“Dendam yang terpelihara pada akhirnya akan menggerogotimu pelan,
sampai kau tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.”
3
“Apa?” Andre hampir berteriak
di seberang sana ketika mendengar
seluruh
cerita Saira yang diucapkan sambil
menahan tangisnya. “Apa yang ada di otak Leo?”
Saira menghela napas panjang,
“Aku hanya tidak tahu
kenapa dia bersikap
seperti itu, Andre. Dia sungguh berubah, tidak seperti yang kita kenal. Dia... aku hampir yakin kalau dia.. membenciku.”
“Membencimu?” Andre mendesah pelan, Saira
hampir bisa membayangkan lelaki itu
menggeleng-gelengkan kepalanya
di seberang sana, “Aku sungguh tidak bisa
membayangkan kalau dia membencimu Saira, sikap lembutnya,
kebaikannya, tatapan penuh cintanya kepadamu waktu itu,
semuanya
tampak tulus.” Suara Andre berubah prihatin, “Kau tidak apa-apa Saira? Perlukah aku menjemputmu?”
“Jangan Andre.” Saira berseru cepat, “Pada awalnya
kupikir kalau Leo cemburu kepadamu, kepada kita.”
“Itu konyol....
kau seharusnya memberitahunya kalau aku...”
“Yah, dia memang belum tahu Andre... dan hari itu
ketika aku mengunjungimu setelah pernikahan, dia ada di rumah ketika aku pulang
dan menungguku. Dia tampak marah besar, mengata-ngataiku sebagai perempuan yang
tidak menghormatinya karena langsung mengunjungi kekasihnya
setelah pernikahan. Dia mengira kita sepasang kekasih.”
“Apakah kau tidak menjelaskan semuanya kepadanya?” “Aku tidak punya kesempatan.”
Saira mendesah pedih,
“Dia tidak memberiku kesempatan.”
Hening lama, seolah Andre sedang berpikir keras.
“Leo sungguh keterlaluan.” Andre menggeram, tampak
marah, “Dia
memperlakukanmu seperti
ini, sama seperti dia sedang menghinaku.
Kau sudah kuanggap seperti
adikku
sendiri, Saira, keluargaku. Kalau Leo bersikap keterlaluan kepadamu, dia harus menghadapiku.”
***
Leo membanting tubuhnya di sofa kantornya. Dia tidak
tahu
harus kemana. Dia tidak bisa berada di rumah dan
memancing
terus menerus konfrontasi dengan Saira, yang membuatnya lelah. Dia juga tidak bisa datang ke rumah tempat
Leanna dirawat,
melihat kondisi Leanna yang seperti itu makin
lama makin membuat
luka di dalam hatinya yang sudah parah
semakin menganga.
Satu-satunya tempat yang
bisa membuatnya nyaman dan sendirian
adalah kantornya di hari Minggu. Satpam perusahaannya
tampak bingung melihat kedatangan bosnya tiba-tiba di hari Minggu, tetapi Leo memasang tampang datar dan tidak peduli.
Benaknya
berkelana tanpa arah,
memikirkan tercapainya tujuannya.
Semua rencananya sudah mengarah ke
arah
yang diinginkannya. Pernikahannya
dengan Saira semakin mempermudah rencananya.
Leo pada akhirnya berhasil menikahi Saira dan
menjalankan rencana balas dendamnya. Pada akhirnya dia akan menahan Saira dalam pernikahan ini
dan terus menerus
menyakitinya tanpa Saira sadari. Tetapi... semua keberhasilan ini tidak membawa kepuasan kepada dirinya. Entah mengapa.
Apakah karena batinnya sendiri menyadari
bahwa dia telah membalas dendam kepada orang yang tidak tahu apa-apa?
Tidak! Leo menggelengkan kepalanya
dengan
keras.
Saira pantas menerima pembalasan ini. Dia sedikit banyak telah
berkontribusi dalam penderitaan yang dialami Leanna.... kesakitan yang dialami Leanna.... Belum lagi kepedihan yang ditanggung
oleh keluarganya selama ini. Semuanya sangat sepadan dengan pembalasan dendam ini.
Leo mendesah
dan
berdiri dengan gelisah, menatap
dari jendela kaca di ruang kerjanya ke arah langit yang gelap dan mendung.
Saira. Perempuan itu, dengan keluguannya telah dengan mudahnya jatuh ke dalam cengkeraman Leo. Sebenarnya Leo bisa saja menghancurkan
hidupnya tanpa harus menikahinya. Tetapi entah kenapa di saat terakhir Leo memutuskan bahwa dengan menikahi Saira, dia akan lebih mudah mengikat perempuan itu.
Dan
lebih
leluasa
membalaskan dendamnya.
Hal
itu juga mencegah Saira kabur meninggalkannya
sebelum pembalasan dendamnya usai.
Dia teringat kepada Andre yang
tampak begitu dekat
dengan Saira, dan mencibir.
Perempuan itu bahkan dengan mudahnya melompat meninggalkan Andre dan menghambur ke pelukannya,
benar-benar watak
perempuan
gampangan, seperti yang dibayangkannya selama ini. Tetapi bagaimanapun
juga
hubungan Andre dengan
Saira yang begitu dekat, bahkan
setelah Saira menikah dengannya
terasa begitu mengganggu.
Ingatannya akan Saira yang
langsung mengunjungi Andre dihari pertama
pernikahan mereka membuatnya marah dan
terhina.
Dia
mengernyit, Saira pasti akan langsung menghambur kepada Andre karena sikap Leo. Tiba-tiba dia
sadar. Diraihnya
kunci mobilnya dan bergegas keluar.
***
Pada akhirnya Saira tidak tahan harus terus berdiam diri
di rumah
Leo
yang begitu besar dan
lengang, apalagi sama
sekali tidak ada tanda-tanda bahwa Leo akan pulang hari ini.
Dia
akhirnya memutuskan
untuk mengambil
resiko, karena dia
sangat butuh melepaskan semua permasalahannya di rumah
kaca. Dari dulu, Saira sudah terbiasa, kabur dan merenung
di rumah kaca, ketika pikirannya kalut.
Kadangkala Saira menghabiskan
waktunya dengan merawat tanaman-tanamannya, mencurahkan kasih sayangnya
dan
mengalihkan perhatiannya.
Sebelum menuju
ke rumah kaca, Saira mampir ke Garden
Cafe, dan menghela napas sedikit senang
dengan aroma khas yang menenangkannya dari cafe ini. Cafe ini penuh dengan aroma rempah yang nikmat,
bercampur harumnya kue yang
baru
keluar dari panggangan. Suasananya damai, seperti di rumah.
Saira melangkah
menuju sebuah sudut yang nyaman,
di dekat rumpun bunga anggrek putih dengan bercak keunguan yang
indah, hasil dari
rumah
kacanya. Suasana
cafe tampak ramai dengan
para pelayan yang lalu lalang melayanipengunjung, mungkin ini karena tepat saat jam makan siang.
Albert sendiri yang mendatanginya, lelaki itu tampaknya sudah melihatnya dari
jauh
dan kemudian menembus
kesibukan cafe untuk menghampirinya,
“Pengantin baru ada di sini lagi.” Albert tertawa, “Apa
yang
kau lakukan di sini, Saira?”
Saira tersenyum
kecut, berusaha tampak ceria,
“Aku membutuhkan teh hijau untuk menambah
semangatku.”
“Segera datang.” Albert mengedipkan sebelah matanya,
“Apakah kau ingin teman minum teh? Ada pastry apel dan keju yang baru keluar dari
oven.”
Saira menganggukkan kepalanya, “Aku mau.”
Gumamnya. Lalu duduk merenung dan menunggu.
Apa yang harus dilakukannya untuk menghadapi perkawinannya?
Apa yang harus dilakukannya kepada Leo? Bagaimana mungkin cinta yang begitu lembut
dan pekat bisa berubah begitu cepat menjadi kebencian yang menyayat?
Saira begitu penuh dengan pertanyaan yang ingin
dilemparkannya kepada Leo. Tetapi jangankan untuk bertanya, untuk berbicarapun sepertinya
lelaki itu sama sekali tidak memberinya kesempatan.
Sebenarnya apa yang diinginkan Leo dari pernikahan ini?
Teh hijaunya kemudian datang, disajikan dalam cangkir
mungil berwarna putih yang masih mengepul dan beraroma the
yang
khas dan harum. Bersamaan dengan itu, sepiring pastry
yang
masih panas yang menggiurkan disajikan bersama.
Saira meneguk
tehnya, dan menikmati rasanya. Begitu
pahit tanpa gula,
tetapi
ketika indra penciumannya
bekerja, aromanya yang nikmat memberikan rasa tersendiri ke indra
pencecapnya. Sehingga
kepahitan itu
berubah
menjadi rasa
yang
khas yang selalu dirindukan oleh lidahnya.
Saira teringat
akan filosofi Albert tentang teh hijau, dandia tersenyum. Teh hijau mengingatkan Andre akan rahasia, rahasia sebuah rasa yang harus menunggu saat yang tepat, menyibak lapisan demi lapisan untuk menemukan
apa sebenarnya yang tersembunyi di baliknya.
Ponselnya berbunyi tiba-tiba membuat
Saira tersentak
dari lamunannya, diangkatnya ponsel itu
ketika tahu bahwa Andre yang menelepon,
“Halo Andre.”
“Katamu kau akan segera datang kemari, dan aku cemas
karena kau belum tiba juga.”
“Aku mampir di Garden Cafe untuk makan siang.” Jawab
Saira sambil tersenyum miring.
“Teh hijau lagi?” Andre tergelak,
“Aku tidak pernah tahu
tentang
obsesimu
meminum teh hijau
di
saat
makan siang entah panas atau hujan. Menurutku minum soda yang paling
enak.”
“Soda tidak
baik untuk kesehatan.”
Saira mengernyit, membuat tawa Andre semakin keras.
“Oke Saira,
lekaslah datang, dan aku ingin kau menceritakan
semuanya secara langsung.”
***
Andre sudah menunggu. Meskipun tampak santai, lelaki itu tegang dan kelihatan
sekali sangat mencemaskan Saira,
“Bagaimana keadaanmu?” Andre menarikkan kursi bagi Saira untuk duduk, sesuatu yang tidak pernah
dilakukannya sebelumnya.
“Aku baik-baik saja.”
Saira berusaha tersenyum tegar,
“Tetapi perasaanku tidak.” Lanjutnya serak.
Andre menatap Saira dan mengernyitkan keningnya,
“Kau baru dua hari menikah dan
Leo sudah bersikap seperti ini. Kalau begini aku jadi menanyakan
motivasinya menikahimu.” Andre menatap Saira hati-hati, “Apakah mungkin dia sedang
berusaha menjebakmu dalam pernikahan ini Saira?”
“Menjebakku?” Saira menatap Andre dengan bingung,
“Tetapi kenapa? Demi alasan apa?”
“Aku tidak tahu.” Andre mengangkat bahunya, “Semula
aku sempat curiga dengan sikap Leo yang mendekatimu dengan begitu intens dan cepat,
bahkan kemudian melamarmu padahal hubungan kalian baru seumur jagung.” Lelaki itu
duduk di kursi depan Saira dan menghela napas panjang, “Tetapi aku melihat betapa kau mencintainya,
dan aku berpikir bahwa kau sudah menemukan belahan jiwamu.”
Hati Saira terasa sakit mendengar kata-kata Andre, itu sama seperti yang dikatakan Leo kepadanya dulu sebelum menikahinya. Bahwa Saira adalah belahan jiwanya, bahwa Leo
tidak perlu berlama-lama lagi menunggu untuk menikahinya
karena dia tahu pasti dia sudah menemukan belahan jiwanya,
Tetapi tentunya seseorang
tidak akan bersikap
kasar dan penuh kebencian kepada belahan jiwanya
bukan?
“Aku akan mencari tahu Saira. Aku tidak rela kau
diperlakukan begini tanpa tahu alasannya.”
Saira menghela napas panjang, “Tetapi jangan berkonfrontasi dengan
Leo, Andre, dia... dia sepertinya
menuduh kita menjalin affair di belakangnya.”
“Itu konyol.” Andre menghela marah, “Kalau dia tahu
yang sebenarnya dia akan malu karena pernah menuduhmu.”
Saira memalingkan muka, menahan tangisnya yang
hampir tak terbendung, “Aku mencintainya,
Andre... sangat
mencintai Leo, tidak pernah aku merasakan perasaan
ini sebelumnya kepada lelaki manapun...
tapi...aku...” Suara Saira
serak, dia menelan ludah dengan susah payah, menahan sesak di dadanya, sebutir air mata bergulir
dari
matanya, tanpa dapat dia tahankan,
Andre menatap Saira yang menangis, lalu mendekatinya, dan berdiri di sebelah Saira, lalu memeluk Saira yang masih
duduk
di kursi, tampak begitu rapuh dan lelah dengan
kesakitannya.
“Oh sayangku..
kasihan sekali dirimu, sayang.” Andre
memeluk Saira, dan Saira menumpahkan
segala tangisannya di
sana, di pelukan lelaki yang sudah dikenalnya
sejak kecil, yang sudah dianggapnya
sebagai saudara kandungnya sendiri.
***
“Oh. Jadi inilah
yang
selalu kalian lakukan kalau berduaan.”
Suara dingin itu membuat Saira terlonjak kaget dan langsung melepaskan dirinya dari pelukan Andre. Dia menoleh ke
pintu
masuk dan
memucat ketika
melihat Leo berdiri di sana, tampak luar biasa marah.
“Leo?”
“Aku muak melihat
bukti ketidaksetiaanmu ini Saira.” Leo menggeram marah, “Ayo pulang.”
Dengan kasar Leo merenggut lengan Saira, menariknya
berdiri dari duduknya.
Andre langsung
meradang, dia merenggut
sebelah lengan Saira yang bebas dan
menahannya,
“Kau tidak boleh memperlakukan Saira seperti itu.”
Andre menarik Saira dari cengkeraman Leo dan menyembunyikannya di belakangnya. “Ada apa denganmu
Leo?”
Leo menatap Andre dengan tatapan tajam dan jijik,
“Ada apa? Kau pikir aku harus diam saja melihat affair yang kalian lakukan terang-terangan untuk menghinaku?”
tatapan tajam Leo
beralih kepada Saira, yang tampak ketakutan dan pucat pasi, bersembunyi
di belakang punggung Andre, “Pulang Saira. Kalau tidak kau
akan menyesal karena
aku
akan
menghancurkan kekasihmu ini berikut semua bisnis
dan juga rumah kacamu.”
Ancaman itu
mengena. Karena Leo adalah seseorang yang berpengaruh terhadap klien-klien besar rumah kaca Saira, dan lelaki itu sangat berkuasa. Dari tatapan matanya yang
menyala, Saira
tahu
bahwa Leo
akan berbuat apapun untuk mewujudkan ancamannya.
Saira gemetar, takut menghadapi
kemarahan Leo, tetapi dia harus memberanikan diri. Mungkin dengan begini dia bisa
menemukan jawaban atas sikap Leo yang sangat kejam ini.
Setelah menghela
napas panjang untuk menenangkan diri, Saira melangkah
keluar dari lindungan Andre dan maju mendekati Leo,
“Aku akan pulang.” Gumamnya pelan.
“Saira!” Andre berteriak dengan serak, “Jangan!”
Saira menoleh, menatap Andre dengan lembut, meski matanya berkaca-kaca,
“Aku akan baik-baik saja.”
Dan kemudian Leo merenggut lengannya
dengan kasar, setengah menyeretnya keluar dari rumah itu.
***
Perjalanan itu ditempuh dalam suasana yang hening dan
mengerikan.
Leo terdiam dan beberapa kali terlihat menggertakkan gerahamnya, menahan marah.
Sementara itu Saira begitu
tegang menantikan luapan kemarahan Leo.
Baru beberapa hari mereka menikah dan Saira sudah
begitu takut menghadapi
kemarahan Leo. Oh, Leo tidak memukulnya, sama sekali tidak ada yang mengarah kepada
kekerasan ketika Leo marah, satu-satunya tindakan kasar yang
dilakukan Leo adalah menarik dan
mencengkeramnya tadi,
yang
membuat pergelangan tangannya
sakit. Saira entah kenapa yakin Leo tidak akan memukulnya atau melakukan kemarahan
fisik kepadanya.
Tetapi yang ditakutkan
Saira adalah serangan verbal
Leo.
Bagaimanapun juga
Saira mencintai Leo, dan kata-kata kasar Leo kepadanya mempunyai efek yang berpuluh-puluh kali lebih menyakitkan.
Dia
menoleh ke arah Leo yang sedang menyetir dan
bertanya dengan takut-takut,
“Kenapa kau begitu membenciku
Leo? Andre bilang kau sebenarnya
tidak mencintaiku
dan sedang
berusaha menjebakku ke dalam pernikahan, entah karena apa.”
Leo melirik
sinis ke arah Saira, lalu berucap
tak
kalah sinis.
“Hebat sekali kekasihmu itu memberikan
analisa tentang diriku.”
Saira menghela napas panjang mendengar
tuduhan Leo,
“Sudah kubilang Andre bukan kekasihku, tidak akan pernah dan
tidak akan bisa, dia seorang gay.”
Kalimat itu
membuat Leo
mengerem mobilnya
secara refleks karena kaget. Dia tertegun, lalu kemudian menjalankan
mobilnya seperti semula dan bergumam ketus,
“Alasan yang sangat bagus, Saira. Tapi aku tidak percaya.”
“Kau bisa menanyakan sendiri kepada Andre, dia mengatakan kepadaku bahwa dia gay dan
dia merahasiakannya sudah sejak lama.”
Leo menatap Saira dengan tajam, “Kalian mungkin saja sudah berkomplot untuk membodohiku,
mengira bahwa aku tidak akan curiga ketika tahu bahwa Andre gay. Tetapi maaf saja Saira, aku tidak sebodoh itu sehingga begitu
mudahnya kau tipu.”
“Kenapa
kau jadi seperti ini Leo?” Air mata mulai
mengalir di sudut mata Saira, duduk
di sini dan melihat suaminya tampak begitu membencinya
benar-benar menyakiti hatinya.
Leo
mengetatkan gerahamnya, tidak berkata-kata lagi,
dan mengabaikan ucapan
Saira. Membiarkan perempuan itu
terisak-isak selama perjalanan mereka pulang.
Dan ketika itu juga, di benak Saira muncul
suatu
keputusan bulat. Buat apa mempertahankan
perkawinan yang
sepertinya sudah hancur sebelum dimulai ini?
***
Ketika Leo memarkir mobil di depan, dia langsung
keluar
dan memutari mobilnya, lalu
membuka pintu penumpang di sebelah supir, sebelum Saira sempat keluar.
Sekali lagi dia mencekal lengan Saira dan memaksanya keluar,
“Ayo.” Gumamnya marah.
Saira berusaha melepaskan diri dari
pegangan Leo, tetapi cekalan tangan lelaki itu begitu kuatnya,
“Sakit Leo!” Saira berteriak ketika Leo menyeret lengannya menaiki tangga,
tetapi Leo tampaknya sudah mengeraskan hatinya sehingga tidak mempedulikan kesakitan
Saira.
Mereka menuju kamar Saira, bukan kamar utama, Leo membuka pintu kamar itu
dan mendorong Saira masuk, lalu menutup pintu di belakangnya dan menguncinya.
Tiba-tiba perasaan terancam menyelubungi benak Saira,
dia menatap
suaminya
yang berdiri dengan marah di dekat pintu dan merasa takut, takut akan tekad kuat yang menyala-
nyala di mata suaminya.
“Apa yang akan kau lakukan?”
Leo membuka jasnya dan melemparnya begitu saja, lalu melonggarkan dasinya.
“Menurutmu apa?”
Saira langsung
mundur beberapa langkah menjauhi Leo,
apakah lelaki ini akan melakukan
apa
yang ditakutkannya?
Mungkinkah Leo sekejam itu?
“Kumohon jangan.” Saira bergumam,
ketika menyadari bahwa Leo benar-benar akan melakukannya.
Leo tersenyum
sinis, “Aku tahu di kepalamu penuh dengan pemikiran
licik, berputar mencari jalan untuk bercerai.
Tetapi aku sudah bilang, aku tidak akan membiarkanmu
melenggang
bebas dengan bahagia.” Leo maju selangkah membuat
Saira langsung mundur
selangkah ketakutan, “Kau
istriku, dan aku suamimu, sepertinya aku harus membuatmu menyadari posisimu.”
“Jangan Leo.” Saira bergumam lagi, berusaha
menyadarkan lelaki itu
yang
entah
kenapa
tampak begitu marah dan tidak bisa menahan diri.
Tetapi Leo tidak mempedulikannya, dia
merenggut
Saira, dan mendorongnya
ke
ranjang, ketika Saira mundur dan hendak bangkit dari ranjang, Leo mencengkeramnya
dan menindihnya.
Saira berteriak sekuat tenaga, berusaha menyingkirkan
Leo, tetapi tubuh lelaki itu terlalu berat, terlalu kuat, dan apalah dayanya, seorang perempuan lemah dibawah kuasa lelaki yang
sedang penuh kemarahan?
Pada akhirnya pertahanan Saira berubah menjadi air mata, air mata sakit hati dan penderitaan. Ketika
suaminya akhirnya merenggut
kesuciannya dengan kasar dan tanpa perasaan, tidak mempedulikan
kesakitan dan tangisan
permohonannya.
Ini adalah malam pertama yang sama sekali tidak pernah diimpikan oleh Saira. Penuh pemaksaan, dirinya direndahkan bagaikan seorang pelacur, dan penuh rasa sakit, luar dalam.
Dan ketika lelaki itu selesai melampiaskan
kemarahannya, lalu
berdiri dengan
tergesa memakai pakaiannya kembali, dan melangkah pergi meninggalkan
Saira yang terbaring dengan kondisi yang sangat mengenaskan, dengan pakaian setengah robek dan acak-acakan, dan penuh air mata, hati Saira hancur seketika.
Ingatannya melayang
kepada ibunya yang penuh kasih
dan
selalu mendoakan kebahagiaannya
suatu saat nanti,
mendoakan agar
Saira menemukan suami
yang penuh kasih
dan
bisa menjaganya.
Saira menggingit bibirnya, tersengal atas tangis
yang pekat.
“Ibu.... aku diperkosa....” rintihan itu diselingi tangis, dan Saira memanggil nama
ibunya, merindukan pelukan ibunya dan
elusannya yang menenangkan,
dan
begitu kesakitan ketika menyadari kenyataan bahwa dia sendirian dan sebatang kara.
PEMBUNUH CAHAYA - SANTHY AGATHA - BAB 4
No comments:
Post a Comment