BAB 13
Kiara
membuka matanya dan mendadak merasa kehilangan orientasi. Dia kebingungan
menyadari dirinya berada di atas ranjangnya. Bukanlah semalam... Kiara sedang
duduk minum teh di sofa, sementara Jason sedang berlatih serius dan mengurung
diri di kamarnya setelah makan malam?
Seingat
Kiara dia mengantuk dan memutuskan memejamkan matanya sebentar di atas sofa,
saat itu benaknya sedang berkecamuk karena Joshua tak kunjung pulang juga. Lalu
sepertinya dia tertidur…
Kalau
begitu kenapa dia bisa berada di atas ranjang ini? Kiara terduduk, menatap
sekeliling dengan bingung, apakah dia berjalan kembali ke ranjangnya tanpa
sadar?
Yah.
Itu mungkin saja. Dengan bergegas, Kiara langsung menuju kearah kamar mandi,
dia harus segera mandi dan menyiapkan sarapan pagi.
***
Ketika
sampai di dapur, Kiara mengernyit melihat Joshua sudah duduk di sana, lelaki
itu sedang menyesap secangkir kopi, kemudian tersenyum datar ke arah Kiara.
“Hai,
aku sudah bangun duluan darimu.” Gumam Joshua ramah, ada senyum di sana.
Kiara
langsung gugup, “Oh... Aku akan membuatkan sarapan untukmu.”
‘Tidak
usah.” Joshua mendorong cangkir kopi yang sudah dihabiskannya, “Aku cukup minum
kopi saja, aku akan menjemput Carmila, kami berjanji akan sarapan bersama
sebelum main golf.”
Tangan
Kiara yang membawa dua butir telur membeku, dia menoleh dan menatap Joshua
bingung.
“Kau
akan pergi dengan Carmila lagi?”
Joshua
tertawa, “Tentu saja, kau lupa? Tantangan itu kan seminggu lamanya.” Lelaki itu
lalu berdiri, meraih jaketnya yang tersampir di kursi, “Aku pergi dulu,”
gumamnya dan kemudian sambil bersenandung, lelaki itu pergi berjalan keluar.
Sementara
itu Kiara masih terpaku kebingungan menatap bayangan Joshua yang menghilang di
ambang dapur.
Joshua...bersenandung?
Tiba-tiba
Kiara merasakan perasaan tidak enak yang mengglayutinya, perasaan yang dia
tidak tahu itu apa. Yang pasti rasanya menyesakkan dada dan membuatnya ingin
menangis.
***
“Joshua
pergi lagi?” Jason yang datang ke dapur untuk sarapan menatap Kiara yang
murung. Meskipun begitu Kiara membuatkan nasi goreng keju yang sangat enak
untuknya.
“Dia
pergi pagi-pagi sekali.”
Jason
terkekeh, “Seperti tidak sabar menghabiskan hari bersama perempuan itu ya.”
Lelaki itu lalu tersenyum lembut, “Dan kita seharian di sini, menghabiskan hari
yang membosankan... Hmmm...” Dia tampak berpikir. “Mungkin kau bisa ikut aku.”
“Kemana?”
Kiara menatap Joshua dan tampak agak tertarik.
“Aku
akan menemui mentorku untuk membicarakan persiapan resital tiga bulan lagi di
Austria, setelah itu aku bebas. Kau bisa ikut aku, menunggu sebentar ketika aku
berkonsultasi dengan mentorku, lalu kita mungkin bisa pergi ke taman hiburan,
atau tempat lainnya yang ingin kau kunjungi.”
“Taman
hiburan?” mata Kiara melebar, begitu tertarik ketika mendnegar nama taman
hiburan disebut, dia tahu dunia fantasi, atau sea world di
Jakarta cukup terkenal, tapi yang dia tahu tiketnya cukup mahal, sehingga
datang kesana hanyalah impian bagi Kiara. “Tapi… Tapi bukankah harga tiketnya
mahal?” Kiara mengungkapkan kecemasannya, membuat Jason terbahak.
“Kiara,
begini-begini aku adalah pemain biola dengan bayaran tinggi, sekali-kali
mentraktirmu tidak apa-apa buat kantongku,” gumamnya dalam senyuman, Jason lalu
menghabiskan suapan nasi gorengnya, “Ayo siap-siap, kita berangkat sekarang,
semakin pagi kita sampai, semakin banyak kesempatan kita untuk mencoba banyak
wahana.”
Setengah
meloncat, Kiara pergi ke kamarnya untuk berganti pakaian, membuat Jason
melihatnya sambil tersenyum. Kiara sangat mirip dengan Keyna adiknya yang
begitu lugu dan polos, dengan tubuh mungil dan wajahnya yang penuh binar.
Ternyata
Jason cukup lemah dengan perempuan-perempuan yang setipe adiknya. Lelaki itu
mengangkat bahunya, ya sudahlah lagipula dia tidak ada pekerjaan hari ini,
bermain ke taman hiburan tentunya menyenangkan, sekaligus bisa menghibur Kiara
yang tampak begitu murung.
Tiba-tiba
Jason menebak-nebak, apakah Kiara begitu murung karena Joshua pergi lagi dengan
Carmila hari ini?
***
Setelah
menunggu Jason kira-kira setengah jam di sebuah ruangan elegan, di sebuah
sekolah musik elit di kota ini. Jason pun keluar dan mengatakan bebas untuk
hari ini dalam senyum lebarnya.
Mereka
lalu berkendara ke bagian utara kota, memasuki kawasan taman hiburan itu.
“Kau
mau masuk ke yang mana dulu?” Jason masih memutar mobilnya di jalanan yang
melingkar-lingkar itu, melihat-lihat semua pilihan yang ada.
Kiara
sendiri tersenyum lebar penuh harap, “Aku mau ke taman hiburan seperti yang di
televisi itu.” Kiara pernah melihat iklan televisi yang menayangkan tempat
hiburan ini. Kelihatannya sangat menyenangkan, bahkan Kiara sampai
berbunga-bunga membayangkannya.
Jason
tersenyum melihat ekspresi Kiara.
“Oke
kita kesana, tapi hati-hati jangan jauh-jauh dari aku ya. Adikku dulu pernah
mengalami penculikan di sana.”
“Benarkah?”
Kiara tampak terkejut.
“Yah...
Mungkin kau tidak mengikuti berita, tetapi dulu cukup heboh ditayangkan...”
Jason tersenyum pahit, “Tapi sudahlah yang penting adikku sekarang selamat dan
berbahagia.”
Kiara
melirik sekilas ke wajah Jason, menemukan ekspresi pahit yang pekat di sana.
Kenapa sekilas tadi Jason tampak begitu sedih?
***
Malam
telah tiba ketika Joshua pulang ke rumah, masih jam sembilan malam dan dia
mendapati apartmentnya gelap. Tidak mungkin kan mereka semua sudah tidur?
Joshua menyalakan lampu dengan kebingungan.
Dan
kemudian dia melangkah ke dekat kamar Kiara dan memanggil namanya, tidak ada
jawaban, dia membuka pintu kamar Kiara yang tidak dikunci dengan hati-hati dan
menemukan kamar itu kosong. Hal yang sama juga terjadi di kamar Jason.
Joshua
mengernyitkan keningnya, dan tiba-tiba merasa marah. Apakah Jason mengajak
Kiara pergi bersamanya? Pergi kemana? Kenapa sampai malam sekali belum pulang?
Joshua
menekan nomor ponsel Kiara, tersambung tapi tidak diangkat-angkat, dia kemudian
mencoba menghubungi nomor Jason yang ternyata tidak aktif.
Dengan
gusar dia mondar-mandir di ruang tengah, menunggu setengah marah setengah
cemas. Kemana Jason membawa Kiara? Apakah Kiara bersama Jason? Ataukah dia
pergi sendirian? Atau jangan-jangan ayah kandungnya merencanakan menculik Kiara
ketika sendirian di rumah?
Pikiran-pikiran
buruk memenuhi benak Joshua, membuat kepalanya kalut dan pening. Hampir satu
jam lamanya Joshua menunggu dengan cemas.
Sampai
kemudian ada suara-suara itu di pintu, suara tawa cekikikan. Lalu pintu
apartment terbuka, menampakkan Jason yang sedang merangkul Kiara sambil
tertawa, di tangan mereka ada kembang gula yang hampir habis setengahnya.
Dua
sejoli itu tertegun ketika melihat Joshua berdiri di tengah ruangan, menatap
mereka berdua dengan marah.
“Kemana
saja kalian?” gumamnya dingin.
Jason
langsung sadar ada kemarahan di sana, dia langsung berdiri agak di depan Kiara,
seolah melindunginya, dan kemudian tersenyum seolah-olah tidak ada sesuatu pun
yang berbeda.
“Oh.
Hai Joshua, kami kira kau akan pulang larut seperti kemarin.” Senyum Jason
tampak tenang, “Aku mengajak Kiara ke taman hiburan.”
Ekspresi
Joshua mengeras. Hampir meledak, “Ke taman hiburan? Satu jam lebih aku menunggu
kalian di sini cemas akan apa yang terjadi mencoba menghubungi ponsel kalian
yang tidak bisa dihubungi, dan ternyata kalian ke taman hiburan dan
bersenang-senang?” Joshua melemparkan tatapan marah ke arah Kiara, “Dan kau,
kuharap kau tidak melupakan posisimu di rumah ini. Kau bukan salah satu dari
kami. Tugasmu adalah menunggu rumah dan membersihkannya, mempersiapkan masakan.
Karena kau adalah pelayan rumah ini. Mengerti? Apa perlu
kuulangi? Kau hanyalah pelayan di rumah ini!”
Mata
Kiara melebar, tidak menyangka akan dikata-katai seperti itu, kenapa Joshua
begitu marah? Apakah karena Kiara memang melanggar aturan? Seorang pelayan
seharusnya memang menunggu rumah bukan? Kiara yang bersalah, memang Kiara yang
bersalah.
Joshua
mengatakan bahwa dia bukanlah salah satu dari mereka... Ternyata Joshua sama
saja dengan ayah kandungnya dan Carmila, memandang Kiara sebagai sosok dengan
kelas yang lebih rendah dan lebih hina, karena asal usulnya yang tidak jelas...
Mata
Kiara berkaca-kaca, tetapi dia berusaha menyembunyikannya.
“Maafkan
aku...,” gumamnya dengan suara serak.
Jason
yang melihat Kiara hampir menangis menggertakkan giginya, menatap Joshua dengan
marah, “Kiara tidak berhak diperlakukan seperti itu Joshua, kau tidak berhak
menghinanya.”
Pembelaan
Jason terhadap Kiara, dan juga posisi Jason yang menutupi Kiara seolah
melindungi Kiara dari dirinya semakin menyulut kemarahan Joshua, dia memandang
Jason dengan dingin.
“Kiara
itu pelayanku, sudah hakku untuk memarahinya ketika dia melakukan kesalahan.
Aku yang membayar gajinya, aku yang memberinya tempat bernaung dan memberinya
makan. Jadi aku berhak melakukannya.” Mata Joshua bersinar sinis, “Dan kalau
kau menginginkan pelayanan yang sama dari Kiara, seharusnya kau membawanya saja
dan memberikan bayaran yang cukup untuknya, mungkin saja kau akan menerima
pelayanan ekstra dari tubuhnya.” Mata Joshua menelusuri tubuh Kiara dengan
tatapan melecehkan.
Cukup
sudah! Kiara tak
sanggup lagi mendengarkan kata-kata hinaan Joshua kepadanya. Setengah mendorong
Jason yang ada di depannya, Kiara berlari dengan berlinang air mata, masuk ke
kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat.
Jason
menatap Joshua dengan marah, matanya menyala.
“Kau
keterlaluan Joshua, aku tidak tahu apa yang ada di otakmu itu, tapi kau tidak
berhak menyakiti Kiara seperti itu!”
“Oh
ya? Apakah kau ingin memukulku? Apakah kau jangan-jangan menginginkan Kiara
untukmu sendiri? Ingin memiliki tubuhnya yang menggiurkan itu?” Joshua membalas
perkataan Jason dengan tantangan. Dan kemudian yang didapatkannya adalah sebuah
tinju yang keras di mukanya.
Jason
melemparkan tinju itu dengan penuh emosi, napasnya terengah-engah karena marah,
suaranya bahkan bergetar menahan kemarahannya. Tinju itu begitu keras sampai
kepala Joshua mundur ke belakang.
“Dengarkan
kata-kataku ini baik-baik. Aku menyayangi Kiara karena dia mirip dengan adikku.
Tidak pernah ada satupun pikiran kotorku terhadapnya, tidak sepertimu,”
desisnya marah, “Dan kurasa persahabatan kita berakhir di sini, aku akan pergi
dari rumahmu, dan membawa Kiara. Kurasa lebih baik kubawa saja dia pulang
sebagai calon istriku kepada mamaku, daripada dia disini terus-menerus kau
lecehkan. Aku pikir dulu kau tulus menolong Kiara, tapi ternyata aku salah.
Pikiranmu picik, sama seperti ayah kandungmu!”
Dan
kemudian Jason berlalu, meninggalkan Joshua yang masih tertegun dengan rasa
panas di wajahnya, bekas pukulan Jason.
***
Pagi harinya Joshua terbangun dengan kepala pening, sudut bibir yang memar dan rasa bersalah yang luar biasa. Dia telah melakukan kesalahan yang begitu besar...
Pagi harinya Joshua terbangun dengan kepala pening, sudut bibir yang memar dan rasa bersalah yang luar biasa. Dia telah melakukan kesalahan yang begitu besar...
Menghina
dan melecehkan Kiara seperti itu, pantas saja Jason memukulnya. Masih
diingatnya air mata Kiara semalam, dan tatapan mata terlukanya. Joshua menghela
napas panjang, kemarin dia begitu cemas dan bingung dan kemudian dia dihadapkan
akan pemandangan Kiara dan Jason yang pulang sambil tertawa-tawa dan
berangkulan tangan, tidak mempedulikan bahwa Joshua menunggu mereka dengan
cemas... Lalu kemarahannya memuncak, dan berakhir dengan menyakiti Kiara.
Joshua
sungguh-sungguh tidak ingin menyakiti Kiara seperti itu... Kata-kata
kasarnya... Penghinaannya. Dia pasti telah mencabik-cabik perasaan halus Kiara.
Perempuan itu pasti benar-benar terluka.
Dengan
gusar, Joshua melangkah keluar dari kamarnya dan berhadapan dengan Jason yang
sudah berpakaian rapi di sana. Mata Jason menatapnya dingin, masih marah.
“Aku
akan pergi dari sini dan membawa Kiara.” Gumam Jason tegas. Matanya melirik ke
arah kamar Kiara yang tertutup rapat. Tidak biasanya Kiara belum bangun jam
segini. Biasanya Kiara sudah ada di dapur, menyiapkan minuman panas dan sarapan
yang beraroma harum. Tetapi Jason maklum, perlakuan Joshua kepadanya semalam
tentu sangatlah menyakiti perempuan itu, mungkin perempuan itu menangis
semalaman.
Joshua
meringis dan menggelengkan kepalanya, “Tidak Jason, jangan pergi, maafkan aku,
dan jangan bawa Kiara.”
Jason
menatap Joshua yang tampak berantakan dengan memar di surut bibirnya dan mata
yang begitu kalut.
“Kau
sudah keterlaluan menghinanya Joshua, kau lupa dia seorang perempuan polos yang
tidak tahu apa-apa.” Jason mendesis, “Dan aku tidak akan membiarkannya di sini
menanggung kesalahan yang tidak dia buat, menanggung kemarahanmu yang tidak
diketahui sebabnya.”
Joshua
menghela napas panjang, “Aku tahu. Aku tahu Jason, kemarin aku keterlaluan. Aku
memang salah. Aku pulang dan menemukan kalian tidak ada, ponsel kalian
sama-sama tidak bisa dihubungi, dalam kecemasanku aku malah berpikir
jangan-jangan ayah kandungku menculik Kiara.” Joshua menatap Jason dan meminta
maaf, “Aku memang pantas mendapatkan pukulan itu, maafkan aku.”
Jason
termenung menatap Joshua dengan skeptis. Tetapi bagaimanapun juga, dia
menemukan kesungguhan di mata Joshua, lelaki itu sekaligus tampak tersiksa.
Akhirnya
Jason menghela napas panjang.
“Semuanya
terserah Kiara, minta maaflah kepadanya. Kalau dia tidak mau menerima maafmu,
aku akan membawanya menjauh darimu.”
Joshua
menganggukkan kepalanya, dan kemudian mengetuk pintu kamar Kiara.
“Kiara?
Kau sudah bangun?”
Tidak
ada jawaban. Kemungkinan Kiara masih tertidur dengan lelapnya.
Joshua
mengetuk lagi, “Kiara, kalau kau sudah bangun, keluarlah. Aku ingin meminta
maaf kepadamu. Kata-kataku padamu semalam memang keterlaluan. Aku cemas dan
menumpahkan kemarahanku kepadamu, kau tidak pantas menerimanya, maafkan aku.
Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi... Kiara?”
Sama
sekali tidak ada jawaban. Joshua melemparkan tatapan curiga ke arah Jason.
Ekspresi keduanya sama-sama harap-harap cemas.
Dengan
hati-hati, Joshua membuka handle pintu kamar Kiara, dan mendapati ranjang
kosong dan rapi seperti tidak pernah ditiduri.
Dengan
tergesa Joshua melangkah masuk diikuti Jason ke kamar mandi yang ternyata juga
kosong. Lemari-lemari masih penuh dengan pakaian, rak sepatu kaca masih tertata
rapi. Kiara tidak membawa apapun pergi dari sana selain pakaian yang dibawanya
masuk ke kamar ini.
Kiara
tidak ada di mana-mana.
Joshua melemparkan tatapan cemasnya ke arah Jason.
CRUSH IN RUSH - BAB 14
No comments:
Post a Comment