Bab
6
Never Too Late
SABTU pagi, semua orang kecuali Ayah sudah
berkumpul di ruang makan untuk sarapan. Ares yg biasanya bangun siang pun
tampak sudah rapi dan wangi.
Orion mengamati Ares yg dengan seenaknya
menjejalkan segala macam hal di meja makan -
selada, tomat, mayones, telur, saus tomat- ke dalam
rotinya. Setelah pembicaraannya dengan Reina kemarin, Orion merasakan sesuatu
terhadap Ares, entah apa. Sepertinya Orion merasa Ares memang sedang
membutuhkan pertolongan, tapi Orion tak tahu harus berbuat apa. Ares lah yg
dulu selalu membantunya.
Ares dapat merasakan tatapan Orion. Jadi, Ares
balas menatapnya, mengira Orion jijik terhadap racikan roti isinya, lalu
menggigit roti itu dengan buas. Reina terkikik melihat kelakuan Ares.
Tak lama kemudian, Ayah keluar dari kamar dan
bergabung ke meja makan. Ayah keheranan
melihat Ares yg biasanya masih tergeletak di sofa,
sekarang sudah berdiri dengan pakaian lengkap.
"Mau ke mana kamu?" tanya Ayah.
Ares menatap Ayah sebentar, salah tingkah.
"Hm... keluar, Yah," jawab Ares tak jelas.
"Kamu pikir Ayah bodoh ya?" sahut Ayah
dengan nada tinggi, membuat kegiatan di ruang makan terhenti. Mendadak, semua
orang merasa tegang.
Ares menatap Ayah tajam. Ares tidak bisa mengatakan
padanya bahwa dia akan berangkat kerja paruh waktu untuk menambah biaya kuliah
penerbangannya nanti. Ini sebuah kejutan, dan tidak akan mengejutkan jika
diberitahu sekarang.
"Kamu ini kerjaannya main melulu,"
komentar Ayah, tapi sudah lebih tenang. Dia duduk di kursi makan. "Kalau
nggak ngacau, berantem. Pulang2 pasti bonyok, bikin malu keluarga saja."
Ares terdiam menahan semua emosinya. Roti isinya seperti menyangkut di
tenggorokan. Dia dapat merasakan tangan dingin Reina menggenggam tangannya.
"Mau jadi apa sih kamu ini?" tanya Ayah
lagi, sementara semua orang masih bergeming.
"Jangan2 selama ini kamu ngobat juga ya?"
Ares merasa darahnya menggelegak dan naik ke
kepalanya. Dia sudah tak tahan lagi. Tapi tangan Reina membantunya untuk tetap
tenang.
"Aku kerja, Yah," kata Ares tegas.
Reaksi Ayah begitu keras. Mata dan mulutnya
melebar. Ares menatapnya gentar. Tak berapa lama, Ayah malah tertawa
terbahak-bahak.
"Kerja? Kamu? Bisa apa kamu?" sahutnya
sinis.
"Apa aja," balas Ares mantap. "Kerja
di bengkel, di restoran, di mana aja."
Mendengar jawaban Ares, Ayah terdiam sebentar. Dia
lalu memukul meja keras2, membuat semua orang berjengit di tempat masing2.
"Kamu mengejek Ayah ya? Kamu pikir Ayah sudah
nggak sanggup membiayai kamu? Kamu meremehkan Ayah?!" sahutnya dengan
suara menggelegar.
Ares tak menjawab. Dia tahu bahwa tak ada yg harus
dijawab.
"Memang kamu anak kurang ajar!" sahut
Ayah lagi. Sekarang dia sudah bangkit, rotinya dilempar begitu saja.
Ares sendiri sudah siap menerima apa pun darinya.
Tapi, Ayah tak memukul ataupun menampar. Dia malah pergi sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Nggak tau kamu mau jadi apa... Ayah sudah
pasrah...," gumamnya sambil meninggalkan ruang makan menuju gazebo.
Ares sempat berpikir untuk melupakan semua
cita-citanya. Tapi kalau dia melakukannya, tak akan ada satu pun perubahan pada
dirinya. Dan Ares tak mau itu terjadi.
"Res," kata Ibu pelan. Wajahnya terlihat
sangat lelah. "Kenapa sih, kamu sampai kerja segala?" "Bu, ada
sesuatu yg pengen Ares beli. Dan Ares nggak mau nyusahin Ayah sama Ibu,"
Ares meraih ranselnya. "Ares pergi dulu."
Dengan langkah berat, Ares bergerak ke luar rumah.
"Bagus!" seru Reno saat melihat Orion
baru saja berhasil mencetak three points.
Orion berlari-lari kecil mendekati pelatihnya
sementara di tengah lapangan, Raul menatapnya bengis.
"Sepertinya lo udah berhasil nyelesaiin
masalah lo," Reno menepuk-nepuk punah Orion. "Lo udah balik kayak
dulu. Kalo gini, lo bisa dapetin posisi lo balik."
Orion hanya tersenyum sambil menyeka keringatnya
dengan handuk. Walaupun masalahnya dengan Ares belum selesai, setidaknya beban
Orion tidak seberat sebelumnya. Reina sudah dengan tegas menolaknya, dan tak
ada yg bisa Orion lakukan tentang itu. Orion sudah memutuskan untuk
menghilangkan masalah itu dari benaknya dengan berkonsentrasi penuh pada
basket.
Orion tidak menyadari kehadiran Raul. Anak itu dan
teman-temannya sekarang sudah mengelilingi Orion sementara Reno kembali ke
tengah lapangan. Orion menatap mereka bingung.
"Ada apaan nih?" tanya Orion heran.
"Serahin posisi lo ke gue," kata Raul tegas. "Apa?" tanya
Orion, takut salah dengar.
"Lo nggak budek, kan? Gue bilang, serahin
posisi lo ke gue," kata Raul lagi.
Orion menatap Raul sebentar seakan Raul hanya
bercanda, lalu terbahak. "Sejak kapan sih lo jadi banci begini?"
tanya Orion di sela2 tawanya. "Kenapa, lo udah nggak bisa bersaing sama
gue?"
Raul menatap Orion sengit. Orion membalasnya dengan
tak kalah sengit.
"Serahin posisi lo waktu turnamen nanti,"
Raul tak memedulikan kata2 Orion. "Kalo nggak, lo tanggung sendiri
akibatnya. Dan jangan bilang gue nggak pernah ngasih peringatan ke elo,"
tambahnya sebelum berlalu diikuti teman-temannya.
Orion menatap bimbang kepergian Raul. Orion
bukannya takut. Dia tahu betul bagaimana Raul. Dia bisa menyakaiti orang lain
tanpa merasa bersalah. Raul orang yg bisa menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuannya.
Orion lalu tertawa kecil. Ini hanya turnaman
basket. Apa sih yg begitu serius?
Tapi begitu mengingat rumor bahwa pada saat
turnamen nanti banyak manajer tim2 basket nasional berdatangan, Orion
menghentikan tawanya dan sibuk berpikir.
"Ares!"
Sahutan Reina membuat kepala Ares terbentur kap
mobil yg sedang diperbaikinya. Ares menoleh dan mendapati Reina sedang nyengir
lebar dan melambai ke arahnya. Ares menatap bimbang mobil itu sesaat, lalu
memutuskan untuk meninggalkannya sebentar.
"Bos!" sahut Ares kepada laki2 setengah
baya yg sedang duduk sambil merokok di depan sebuah Nissan Terrano.
Laki2 bernama Juanda yg merupakan bos dari Ares itu
menoleh. Ares memberi isyarat padanya untuk minta waktu sebentar. Juanda
melirik ke arah Reina yg segera tersenyum, lalu kembali
menatap
Ares. Jari kelingkingnya melambai-lambai sambil mengedikkan kepala, meminta
jawaban atas status Reina. Ares garuk2 kepala sebentar, lalu mengangguk malas.
Juanda menilai Reina sesaat, lalu segera membentuk jari telunjuk dan jempolnya
seperti lingkaran sambil memainkan alisnya. Ares melambaikan tangannya sebagai
tanda terima kasih, lalu segera menghampiri Reina.
"Apaan tuh?" tanya Reina geli.
"Apaan apa?" Ares balas bertanya sambil
duduk di atas tumpukan ban. Reina hampir saja ikut duduk juga kalau tidak
dicegah Ares.
"Tadi, kode2 tadi," kata Reina.
"Oh," Ares mengeluarkan lap dari kantong
celananya, meletakkannya di atas ban, lalu menyuruh
Reina duduk di atasnya. "Jangan dipeduliin.
Cuma kode antar montir." "Kode antar montir?" sahut Reina lagi,
sekarang sudah tertawa.
"Jadi, kenapa kamu bisa tau aku kerja di
sini?" tanya Ares. Reina hanya tersenyum jail. "Oh, jangan ngomong,"
kata Ares lagi. "Kamu ngikutin aku, kan?"
Reina nyengir. "Yep."
Ares hanya menggeleng-gelengkan kepalanya pelan
sambil tertawa kecil. Reina menatapnya lekat2.
"Res, kenapa sih kamu kerja? Apa sih yg mau
kamu beli?" tanya Reina akhirnya.
Ares balas menatap Reina yg sepertinya tampak
sangat ingin tahu. Selama beberapa saat, Ares bimbang untuk memberitahunya.
Ares merasa lebih baik menyimpannya sendiri sampai saatnya tiba.
"Itu buat kejutan, Rei," kata Ares.
"Aku belum kasih tau siapa pun." "Tapi aku kan bukan 'siapa
pun', Res," rayu Reina.
Ares menatap Reina yg sekarang wajahnya sudah
seperti 'anak anjing yg minta susu', lalu tersenyum. Ares memang tidak bisa
menyimpan rahasia apa pun darinya.
"Aku cuma mau mewujudkan cita-citaku,
Rei," kata Ares sambil berusaha membersihkan tangannya yg belepotan oli.
"Kamu tau kan, cita-citaku?"
Reina sibuk berpikir sebentar, lalu memandang Ares
seolah tak percaya.
"Res! Dulu kamu pernah bilang mau jadi pilot
kan?" tanya Reina histeris dengan tangan menekap mulutnya. Ares cuma
mengangguk.
"Bener. Aku sekarang ngumpulin duit untuk
daftar di salah satu sekolah penerbangan," kata Ares sambil menerawang.
Reina menatap Ares yg tampak benar2 berbeda. Baru
kali ini Reina melihat Ares yg penuh harapan dan percaya diri. Reina tahu tidak
mudah bagi seorang Ares untuk melakukannya. "Tapi Res, kenapa tadi pagi
kamu nggak bilang sama Om?" tanya Reina lagi.
"Udah aku bilang, ini kejutan," jawab
Ares santai. "Tapi kamu jadi kena marah-"
"Jangan khawatir soal itu," Ares memotong
kata2 Reina. "Aku udah terbiasa. Aku nggak akan nyerah hanya karna kena
marah Ayah."
Reina memandang Ares khawatir. "Res, ada
sesuatu yg harus aku omongin ke kamu. Tapi janji ya, jangan marah? Ini soal
ayah kamu."
"Ngomong aja," kata Ares penasaran.
"Res, mungkin kamu memang udah terbiasa kena
marah. Mungkin kamu tau kamu kena marah bukan karna kesalahan kamu. Tapi apa
ayah kamu tau? Apa kamu nggak ngerasa kalo selama ini ayah kamu juga menderita
karna selalu marahin kamu?" tanya Reina. "Apa kamu mempertimbangkan
kesehatannya? Dia udah tua, Res," kata Reina lagi.
Ares terdiam. Reina benar. Ares tak pernah
melakukannya.
“Capek, Ri?" tanya Ibu begitu melihat Orion
masuk dari pintu depan. "Banget, Bu," Orion membanting tubuhnya ke
sofa. "Si Reina ke mana, Bu?"
"Katanya sih mau ke tempat kerjanya
Ares," kata Ibu sambil menyuguhkan segelas es cokelat untuk Orion. Orion
mengernyitnya tak suka.
"Bu, aku udah gede," kata Orion sebal.
"Jangan perlakuin aku kayak anak kecil lagi dong."
"Masa sih?" tanya Ibu genit.
"Aduh... padahal rasanya baru kemarin Ibu nganterin kamu ke TK..."
Orion memasang tampang masam. Ibu selalu melakukan
semua untuknya. Ibu tak pernah membiarkan Orion mengambil nasinya sendiri,
menyiapkan sarapannya sendiri, ataupun bangun sendiri. Di umurnya yg sudah dua
puluh ini, Orion masih merasa diperlakukan seperti anak umur lima tahun.
"Malu, ah, Bu. Mulai besok2 nggak usah kayak
gini lagi," kata Orion lagi. "Besok2 aja ya?" sahut Ibu dari
dapur. "Kamu rela Ibu nggak ada kerjaan lagi?"
"Kenapa sih Ibu cuma manjain aku? Kenapa ke
Ares nggak pernah?" tanya Orion, membuat Ibu menjatuhkan piring
kesukaannya.
Orion terkejut dengan suara itu, jadi dia segera
melompat ke dapur. Orion melihat Ibu sedang memungut pecahan2 piring.
"Adah... Ibu ngapain sih?" Orion membantu
Ibu yg sudah berlinang air mata.
"Bu! Ibu kenapa? Ada yg luka?" sahut
Orion panik sambil memeriksa jemari Ibu. Tapi, tak satu pun terluka.
"Udah terlambat, Ri," kata Ibu di tengah
isaknya.
Orion menatap Ibu tak mengerti.
"Ares udah terlalu marah sama Ibu... Ibu udah
nggak bisa berbuat apa2 lagi sama dia..." Orion pun paham. Bertahun-tahun
Ibu mendapat kesempatan untuk memberi Ares perhatian yg lebih, tapi tak
dilakukannya. Semua orang tak melakukannya. Dan sekarang sudah terlalu
terlambat bahkan untuk memulainya.
Makan malam hari ini tidak dihadiri Ayah. Ares
sebenarnya ingin bertanya keberadaannya pada
Ibu, tapi dia sangat enggan melakukannya. Reina
mengetahui maksud Ares. "Tante, Om ke mana?" tanya Reina.
"Oh, Om lagi dinas ke Bandung selama dua
hari," jawab Ibu.
Ares mendadak tak bernapsu makan. Tadinya dia sudah
membulatkan tekad untuk meminta maaf pada Ayah, tapi ternyata bahkan takdir pun
menentang keinginan mulia Ares.
Reina menepuk pundak Ares pelan, berusaha memberi
semangat.
"Emang kenapa?" tanya Ibu heran.
"Nggak apa2," jawab Ares, dan detik
berikutnya dia menyesal telah menjawab, karna sekarang mata Ibu dan Orion
mengarah padanya.
Tapi rupanya Orion dan Ibu tidak mengambil pusing
karna sekarang Ibu sudah menyodorkan nasi kepada Orion. Orion menolaknya, lalu
mengedikkan kepalanya tanpa kentara ke arah Ares. Ibu memandang Ares bimbang
sesaat.
"Res," Ibu menyodorkan secentong penuh
nasi ke piring Ares.
Ares bengong sesaat, tidak memercayai
penglihatannya. Setelah Reina menyikutnya, baru Ares tersadar.
"Oh, eh, iya," kata Ares kikuk sambil
menyodorkan piringnya sehingga Ibu bisa menaruh nasi di atasnya. "Mm...
makasih," gumam Ares pelan setelah piringnya terisi penuh.
Orion dan Reina berpandangan sebentar, lalu saling
melempar senyum penuh arti. Sementara Ares mengamati nasinya, Ibu bangkit dan
berjalan ke dapur. "Tante mau ke mana?" sahut Reina.
"Ng... ke dapur, ngecek sayur!" sahut Ibu
dari dapur.
Ibu tidak mengecek sayur, Orion tahu betul. Ibu
pasti sedang menangis lagi.
"Yg semalem itu, lucu banget ya?" kata
Reina kepada Orion besok siangnya.
Orion mengangguk sambil tersenyum simpul. Mengingat
wajah Ares yg tampak luar biasa salah tingkah saat Ibu menyendokkan nasi
untuknya semalam, sangat membuat Orion geli. Tapi begitu mengingat wajah Ibu yg
luar biasa terharu, Orion membatalkan niatnya untuk tertawa.
"Nggak nyangka, Ares bisa begitu salah
tingkah," kata Reina, juga masih dengan senyum tersungging di wajah.
"Lucu banget."
"Aku rasa dia udah mulai ngebuka
hatinya," kata Orion.
"Bener banget," Reina setuju. "Dan
aku rasa, di sini ada seorang lagi yg harus berbuat sama." Orion memandang
Reina sebentar. "Kamu tau? Itu nggak akan mudah-"
"Jangan bilang gitu dulu sebelum
mencoba," Reina menepuk pundak Orion. "Just give it a shot."
"Dalam arti sebenarnya, boleh juga," kata Orion disambut tawa Reina.
"Eh, kamu tau? Ada yg bisa kita lakuin. Mm...
sebenernya sih, udah mau aku lakuin sejak tidur di kamarnya Ares. Aku mau
pasang poster di langit-langitnya! Kamu bantuin, ya?" tanya Reina.
"Kamu kayak nggak ada kerjaan aja," kata Orion heran. "Bukannya
dilepasin, malah mau dibanyakin. Kamarnya tuh udah kayak sarang rock
star!"
"Justru itu," Reina memainkan alisnya.
"Ayolah Ri... Aku pengen banget pasang poster gedenya
Mick Jagger di atas tempat tidurnya. Pasti shock berat!"
"Oh yeah," komentar Orion sinis. "Shock banget pasti."
"Ayo dong Ri... Katanya kamu mau memperbaiki
hubungan kamu sama Ares? Ntar aku deh yg bilang kalo yg masang poster itu
kamu!" rayu Reina lagi.
"Iya, iya!" sahut Orion akhirnya.
"Tapi nggak usah repot2! Bilang kamu aja yg pasang."
"Iya deh..." kata Reina lagi. "Orion
baek deh... Eh, masuk yuk? Kita kerjain sekarang. Lagian, kayaknya udah mau
ujan."
Orion mengikuti Reina yg melangkah riang ke dalam
rumah. Entah mengapa Orion merasakan firasat buruk. Tapi mungkin itu karna dia
hendak memasuki kamar Ares.
"Ri, pegang aku erat2 ya! Jangan sampe
jatoh!" sahut Reina yg sekarang sudah duduk di pundak Orion. Kedua
tangannya memegang poster besar Mick Jagger.
"Iya, iya! Berisik banget sih! Berat
tau!" seru Orion sambil berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya di atas
kasur.
"Jangan goyang2!" sahut Reina lagi.
"Miring nih Mick-nya!"
"Emangnya aku peduli!" balas Orion.
"Cepetan dong! Kram nih kakiku!"
Reina tak bisa menempelkan posternya dengan benar
karna Orion selalu bergoyang-goyang. Saat akhirnya kaki Orion tak kuat lagi
menopang tubuh mereka, Reina terjatuh dan menimpa Orion yg sudah lebih dulu
terjatuh ke kasur.
Reina dan Orion tergelak-gelak menertawakan
kebodohan mereka.
Hari ini Ares bekerja dengan giat. Terlalu giat,
mungkin. Ares merasakan seluruh tubuhnya lumpuh total setelah mengerjakan dua
mobil mogok sekaligus.
Ares memasuki rumahnya tanpa semangat, lalu
berjalan gontai menuju sofa, bermaksud membanting dirinya ke sana. Tapi begitu
mendengar gelak tawa Reina dan Orion dari kamarnya, Ares memaksakan tubuhnya
bergerak ke arah kamarnya dan membukanya.
Reina dan Orion sedang... entahlah. Ares tidak bisa
menebaknya. Hanya saja, jelas bukan hal yg baik jika melihat posisi mereka
berdua. Reina berada tepat di atas tubuh Orion, dan mereka berdua sedang
tertawa riang. Ares dapat merasakan seluruh ototnya mengejang, dan darahnya
mendidih dalam hitungan detik. Saat menyadari Ares di ambang pintu, Reina dan
Orion berhenti tertawa, lalu segera memisahkan diri.
Ares mengepalkan kedua tangannya. Tepat pada saat
ini, Ares ingin membunuh mereka berdua. Tapi hati kecil Ares mencegahnya
mati-matian.
Ares bisa melihat Reina berusah menjelaskan
sesuatu, tapi tak ada sedikit pun yg bisa terdengar oleh Ares sekarang. Telinganya
berdenging keras, seperti ada sesuatu yg telah mengganjalnya. Reina bergerak
mendekati Ares, tapi Ares tak akan membiarkannya. Ares tak akan membiarkan
gadis ini mendekatinya lagi. Tidak sekali pun lagi dalam hidupnya.
"Minggir lo!" sahut Ares sambil menepis
tangan Reina sehingga Reina terjatuh.
Orion segera berlari menuju Reina dan membantunya
berdiri. Ares sungguh muak melihat mereka. Jadi, Ares segera menyingkir dan
berlari sekuat tenaga ke luar rumah, menembus lebatnya hujan yg tiba2 turun.
Ares sudah tidak memedulikan keletihannya. Yg Ares
inginkan sekarang hanyalah mati. Ares selalu tahu bahwa hidupnya tak akan
semulus yg dia kira. Tidak mungkin bisa semulus ini. Ares berteriak sekuat
tenaga, melepaskan amarahnya.
"Ares!" sahut Reina di belakangnya. Ares
tak mempunyai keinginan untuk menoleh. "Ares, kamu harus dengerin
aku!"
Ares bisa merasakan air matanya sudah berbaur
bersama air hujan. Ares merasa tak perlu mendengar apa pun lagi. Ares sudah
terlalu lelah berusaha. Pada akhirnya, dia akan kehilangan semuanya.
"Ares, please..."
"Lo bilang semua orang butuh kesempatan
kedua," gumam Ares dingin. "Dan gue udah ngasih lo dua kali. Trus apa
yg membuat lo berpikiran kalo gue bakal kasih lo sekali lagi?"
Reina terisak hebat. "K-kamu ha-harus
denger..," suara Reina yg gemetar tenggelam dalam derasnya hujan.
"Elo tuh," Ares menggeleng-gelengkan
kepalanya tak percaya. "Lo tuh dari luar manis banget. Tapi, di dalem lo
tuh ancur!"
Reina tak bisa menjawab karna sudah sangat
kedinginan, ditambah lagi isakannya yg menghebat.
"You know, I thought I knew you, but somehow I
was wrong," kata Ares lagi. "You're the sweetest little... witch I
ever knew."
Isakan Reina berhenti begitu saja saat mendengar
kata2 itu keluar dari mulut Ares. Reina menatap Ares yg juga sedang menatapnya
tajam. Walaupun kulitnya terasa dingin, Reina merasa hatinya panas setelah Ares
mengatainya.
"Jelas banget kalo kamu nggak pernah kasih aku
sedikit pun kepercayaan," kata Reina. "Kamu berani-beraninya ngatain
aku. Berani-beraninya! Aku sayang banget sama kamu, Res! Kenapa kamu nggak mau
dengerin aku?!"
Ares menatap bimbang Reina yg menggigil. Kepala
Ares dipenuhi berbagai hal yg belum selesai;
pekerjaannya, kuliahnya, orangtuanya. Ares mengira
salah satu masalahnya yaitu Reina sudah selesai. Tapi ternyata belum. Apa yg
dilihat Ares tadi sudah cukup untuk menjelaskan.
"Kenapa lo nggak ngebiarin gue sih Rei? Kenapa
sih lo harus bikin gue gila?" tanya Ares lelah.
"Res, kamu salah..." jerit Reina putus
asa. "Tadi itu, poster Mick..."
Ares tak mau mendengar lagi. Sekarang Reina malah
mengigau soal sesuatu yg tak masuk akal. Ares menjambak-jambak rambutnya, lalu
berbalik berjalan menjauh, meninggalkan Reina yg terduduk di
jalan. Reina bisa
mendengar raungan Ares, seperti serigala
yg sedang terluka.
Reina tak bisa berbuat apa2. Untuk membuat Ares
percaya pertama kali saja sudah membutuhkan usaha Reina yg setengah mati, dan
sekarang Reina hampir tidak punya sisa tenaga lagi untuk membuatnya kembali
percaya.
Reina kembali terisak. Hatinya sakit mengingat perkataan
Ares tadi.
Dipo dan Wanda berpandangan cemas, tapi membiarkan
Ares mengamuk di gudang tempat mereka biasa berlatih. Ares menendang apa pun yg
dilihatnya. Wanda segera menahan tubuh Ares saat dia mengincar drum milik
Wanda. Dipo segera turun tangan membantunya.
"Res, tenang!" sahut Dipo yg bersusah
payah mencegah Ares menghancurkan speaker. Ares tak mendengar apa pun. Dia
hanya mendengar dengingan keras di kepalanya, yg membuatnya pusing berat, dan
ingin menghancurkannya.
"Res, berhenti! BERHENTI!" teriak Wanda,
lalu memegangi kedua tangan Ares yg telah memukul-mukuli kepalanya sendiri
dengan kalap.
Ares tidak berhenti menggeliat dan berusaha
melepaskan diri dari kedua temannya. Ares tak tahu lagi harus melakukan apa
selain bunuh diri. Untuk sesaat selama beberapa hari yg lalu, Ares menemui
kenyataan bahwa tak ada setitik pun kebahagiaan yg ditakdirkan padanya.
"RES!" sahut Wanda lagi, lalu detik berikutnya merasakan pelipisnya
terhantam keras. Wanda barusan memukulnya, napasnya terengah-engah.
Ares terdiam sebentar, memegangi pelipisnya yg
terasa berdenyut-denyut, lalu terduduk lemas di atas speaker. Matanya kosong.
Pikirannya menerawang entah ke mana.
"Gue bener2 bego... Gue pikir, gue pikir,
untuk sekali aja dalam hidup gue, gue akhirnya bisa bahagia... Bisa nyenengin
orang... bokap gue... tapi apa gunanya sekarang, hah, apa? Nggak ada yg pernah
ngehargain gue... nggak ada satu orang pun yg bisa ngertiin gue..."
Dipo dan Wanda saling pandang, heran sekaligus
cemas. Mereka kembali menatap Ares yg seakan berbicara sendiri.
"Bahkan... orang2 yg paling gue sayangin di
dunia ini... ternyata nggak pernah sekali pun ngebalas perasaan gue... Gue
nggak lebih dari seonggok sampah... Sampah yg nggak berguna... yg nggak menarik
perhatian siapa pun... yg bagusnya cuma diludahin... dilecehin...
ditinggalin..."
"Res, jangan berlebihan kayak gitu," kata
Dipo, setengah ngeri mendengarkan kata2 Ares. Ares mendelik kepada Dipo, lalu
mendadak bangkit dan mencengkeram kerah bajunya.
"Tau apa lo?" tanya Ares bengis.
"Tau apa lo soal gue? Lo bilang gue berlebihan? Lo nggak tau apa2!!"
teriaknya lagi lalu sebuah pukulan melayang pada wajah Dipo.
Wanda segera bergerak memisahkan Ares dan Dipo yg
sekarang sudah terduduk dengan bibir yg sobek. Dipo menyeka darah yg menetes
dari mulutnya lalu memandang Ares geram. Ares tak peduli.
"Res, emangnya salah siapa selama ini kita
nggak tau apa2?" teriak Dipo kesal.
Ares menatap Dipo sejenak, lalu beralih ke Wanda yg
sudah memandangnya lebih dahulu. "Res, Dipo bener. Selama beberapa tahun ini
lo nggak pernah cerita apa pun sama gue dan Dipo. Trus kenapa sekarang kita
harus ngertiin lo?" kata Wanda tenang. "Kalo lo belum sadar juga,
kita udah bertemen dari SMA, tapi ternyata lo terlalu sibuk dengan pikiran
lo-nggak- disayang-sama-siapa-pun lo! Lo nggak sadar dengan siapa lo empat
tahun ini bergaul?!"
Ares bengong, menatap Dipo dan Wanda bergantian.
Seakan baru tersadar dari mimpi yg panjang, Ares mundur beberapa langkah sambil
menjambak-jambak rambutnya yg ikal. "Sori," kata Ares setelah ia kembali
terduduk lemas. "Sori. Gue bener2... bego."
Wanda dan Dipo berpandangan, lalu bersama-sama
menghampiri Ares. Dipo mengempaskan dirinya ke sebelah Ares, lalu menghela
napas.
"Jadi, man, apa masalah lo?" tanyanya
tanpa memandang Ares.
Wanda tersenyum menatap kedua temannya itu, lalu
ikut mengambil tempat di samping Ares. Wanda melirik arlojinya. "Masih ada
beberapa jam sebelum manggung," kata Wanda. "Semoga permasalahan lo
bisa dipadetin jadi beberapa jam aja."
Ares menoleh ke kanan dan ke kiri untuk menatap
kedua temannya, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya pelan.
"Gue rupanya dulu bener2 bego," sesalnya.
"Terima kasih, Tuhan," kata Dipo segera
sambil mengelus ujung bibirnya. "Ternyata si bego ini akhirnya menyadari
kebegoannya... walaupun membutuhkan sedikit pengorbanan..."
Wanda dan Ares berpandangan geli.
"Rei, udah dong, jangan nangis terus,"
Orion berusaha sekuat tenaga menghibur Reina yg sudah menangis semalaman.
"Ibu nanyain terus tuh."
Reina tidak menjawab. Dia tetap menangis tanpa
suara sambil memandang ke luar jendela, berharap Ares memanjat jendela itu dan
tersenyum kepadanya. Orion menggeleng putus asa. "Rei, kamu harus makan.
Kamu udah semaleman nggak makan. Ntar kamu sakit," kata Orion lagi sambil
menyodorkan sepiring nasi bistik kepada Reina.
Reina bergeming, membuat Orion semakin putus asa.
Semalam Ares tak pulang, dan yg dilakukan Reina hanyalah menangis sambil
menatap jendela seperti ini. Orion menghela napas. "Rei," Orion
menarik dagu Reina sehingga menghadapnya. Orion terkejut melihat wajah Reina yg
pucat dan matanya yg bengkak. Tubuh Reina juga terasa seperti bara. Reina
demam.
Reina menatap kosong Orion sebentar -membuat hati
Orion pedih- lalu kembali menatap jendela. Orion bangkit dari tempat tidur,
lalu melangkah besar2 menuju motornya setelah memberitahu Ibu soal keadaan
Reina.
Hanya satu tempat Ares biasa bersembunyi. Dan Orion
bersumpah akan mengakhiri ini sekarang juga.
"Duitnya mau lo pake apaan sih, Res?"
tanya Dipo saat mereka menghitung bayaran yg mereka terima setelah manggung
semalam.
Ares sadar bahwa dia belum memberitahu Wanda dan
Dipo perihal sekolah penerbangannya. Setelah menerima pandangan curiga dari
kedua temannya, Ares memutuskan untuk memberitahu mereka.
"Wuah, keren amat!" sahut Dipo
bersemangat. "Lo kumpulin duit sendiri?" Ares mengangguk sementara
Dipo bersorak lagi mengagumi Ares.
"Lo belum kasih tau orangtua lo?" tanya
Wanda. "Mereka pasti ngetawain gue," kata Ares skeptis.
"Pantesan lo selama ini giat banget nyari
order!" sahut Dipo, rupanya tak mendengar percakapan Wanda dan Ares.
"Nih, jatah gue, buat lo aja," Wanda
menyerahkan uang hasil pembagian kepada Ares yg melongo. "Gue pinjemin
deh," sambung Wanda lagi.
"Wah, thanks banget, Nda." kata Ares
sambil menyelipkan uang itu ke saku bajunya.
"Um... punya gue juga deh," setelah
beberapa saat, lalu menyurukkan uangnya ke tangan Ares. Ares nyengir.
"Wah, thanks. Gue bener2 butuh ini. Ntar kapan2 gue balikin."
Ares sudah merasa lebih baik sejak semalam, setelah
menceritakan semua permasalahannya kepada Dipo dan Wanda. Ares mendapatkan
banyak masukan dari mereka. Dan Ares memutuskan untuk tetap meneruskan
cita-citanya, entah itu akan membuat bangga siapa pun atau tidak.
Baru ketika Ares merasa lebih baik, pintu gudang
menjeblak terbuka, dan Ares mendapati Orion berdiri di sana. Seketika darah di
tubuh Ares menggelegak.
"Ngapain-"
Belum sempat Ares menyelesaikan kata-katanya, Orion
sudah menyerangnya. Ares dapat merasakan pelipisnya berdenyup keras. Wanda dan
Dipo hanya bengong melihat kejadian yg berlangsung sangat cepat ini.
"Lo..." Orion menyerang Ares lagi sebelum
dia sempat berdiri, kali ini pipi kanannya. "...emang...," kata Orion
lagi sambil menyerang pipi kirinya. "BEGO!" sahut Orion, dan Ares
terkapar di lantai.
Orion terengah-engah, tak menyadari perbuatannya
sampai dia melihat Ares tergeletak bersimbah darah di lantai gudang. Ares
bangkit dengan cepat, menyeka darah dari mulutnya sembarangan, lalu dengan
tatapan membunuh dia menyerang Orion yg tak sempat berkutik. Giliran Orion yg
diserang membabi buta oleh Ares. Dengan segera Orion terkapar, tanpa bisa
bangkit lagi. Ares menatap Orion benci, lalu membungkuk di atasnya yg
terbatuk-batuk mengeluarkan darah.
"Lo pikir-"
"Reina sakit!" jerit Orion memotong kata2
Ares.
Ares terdiam sesaat, lalu tersenyum licik.
"Gue nggak peduli. Bukannya dia udah punya elo?" "GOBLOK!"
sahut Orion, darahnya memuncrat ke wajah Ares. "Dia cuma mau lo!
Elo!"
Ares menatap Orion ragu, lalu teringat bahwa dia
tak ingin percaya apa pun lagi. "Jangan bilang kalo lo mau ngibulin gue
lagi, karna-"
"Gue nggak bohong!" sahut Orion susah
payah" dia hampir menelan giginya yg patah. "Dia sekarang nggak mau
makan, dia nggak mau apa pun semenjak lo pergi! Dia sakit, Res! Kalo lo pikir
gue bohong, lo pulang, trus lo liat gimana keadaannya di kamar lo! Dia kayak
mayat hidup!" "Lo bohong!" jerit Ares kalap. Dihentakkannya
kepala Orion sehingga belakang kepala Orion membentur lantai. "Kalian cuma
mau ngibulin gue lagi!"
"Kenapa lo pikir gue capek2 ke sini ngasih tau
lo? Kalo gue mau, gue nggak bakal nyuruh lo pulang! Tapi ini demi Reina,
satu-satunya alasan dia tetep hidup itu lo!" sahut Orion lagi. "Lo
pikir gue seneng apa, denger gue sendiri ngomong kayak gini?"
"Tapi kemaren... kemaren... lo sama dia-"
"Jangan bego!" teriak Orion. "Itu
cuma kecelakaan! Reina jatuh nimpa gue waktu dia masang poster -ah, udahlah!
Sana cepet pergi! Nanti juga lo tau!"
Ares perlahan melepaskan Orion, mundur dan
memandang Orion yg masih terbaring lemah. Ares melirik kedua temannya yg sama2
menyuruhnya pergi. Akhirnya, setelah beberapa saat, Ares berlari pergi walaupun
dengan wajah bimbang.
Orion mengempaskan kepalanya ke lantai, membiarkan
kepalanya berdenyut gila-gilaan, lalu memejamkan matanya. Orion tidak akan
menyangka dirinya akan berbuat seperti ini. Tapi entah kenapa, Orion merasakan
kelegaan yg amat sangat.
Orion membuka matanya lagi, lalu menoleh ke arah
kedua teman Ares. "Halo," sapanya,
disambut cengiran Dipo dan Wanda.
Dipo dan Wanda buru2 menghampiri Orion saat Orion
berusaha bangun. "Lo oke?" tanya Wanda sambil membantu Orion duduk.
"Cariin obat buat muntah dong," kata
Orion. "Kayaknya gigi gue ketelen, nih."
Ares tak tahu apa yg membuatnya kembali ke rumah
ini. Perkataan Orion tentang Reina sangat tidak masuk akal. Reina kemarin sudah
melakukan hal yg sangat buruk di mata Ares, dan tidak mungkin hal itu cuma
kecelakaan. Dan Reina tidak mungkin jatuh sakit begitu saja hanya karna ditinggal
oleh sampah semacam Ares.
Ares seketika sangat membenci dirinya sendiri,
mengapa dengan mudah terkena hasutan Orion. Ares bersumpah akan membunuh Orion
saat dia kembali ke gudang nanti.
Tapi Ares tidak langsung berbalik pergi. Dia
berdiri tepat di balik jendela kamarnya sendiri, menimbang-nimbang. Ares benar2
ingin pergi, tapi Ares juga ingin melihat Reina lagi. Ares melangkah hati2,
lalu mengintip ke dalam kamar.
Ares tecekat. Reina tampak terbaring lemas di
kasurnya, tidur, dengan tiang infus di sebelahnya.
Di luar kesadarannya, Ares sudah melompat masuk ke
kamarnya sendiri. Ares menahan napas saat melihat wajah Reina yg cantik, tapi
sepucat salju. Matanya bengkak dan meninggalkan lingkaran hitam di sekeliling
matanya. Ares juga bisa melihat bekas air mata yg sudah mengering di pipi
Reina.
Ares terpancang di tempatnya sambil melihat Reina,
ketika dia menyadari sesuatu. Di atas tempat tidurnya, sebuah poster super
besar Mick Jagger terpasang miring. Ares jadi teringat saat Reina mengatakan
sesuatu kemarin. Tadi itu, poster, Mick... dan ucapan Orion tadi... Itu cuma
kecelakaan! Reina jatuh nimpa gue waktu dia masang poster...
Ares mendengus dan menjambak rambutnya. Dia tertawa
pedih, tak percaya pada apa yg sudah dilakukannya. Dia membuat Reina seperti
ini hanya karna salah memahami bahwa dia sedang bermesraan dengan Orion... yg
ternyata hanya sebuah kecelakaan saat memasang poster...
Ares membenci dirinya sendiri. Sangat benci,
sehingga dia bisa melakukan apa pun untuk membunuh dirinya sendiri.
"Ares?" tanya seseorang, membuat Ares
tersentak.
Ibu. Dia sedang menatap Ares keheranan dari ambang
pintu. Ares balas memandangnya nyalang.
"Dokter bilang dia nggak apa2. Cuma masuk
angin dan pilek karna kehujanan, terus dipasang infus karna dari kemaren nggak
mau makan. Nggak apa2 kok," tambah Ibu lagi, setelah melihat ekspresi Ares
yg khawatir.
Ares hanya mengangguk pelan, lalu menatap Reina
lagi. Ares membuka mulut, bermaksud mengatakan sesuatu, lalu menutupnya lagi.
"Jangan menyalahkan diri," kata Ibu lagi,
membuat Ares menatapnya heran. "Jaga dia ya, Ibu mau bikin bubur
dulu."
Ibu lalu meninggalkan Ares yg masih melongo. Ares
tak tahu Ibu tahu tentang hubungannya dengan Reina.
Mendadak Reina bergerak, membuat Ares bersiap untuk
kabur. Ares sudah melakukan hal buruk kepadanya, dan Ares merasa tak cukup
berharga lagi untuk Reina.
"Ares?" sahut Reina lemah, dan langkah
Ares terhenti di bingkai jendela.
Ares membalikkan badannya dan menatap Reina yg
sudah memandangnya. Air mata mengalir dari kedua mata Reina. Ares ingin sekali
menghapusnya, tapi dia tak yakin apa Reina sudah memaafkan segala kelakuan Ares
kemarin.
"Res, jangan hukum aku lagi," kata Reina
lirih. "Aku mohon."
Mendengar kata2 itu, Ares benar2 merasa dirinya
sebagai sampah yg tak berharga. Reina bahkan masih mengharapkannya setelah apa
yg dilakukannya kemarin.
"Kenapa kamu nggak benci aku, Rei?" tanya
Ares lemah. "Aku udah salah kemarin. Kenapa kamu nggak benci aku?"
"Aku nggak bisa benci sama kamu."
"Harusnya kamu benci sama aku! Harusnya kamu
tinggalin aku! Aku berhak menerima itu! Semua tuduhan nggak berdasar itu-"
"Res," Reina memotong kata2 Ares.
"Kamu mungkin bisa ninggalin aku, tapi aku nggak bisa."
"Bisa-bisanya kamu ngomong kayak gitu!"
sahut Ares marah. "Aku cuma ngerasa nggak pantes ada di deket kamu! Aku
tuh hina, dan kamu nggak seharusnya bersama orang kayak aku! Kamu berhak dapet
orang yg lebih baik!"
Reina terisak dan Ares harus menahan mati-matian
keinginannya untuk memeluk Reina. "Res, aku mohon," kata Reina lagi.
"Minta maaf juga cukup."
"Nggak cukup dengan minta maaf!" sahut
Ares lagi. "Aku harusnya mati atau gimana! Aku bahkan nggak cukup bagus
untuk bernapas di udara yg sama dengan kamu!"
"Res, aku nggak pernah bilang kalo aku lah yg
baik. Kemaren aku sempet putus asa, aku sempet berpikir kalo aku akan ngelupain
kamu. Aku juga lemah, Res. Aku nggak bisa meyakinkan kamu. Aku berpikir bakal
kehilangan kamu selamanya. Nggak apa2 kalo itu emang kesalahanku. Tapi aku
nggak tau apa aku bakal bertahan hidup dengan kenyataan itu cuma salah
paham!" sahut Reina, air matanya berurai.
Ares tidak pernah merasakan penyesalan yg seperti
ini. Penyesalan yg membuatnya ingin kembali ke masa lalu, untuk memercayai
Reina sepenuhnya tanpa pernah menyangsikannya. Ares menatap Reina yg sudah
duluan menatapnya.
"Sini," kata Reina lembut sambil
merentangkan tangannya. Ares memandang tangan itu beberapa saat, berpikir bahwa
dia tidak berhak menyentuhnya. "Ayo, minta maaf," kata Reina lagi.
Ares merasa semua persendiannya melemas. Dengan
langkah pelan, dia bergerak menuju Reina sambil bersumpah tidak akan pernah
menyangsikan Reina lagi seumur hidupnya. Ares terduduk di samping Reina yg
mengacak rambut Ares penuh sayang.
"Maafin aku, Rei," kata Ares meremas
punggung tangan Reina, tak bisa membendung air matanya. "Aku bener2... aku
bener2..."
"Sshh," kata Reina. "Dimaafin.
Sekarang, tolong jangan ke mana2 sementara aku tidur."
Ares menyaksikan Reina yg tertidur dengan senyuman
di wajahnya, damai seperti peri. Ares mencium punggung tangan Reina, yg sedari
tadi tak dilepasnya.
Ares tak akan ke mana2 lagi, bahkan saat Reina
tertidur.
No comments:
Post a Comment