BAB 4
Kiara
melirik ke arah Joshua dengan takut-takut, mendadak merasa tidak nyaman berada
di dalam mobil itu, apalagi ekspresi Joshua tampak sangat marah, sedikit
menakutkan.
Lelaki
itu mencengkeram kemudi kuat-kuat dan kemudian sedikit mengebut, untunglah
mereka ada di jalan tol yang lengang, sehingga mereka sedikit aman. Tetapi
walaupun begitu, jantung Kiara serasa berpacu ketika Joshua semakin dalam
menginjak gas mobilnya, membuatnya berpegangan pada sabuk pengamannya dan
berdoa dalam hati karena ketakutan.
Kalau
gaya Joshua menyetir seperti ini, dia tidak akan mau pergi semobil berdua
dengan laki-laki itu lagi. Kiara berjanji dalam hati, melirik
ekspresi lelaki itu yang sangat gusar.
Kenapa
Joshua tampak begitu marah? Telepon siapa itu tadi?
***
Mereka
sampai di apartement Joshua dan lelaki itu masih membisu, membuat suasana tidak
enak, lelaki itu lalu membuka pintu apartemennya dan mempersilahkan Kiara
masuk,
“Silahkan,
anggap seperti rumah sendiri.” Joshua bergumam memecah keheningan, dia lalu
masuk di belakang Kiara dan membanting tubuhnya di sofa, menyalakan televisi.
Lama
kemudian suasana tetap hening sehingga Joshua menoleh ke belakang dan
mengangkat alisnya ketika melihat Kiara masih berdiri di sana dengan gugup di
dekat pintu sambil meremas-remas jemarinya.
“Kenapa
kau masih berdiri di situ?” Joshua tampak terkejut menatap Kiara.
Pipi
Kiara merah padam, dia tampak malu, “Eh... aku... aku tidak tahu harus
kemana...”
Joshua
menghela napas panjang menghadapi kepolosan Kiara, perempuan ini luar biasa
polosnya hingga Joshua merasa menjadi serigala yang sedang berusaha menerkam
gadis kecil bertudung merah yang tidak tahu apa-apa.
Dengan
sedikit gusar Joshua berdiri, merasa agak menyesal karena suasana hatinya yang
buruk membuat Kiara terkena imbasnya. Ya. Telepon pengacaranya tadi benar-benar
merusak moodnya. Joshua langsung menutup telepon setelah mengucapkan penolakan
yang kasar, tidak memberi kesempatan pengacara ayahnya untuk berbicara.
Dasar
lelaki tua yang kurang ajar. Meskipun tahu itu salah, Joshua terus
menerus mengutuki ayahnya. Seenaknya saja dia berusaha kembali mengatur
kehidupan Joshua setelah dulu dia meninggalkan Joshua dan ibunya, apakah dia
pikir Joshua adalah manusia yang tertarik dengan gelar dan harta? Tidak! Lelaki
tua itu seharusnya tahu betapa puasnya Joshua karena menolak permintaannya,
Joshua bahkan akan sangat senang kalau lelaki itu memohon dan menyembah-nyembahnya
dan dia akan tetap menolak permintaan lelaki tua itu dengan puas.
Setelah
menghela napas panjang, Joshua menatap Kiara yang tampak kebingungan dengan
ekspresinya yang berubah-ubah. Kasihan juga gadis ini. Harinya sudah buruk dan
Joshua yakin demamnya masih belum begitu reda, sekarang harus menghadapi
emosinya pula.
“Sini,
kutunjukkan kamarmu. Sebenarnya ini kamar yang sama yang kau tempati ketika
sakit tadi.” Walaupun begitu Joshua tidak bisa menahan suaranya yang terdengar
ketus, “Lain kali jangan bersikap canggung di sini, kita hanya berdua dan sikap
canggungmu membuat suasana tidak enak. Lakukan apa yang kau suka, anggap saja
rumah sendiri, kalau kau ingin menonton televisi silahkan, kalau kau ingin
membuat makanan silahkan, lakukan apa saja yang kau suka, nanti kita akan
membahas beberapa aturan, apa yang boleh dan tidak boleh di rumah ini, tapi
sekarang kau boleh beristirahat dulu. Aku juga lelah, mau tidur siang.” Sambil
terus berbicara, Joshua mendahului Kiara yang terbirit-birit mengikutinya
melangkah ke kamar kedua di apartemen yang cukup luas itu, Joshua membuka pintu
kamar itu dan melirik ke arah Kiara, “Masuklah dan istirahatlah dulu, nanti
sore kita bicara.”
Setelah
itu, tanpa melirik sedikitpun pada Kiara, Joshua berlalu.
“Te...terimakasih...”
Kiara berseru gugup, entah Joshua mendengarnya atau tidak karena lelaki itu
sudah melenggang kembali ke ruang tengah.
***
Kiara
memasuki kamar itu, kamar yang sama tempatnya di rawat ketika demam. Dia
terperangah ketika melihat luasnya kamar itu. Semuanya lengkap, dari ranjang
busa yang besar di tengah, lemari berwarna krem yang elegan dan meja rias yang
dilengkapi dengan kaca minimalis yang begitu bening. Ada sebuah televisi besar
di dinding, televisi layar datar yang hanya pernah Kiara lihat di televisi....
dan juga AC.....tentu saja kamar ini ada ACnya, Kiara tersenyum merasa malu
karena sadar dia benar-benar kampungan.
Di
kamar kontrakannya tidak ada AC, bahkan kipas anginpun tidak ada karena Kiara
tidak mampu membelinya. Pernah dia membawa tabungannya yang berhasil disisihkan
dari uang makannya, sejumlah tujuh puluh lima ribu rupiah ke sebuah supermarket
yang di dalamnya juga menjual barang-barang elektronik. Pada akhirnya Kiara
keluar dengan tangan kosong, menggenggam uang tabungannya itu di tangannya.
Ketika sudah melihat-lihat berbagai merek kipas angin, dia mendapati bahwa yang
termurah, dengan ukuran paling kecil dan merk menengah adalah seharga sembilan
puluh ribu rupiah. Ada beberapa dengan merk tidak terkenal masih mematok harga
tujuh puluh ribuan. Tetapi bukan hanya harga yang membuat Kiara batal membeli,
benaknya tiba-tiba memutuskan bahwa dia bisa bertahan tanpa memakai kipas
angin, bahwa uang itu sebaiknya disimpan untuk keperluan lain yang lebih
penting, seperti membeli sabun mandi atau shampo dan berbagai keperluan rumahan
lainnya. Alhasil Kiara harus melalui lagi malam-malam di panasnya Jakarta
dengan udara lembab dan lengket, dengan nyamuk yang tak kalah galaknya. Tetapi
setidaknya hatinya tenang karena dia masih memegang uang simpanannya sebagai
pegangan di kala perlu.
Dan
sekarang, melihat AC itu kiara tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya, dia
mengucapkan selamat tinggal kepada malam-malamnya yang panas dan penuh
keringat. Dengan ingin tahu, Kiara menyalakan AC itu, memejet tombol ON. Kiara
tahu cara menyalakan AC karena dia sering menyalakan dan mengatur suhu AC di
cafe tempatnya bekerja dulu. Dan kemudian, ketika AC itu menyala, udara sejuk
langsung menghembusnya. Membuat senyumnya makin lebar.
Setelah
yakin pintu kamarnya tertutup dan Joshua tidak bisa melihatnya, Kiara duduk di
ranjang itu, menepuk-nepuknya dan sekali lagi tersenyum senang, ranjangnya
empuk. Tidak seperti ranjang lembek dan keras entah dengan usia berapa lama di
kamar kontrakannya yang penuh dengan serangga tak terlihat, kadang terasa
menggigit kulitnya dan menimbulkan ruam-ruam di kulitnya. Ranjang yang ini
pasti tak ada serangganya... pikir Kiara sambil menepuk-nepuknya lagi, dan
ranjang ini empuknya luar biasa.
Puas
menikmati empuknya ranjang itu, Kiara meraih tas-nya dan mulai berbenah. Di
bukanya lemari empat tingkat berwarna krem itu dan mulai memindahkan pakaiannya
ke dalam lemari, ketika selesai dia tersenyum masam dan merasa malu,
keseluruhan pakaiannya bahkan tidak bisa memenuhi satu tingkat yang paling atas
di lemari itu, lemari itu jadi tampak kosong dan menyedihkan. Tetapi tidak
apa-apa, Kiara tidak malu dia hanya punya sedikit pakaian, setidaknya dia masih
bisa berganti pakaian setiap hari dan bersih serta wangi, biarpun pakaiannya
sedikit, Kiara tidak pernah memakai pakaian yang sama selama beberapa hari,
setiap dia memakai baju, ketika mandi, dia selalu mencuci pakaiannya sehingga
ketika keesokan harinya pakaiannya sudah kering dan wangi lagi. Untuk
menyeterika dia bisa meminjam seterika ibu kontrakannya, dan membayar biaya
listriknya dengan sekalian menyeterika cucian ibu kontrakannya yang setumpuk
banyaknya, karena ibu kontrakan selain memiliki suami yang berbadan besar, juga
memiliki empat anak yang masih kecil-kecil. Bisa dibayangkan Kiara membutuhkan
waktu seharian penuh di hari liburnya untuk menyeterika semuanya.
Kiara
lalu mengatur kosmetiknya dimeja rias yang besar dan lagi-lagi meja itu tampak
kosong dan menyedihkan karena Kiara hanya punya satu bedak tabur, satu lipstick,
deodoran dan satu splash cologne murahan yang dibelinya di minimarket, serta
satu sisir kecil, Kiara menambahkan sambil tersenyum, kosongnya meja rias itu
tidak mengganggunya, malahan membuatnya terkikik geli, menertawakan dirinya
sendiri. Ya ampun. Kamar ini begitu bagusnya, terlalu bagus dan sempurna untuk
dirinya!
Setelah
puas memandang suasana kamarnya yang sejuk, Kiara melongok ke arah kamar mandi.
Ada kamar mandi pribadi di dalam kamar ini! Lagi-lagi Kiara membayangkan ketika
tinggal di kamar kontrakan dimana dia harus berbagi kamar mandi dengan ibu
kontrakan dan keluarganya, serta empat orang penyewa kamar kontrakan lainnya.
Kiara
melihat sabun, shampoo yang telah tersedia dalam wadah khusus di dinding, dia
menambahkan sikat giginya dan tersenyum bahagia.
Sambil
bersenandung, Kiara membanting tubuhnya di ranjang matanya tersenyum menatap
langit-langit kamar itu.... bahkan langit-langit kamarnyapun indah.... hatinya
dipenuhi rasa syukur. Alangkah baik hatinya Joshua memberkan tempat tinggal
untuknya, tempat seindah ini yang sama sekali tidak dibayangkannya. Kiara
berjanji dia akan menjadi pelayan yang terbaik untuk Joshua.
***
Ketika
terbangun, mata Kiara langsung terarah ke arah jam besar di dinding, dia
sedikit terperanjat dan langsung duduk. Rupanya dia ketiduran akibat suasana
kamar yang begitu nyaman. Dan sekarang sudah jam lima sore. Astaga... betapa
malunya Kiara, dia telah berjanji dalam hati akan menjadi pelayan yang baik,
tapi yang dilakukannya malahan tidur begitu lama.
Setengah
melompat, Kiara masuk ke kamar mandi, dan mandi. Merasa takjub bahwa air di
kamar mandi itu bisa disetel panas ataupun dingin. Setelah selesai, Kiara
memakai pakaiannya dan membuka pintu kamar dengan hati-hati.
Suasana
tampak lengang, ruangan apartemen remang-remang, dan hanya terdengar suara TV
yang sayup-sayup, Kiara melangkah ke ruang tengah dan mendapati Joshua sedang
tidur tengkurap di sofa, lelaki itu telanjang dada, hanya mengenakan celana
panjang santai dan tampak sangat lelap. Pipi Kiara memerah ketika mengamati
punggung telanjang Joshua yang berotot, dia melangkah dengan sangat hati-hati
melewati Joshua dan kemudian melangkah menyeberangi ruang tengah menuju dapur.
Kiara
akan memasak makan malam dan membuat teh hangat, setidaknya ketika Joshua bangun,
makanan sudah tersedia.
Di
dapur, Kiara melihat sebuah kulkas besar berwarna hitam, dengan hati-hati Kiara
membuka kulkas itu dan sedikit merenung melihat isinya. Joshua rupanya tidak
suka memasak, yah dia kan lelaki bujangan yang tinggal sendirian, buat apa
repot-repot memasak kalau bisa membeli atau pesan antar makanan? Kiara melihat
bahan makanan yang seadanya di sana. Ada sosis di freezer, dan di kotak sayuran
di bagian bawah ada wortel dan brokoli. Kiara memutuskan membuat sup sederhana.
Karena
tidak ada kaldu, Kiara merebus sebagian sosis dengan potongan besar hingga
airnya berminyak, lalu memasukkan bawang yang sudah ditumisnya dengan mentega
ke sana – untunglah Joshua mempunyai beberapa siung bawang putih yang sudah
setengah mengering di kulkasnya – Aroma harum langsung tercium ke seluruh
penjuru dapur. Kiara lalu memasukkan wortel yang sudah di potong-potongnya,
sementara brokolinya akan dimasukkan belakangan setelah air mendidih. Setelah
itu, Kiara membumbui supnya dan mencicipinya. Rasanya lumayan, meskipun dengan
bumbu dan bahan yang lebih lengkap, sup ini akan terasa lebih enak.
Tidak
ada nasi, tetapi ada kentang di kulkas, Kiara memutuskan membuat kentang
tumbuk. Beberapa kentang yang sudah dikupas, di kukus sampai empuk, lalu
dihancurkan dengan dicampur sedikit garam, krim kental dan susu tawar kental.
Selain itu Kiara membuat scramble eggs sebagai lauknya. Dan jadilah
masakannya itu.
Ketika
Air mendidih dan Kiara menyeduh teh, tiba-tiba sosok Joshua sudah berdiri
bersandar di ambang pintu dapur.
“Baunya
enak.”
Kiara
memekik, hampir menjatuhkan teko teh-nya. Untunglah dia sigap menahannya, kalau
tidak Kiara mungkin harus masuk rumah sakit karena tersiram air panas yang baru
mendidih. Dengan gugup Kiara menatap Joshua dan tersenyum,
“Aku
memasak dengan bahan seadanya di kulkas, kuharap kau tidak marah karena aku
lancang.”
Joshua
mengangkat bahunya, masih bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana
santainya yang sedikit melorot di pinggang, dia tampaknya tidak terganggu
dengan pipi Kiara yang memerah karena penampilannya, lelaki itu duduk di kursi
tinggi di meja dapur, dan bertopang dagu,
“Sini
ambilkan aku makanan, aku lapar.”
Kiara
langsung mengambil mangkuk dan menyendokkan sup yang masih panas di sana, dia
juga mengambil kentang tumbuk di piring bersebelahan dengan scramble
eggs yang dia buat.
Dengan
was-was Kiara mengamati Joshua makan, takut kalau lelaki itu memuntahkan makanannya
karena tidak menyukai rasanya. Tetapi yang ditakutkan Kiara tidak terjadi,
lelaki itu makan dengan lahap dan cepat, dan ketika di tengah makan, Joshua
mengangkat kepalanya dan mengernyit,
“Kenapa
kau tidak ikut makan?” Tanyanya.
Kiara
meremas-remas kedua tangannya, kebiasaannya jika merasa gugup dan bingung,
“Aku...
eh... bukankah pelayan tidak makan bersama majikan? Biasanya seperti di
sinetron-sinetron, pelayan makan di dapur setelah majikannya makan.”
Joshua
terkekeh, tawa yang mencairkan wajah dinginnya yang tampan,
“Memangnya
kau hidup di jaman feodal apa? Lain kali kurangilah nonton sinetron yang penuh
intrik palsu itu Kiara, ayo makanlah!”
Karena
perintah Joshua terdengar begitu tegas, Kiara akhirnya menyerah dan memutuskan
makan bersama Joshua, dia lalu mengambil makanannya, tak henti-hentinya berucap
syukur atas makanan yang tersedia begitu mudah untuknya tanpa perlu mencemaskan
hari esok lagi. Dan kemudian melahap makanannya dengan senang, ternyata dia
lapar.
Joshua
hanya tersenyum menatap Kiara, mereka lalu menyelesaikan makannya dan Joshua
melompat berdiri, melirik ke arah teko teh yang sudah disiapkan Kiara. Teh
melati yang harum mengepul dengan aroma yang menggoda selera. Joshua sebenarnya
lebih memilih kopi. Tetapi sepertinya Kiara harus diajari untuk menggunakan
mesin kopi, menggiling bijinya dan menciptakan takaran kopi hitam sesuai
seleranya, perempuan itu pasti hanya bisa membuat kopi instan.
“Bawa
teh-nya ke ruang tengah, ayo kita bicara sambil minum teh.” Gumamnya sambil
berlalu.
Dengan
segera, Kiara mengambil nampan dan meletakkan teko teh beserta beberapa cangkir
di sana, lalu mengikuti Joshua ke ruang tengah.
Joshua
sudah duduk di sofa, matanya mengarah ke televisi besar yang sedang menayangkan
pertandingan basket, dia lalu menatap Kiara yang meletakkan nampan itu di meja,
dan berdiri ragu-ragu di sana,
“Duduklah,
kau tidak akan duduk di lantai seperti pelayan-pelayan di jaman feodal bukan?”
gumam Joshua ketika lama Kira tidak juga duduk, dalam hati dia
menggeleng-gelengkan kepala. Pantas saja gadis ini ditindas oleh atasannya yang
jahat itu, dia benar-benar lemah dan polos.
Kiara
duduk di ujung sofa dengan ragu, menatap Joshua yang bersila dengan santai
sambil sesekali mengarahkan pandangannya ke televisi,
“Kau
mungkin perlu berbelanja, di lantai basement apartement ini ada supermarket
yang menjual sayuran dan bahan makanan, kau bisa memenuhi kulkas dengan
berbelanja di sana, belilah apapun yang kau perlukan untuk memasak, aku akan
memberimu uang belanja.”
Kiara
menganggukkan kepalanya, menyimpan rasa kagumnya pada apartemen ini yang bahkan
mempunyai fasilitas supermarket di lantai bawahnya. Orang kaya memang selalu
dimudahkan dalam segala hal... batinnya.
“Dan
kita akan tinggal bersama di sini, aku sebenarnya tidak punya aturan ketat,
hanya ada beberapa yang harus dihormati. Pertama, aku tidak begitu suka suara
bising, jadi kalau kau mau menyalakan televisi atau apa, atur suaranya supaya
tidak berisik. Kedua, aku tidak suka susu putih, kecuali di campur dengan kopi,
jadi jangan memberikanku itu... Ketiga aku biasanya bekerja di malam hari,
mulai jam sembilan malam, dan karena itu aku membutuhkan tidur yang lama di
pagi harinya, biasanya aku bekerja jam sembilan malam sampai jam lima pagi lalu
aku akan sarapan dan tidur jam sembilan pagi sampai sore dan aku tidak suka
diganggu....”
Sampai
di situ Kiara mengernyit, berusaha memahami gaya hidup Joshua tetapi tetap saja
tidak paham. Lelaki ini seperti vampir, bekerja di malam hari dan tidur ketika
ada matahari.
“Kau
mendengarkan?” Joshua menegurnya, membuat Kiara tergeragap.
Ketika
sudah mendapatkan perhatian Kiara, Joshua melanjutkan, “Sampai di mana tadi?
Hmm Oh ya.. keempat....”
Tiba-tiba
terdengar suara bel di pintu, membuat Joshua mengernyit karena merasa
terganggu.
“Siapa
yang bertamu tanpa pemberitahuan itu?” gerutunya, melangkah ke arah pintu dan
mengintip. Ketika tahu siapa yang berdiri di depan pintunya, Joshua mendesah
kesal, tetapi tetap membuka pintunya itu,
“Apa
yang kau lakukan di sini, Jason?”
Seorang
lelaki yang amat sangat tampan melangkah dengan senyum lebar, memasuki ruangan.
Kiara terpesona, karena lelaki itu... sungguh terlalu tampan sampai bisa
dikatakan cantik. Ada sesuatu di tangannya, lelaki itu memegang wadah biola
dari bahan kulit kaku berwarna cokelat gelap. Lelaki itu pemain biola?
Dan
kemudian, Jason masuk menatap Joshua masih dengan senyumannya, tidak
mempedulikan tatapan kesal Joshua,
“Aku
butuh bantuanmu teman. Ada seorang perempuan yang dijodohkan ibuku untukku dan
dia terus memaksa meskipun aku menolaknya mentah-mentah. Ibuku mengatakan
karena adikku Keyna sudah menikah dengan si brengsek Davin yang beruntung itu,
aku tidak boleh terlalu lama menunda pernikahan. Parahnya... perempuan yang
dijodohkan oleh ibuku itu mengejar-ngejarku sampai nyaris menakutkan.” Jason
mengangkat bahunya, “Jadi aku melarikan diri dari rumah, mengatakan harus
menjalani pelatihan intensif yang tidak bisa diganggu, dan sepertinya aku harus
merepotkanmu, aku tahu kau punya apartemen tiga kamar dengan dua kamar yang
masih kosong, jadi izinkanlah aku menumpang sementara di sini.”
Hahahaha jd ingt sama davin keyna..jasonn yg sabar ya hahaha
ReplyDelete