Bab 3
I Don't Want Her
ARES mengisap rokoknya dalam2 sampai dadanya terasa
sesak, lalu mengembuskannya keras2. Dibenturkannya bagian belakang kepalanya ke
pohon sehingga terasa sakit, lalu dia menengadah ke langit.
Tadi, setelah melihat Reina dan Orion bersama di
gazebo, Ares segera berjalan kalap keluar rumah tanpa memedulikan teriakan
Ayah, lalu akhirnya sampai di tempat ini, taman tempat Ares, Reina, dan Orion
berjanji sepuluh tahun lalu. Ares juga tidak tahu mengapa kakinya membawanya ke
tempat ini.
Ares berjongkok, bersandar pada pohon yg
bertuliskan 'Ares-Rei-Rion', lalu mengisap rokok lagi. Orion. Dia selalu saja
mengambil apa pun milik Ares. Ayah dan Ibu. Semua pemberian Ayah dan Ibu. Lala.
Juga Reina.
Ares mendengus keras. Reina. Gadis itu bukan milik
Ares. Gadis itu mungkin saja sudah menjadi milik Orion. Seperti semuanya, Orion
tidak akan melepaskan begitu saja Reina yg pernah menjadi bagian dari hidup
Ares.
Masih menjadi bagian dari hidup Ares.
Ares membenturkan kepalanya lagi dengan lebih keras
ke pohon untuk menyingkirkan pikirannya barusan. Reina sudah keluar dari
hidupnya sejak sepuluh tahun yg lalu, sejak Reina memutuskan untuk pergi ke
luar negeri. Reina sudah tak ada baginya. Saat ini, yg ada di rumahnya hanyalah
gadis biasa yg akan menjadi kekasih Orion.
"Ares?"
Ares menundukkan kepala, melihat siapa yg
memanggilnya. Sebenarnya, Ares tak perlu melakukannya, karna dia sudah tahu
dari suaranya.
Reina. Berdiri tepat di depan Ares dengan kedua
tangan di depan dada. Ares mendengus melihat gadis itu, yg lebih terlihat
defensif daripada kedinginan.
"Ngapain kamu di sini? Kenapa nggak
pulang?" tanya Reina cemas.
"Lo bukan istri gue," jawab Ares spontan,
lalu detik berikutnya menyesal telah berkata sesuatu yg akan menjadi fantasinya
seumur hidup.
Reina menatap Ares sedih. Ares sekarang sudah tak
bisa dikenalinya lagi. Reina mengawasi Ares yg kembali mengisap rokoknya.
"Rokok nggak bagus lho, buat kesehatan,"
kata Reina.
"Nggak ada yg peduli sama kesehatan gue,"
tukas Ares. Bahkan Ares sendiri tak peduli pada kesehatannya.
"Aku peduli," kata Reina tiba2, membuat
Ares selama beberapa saat merasakan perhatian yg tak pernah didapatkannya.
Namun detik berikutnya, Ares mendengus.
"Kayak gue percaya," kata Ares datar.
"Kenapa kamu nggak percaya?" tanya Reina.
Ares memandang Reina tak percaya. "Kenapa gue
nggak percaya? Pertanyaan bagus. Akting yg bagus," Ares bangkit dan
menghampiri Reina, lalu melewatinya.
"Res," Reina memegang tangan Ares. Darah
Ares berdesir, dan detak jantungnya mengalami percepatan gila-gilaan. "Aku
peduli sama kamu."
"Simpen perhatian lo buat Orion," sergah
Ares. "Gue udah terbiasa nggak dikasih perhatian." Saat Ares
melangkah menjauh, Reina merasa sesak napas. Reina tidak mau Ares pergi. Reina
sudah menunggu saat yg tepat untuk berdua saja dengan Ares.
"Apa kamu udah ngelupain aku?" sahut
Reina membuat langkah Ares terhenti. "Aku harus denger dari mulut kamu
sendiri. Aku nggak percaya sama orang lain! Aku percaya sama kamu!"
Pasti Orion yg sudah memberitahu Reina bahwa Ares
sudah melupakan Reina.
"Orion bener. Gue udah ngelupain lo. Lo pikir,
gue bakal inget lo terus selama sepuluh taun? Kayak lo pantes diinget
aja," Ares mengirup rokoknya dengan emosi.
Reina hampir menangis. "Kenapa, Res? Kenapa
kamu berhenti inget sama aku? Kenapa? Aku selalu inget sama kamu! Aku nggak
pernah berhenti mengharapkan hari itu tiba!" sahutnya parau.
"Hari itu tiba? Hari itu udah lewat, Rei,
hampir setengah taun! Lo pikir, pue mau nungguin lo
sampe tua? Yg bener aja! Dan lo selama sepuluh taun
inget sama gue? Lo pikir gue bego?" sahut Ares tak sabar. Kepalanya terasa
sangat sakit.
"Res, aku nggak bohong!" sahut Reina,
sekarang air matanya sudah mengalir.
Ares membuang rokoknya. "Oh, jadi gue yg
bohong? Jadi, lo selama sepuluh taun ini ngirim surat? Nelepon? Ngasih alamat
lo di sana? Ngasih kabar kalo lo masih idup, hah, iya??" Reina menangis
tersedu-sedu. Ares menatapnya sebal, lalu menginjak puntung rokok hingga
nyalanya padam.
"Lo tau, lo seharusnya nggak usah dateng lagi
ke sini," kata Ares sebelum berbalik dan meninggalkan Reina yg masih
terisak.
Reina merasa lututnya bergetar dan tak kuat lagi
menyangganya. Dia terduduk di lapangan basket yg dingin sambil terus terisak.
Mungkin memang sebaiknya dia tak datang lagi ke
sini.
"Mau ke mana kamu?" jerit Ayah begitu
Ares memasuki rumah. Jarum jam baru saja bergerak ke pukul sembilan malam.
"Ke kamar," jawab Ares ketus sambil
bergerak cepat menuju kamarnya. "Seharusnya kamu nggak usah pulang!"
sahut ayahnya lagi. "Sana tidur di luar!"
"OKE!" Ares balas menyahut dari dalam
kamar. Dia memasukkan beberapa pakaian dan buku ke ranselnya, lalu keluar kamar
dan berderap menuju pintu.
"HEH? Anak nakal!! Mau ke mana lagi
kamu?" Ayah terdengar semakin berang karna Ares malah menurutinya.
"Katanya tidur di luar! Aku jabanin!"
Ares membanting pintu, lalu menghilang di kegelapan malam.
"Anak kurang ajar!" sahut Ayah yg
langsung ditenangkan oleh Ibu. Ibu melirik cemas ke arah Orion. "Ri, Reina
mana?"
"Tadi sih katanya mau ke kamar," kata
Orion lalu memeriksa kamar Ares. Tak ada siapa pun.
Orion bergerak ke arah kamar mandi, tetapi juga
kosong.
Menyadari ada hal yg tidak beres, Orion segera
menyambar jaketnya dan berlari ke luar rumah, menyusuri jalan kompleksnya.
Langkah Orion terhenti di depan taman. Reina tampak sedang terduduk di lapangan
basket sambil terisak.
Dada Orion mendadak terasa sakit. Dengan langkah
cepat Orion mendekati Reina, melepas jaketnya, lalu meletakkannya di atas tubuh
Reina yg berguncang.
Mendadak, Reina bergeming. Dia tahu itu Orion,
wakaupun dia belum melihatnya. Ares tidak akan melakukan hal seperti ini.
Orion sendiri duduk di depan Reina, lalu
mengusap-usap pelan kepalanya. Orion tahu ini perbuatan Ares. Pasti Ares telah
mengatakan sesuatu yg menyakiti hati Reina.
Sesuatu tentang melupakannya.
Ares belum pulang semenjak kejadian semalam. Reina
menatap ke luar jendela depan, berharap sosok Ares akan muncul dari balik
pagar. Tapi Ares tak kunjung datang.
"Jangan khawatir, Rei," hibur Tante Risa.
"Ares pasti pulang. Dia sering kabur kalo lagi banyak masalah."
Reina hanya mengangguk sambil tersenyum miris, tapi
tidak beranjak dari tempatnya semula. Matanya masih menatap ke luar jendela.
Sementara itu, Orion mengawasinya dari meja makan,
tidak habis pikir dengan jalan pikiran Ares. Ares bahkan kabur dari rumah saat
Reina sudah susah2 datang dari Amerika. Orion mendesah, lalu melangkah menuju
Reina.
Orion menepuk pundak Reina pelan. "Rei,
ngelamun mulu."
Reina memaksakan senyum, dan itu membuat Orion
sedikit sakit hati.
"Kita jalan yuk? Biar nggak bosen. Masa dari
Amerika ke sini kerjaannya di rumah mulu," kata Orion.
Reina tampak menimbang-nimbang sebentar, lalu
akhirnya menoleh ke arah Orion. "Boleh."
"Ini tempat nongkrong anak2 gaul
Jakarta," kata Orion begitu mereka masuk ke salah satu mal terkenal di
Jakarta.
Reina memandang mal itu tanpa minat. Sebenarnya,
Reina lebih mengharapkan tempat2 yg lebih nyaman seperti cafe.
"Ri," Reina mencegah Orion memasuki mal
itu. "Kita ke kampus kamu aja, yuk?" "Kampusku? Ngapain?"
tanya Orion bingung.
"Ya, aku pengen liat aja kayak apa tempat kamu
sama Ares kuliah," kata Reina dengan wajah memohon. "Ya?"
"Ya deh," Orion akhirnya mengalah.
"Apa sih yg nggak buat sang ratu?" godanya sambil mengetok kepala
Reina.
"Asyik!" seru Reina senang. Dengan
demikian dia bisa mengetahui tempat Ares kuliah, dan dia berharap Ares ada di
sana.
"Nih, kampusku," kata Orion setelah
akhirnya sampai.
"Wah, gede juga ya," komentar Reina,
sambil mengagumi beberapa bangunan yg tampak menjulang ke langit dan taman
besar dengan lapangan basket luas di tengahnya.
"Ayo, kita jalan2," ajak Orion sambil
menggandeng Reina.
Sesekali Orion melirik Reina ketika semua orang
menatap mereka. Reina sangat cantik dibandingkan dengan semua gadis di kampus
ini, dan Orion bangga karnanya.
"Orion!" sahut seseorang, membuat Orion
dan Reina menoleh.
Lala berlari-lari kecil ke arah mereka, raut
wajahnya yg tadinya ceria berubah bingung saat melihat Reina. Orion yg belum
melepaskan pegangan dari Reina membuat dahi Lala berkerut. "Hai, La,"
sapa Orion santai.
"Hai," balas Lala dingin, lalu melirik
Reina yg tersenyum kepadanya. "Hai," sapa Lala kepada Reina.
"Halo," Reina mengulurkan tangannya yg
segera disambut Lala. "Reina, temen Orion sama
Ares."
"Lala," Lala mengerling Orion. "Temen
Orion sama Ares? Kok gue nggak pernah liat?" "Oh, temen waktu
kecil," kata Reina lagi.
"Oh," Lala sekarang melirik tangan kiri
Reina yg masih digenggam Orion.
"Ng... Lala liat Ares, nggak?" tanya
Reina, membuat ekspresi Lala menjadi curiga.
"Liat sih tadi. Emang kenapa?" tanya
Lala.
"Dia kuliah?" sahut Reina, hampir
berteriak karna terlalu senang. "Trus dia ke mana?"
"Mana gue tau?" Suara Lala tiba2
terdengar ketus, "Gue duluan ya, ada kelas. Dah," katanya sambil
bergegas pergi.
Masih bahagia karna kabar dari Lala, Reina
tersenyum lebar. Orion melepaskan genggamannya dengan sedikit menyentak. Reina
menoleh ke arah Orion.
"Aku tau sekarang kenapa kamu ngajak aku ke
kampus," Orion berkata dingin.
Reina menatap Orion dengan perasaan bersalah.
"Ri, Ares udah nggak pulang dari tadi malem. Apa kamu nggak
khawatir?"
"Kamu nggak perlu khawatir, dia tuh udah gede!
Bisa jaga diri! Lagian siapa sih yg mau cari gara2 sama dia? Dia tuh preman
kampus ini!" sahut Orion, mulai emosi.
Reina terdiam beberapa saat. Sadar kalau dia
barusan lepas kendali, Orion menarik napas panjang dan menghelanya.
"Sori, tadi aku kelepasan," sesal Orion.
"Rei, kamu nggak usah cemas soal dia, oke? Dia pernah kok nggak pulang
sampe tiga hari, dan pulangnya dia baik2 aja. Jadi kamu tenang aja, oke?"
Reina menatap Orion tidak yakin, tapi akhirnya
mengangguk. Ares memang jago berkelahi. Pasti tidak akan terjadi apa2 padanya.
Tapi bagaimana kalau dia mencelakakan dirinya sendiri? Semalam Ares pergi
dengan kemarahan, bukan tidak mungkin dia akan melakukan hal2 bodoh.
"Orion!" seru Odi dari kejauhan. Dia berlari menuju Orion dan Reina.
"Kenapa, Di?" tanya Orion.
"Kenapa? Latihan, Ri!" sahut Odi setelah
memutar bola mata. "Tadi si Raul udah kegirangan pas tau lo mau diganti!
Lo harus ngelakuin sesuatu!"
"Di, santai aja. Kemaren kan gue udah bilang
gue nggak keberatan," kata Orion sambil memberi isyarat tentang kehadiran
gadis di sebelahnya dengan matanya.
Odi melirik Reina yg tampak sedikit bingung.
"Tapi Ri, lo bisa kehilangan posisi itu
selamanya! Reno kecewa berat karna lo tiba2 ngundurin diri," desak Odi
membuat Orion terdiam selama beberapa detik, memikirkan wajah pelatihnya yg
galak itu.
"Ada apaan sih Ri?" tanya Reina akhirnya.
"Aku bolos latihan supaya bisa nemenin kamu
selama kamu ada di sini, Rei. Kapan lagi sih kamu ke sini," jelas Orion,
membuat Reina mengangakan mulutnya.
"Kamu ngapain pake bolos2 segala? Bodoh! Kamu
latihan aja!" sahut Reina sambil mendorong tubuh Orion yg besar. "Ayo
sana, latihan! Ntar kamu kehilangan kesempatan!"
"Trus kamu? Aku bakal kehilangan banyak waktu
sama kamu kalo aku ikut latihan sama turnamen!" sahut Orion tidak rela.
"Aku temenin deh pas kamu latihan sama
turnamen!" sahut Reina. Mata Orion segera berbinar. "Wah, serius
kamu? Janji?"
"Iya! Udah sana! Dasar manja," kata Reina
sambil tersenyum, lalu mengikuti langkah Orion menuju lapangan basket.
Ares mengisap rokoknya dalam2 sambil
mengangguk-anggukkan kepala menurut irama lagu B.Y.O.B milik System of a Down.
Saat ini dia sedang berada di atap gedung kampus utama, tempat yg sebenarnya
terlarang bagi mahasiswa, tapi Ares menganggap dirinya penemu tempat itu. Dari
sini, terlihat taman belakang kampus yg luas dengan sebuah kolam besar beserta
beberapa gedung perkuliahan lain.
Ares mengembuskan asap rokok dan berusaha membentuk
lingkaran2 kecil dengannya. Ares menatap cincin2 asap itu yg langsung hilang
dan menyatu dengan angin. Musim kemarau ini, angin bertiup cukup kencang, cukup
kencang untuk menggoyangkan rambut ikal setengkuk Ares ke sana kemari.
Ares kembali mengisap rokoknya, mematikan CD
player-nya, lalu mengubah posisi duduknya untuk memandang taman belakang kampus
yg luas. Dari sini, Ares sering mendapati Orion sedang berlatih basket di
lapangan basket di tengah taman itu.
Mendadak Ares berhenti mengisap saat melihat
sesuatu yg tidak ingin dilihatnya.
Reina. Duduk di bangku penonton, menyaksikan Orion
yg sedang berlatih dengan wajah ceria. Kadang2 Reina bersorak saat Orion
berhasil memasukkan bola. Ares mengawasi mereka dengan pandangan jijik.
Ares tak tahu apa yg menyebabkannya tidak cepat2
pergi dan malah mengawasi mereka.
Mungkin karna Ares ingin memandang Reina lebih lama
tanpa disadari siapa pun.
Semuanya sudah benar2 berubah. Keadaan sudah tak
seperti dulu lagi. Dulu, saat Ares harus menerima segala ketidakadilan,
Reina-lah satu-satunya kekuatan yg dia punya. Saat Reina pergi, Ares kehilangan
semuanya. Sekarang, saat Reina kembali, kekuatan itu malah berbalik
menyerangnya dengan selalu memilih orang yg dari lahir sudah dibencinya. Awal
dari segala ketidakadilan itu. Orion.
Ares tidak bertanya-tanya mengapa Reina memilih
Orion. Orion jelas lebih segalanya dari Ares.
Orion hampir tanpa cela. Orion nyaris sempurna.
Ares terlihat sangat buruk bila disandingkan dengan Orion. Dan gadis seperti
Reina tidak mempunyai alasan untuk tidak bersama orang seperti Orion.
Ares tidak berharap apa pun. Ares tidak biasa
berharap. Ares sudah berhenti berharap. Dia pernah melakukannya beberapa kali
saat masih kecil, tapi harapan itu tidak pernah terjadi. Ares pernah berharap
Ayah dan Ibu datang saat pengambilan rapor, tapi mereka berdua tidak datang
karna harus menghadiri pengambilan rapor Orion yg menjadi juara kelas selama
hidupnya. Ares pernah berharap pergi sekeluarga ke Dufan saat libur kenaikan
kelas, tapi Ayah dan Ibu terlalu sibuk mengajak Orion berjalan-jalan, sementara
Ares ditinggal di rumah karna tidak bisa menghabiskan buku bacaan yg disuruh
Ayah.
Ares suah tidak tahu lagi bagaimana caranya
berharap. Karna itu, dia tidak mau mengharapkan apa pun lagi dari seorang Reina,
apalagi berusaha untuk merebutnya dari tangan Orion. Di mata Ares, Reina juga
merupakan seorang pengkhianat. Dan Ares tidak memercayai siapa pun lagi. Reina
bersorak lagi saat Orion berhasil mencetak angka, membuat Ares tersadar dari
lamunannya. Orion berlari menuju Reina dengan cengiran bangga, berhenti di
depannya, lalu Reina mengacak rambutnya seolah Orion seekor anak anjing yg
berhasil menangkap frisbee.
Res, aku peduli sama kamu! Kata-kata Reina
terngiang di telinga Ares, membuat Ares mendengus keras. Peduli apanya? Ares
bangkit dengan gerakan menyentak, lalu segera pergi dari tempat itu.
"Res, bagi rokok dong."
Ares mengeluarkan kotak rokoknya, lalu
melemparkannya kepada Dipo -teman satu band-nya- yg menangkapnya dengan gesit.
Sementara itu, Wanda, anggota band-nya yg lain, mengamatinya dari pojok
ruangan. Saat ini, mereka sedang berada di gudang rumah Wanda yg dijadikan
markas band mereka.
"Res, lo kabur lagi?" tanya Wanda.
Ares hanya mengangguk sambil memetik gitarnya.
"Kayaknya masalah lo cukup gawat. Emang apaan
sih?" tanya Dipo.
"Nggak usah ikut campur," kata Ares datar
sambil bangkit. "Ayo, kita berangkat ke kelab. Ntar telat gak dapet
bayaran, lagi."
Dipo dan Wanda berpandangan sebentar, mengedikkan
bahu, lalu mengikuti Ares.
Reina menatap ke luar jendela. Ares masih belum
pulang walaupun hari sudah larut. Reina melirik jam tangannya dengan gelisah.
Pukul sepuluh malam.
"Rei, nggak usah sekhawatir itu," kata
Orion, lalu menguap. "Paling dia lagi manggung." Reina menatap Orion
ingin tahu, tapi segera mengubah ekspresinya agar Orion tidak curiga.
"Oh," kata Reina seolah tak peduli. "Emangnya suka manggung di
mana?"
"Di The Club, kali. Itu kelabnya orang2
katro," Orion kembali menguap, tak menyadari Reina mengangguk-angguk.
"Rei, tidur sana. Udah malem."
"Iya deh," kata Reina, lalu melangkah
riang ke dalam kamar Ares.
Setelah berada di dalam kamar, Reina segera
mengunci pintunya, lalu melangkah cepat menuju kopernya dan mengeluarkan baju2
andalannya. Setelah menemukan sebuah setelan cantik, Reina mengenakannya dan
memoles wajahnya dengan make up tipis. Reina kemudian membuka jendela kamar
Ares dan tersenyum simpul.
Memang jendela khas anak nakal yg sering kabur.
Jendela kamar Ares terbuka lebar tanpa memiliki teralis. Reina dengan mudah
melompat keluar, lalu dengan langkah berjingkat, dia bergerak menuju pagar dan
melompatinya.
Reina menelepon penerangan, meminta nomor telepon
taksi. Setelah berhasil memesan taksi, dia menunggu di kegelapan. Angin malam
yg berembus membuat Reina merasa bulu kuduknya berdiri. Dia tak pernah
melakukan hal yg menegangkan seperti ini, tapi dia melakukannya demi Ares.
Tak lama taksinya datang, dan Reina bergegas masuk.
"The Club ya Pak," kata Reina, dan taksi
pun bergerak maju.
"Makasih, Pak," kata Reina setelah
memberi uang kepada sopir taksi.
Reina menoleh ke belakang dan mendapati sebuah
kelab malam yg ramai pengunjung dengan papan nama besar 'The Club'. Walaupun
demikian, kelab ini tidak seperti kelab2 mewah seperti yg sering Reina liat di
serial TV Amerika, tapi lebih seperti kelab untuk kalangan menengah ke bawah
mencari hiburan. Reina sempat bimbang apa kelab ini yg dimaksud Orion.
Reina melangkahkan kaki ke pintu kelab yg dijaga
seorang laki2 bertubuh besar. Sebuah tangan tahu2 menjawil lengan Reina.
"God!" seru Reina kaget.
Reina mendelik ke arah segerombolan preman yg kira2
seusianya. Anak2 itu menatap balik Reina dengan tatapan bernafsu. Reina
bergidik sebentar, lalu berlari menuju penjaga pintu. "ID," kata
penjaga itu dengan suara berat.
Reina menyerahkan pengenalnya yg berupa kartu
pengenal penduduk Amerika Serikat. Penjaga itu mengernyit sebentar, lalu
memindai Reina. Detik berikutnya, dia mengedikkan kepala yg artinya membolehkan
Reina masuk.
Reina memasuki tempat itu dengan riang, kepalanya
dipenuhi pikiran2 bahagia karna akhirnya akan bertemu dengan Ares. Dia kemudian
mengambil tempat di depan meja bar. Kelab ini penuh sekali.
"Ya, berikutnya, kita akan ber-headbanging
bersama The Forsaken!!" seru sang MC, membuat Reina menoleh ke arah
panggung.
Ares tampak bergerak ke atas ke panggung tanpa
ekspresi sementara semua orang bersorak riuh. Reina tiba2 paham. Kelab ini
ternyata tempat berkumpul para pecinta rock. Hampir semua orang yg ada di sini
berdandan ala punk dan rock star, sementara Reina mengenakan sebuah blus
berenda dan rok mini yg juga berenda. Pantas dari tadi ada saja yg terus
memerhatikannya. Walaupun demikian, Reina ikut bersorak saat Ares bergerak
menuju mikrofon. Ares menarik napasnya sebentar, lalu mengembuskannya sambil
menyapukan pandangan ke arah kerumunan di depan panggung.
Detik berikutnya, dia tersentak.
Reina. Ada di depan meja bar, tepat di depannya.
Ares memejamkan matanya -berharap ini sekadar ilusi- tapi gadis itu masih ada
di sana saat dia kembali membuka mata, sangat kentara dengan baju warna
pink-nya. Reina melambai ke arah Ares.
Selama beberapa detik, Ares serasa mati rasa,
sampai Dipo menyenggolnya. "Res, ngapain lo?" bisiknya.
Ares tersadar, lalu sekali lagi menarik napas
panjang. Ares akan bersikap seolah tidak ada siapa pun di depannya. Tidak ada
Reina. Sama seperti malam2 sebelumnya.
Tapi... sedang apa dia di sini?
"Res!" bisik Dipo lagi, dan Ares tau dia
harus memulai pertunjukannya.
"Oke," kata Ares dengan suara berat khas
perokok-nya. "Selamat malam. Malam ini, The Forsaken bakal ngebawain lagu
baru, dan lagu ini agak slow. Buat yg mau head banging, sori
mengecewakan." Perkataan Ares disambut keluhan bercanda dari berbagai
pihak. "Judulnya, I Don't Want Her."
Penonton bersorak riuh dan mulai menyalakan korek
masing2 saat lampu diredupkan. Reina sampai menganga. Dia tidak menyangka band
Ares bisa sehebat ini, membuat orang2 mau saja mengikuti musiknya. Ternyata The
Forsaken sudah memiliki fans tetap. Reina ingin ikut memberikan cahaya, tapi
dia tidak mempunyai korek api.
"Ten years ago, there was a girl
She was bright like a star in the sky,
She gave me strength, gave me hopes We had a
promise to be
Always together
But then she went away
Far, far away, without a trace
I've been waiting for her everyday Dreaming of her
every night Picturing her face"
Reina merasakan air matanya mengalir saat mendengar
Ares bernyanyi. Suara Ares memang tidak begitu bagus, tapi bukan itu yg Reina
permasalahkan. Lagu ini adalah lagu untuk Reina, Reina tahu betul itu.
Ares menatap Reina lurus2 selama menyanyikan lagu
itu. Dia tidak punya pilihan lain. Ares tidak menyangka Reina akan datang. Ares
juga tidak menyiapkan lagu lain.
"Now she comes, and I don't want her
She's so fine and all that, but that don't impress
me
She said she'd come back but she never came
Now she returns, but I don't want her"
Reina menangis lebih keras. Lagu ini diciptakan
Ares. Pasti lagu ini diciptakan berdasarkan perasaannya.
"She's staring at me and sayin'
'I care about you, I really do'
but that doesn't work to my frozen heart
She made it that way, she broke it once
And now, I don't want her anymore"
Ares menyudahi lagunya, dengan permainan gitarnya
yg mengagumkan. Ares berusaha keras untuk bermain gitar, padahal dulu Ares
ingat betapa susahnya menghapal semua kunci dan chord.
Semua orang bertepuk tangan riuh begitu Ares
selesai membawakan lagu. Ares menunduk untuk memberi penghormatan atas
apresiasi para penontonnya, lalu turun dari panggung dan berderap menuju Reina.
Reina sendiri sudah berhenti menangis, tapi masih
menggigit bibirnya. Dia menatap Ares yg sekarang sudah berdiri tepat di
depannya dengan ekspresi marah.
"Ngapain lo? Sama siapa lo ke sini? Dari mana
lo tau gue di sini?" cecar Ares emosi.
Reina tidak langsung menjawab. Dia menatap Ares
lama. "Res," katanya lirih. "Apa bener? Apa bener kamu udah
nggak menginginkan aku lagi?"
Ares menatap Reina sejenak, lalu membuang
pandangannya. "Lo denger sendiri lagunya," kata
Ares dingin. "Sekarang, jawab pertanyaan gue.
Gimana lo bisa sampe sini?"
"Res, aku nggak ada maksud nggak ngasih kamu
kabar!" sahut Reina, tangisnya kembali pecah, membuat beberapa pengunjung
menoleh.
"Jadi?" tanya Ares. Dalam hatinya, dia
sangat ingin mendengarkan penjelasan Reina. Secuil sinar harapan tiba2 muncul
di dalam hatinya yg gelap.
Reina tidak menjawab walaupun ingin. Air matanya
terus mengalir tanpa bisa dikendalikan. Ares segera tahu Reina sebenarnya tak
ingin memberikan penjelasan apa pun.
"Lo tau," kata Ares sambil memandang
tajam Reina yg masih terisak. "Persetan dengan ini semua. Lo nggak harus
kasih penjelasan apa pun."
Ares beranjak pergi, tapi Reina menahannya. Darah
Ares kembali berdesir saat tangan Reina menyentuh tangannya.
"Res, ayo pulang," kata Reina di tengah
isakannya.
Ares memicing Reina. Gadis ini jelas tak paham
dengan kata2 Ares barusan.
"Gue ada kerjaan. Gue balik kalo gue mau
balik," Ares menepis tangan Reina. "Lo pulang aja sendiri."
"Res, ini bukan tempat yg cocok buat
kamu," Reina memerhatikan beberapa laki2 yg sedang merepet karna mabuk.
"O ya?" sergah Ares. "Trus di mana
tempat yg cocok buat gue, hah? Di rumah?" Tawa Ares membahana, membuat
Reina bingung. Ares mendekati Reina dan memandangnya tepat di mata. "Lo
denger ya. Ini satu-satunya tempat yg cocok buat brengsek kayak gue. Lo yg
nggak cocok di sini."
Reina membalas tatapan Ares dengan berani.
"Kamu pikir aku nggak bisa kayak mereka?" tanya
Reina marah. "Mas, bir-nya segelas."
Ares melongo melihat Reina yg tiba2 memesan bir.
Sebelum bir itu sampai di tangan Reina, Ares sudah meraih tangannya dan
menariknya ke luar kelab. Reina mengikuti Ares dengan segumpal harapan bahwa
Ares akan pulang.
Ares membawa Reina ke pelataran parkir, lalu
melepaskannya di depan sebuah boks telepon umum. Ares mengeluarkan uang receh,
lalu menelepon taksi. Reina secepat mungkin memutuskan pembicaraan Ares.
"Ngapain sih lo?" tanya Ares kesal.
"Kamu yg ngapain? Siapa yg bilang aku mau
pulang?" tanya Reina.
"Lo harus pulang," Ares kembali
memasukkan uang receh, dan Reina lagi2 menggagalkan usahanya.
Ares menarik napas panjang, mengembuskannya, lalu
melangkah ke luar boks telepon. Dia mengeluarkan rokok, menyalakannya, lalu
mengisapnya dalam2 supaya tidak terbawa emosi. Reina memerhatikannya lekat2.
"Rokok nggak baik buat kesehatan, Res."
Reina mengulang apa yg pernah dikatakannya di taman.
Ares meliriknya sebal. "Nggak usah pake
nentuin apa yg terbaik buat gue. Lo bukan siapa2."
Reina menatap Ares yg asyik mengisap rokoknya
sambil bersandar ke kap sebuah mobil. Ares terlihat seperti seorang anak yg
sangat kesepian dan butuh perhatian. Reina ingin sekali memeluknya. Reina
berjalan mantap mendekati Ares.
"Kamu kesepian," kata Reina.
Ares menatap Reina tajam. "Bener. Lo bener.
Seumur hidup gue, gue kesepian. Jadi sekarang lo nggak usah berusaha keras
mengubah sejarah itu."
Reina terdiam tapi tetap membalas tatapan Ares yg
hanya berjarak setengah meter darinya.
Ares kembali mengembuskan asap rokoknya, sengaja
mengarahkannya ke wajah Reina. Reina segera saja terbatuk, tapi Reina berusaha
menyembunyikannya.
Kesal, Reina mencabut rokok yg sedang dipegang Ares,
lalu membuangnya ke aspal. Ares bengong sesaat, lalu memutuskan untuk tidak
peduli dan menyalakan sebatang lagi. Reina dengan sigap membuangnya lagi.
Begitu terus sebanyak empat kali. Saat Reina membuang rokok keempatnya, Ares
tak mengeluarkan rokok lagi.
"Lo apaan sih?! Semua gue beli pake duit,
tau!" sahut Ares kesal.
"Ya, trus kamu bakarin semua," tukas
Reina.
Ares tak berkomentar. Dia hanya memandang Reina
sebal sebentar, lalu kembali menyalakan rokok, tak mengacuhkan tatapan Reina yg
menajam.
"Jangan ngerokok lagi," kata Reina
setengah memohon.
"Kalo nggak?" tantang Ares sambil
bermaksud mengisap rokok yg sudah nyala.
Reina menatap Ares dengan mata berkilat-kilat, lalu
dengan nekat menyambar rokok Ares. Tapi, dia tidak membuangnya. Reina mematikan
rokok itu dengan menggenggamnya. Ares terbelalak melihat tindakan Reina. Reina
meringis saat rokok itu membakar telapak tangannya.
Telapak itu terbakar kehitaman. Ares segera
membuang puntung rokoknya yg tadi digenggam gadis itu, lalu meniup tangan Reina
yg melepuh. Reina malah tersenyum melihat sikap Ares. Menyadari ekspresi Reina,
Ares menatapnya sebentar, lalu berhenti meniup.
"Lo gila," keluh Ares, lalu menggandeng
Reina menuju kelab untuk mencari obat-obatan.
Reina berjalan di belakang Ares tanpa berhenti
tersenyum. "Susah juga ya ngedapetin perhatian kamu," katanya jenaka.
"Aku harus menderita dulu."
Ares tidak menjawab.
"Welcome home," kata Reina riang setelah
mereka sampai di depan rumah.
Tadi Reina telah meyakinkan Ares untuk kembali ke
rumah setelah mengancam untuk naik ke atas meja bar dan menari kalau Ares tidak
mau pulang. Ares tidak punya pilihan lain selain menurutinya.
Ares meloncati pagar rumahnya, tapi tidak berusaha
membantu Reina. Reina cemberut sebentar, lalu ikut memanjat pagar. Ares membuka
jendela kamarnya yg gelap dan memanjatnya. Mendadak, lampu kamar dinyalakan
saat Ares baru masuk. Ayah, Ibu, dan Orion ternyata sudah menunggu di sana
dengan ekspresi yg tak dapat ditebak.
Ares membatu saat melihat mereka. Detik berikutnya,
Reina melemparkan tasnya ke dalam
kamar lalu ikut memanjat jendela. Ares merasa
sebentar lagi hidupnya pasti berakhir.
Reina berhasil memanjat jendela, tapi langsung
tersentak saat melihat kedua orangtua Ares dan
Orion. Reina buru2 melirik Ares yg sedang menatap
nanar keluarganya. "Ares ke kamar Ayah sekarang. Ayah mau bicara,"
kata Ayah dingin.
Ares langsung tahu apa yg akan terjadi selanjutnya.
Dulu, Ares pernah dihajar habis-habisan saat Orion tidak sengaja tercebur ke
selokan dan kepalanya terbentur. Itu hanya hukuman karna
Ares dianggap telah lalai menjaga adiknya.
Sekarang, Ares pasrah jika dianggap membawa kabur seorang gadis di tengah
malam.
Jadi, Ares bergerak mengikuti Ayah. Reina berusaha
menahan Ares dengan meraih tangannya - yg langsung ditepis.
"Om, Ares nggak salah!" seru Reina,
hampir menangis. "Reina, kamu tidur saja," kata Ayah terdengar lelah.
Ares mendahului Ayah memasuki kamarnya. Ares segera
meneguk ludah, ingat kalau dia memiliki banyak kenangan pahit di kamar ini.
Ares pernah dipukul dengan sapu lidi. Dia juga pernah dilecut dengan ikat
pinggang.
Belum selesai Ares mengingat semua kenangannya,
Ares merasakan tamparan keras pada pipi kirinya. Lalu pipi kanannya. Ares tidak
berusaha melawan walaupun hatinya teramat ingin. Ares sudah terlalu terbiasa
disalahkan atas sesuatu yg tidak diperbuatnya.
"DASAR KAMU MEMANG ANAK KURANG AJAR!"
sahut Ayah dengan volume yg membuat telinga Ares berdenging.
"BERANI-BERANINYA NGAJAK REINA KABUR!!"
Ares menatap Ayah berani. Wajah Ayah sudah memerah
karna marah. Entah mengapa Ares tidak bisa membalas jika melihatnya. Ayah sudah
tua. Ayah yg disayanginya. Dulu, disayanginya. Sebelum dia mulai menarik diri.
Pipi kiri Ares ditampar lagi, kali ini cukup keras
sampai membuat bibir Ares robek dan gusinya berdarah. Ares menatap Ayah yg
sudah terengah-engah. Ayah punya penyakit jantung.
"Apa nggak capek kamu bikin Ayah marah,
Res?" tanya Ayah setelah emosinya mereda. "Udah, sana keluar,"
perintah Ayah tanpa menunggu jawaban Ares. "Ayah nggak pengen denger kamu
bikin masalah apa pun lagi."
Ares melangkah keluar dari kamar dengan darah
menggelegak di kepalanya. Reina ada di ruang keluarga, begitu pula Ibu dan
Orion. Reina langsung menekap mulutnya sendiri saat melihat Ares. Ibu juga
terlihat khawatir, tapi Ibu tak pernah melakukan apa pun dan cuma meremas-
remas tangannya sendiri.
"Res, kamu baik2 aja?" Reina menghamphri
Ares. "Sini aku bersihin-"
Tangan Reina sudah dipegang oleh Orion sebelum
sempat sampai ke wajah Ares. Reina menoleh kepadanya.
"Masuk kamar, Rei. Udah malem. Kamu harus
tidur," Orion menggiringnya ke kamar Ares. Reina hanya bisa mengikutinya
tanpa mengalihkan pandangannya dari Ares.
Orion menatap Ares benci setelah Reina masuk ke
kamar, lalu masuk ke kamarnya sendiri tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Setelah Orion menghilang, Ares bergerak menuju sofa
-yg sudah beberapa hari ini menjadi tempat tidurnya. Dia duduk di sebelah Ibu
yg terlihat salah tingkah. Mendadak, Ibu bangkit. "Tidur ya, Res,"
katanya, lalu masuk ke kamarnya tanpa melihat Ares.
Ares merebahkan dirinya ke sofa, lalu seketika
semua lukanya terasa sangat menyakitkan. Luka2 saat kecil, luka2 saat remaja,
luka2 yg baru saja berbekas, semuanya mendadak terasa oleh Ares.
Pipinya yg berdenyut terasa hangat karna air
matanya. Ares tak berusaha menghapusnya. Semakin banyak air mata yg keluar. Yg
bisa Ares lakukan hanyalah membiarkannya.
Ares terbangun sangat siang keesokan harinya. Semua
keluarganya sudah sibuk dengan aktivitasnya masing2, begitu pula Reina. Begitu
Ares membuka mata dan melemparkan pandangan ke arah meja makan, Ares menangkap
Reina sedang memerhatikannya. Ternyata sudah waktunya makan siang.
"Makan siang, Res," kata Ibu. "Tapi
lukanya dibersihin dulu."
Ares merasa tidak berselera untuk makan. Dia masih
merasakan darah di mulutnya. Tapi Ares akhirnya bangkit untuk mencuci mukanya
dan membersihkan lukanya. Setelah itu, Ares bergabung dengan semua orang di
meja makan. Ares tidak berusaha melihat Reina. Sebenarnya, Ares berusaha untuk
tidak melihat siapa pun dan berkonsentrasi pada piringnya. Semua orang
sepertinya bersikap tak pernah terjadi apa pun.
Makan siang berjalan begitu tenang. Tak seorang pun
ingin membuka pembicaraan. Ares yg pertama kali menyudahi makannya, bergerak ke
gazebo untuk menjauhkan diri dari semua anggota keluarganya.
Baru beberapa menit Ares menatap taman, Reina
muncul. Ares sedang sangat tak ingin bertemu dengannya, terutama setelah
semalam Ares dihabisi karna dirinya. Tampak tak menyadari itu, Reina mengambil
tempat duduk di depan Ares. Ares harus mengalihkan pandangannya ke arah kolam
renang.
"Res, aku udah cerita yg sebenernya sama
mereka," kata Reina. "Dan mereka percaya sama aku."
Ares mengangguk-anggukkan kepala. "Mereka
percaya lo tapi nggak kasih kesempatan buat gue cerita," gumam Ares, tak
tampak kecewa. "Dan siapa pun terlalu gengsi untuk minta maaf." Reina
tampak serba salah setelah Ares mengatakannya. Ares melirik Reina sebentar.
"Lo nggak perlu ngerasa bersalah. Gue udah terlalu terbiasa sama itu
semua."
"Res, aku minta maaf," sesal Reina.
"Gara2 aku-"
"Bukan gara2 lo," sambar Ares cepat.
"Nggak ada lo juga, ini selalu terjadi. Lo cuma ada di tempat dan waku yg
salah."
Reina mengamati sosok yg terlihat tegar itu. Ares
sebenarnya menderita. Reina bisa merasakan itu.
"Res, aku mau ngebantu kamu," kata Reina
sungguh2.
"Gue baik2 aja," sergah Ares sambil
mengernyitkan dahi.
"Bohong," kata Reina tegas. "Kamu
sebenarnya sangat butuh bantuan. Aku mau bantu kamu." "Lo ngomong apa
sih, Rei? Gue nggak butuh bantuan apa pun, apalagi dari seseorang yg nggak
berarti buat gue," sahut Ares ketus lalu meninggalkan Reina.
"Res, gue mau ngomong."
Ares menoleh ke arah Orion yg menyambutnya di
pintu, lalu bersikap seolah menunggu Orion berbicara.
"Nggak di sini," kata Orion lagi, lalu
berjalan ke pintu depan menuju teras. Ares mengikutinya. "Apaan?"
tanya Ares yg berjalan di belakang Orion.
Mendadak, Orion berbalik dan dengan secepat kilat
meninju wajah Ares. Ares yg tak sempat mengelak terhuyung ke belakang, lalu
bergerak dengan buas ke arah Orion. Ares sudah mengunggu begitu lama untuk
melakukannya, sekarang kesempatan itu datang. Kesempatan untuk menghajar Orion.
Ares menarik kaus Orion, lalu meninju perutnya.
Orion tak pernah bisa berkelahi dengan Ares.
Orion tidak sekuat Ares. Setelah meninju perut
Orion, Ares meninju wajahnya. Ares terengah-engah menyaksikan Orion terjatuh.
Orion menatap Ares sengit.
"Kenapa lo, banci?" sahut Ares sambil
menyeka darahnya dengan punggung tangan, lebih karna luka semalam terbuka lagi
daripada kerasnya tinjuan Orion.
"Kalo lo mau ngerebut Reina, jangan pake cara
licik!" sahut Orion tanpa bisa bangkit karna perutnya terasa kram.
"Sok-sok pake masalah lo biar dia kasian!" Ares terdiam sesaat saat
menyadari kebenaran dari perkataan Orion. Reina kasihan terhadapnya karna dia
adalah si anak yg terbuang, anak yg bermasalah, anak yg butuh pertolongan,
bukan anak yg keren, berbakat, dan mempunyai dunia di tangannya.
"Bangun lo," Ares
menarik kaus Orion dan mengangkatnya dengan sekali hentakan. "Kalo lo mau
Reina, ambil aja. Gue nggak tertarik," kata Ares lagi sambil mengempaskan
Orion sehingga dia kembali terduduk di lantai teras. Ares menatap Orion benci,
lalu berbalik, bermaksud kembali masuk ke rumah. Tapi, dia mendapati Reina di
ambang pintu, sedang menatapnya kecewa. Ares membalas tatapan itu sebentar, lalu
memutar haluan, melewati Orion, kemudian menghilang di balik pagar. Reina
menatap punggung Ares sampai menghilang, lalu menghampiri Orion yg tampak
kepayahan. "Kamu nggak apa2, Ri?" tanya Reina sambil membantu Orion
berdiri. "Nggak apa2," kata Orion sambil meringis. "Aku juga
salah, pake acara mukul dia. Jelas aja dia bisa bunuh aku." "Kenapa
kamu pukul dia?" tanya Reina heran. "Karna dia adalah dia,"
jawab Orion. "Apa kamu nggak pengen mukul dia sekali aja?"
Sebenarnya, Reina ingin memukul Ares karna perkataannya tadi. Ares mengatakan
bahwa
dia tidak tertarik kepada Reina dan menyeragkannya
begitu saja kepada Orion. Padahal, semalam Reina yakin Ares sudah kembali
menjadi Ares sepuluh tahun yg lalu.
No comments:
Post a Comment