“Cinta itu memilih. Memilih dari dua yang paling berarti : dia yang berjalinan darah denganmu, atau dia yang sedang mengandung darah dagingmu?”
7
Mereka berdua bertatapan
dengan cemas dan wajah pucat. Saira
sendiri
begitu cemas,
suaminya
memperlakukannya
dengan buruk dan sekarang dia hamil, hamil bukan dari buah cinta perkawinannya tetapi dari pemaksaan yang dilakukan suaminya kepadanya.
Akan seperti apakah Leo memperlakukan anaknya nanti? Sementara dia memperlakukan Saira seperti ini?
Bagaimanakah anak ini akan tumbuh dan besar? Akankah Leo
memperlakukannya dengan buruk?
Tiba-tiba insting ingin melindungi
anaknya tumbuh dari benak Saira, dia langsung merangkulkan lengannya
dan memeluk perutnya dengan waspada. Kalau Leo ingin menyakiti anak dan bayinya, berarti dia harus berjuang, kemarin Saira
pasrah dan menyerah karena dia merasa dirinya sebatang kara, sekarang dia mempunyai
seorang bayi yang tumbuh di dalam
rahimnya, dan dia harus berjuang melindungi anaknya.
“Kau harus ke dokter.” Leo memandangi
Saira yang memeluk perutnya sambil mengernyit, “Kita ke dokter sekarang.”
“Aku
bisa
pergi sendiri.”
Saira tiba-tiba ingin menjauhkan Leo sejauh mungkin dari calon anaknya. Dia tidak percaya kepada Leo.
“Sekarang, Saira.” Leo menggeram merenggut
lengan Saira dengan kasar, ketika melihat Saira mengernyit dia langsung melepaskan
pegangannya
tampak bingung harus berbuat apa, “Pokoknya ikut aku.”
Saira memegangi lengannya
yang
sakit, sekilas melihat kebingungan yang muncul dari tatapan mata Leo dan menarik
kesimpulan. Leo tampak sama bingungnya dengannya, lelaki
itu sepertinya tidak mengira keadaan akan seperti ini. Kemudian
dia menghela napas panjang dan memutuskan untuk mengikuti kemauan Leo. Lagipula dia
ingin memastikan keadaannya di dokter.
Dengan langkah ragu, dia mengikuti Leo memasuki mobil hitamnya yang besar itu, dan duduk di kursi penumpang
di sebelahnya. Sepanjang perjalanan mereka tidak bercakap-
cakap, hanya
diam dan
sibuk dengan
pikirannya masing- masing.
***
“Kantong kehamilannya sudah kelihatan, dan hasil tes
labnya positif, usia kandungannya sudah enam minggu.” Dokter perempuan itu tersenyum, “Selamat nyonya.”
Saira membalas senyuman
dokter yang ramah itu
dengan gugup, sementara
Leo sendiri tampak pucat pasi
menerima kepastian kabar itu.
Ini
pasti bukan yang diharapkan lelaki itu.
Saira menatap ekspresi shock Leo dan menghela napas
panjang. Tetapi dia benar-benar hamil. Dengan lembut
dielusnya perutnya,
penuh kasih sayang. Dia tidak tahu bagaimana caranya menjadi ibu, tetapi yang pasti dia akan menjaga anak ini sepenuh
hatinya. Matanya bersinar penuh sayang, karena kehadiran anak ini, dia tidak sebatang kara lagi.
Saira mengangkat kepalanya, dan matanya bertatapan dengan Leo yang sedang mengamati perutnya. Lelaki itu lalu
menatap mata Saira dan mengalihkan pandangannya. Ekspresinya tidak terbaca.
***
Setelah mengantarkan
Saira pulang, Leo langsung pergi lagi, setengah mengebut dia menuju rumahnya yang ada di pinggiran kota. Menuju Leanna.
Rumah besar bercat putih itu tampak lengang,
ketika Leo memarkir
mobilnya di halaman dia merenung dan menyadari bahwa
selalu ada nuansa
sedih di dalam rumah ini. Suasana sedih yang menggayuti hatinya. Dia melangkah
menaiki tangga menuju kamar Leanna,
rumah tampak
sepi
karena masih siang hari. Mungkin Leanna
sedang tidur siang dan para pelayan sedang sibuk menyiapkan hidangannya
di dapur.
Dengan hati-hati, dibukanya kamar adik kembarnya
itu, dilihatnya Leanna
sedang tidur pulas. Tetapi rupanya Leanna menyadari kedatangannya, matanya terbuka, meskipun hampa
dan
kosong, tetapi menunjukkan kalau dia sudah bangun.
“Hai sayang.” Leo memang selalu memanggil Leanna dengan panggilan
sayang, sebagai bentuk kasih sayangnya
kepada adiknya, “Apa kabarmu?”
Leanna yang masih berbaring menjulurkan tangannya
ke arah suara Leo dan tersenyum, “Kangen.”
Leo duduk di pinggir ranjang dan menggenggam tangan adiknya.
Kadangkala ketika kondisi
Leanna
sedang
baik, dia bisa diajak komunikasi dengan
lancar, meskipun hanya sepatah-sepatah kata.
“Aku
juga
merindukanmu.” Hati Leo terasa perih melihat
kondisi Leanna yang terbaring tak
berdaya, seketika pikirannya
melayang
ke
arah Saira, Saira yang sedang mengandung
anaknya. Akankah dia jadi seperti
ayahnya? Mengkhianati Leanna karena Saira? Jantung Leo serasa direnggut dan
napasnya terasa sesak, “Maafkan aku.”
Suaranya berubah serak,
“Maafkan aku Leanna. Tetapi
aku tidak bisa melukai Saira lagi... dia..
dia
mengandung anakku,
dan aku...
aku
tidak mungkin
menyakitinya, aku.. aku telah jatuh dalam perasaanku sendiri.” Suara Leo tercekat, menatap Leanna yang masih memasang
eksrpresi kosong, “Maafkan aku Leanna, aku jahat sama seperti ayah. Aku mengkhianatimu
karena telah kalah dengan perasaanku sendiri.. maafkan aku Leanna, maafkan aku....”
Suara Leo yang penuh kesedihan dan keputus asaan menggema di kamar yang sepi itu, dan tidak ada jawaban dari Leanna.
Bahkan Leo tidak tahu
apakah Leanna mengerti kata-
katanya atau tidak.....
***
Leo merenung sendirian
di
ruang tamu rumah
itu. Leanna tampaknya lelah dan dia tertidur lagi di atas.
Dia merenungi semua
rencananya yang sudah pasti akan berubah total. Kehamilan Saira sudah merubah segalanya.
Dia berencana membuat Saira tersiksa dan menderita
secara mental. Tetapi hal itu tidak mungkin bukan dilakukannya kalau Saira sedang mengandung anaknya?
Dengan frustrasi Leo meremas rambutnya
sendiri, mengutuk kebodohannya karena malam itu, ketika dia
memaksakan kehendaknya
kepada Saira, dia tidak teringat untuk menggunakan pengaman. Dia terlalu marah waktu itu
sehingga bertindak tanpa
pikir panjang,
ingin menghukum Saira
dengan
cara terburuk yang
dia
tahu. Tetapi
itu hanya
terjadi satu kali, siapa yang mengira bahwa Saira langsung hamil?
Tetapi penyesalan
tidak ada gunanya, sekarang
Leo
harus memikirkan
langkah ke depannya dengan adanya perubahan situasi ini. Perempuan itu, Saira, telah terlanjur mengandung darah dagingnya.
Perempuan
hamil... Leo sama sekali tidak punya
pengalaman dengan perempuan hamil, apalagi yang sedang
mengandung anaknya. Anak itu... apakah dia menginginkannya?
Leo memejamkan
matanya, tiba-tiba merasa rapuh
ketika batinnya mengakui bahwa dia menginginkan anak itu.
***
“Aku hamil.” Saira menelepon Andre segera begitu dia
berada di kamar sendirian.
Andre tampak menahan napas di seberang telepon, dia
terperangah, “Hamil? Tetapi... bagaimana bisa? Bukankah kau bilang dia sama sekali
tidak menyentuhmu?”
Saira tidak pernah mengatakan tentang pemerkosaan
yang dilakukan Leo kepadanya saat itu, dia tidak mau menyulut kemarahan Andre. Karena
itu dengan gugup dia berdehem, berusaha terdengar normal.
“Itu pernah terjadi satu kali.”
“Apakah dengan cinta?”
Andre langsung bertanya skeptis, lelaki itu terlalu pandai untuk
dibohongi.
Saira berdehem
lagi kebingungan, lalu memutuskan
untuk jujur saja, “Tidak. Itu terjadi karena Leo marah.”
“Oh Astaga.” Suara Andre tercekat. Lalu
hening.
Saira tahu Andre sedang meredakan
emosinya. Kemudian lelaki itu
berkata lagi dengan tegas dan marah, “Dia memperlakukanmu dengan sangat buruk, Saira. Kurasa sudah saatnya kau meninggalkannya.”
“Aku
tidak bisa, Andre... bayi ini, dia anak Leo... aku tidak
bisa meninggalkan Leo begitu saja, anak ini nanti tidak akan
punya ayah.”
“Kau bisa.” Andre bergumam
tegas,
“Tinggalkan dia,
Saira. Dia sudah memperlakukanmu dengan buruk, dari ceritamu
setiap malam, ketika
kau menangis dan meneleponku, aku sudah menahan diri untuk menyerbu rumah itu dan
membawamu keluar dari sana. Kau selalu menahanku,
tetapi sekarang ada bayi itu dan aku mencemaskannya,
apakah Leo akan menyakiti bayi itu juga?”
Pertanyaan Andre menohok benak Saira, dia merenung,
Apakah Leo akan menyakiti bayi ini juga? Saira tidak tahu. Dia tidak bisa membaca Leo.
Dengan sedih Saira menghela napas panjang, “Aku tidak bisa
meninggalkan Leo, Andre...”
“Kenapa Saira? Tidak ada satu perempuanpun yang bisa
tahan seperti dirimu, direndahkan
dan
tidak dipedulikan oleh suaminya
seperti itu. Kenapa Saira? Kenapa kau bertahan?
Apakah karena kau masih mencintai si brengsek itu?”
Saira tertegun, tidak bisa menjawab.
Sampai kemudian Andre menyadari kenyataan
di balik keheningan Saira, “Oh Astaga, Saira. Kau masih mencintai Leo ya? Bahkan
setelah seluruh perlakukan buruk yang dia timpakan kepadamu?”
Saira menghela napas panjang, Andre akhirnya
menyuarakan kenyataan yang selama ini coba
Saira sangkal.
Dia
memang masih mencintai Leo, amat sangat. Dan bahkan
setelah kekasaran dan kekejaman sikap Leo kepadanya, Saira
masih menyimpan
itu, jauh di dalam hatinya yang perih dan
terlukai.
Air matanya menetes, merasakan pedihnya cinta yang tak terbalas, “Maafkan aku Andre.” Suaranya bergetar karena
tangis.
Andre menghela napas lagi dengan keras, “Kau tidak boleh seperti itu Saira, lemah karena cinta dan membiarkan dirimu ditindas tak karuan oleh suamimu. Ingat sekarang ada seorang anak di dalam perutmu
yang
membutuhkan
perlindungan dan perhatianmu, dan kuharap, ketika kelakuan
Leo sudah tidak bisa ditoleransi
lagi, kau bisa mengambil
keputusan tegas untuk
meninggalkannya, demi
dirimu
dan demi bayimu.”
Saira mengernyit
mendengar nasehat Andre. Dia menyadari bahwa kenyataan itu pada akhirnya akan datang.
Kenyataan
bahwa mungkin pada akhirnya dia harus
meninggalkan Leo.
***
Leo pulang masih dengan hati berkecamuk, bingung harus berbuat
apa. Di satu sisi dia merasa harus menjalankan
apa
yang disebutnya sebagai rencana balas dendam, tetapi di sisi lain, nuraninya
memberontak
mengingatkannya
bahwa Saira sedang mengandung anaknya.
Dan Saira sedang menunggunya,
menatapnya dengan
matanya yang lebar dan indah di ruang tamu. Entah berapa
lama perempuan itu menunggunya,
bukankah dia seharusnya sudah tidur? Bukankah perempuan hamil
seharusnya tidur
cepat?
Leo melirik jam tangannya,
sudah hampir jam duabelas, dia kemudian
bergumam
dingin kepada Saira, “Bukankah
seharusnya kau sudah tidur?”
“Aku menunggumu,
kita
harus bicara.” Jawab
Saira
singkat, menatapnya penuh tekad.
Leo mengernyit. Kalau saja dia malam ini tidak pulang dan memutuskan
menginap di rumah untuk Leanna, akankah
isterinya ini menunggunya sampai pagi?
“Kita bicara besok saja, aku lelah.” “Apakah ada perempuan
lain, Leo?”
Leo yang sedang melangkah hendak meninggalkan ruangan tertegun, dan kemudian
menatap Saira dengan
defensif,
“Apa maksudmu?”
“Kau jarang pulang, kau tampak begitu membenciku, aku
berpikir bahwa mungkin...” Saira menghela napas panjang, merasakan kesakitan ketika mengucapkan
kata-kata itu, “Aku
berpikir bahwa mungkin kau.. kau sudah menemukan
perempuan lain yang
kaucintai, dan kau
baru menyadarinya ketika kau sudah terlanjur menikahiku,
jadi
kau melampiaskan
rasa
frustrasimu dengan melakukan
semua ini kepadaku.
Aku pikir...” Saira berdehem, “Kalau memang ada perempuan
lain
yang
kau cintai, dan juga mencintaimu, aku.. aku bersedia pergi
dengan sukarela.” Saira memalingkan wajahnya dengan sedih, “Aku tidak akan memaksakan
suamiku yang tidak mencintaiku untuk hidup bersamaku.”
Leo tercenung lama, bayangan Leanna terlintas di
benaknya. Memang ada perempuan lain, meskipun tidak dalam cara seperti yang dibayangkan
oleh Saira. Leanna adalah perempuan lain itu,
adik kembar kesayangannya
yang telah menanggung begitu banyak penderitaan karena keberadaan Saira. Ayahnya yang sangat dipuja oleh Leanna, yang sangat
dirindukan kasih sayangnya
oleh
Leanna, ternyata memusatkan perhatiannya kepada Saira, mengabaikan Leanna.
Dan sekarang, Leo merasakan dorongan yang sama.
Dorongan itu sebenarnya
sudah muncul dari awal, ketika dia
mendekati Saira, merasakan kedekatan yang nyaman dan perasaan hangat yang mulai bertumbuh seiring dengan kebersamaan
mereka, sejenak Leo lupa pada keinginannya untuk membalas dendam, terlena dalam pesona Saira. Sayangnya, setiap malam ketika dia melihat keadaan Leanna, Leo selalu disadarkan bahwa dia harus menyakiti Saira untuk membalas dendam. Kemudian, dengan kejam, Leo membunuh
perasaan yang bertumbuh itu, menguncinya begitu dalam jauh
di dalam jiwanya
yang kelam.
Tetapi setelah diketahuinya bahwa Saira sedang hamil dan mengandung anaknya, perasaan itu perlahan menyembul
kembali, menyeruak tanpa
dia
sadari, membuat Leo merasa benci pada diri sendiri
karena dia sadar, kalau dia menumbuhkan rasa sayangnya pada Saira, itu sama saja dia
telah mengkhianati Leanna, melakukan hal yang sama seperti
yang
dilakukan ayah mereka kepada Leanna.
Tetapi Leo tidak mampu membohongi
dirinya sendiri, selama ini dia berhasil
bersikap kasar kepada Saira, menyakitinya sambil menipu dirinya sendiri bahwa dia
melakukannya demi Leanna.... tertapi sedikit demi sedikit
hatinya ternyata ikut tersakiti dan pedih, seiring
dengan kepedihan yang dialami Saira.
Leo tidak mampu membuat Saira
menderita lagi, Leo tidak mampu
menyakiti Saira lagi, terlebih karena sekarang
di dalam tubuh Saira, darah dagingnya
telah tumbuh dan
berkembang.
Leo menatap ke arah Saira yang masih mengamatinya
dengan bingung dan penuh ingin tahu.
“Tidak ada wanita lain.” Gumamnya ketus, lalu berlalu
meninggalkan Saira.
***
Tamu yang datang siang itu sungguh tak di duganya,
dia adalah mama Leo, perempuan yang sangat modis dan cantik
meskipun usianya sudah lebih dari setengah abad, perempuan itu tiba-tiba saja sudah datang dan duduk di ruang tamu dan mengamati Saira dari atas ke bawah.
“Kau cantik.” Gumamnya kemudian dalam senyuman,
membuat Saira yang semula menahan napas di bawah
tatapan
perempuan itu langsung menghelanya dengan lega. “Aku tidak bisa datang ke pernikahanmu
karena kondisi tubuhku agak sedikit tidak baik dan aku harus merawat diriku di luar negeri, maafkan aku. Yang pasti aku senang isteri Leo sangat cantik dan sepertinya baik.” Senyumnya.
“Terimakasih.” Saira
duduk dengan gugup di depan
mama
mertuanya.
“Kau bisa memanggilku dengan namaku saja, panggil aku Clara. aku kurang suka dipanggil dengan sebutan ‘tante’,
atau ‘mama’ dan sebagainya, itu membuatku merasa semakin tua.”
Clara menyandarkan tubuhnya di sofa dengan santai.
Pelayan datang mengantarkan
teh
dan kue, sementara Saira mengamati mama mertuanya, perempuan
ini tampaknya memiliki pemikiran modern ala barat, karena cara memanggil orangtua hanya dengan
nama saja
biasanya diterapkan di negeri barat dan hampir tidak ada di sini.
Clara menatap mata Saira dan tersenyum, seolah bisa memahami pemikiran Saira, “Aku hidup di luar negeri hampir
seumur hidupku,
aku pulang ke negara ini, dan satu tahun kemudian aku menikah. Jadi
memang
gaya hidupku tidak
seperti orang kebanyakan di sini,” Perempuan itu lalu memajukan tubuhnya dan menatap Saira dalam, “Kau hamil ya.”
Saira
hampir saja tersedak teh
yang disesapnya,
dia
menatap Clara dengan bingung, “Darimana anda tahu?”
“Dokter yang kalian kunjungi
kan dokter pribadi keluarga kami, dia secara pribadi meneleponku
untuk
mengucapkan selamat.” Clara memutar bola matanya, “Dan bahkan, Leo anakku sendiri tidak memberitahuku.”
Saira tercenung dan teringat perkataan Leo, tentang sesuatu yang berhubungan dengan mengemis kasih sayang orang
tua.
Apakah Leo
yang mengalaminya? Mengemis kasih
sayang orang tua? Tetapi sepertinya Clara ibu yang baik, bukan
perempuan dingin yang tidak bisa menyayangi anaknya, kalau begitu
kenapa seolah-olah
Clara tidak bisa dekat dengan anak-
anaknya?
Clara sendiri ikut mengambil teh dan menyesapnya, lalu
meletakkan cangkirnya di meja dan mendesah, “Leo memang tidak pernah dekat denganku, apalagi setelah dia dewasa dan kemudian meninggalkan rumah,
kami hampir sama sekali tidak
pernah berhubungan.....” Clara menatap Saira dengan ragu, “Apakah kau sudah berkenalan dengan Leanna?”
Leanna? Siapakah
itu? Leo sama sekali tidak pernah
menyebut nama itu dalam percakapan mereka. Dengan ragu dan penuh ingin tahu, dia menggelengkan kepalanya dan
menatap Clara penuh ingin tahu.
Tetapi Clara seolah menyesal
telah menanyakan
pertanyaan
itu,
dia menggumam
tak
jelas, lalu mengalihkan pembicaraan ke hal-hal lain.
Tetapi sampai dengan Clara berpamitan pergi,
pertanyaan itu
terus menggayuti benak Saira. Leanna? Siapakah
gerangan Leanna itu?
***
Leo akhirnya pulang, dan menatap Saira dari belakang,
Saira rupanya tidak menyadari keberadaannya,
perempuan itu
sedang
sibuk
mengatur bunga
di
sebuah
vas,
mungkin
itu bunga-bunga yang dia petik dari taman belakang sana. Tanpa
sadar Leo tersenyum,
Saira hampir tidak bisa lepas dari tanaman.
Ketika sadar bahwa dia tersenyum,
Leo langsung
mengerutkan
alisnya dan berdehem, membuat Saira menolehkan
kepalanya, disadarinya bahwa perempuan itu langsung menegang ketika menyadari kehadirannya di ruangan
itu.
“Kita akan membicarakan mengenai kehamilan ini.”
Saira memberikan tatapan persetujuan,
lalu tanpa suara mundur dan
melangkah duduk di sofa,
Leo
menyusulnya, duduk di depannya,
“Aku menginginkan anak itu.” Gumam Leo.
Wajah Saira langsung pucat, dan reflek tangannya melindungi
perutnya, Apakah Leo akan merenggut
anak ini darinya ketika
lahir nanti? Sekejam itukah
Leo kepadanya? Memisahkan
anak dari ibunya adalah perbuatan terkejam yang Saira bisa bayangkan.
Leo mengamati ekspresi Saira dan mengerutkan
keningnya kesal, “Jangan takut, aku tidak akan merebut anak itu
darimu. Kita
akan membicarakan pengaturan pernikahan ini
baik-baik, demi anak itu.” Leo menghela napas, mengucapkan
permintaan maaf dalam hatinya kepada Leanna, dia bisa dikatakan telah mengkhianati Leanna, tetapi bagaimana lagi? Saira sedang mengandung
anaknya. “Aku akan memperlakukanmu dengan baik.”
Saira menatap Leo dengan tatapan tidak percaya, “Kau? Akan memperlakukanku dengan baik? Sampai kapan Leo?
Sampai anak ini lahir dan kau kemudian akan menyiksa dan
merendahkanku
lagi? Tidak!”
Saira mengangkat dagunya
dengan
keras kepala,
“Sampai detik ini aku tidak tahu kenapa
kau menikahiku, tetapi sedikit demi sedikit aku memahami ada kebencian yang mendorongmu, meski aku tidak pernah tahu
apa
alasannya dan apa kesalahanku.”
Mata Saira tampak pedih, “Anak ini memang
tidak direncanakan, tetapi aku tidak akan
melibatkannya
dalam pernikahan yang menyedihkan
ini. Aku ingin bercerai.”
Saira memang masih mencintai
Leo, tetapi sikap Leo di
depannya yang begitu dingin dan datar menyakiti
hatinya.
Seandainya saja Leo bisa sedikit lembut kepadanya,
menunjukkan penyesalan
atas
sikap
kasarnya dan
menunjukkan
niat
baiknya, alih-alih memberikan kesepakatan tanpa hati, Saira mungkin akan memperjuangkan pernikahan ini
untuk Leo. Tetapi detik ini
dia melihat, bahwa tidak ada gunanya dia berharap.
Leo membencinya.
Titik. Dan Saira seperti orang bodoh terus berharap
dalam cinta yang tak terbalas.
Andre benar, sekarang
dia
tidak sendirian lagi, sekarang ada
anak ini di
dalam perutnya, dan Saira harus berjuang bukan
hanya demi dirinya tetapi juga demi anak ini.
Ekspresi Leo tampak marah mendengar
usulan
perceraian Saira, “Tidak akan ada perceraian, bukankah
sudah
kukatakan kepadamu?”
“Aku akan menggugatmu,
segera. Aku sudah muak
menjadi pelampiasan kebencianmu tanpa tahu kenapa. Aku sudha muak menyadari kau menipuku dalam pernikahan
ini, mengira kau mencintaiku.”
Napas Saira tercekat menahan air matanya yang mulai tumpah, “Dan kemudian aku tahu semua itu hanyalah kebohongan, kebohongan palsu
yang sangat
kejam.” Air mata Saira akhirnya meleleh ke pipinya, “Aku mencintaimu,
kau pasti tahu itu..” suaranya bergetar ketika dia mengusap air matanya dengan kasar dan melangkah
berdiri, hendak meninggalkan Leo.
Tetapi baru beberapa langkah,
Leo meraih pergelangan tangannya dan mencengkeramnya.
Saira menoleh dan melihat
pergolakan
di wajah Leo, lelaki itu tampak kalut dan bingung...
akankah Leo menahan dan memeluknya?
Saira mungkin
terlalu
banyak berharap, karena
kemudian yang dikatakan
Leo adalah ucapan dingin yang arogan,
“Tidak akan ada perceraian, Saira. Kau harus terima itu.”
Dengan penuh kekecewaan akan jawaban Leo, Saira menyentakkan tangannya dari pegangan Leo dan melangkah setengah berlari menuju kamarnya,
sejauh mungkin dari
suaminya. Dia
akan pergi dari rumah ini bagaimanapun
caranya. Selama ini dia bertumpu
pada
harapan kosong bahwa masih ada cinta Leo untuknya. Sekarang dia sudah sepenuhnya
sadar bahwa dia hanya bermimpi.
Pernikahan ini sudah tidak bisa diperjuangkan
lagi.
Pernikahan ini sudah mati bahkan sebelum dimulai. Dan Saira
harus pergi meninggalkan Leo, kalau tidak dia akan
hanyut
dalam nyeri dan patah hati.
PEMBUNUH CAHAYA - SANTHY AGATHA - BAB 8
No comments:
Post a Comment