihat
garang dan membawa balok2 kayu yg ukurannya
superbesar. Ares memerhatikan mereka, merasa pernah melihat mereka di suatu
tempat. Mereka terlihat sangat buru2 dan bersusah payah tidak terlihat banyak
orang. Ares memicingkan mata untuk mengamati mereka, sembari mengingat-ingat.
Karna tak kunjung ingat, Ares memutuskan untuk
kembali berjalan. Tapi beberapa detik setelahnya, langkahnya terhenti. Dia
ingat. Itu kawanan geng suruhan Raul yg pernah dilawannya.
Ares mengumpat sebentar, teringat Orion yg menjadi
MVP dan Raul yg sama sekali tidak
diturunkan, lalu segera berlari sekuat tenaga untuk
mencari Orion. Nyawa adiknya jelas dalam bahaya.
"Jadi?" tanya Orion setelah mereka sampai
di taman yg sepi.
"Jadi, lo udah ngambil kesempatan gue buat
main di final," kata Raul tenang. "Lihat lo, dengan maruknya main di
empat kuarter tanpa diganti, demi MVP. Menjijikkan."
Orion mengangkat bahu. "Bukan gue yg mau main
penuh. Reno yg nyuruh gue."
"Oh, jadi lo nggak bisa nolak," kata Raul
masih dengan nada tenang. "Atau lo malah kesenengan karna gue nggak
dimainin?"
"Heh, sumpah gue juga mau istirahat!"
sahut Orion, mulai emosi. "Tapi Reno nggak kasih kesempatan! Lo tadi liat
sendiri!"
"Lo bisa aja istirahat," Raul
menggeleng-geleng kepala. "Tapi lo memang nggak mau kasih gue kesempatan untuk bisa
lebih baik dari lo."
"Bukan gitu, man! Gue bakal nggak dimainin
lagi kalo gue minta ganti! Dan terus terang aja, gue nggak mau hal itu
terjadi!" sahut Orion panas.
"Oh, jadi inilah sisi lain dari Orion yg
terkenal. Egois, mau menang sendiri, nggak peduli sama nasib orang lain... Gue
bahkan harus nyembah2 sama lo... Lo emang hebat, Ri," kata Raul lagi.
"Tapi lo harus tau, suatu saat lo harus ada di bawah. Gue udah kasih
peringatan buat lo dari kapan tau, dan lo harus tau gimana rasanya kalah."
"Omongan pecundang," tukas Orion sengit.
"Lo terlalu pengecut buat bersaing!"
"Ya ampun, si superstar. Tau apa lo soal
pecundang? Lo nggak pernah kalah dalam hal apa pun! Yg lo tau cuma menang, lo
nggak pernah liat ke bawah! Dan sekarang gue bakal ngajarin lo gimana menjadi
pecundang!" sahut Raul, lalu memberi sinyal dengan tepukan yg tidak dimengerti
Orion.
Sekitar tujuh atau lebih laki2 besar dan kuat tahu2
muncul dari belakang Orion. Orion menatap mereka ngeri, lalu menggeleng marah
kepada Raul.
"Terima kasih Tuhan, gue nggak pernah jadi
pecundang macem lo," kata Orion. "You'll be. About... now?"
Beberapa detik setelah Raul berbicara, seorang
laki2 yg membawa balok menyerbu Orion. Orion berhasil berkelit, tapi dari sisi
lain, laki2 lain menghajar badannya dengan balok besar. Seketika Orion
terjatuh. Tubuhnya sudah terlalu lelah untuk melawan mereka sekaligus. Bahkan
Orion cukup yakin dia akan kalah seandainya hanya Raul yg menghajarnya.
"Yap, yap, gue tau di mana letak kelemahan lo.
Lo nggak bisa berkelahi!" sahut Raul, lalu tergelak kejam. "Ya
ampun... gue terlalu berlebihan ya, pake ngirim sepasukan buat melumat lo.
Padahal gue sendiri juga bisa."
Orion mengutuk Raul, yg segera dibalas dengan
tendangan tepat di pelipis kiri Orion.
"Ngomong apa lo? Nggak kedengeran! Apa gue
denger kata 'tolong'?" sahut Raul disambut tawa geng-nya.
"Gue tadi bilang, PECUNDANG!" sahut Orion
berani.
Raul berhenti tertawa. "Gede juga nyali
lo," katanya, lalu melirik gerombolan tadi. "Hajar dia sampe
mampus."
Orion bisa merasakan tulang rusuknya patah saat
ditendang oleh salah satu preman itu.
Pukulan2 lain dilayangkan bertubi-tubi ke badannya
yg lemah. Orion terbatuk, dan mengeluarkan darah.
Orion berguling di rumput, kesakitan. Dia mencoba
untuk menahan rintihannya. "Sakit, hah? Itu dia rasanya kalo kalah,"
kata Raul lagi. "Hajar lagi."
Baru ketika kawanan itu hendak menyerang Orion
lagi, Ares muncul dan menghajar salah satunya. Orion mendongak dan mendapatinya
sedang menghajar beberapa orang lagi dengan tangguhnya.
Mendadak, Raul pucat. Ares bukanlah orang yg ingin
dihadapinya. Ares sudah terkenal sebagai jago berkelahi di kampus ini. Tujuh
atau delapan orang kuat sama saja. Mereka tak akan menang. Menyadari ini, Raul
segera meninggalkan tempat itu sementara pasukannya sedang bergulat dengan
Ares.
Ares menghajar pelipis seseorang dengan buas, lalu
menarik kerah yg lain untuk ditendang.
Ares sudah benar2 marah. Adiknya sudah dikeroyok
tujuh lawan satu sampai terjatuh. Ares tidak menyadari bahwa Reina dan Lala ada
di tempat itu sampai dia mendengar terikan histeris Reina. "Ri, lo minggir
sana!" sahut Ares sambil memiting tangan seseorang yg berambut gondrong.
"La, lo telepon polisi!"
Orion segera merangkak menjauhi baku hantam yg
terjadi, lalu mendekati Reina yg sudah terisak. Reina segera mengeluarkan sapu
tangannya lalu mengelap darah yg keluar dari mulut Orion. Lala dengan gemetar
menekan nomor telepon polisi.
"Kamu nggak apa-apa, Ri?" tanya Reina yg
sudah terisak hebat.
Orion tidak menjawab. Dia memandangi sosok Ares yg
dengan gagah berani menghadapi tujuh orang sekaligus. Karna tak bisa berbuat
apa2, mereka bertiga hanya bisa menonton Ares yg mati-matian berkelahi.
Ares mulai kewalahan. Tujuh orang itu bergerak
secara sekaligus. Orion menyesali keadaannya yg tak bisa membantu Ares.
"Halo? Polisi? Ada kerusuhan, Pak..."
"Aku panggil orang2 terdek-"
Belum sempat Reina menyelesaikan kalimatnya, dia
menyaksikan sendiri Ares terpukul telak di perut sehingga dia terhuyung-huyung.
Reina menekap mulutnya. Lala juga sudah berhenti berbicara.
Kejadian selanjutnya terjadi sangat cepat di depan
mereka bertiga. Ares sedang menghadap ke arah mereka sehingga itu terlihat
sangat jelas.
Ares lengah. Dia tidak menyadari bahwa ada
seseorang di belakangnya yg membawa balok besar. Dia sedang sibuk melawan dua
orang di depannya. Orang itu mengayunkan baloknya ke arah kepala Ares, dan
mengenai belakang kepalanya secara telak. Bunyi 'duak' mengerikan terdengar
jelas di telinga Orion. Dan dalam hitungan detik, darah segar muncrat dari
kepala Ares. Seakan dalam gerakan lambat, Ares terdiam, berhenti bergerak, lalu
roboh ke tanah. "ARES!" sahut Orion, memecah keheningan.
Reina terduduk, wajahnya pucat pasi melihat Ares yg
menelungkup. Wajahnya mencium tanah yg sudah basah oleh darah. Ponsel terlepas
begitu saja dari genggaman Lala. Semuanya merasakan hal yg sama. Ketakutan yg
luar biasa.
Orion yg pertama sadar. Dia merangkak mendekati
Ares yg terkapar, tapi sepertinya kakaknya itu masih sadar. Kawanan itu terkekeh
puas, lalu menginjak-injak tubuh Ares dengan buas. "JANGAN!" sahut
Orion pilu. "JANGAN!"
Orion dapat melihat dengan jelas tubuh Ares yg
mengejang. Orion sendiri tidak dapat bergerak
lagi. Tubuhnya sudah kaku, dan pandangannya sudah
kabur. Tidak, dia harus menolong Ares, harus...
"JANGAN MATI DULU, RES!" Orion berusaha
sekuat tenaga mendorong tubuhnya yg terasa lumpuh. "LO HARUS TETAP
SADAR!"
"ADA APA INI?"
Sesorang menyahut, yg ternyata satpam kampus dan
beberapa orang lain yg mendengar keributan itu.
Seketika, kawanan itu kocar-kacir ke segala arah
karna tertangkap basah. Satpam itu tak bisa
berbuat apa pun untuk mengejar mereka. Dia hanya
berteriak untuk meminta bantuan lalu bergerak menuju Ares.
"Pak, tolong dia Pak...," kata Orion
lemah sebelum kesadarannya menghilang. "Tolong dia... dia kakak
saya..."
"Res, ayo kita ke Dufan," kata Ibu dengan
senyum selembut peri.
"Bener, Bu? Kita ke sana?" sahut Ares tak
percaya. Ibu mengangguk. "HORREE!" "Tunggu dulu," sambar
Ayah tiba2. "Nanti malem kamu habisin dulu bacan ini. Kalo besok selesai,
baru kita pergi ke Dufan."
Ares mengangguk bersemangat. Akan dibacanya habis
buku ini. Seumur hidup Ares sudah memimpikan Dufan, dan dia tidak akan
menyia-nyiakan kesempatan ini. Besoknya, Ares tampak murung.
"Gimana Res, bukunya?" tanya Ares.
"Yah, semalem Ares muntah," kata Ares
jujur.
"Apa? Muntah? Kamu sakit, Nak? Ya sudah,
kapan2 saja kita ke Dufan," kata Ibu khawatir sambil memegang dahi Ares.
"Ya, kapan2 saja kita ke Dufan, kalau kamu
udah berhasil selesai membaca buku yg kemarin Ayah kasih."
Ares menatap sedih ayahnya. Dia sadar. Sampai kapan
pun, dia tak akan pernah melihat Dufan.
Ares membuka matanya perlahan. Sangat silau. Dan
kabur. Kepalanya nyeri, rasanya seakan mau pecah. Oh, mungkin saja sudah pecah,
Ares tak tahu lagi. Yg jelas kepalanya berdenyut hebat, menyakitkan, dan
membuatnya ingin muntah. Yg pertama dilihatnya adalah Ayah. Dia tertidur di
samping Ares. Ares mengerjapkan matanya, lalu dia bisa melihat Orion di
seberang ruangan yg sedang membaca koran. Pipinya lebam dan dia memakai baju
pasien, sama seperti dirinya.
Orion tidak sengaja melirik Ares dan mendapatinya
sudah siuman. Dia langsung melompat lalu mendekati Ares, melupakan luka di
tubuhnya sendiri.
"RES! Lo udah siuman? Syukurlah... Yah, Ares
udah sadar, Yah!" sahut Orion bersemangat. Ares mengernyit melihat wajah
Orion yg babak belur dan tangannya yg digips.
Ayah bergerak bangun, lalu menatap Ares. Entah apa
Ares bermimpi, tapi jelas2 bisa melihat kalau Ayah baru menangis. Ayah.
Menangis. Bukan hal yg bisa diimpikan Ares.
"Ri, panggil Ibu sama Reina," perintah
Ayah, membuat Orion segera keluar. "Res, kamu udah koma hampir
sejam," kata Ayah sambil menahan tangis. "Ayah pikir kamu nggak akan
sadar lagi."
Ares tak menjawab. Otaknya dipenuhi pikiran
mengharukan bahwa ayahnya tidak marah karna dia habis berkelahi, dan malah
menangis.
Seakan belum cukup membuat shock, Ayah mengusap
dahi Ares dengan penuh kasih sayang. Tak lama kemudian, terdengar suara Ibu yg
tergopoh-gopoh masuk.
"Ares!!" serunya sambil menghambur ke
arah Ares. Air matanya sudah berlinang-linang. "Ya ampun Ares, Ibu sayang
banget sama Ares!"
Orion bergabung dengan keluarganya, lalu menatap
Ares hangat. "Thanks, Res," kata Orion tulus.
Ares hanya tersenyum lemah menghadapi keluarganya.
Diliriknya Reina yg sudah hamper menangis di samping Orion. "Hai,"
bisik Ares lemah.
Reina tersenyum, lalu mendengus sebal.
"Bego," katanya, lalu terkekeh.
Saat ini, Ares merasakan kebahagiaan yg luar biasa.
Dia sampai merasa mati pun tidak apa2 kalau bisa mendapatkan perhatian yg
selayak ini.
"Anak Bapak mengalami gegar otak," kata
dokter Ardi, dokter yg menangani Ares. "Dia sudah mengalami gejala2
vegetatif, pusing dan muntah2. Hal ini wajar saja, berhubung dia sudah
mengalami koma selama hampir satu jam dan baru siuman dari operasi beberapa
hari setelahnya."
"Apa cukup parah Dok?" tanya Ayah
khawatir. "Apa dia bisa sembuh?"
"Begini, Pak. Kemungkinan sembuh itu selalu
ada, tetapi mungkin tidak seratus persen. Kita harus melihat perkembangan anak
Bapak. Sejauh ini perkembangannya bagus, dia bahkan masih bisa mengingat
semuanya dengan baik, tapi kita tidak tahu apa yg akan terjadi selanjutnya.
Bapak harus waspada dengan gejala2 lain yg bisa timbul," jelas Dokter
Ardi. Ayah dan Ibu saling melirik cemas. Orion bisa melihatnya dari balik bahu
mereka.
"Kapan dia bisa pulang, Dok?" tanya Ibu
dengan suara gemetar.
"Setelah keadaannya membaik. Mungkin seminggu
lagi dia boleh pulang. Tapi saat di rumah nanti, Anda harus melakukan
pengawasan. Dia mungkin akan mengalami gangguan bicara, dan mungkin juga
gerakan. Lebih utama lagi, dia mungkin akan menjadi lebih sensitif dan
ingatannya bisa melemah sejalan dengan waktu. Jadi, lebih baik menjaga
perasaannya," kata dokter Ardi lagi. "Bapak dan Ibu harus rajin
membawanya check up, terutama kalau dia sudah menunjukkan tanda2 tadi."
Ayah dan Ibu menghela napas secara bersamaan.
Mereka sangat mengharapkan keadaan Ares cepat membaik, sehingga dia bisa dapat
pulang secepatnya.
Orion juga. Bahkan, tidak ada yg lebih diinginkannya
daripada kehadiran kakaknya yg judes di rumah itu sekarang.
Selama tiga minggu Ares berada di rumah sakit,
Reina selalu menemaninya. Sesekali Reina membacakan cerita dari buku yg dulu
tidak bisa dihabiskan Ares, yg ternyata ditemukan Reina di dalam lemari pakaian
Ares.
Ares bukannya membaik. Keadaannya saat ini bahkan
jauh lebih menyedihkan daripada saat pertama dibawa ke rumah sakit. Tubuhnya
semakin kurus dan wajahnya pucat. Belum lagi Ares sering mengalami kejang
secara tiba2, membuat Reina sempat histeris di awal2. Seluruh keluarga sudah
mulai pasrah dan menerima kondisi Ares, tapi Reina belum. Reina masih belum
bisa melihat Ares menderita seperti ini. Ares yg harusnya bisa dibawa pulang
seminggu setelah operasi, akhirnya tetap berada di rumah sakit karna kondisinya
yg buruk.
Ares juga tidak bisa bicara normal. Dia sering
berbicara gagap, dan tak jarang salah memanggil nama orang2 yg datang
menengoknya. Untunglah Reina selalu ada di sisinya, jadi Ares tak pernah salah
memanggil namanya.
Reina selalu menangis di tengah malam karna saat
dia tertidur, mimpinya selalu sama. Selalu tentang perkelahian siang itu. Reina
malah menyaksikan Ares meninggal menggunakan baju putih. Reina jadi takut
tidur. Akhir2 ini, dia jadi jarang tidur. Dia sangat takut mimpinya menjadi
kenyataan.
"Rei?" bisik Ares lemah di balik tabung
oksigennya.
Reina segera menghapus air matanya. "Kenapa
Res?" tanya Reina sambil tersenyum.
"Kenapa kamu nangis?" bisik Ares lagi.
"Nggak nangis," Reina memegang tangan
Ares yg kurus dan terasa dingin.
"Aku lagi berdoa buat kesembuhan kamu."
Ares tidak menjawab Reina. Dia hanya menatap Reina lama. Ares ingin selalu
menatap wajah Reina sebelum dia melupakannya. Ares tak mau melupakan Reina.
Bukannya Ares tak tahu. Dia sadar, selama beberapa hari ini dia sudah terlalu
banyak melupakan apa pun. Ingatannya sudah tak sebaik dulu.
"Janji, Res," Reina meletakkan tangan
Ares di pipinya.
"Jangan pernah tinggalin aku." Ares
menatap Reina lagi. Dia tidak bisa berjanji. Kepalanya akhir2 ini terasa sangat
sakit hingga membuatnya tidak tahan, belum lagi dia sudah sangat sering
kejang2. Bukannya Ares tidak mau berjanji -meninggalkan Reina adalah pilihan
terakhir yg ingin dibuat Ares- tapi Ares juga tak tahu apa yg akan terjadi
kepadanya nanti.
"Rei," bisik Ares lemah. "Kalaupun
cuma ada satu lagi doaku yg bisa dikabulin Tuhan, aku mau hidup lebih lama
lagi. Karna aku sayang kamu. Karna aku sayang keluargaku." Reina berusaha
sekuat tenaga menahan tangisnya.
"Aku juga sayang sama kamu, Res. Sayang
banget," kata Reina. Setetes air mata mengalir dari matanya.
"Rei, jangan nangis. Please. Someday you'll
live without me," bisik Ares lagi, lalu terkekeh pelan. "And I'll be
watching you from heaven. Only if God trusts me to get there." Reina
terdiam dan hanya memelototi Ares yg sudah berhenti terkekeh. Seenaknya Ares
bicara bercanda seperti itu di saat2 seperti sekarang ini.
"All you have to know is, I love you. And I
will always do, till death do us part." Reina kembali
menangis sambil mengawasi senyum Ares yg perlahan
memudar.
"I'll love you even though we're no longer
alive. I'll love you more than you know," bisik Reina di telinga Ares,
lalu jatuh tertidur di sampingnya.