Bab
9
The Winner
DUA bulan berlalu semenjak kejadian itu. Reina
masih di Indonesia. Dia sudah memutuskan tinggal di sini sementara. Reina masih
mencintai Ares, apa pun konsekuensinya.
"Rei? Udah makan?" tanya Tante Risa
ramah. Wajahnya tampak lebih tua dari biasanya. Reina memakluminya. Tante Risa
pasti sangat lelah.
"Belum, Tante. Belum laper," kata Reina,
lalu memandangi fotonya bersama Ares dalam pigura yg dulu pernah dibelinya.
Ares tampak sangat lucu di foto itu. Dia sedang
tersenyum, hal yg jarang dilakukannya. Tak terasa air mata Reina menitik. Tante
Risa menghampiri Reina, lalu memegang pundaknya lembut. Reina balas memegang
tangan itu.
Segalanya memang sudah berubah. Padahal, Reina
sempat berpikir bahwa tak akan ada yg berubah.
"Ngapain lo?" Orion mengambil tempat
duduk di gazebo. "Mau gue temenin?"
Ares tersenyum simpul, lalu mengangguk pelan. Walaupun
demikian, matanya menatap kosong ke arah kolam renang. Orion mencoba untuk tak
menatap Ares lama2, lalu memutuskan untuk melihat kolam renang juga.
"Eh Res, tadi gue menang pertandingan
persahabatan lho." Orion coba mencairkan suasana. Ares menelengkan
kepalanya. Matanya berkedip-kedip lugu. "M.. VP?" tanyanya pelan.
"Gue dapet juga," kata Orion sambil
terkekeh. "Hebat kan, adek lo nih?"
Ares mengangguk-angguk kecil. Tangannya terulur
untuk mengambil minum. Orion bisa melihat tangan itu bergetar hebat. Orion
segera membantunya untuk minum.
Orion hampir2 tidak bisa menahan emosinya saat Ares
minum dari gelas yg dipegangnya.
Kakaknya yg supertangguh bisa menjadi selemah ini
hanya karna ulah si brengsek Raul. Ares sekarang sama rapuhnya dengan balita. Dia
nyaris tidak bisa melakukan apa pun sendiri. Beberapa sarafnya sudah tidak
bekerja. Ares memang masih bisa berjalan, tapi itu pun harus pelan2, dan harus
ada yg menemaninya karna siapa pun tidak ingin dia jatuh lagi.
Kira2 dua bulan yg lalu, Ares dinyatakan sembuh
dengan cacat sementara. Tim dokter sudah melakukan yg terbaik dan menurut Ayah
dan Ibu Ares memang sudah waktunya pulang ke rumah.
"Res? Lala titip salam," kata Orion
setelah Ares selesai minum. Ares memandang Orion ingin tahu. "La-la?"
Orion terenyak. Ingatan Ares menurun drastis selama
beberapa hari ini. Dia sudah lupa pada kedua teman baiknya Dipo dan Wanda, dan
sekarang dia justru sudah melupakan Lala. Orion tak ingin Ares melupakan
dirinya. Benar2 tak ingin.
Hari ini hari yg sangat cerah. Ares melemparkan
pandangannya ke luar jendela dari tempat tidurnya, lalu menghela napas. Ini
waktu yg tepat. Ares mengumpulkan segenap tenaganya, memejamkan matanya sesaat,
lalu bangkit.
"Ares? Sayang? Mau ke mana?" tanya Ibu
saat Ares keluar kamar. "Pergi," jawab Ares nyaris berbisik.
Ibu hanya mengernyitkan dahinya.
"Oh iya, ada hadiah buat Ayah sama Ibu di
kamar. Nanti dilihat ya," katanya lancar.
Ayah, Ibu, dan Orion saling pandang. Ini pertama
kalinya Ares berbicara lancar setelah keluar dari rumah sakit. Seketika,
harapan mulai membuncah di dada mereka.
"Pergi ke mana? Sama siapa?" tanya Ayah
sambil membantu Ares duduk di sebelahnya. "Ke taman, sama Reina,"
jawab Ares.
Ayah menatap Ares bahagia. Hari ini Ares tampak
sangat cerah, dan penuh semangat.
"Ya udah. Tapi kamu hati2, ya," kata Ayah
lagi, dan Ares mengangguk pelan.
"Ares sayang kalian semua," kata Ares
tiba2, membuat Ibu menangis seketika. "Maaf ya, kalo selama ini Ares
nyusahin."
"Ares, kamu adalah milik Ayah yg paling
berharga. Seluruh keluarga ini adalah harta Ayah. Ayah juga sayang sama kamu.
Maafin Ayah kalo selama ini terlalu keras sama kamu," kata Ayah, air
matanya juga tak terbendung.
"Res, lo bener2 kakak yg keren di mata gue. Lo
selalu ada kalo gue butuh. Gue juga... ng... sayang sama lo," kata Orion
salah tingkah. Ares tersenyum kepada Orion. "Gue juga, Ri,"
Orion menatap Ares ragu sejenak, lalu menghambur
memeluknya. Ares terlihat shock sesaat, namun detik berikutnya dia membalas
pelukan Orion.
"Gue bener2 seneng kondisi lo membaik, Res.
Gue nggak nyangka lo bisa baikan secepat ini. Ini bener2 keajaiban," kata
Orion lagi yg disetujui oleh keluarganya.
Ares hanya tersenyum tanpa menjawab. Tak lama
kemudian, Reina muncul dari kamarnya. Dia terperanjat saat melihat Ares.
Bukan kondisinya yg membaik yg membuat Reina kaget.
Saat ini, Ares mengenakan baju dan celana putih. Ini mengingatkannya kepada
mimpi buruknya.
"Ayo, Rei," kata Ares sambil bangkit.
Reina dengan takut2 bergerak ke arah Ares, lalu
memegang tangannya dan melingkarkannya ke bahunya. Reina benar2 mempunyai
perasaan yg buruk soal baju ini, tapi melihat kondisi Ares yg benar2 baik, dia
mengusir perasaan itu. Mungkin ini hanya sugestinya.
Ares dan Reina keluar rumah lalu berjalan menuju
taman. Reina dapat merasakan hangatnya tubuh Ares. Reina benar2 senang Ares
bisa sesehat ini.
Reina dengan takut2 bergerak ke arah Ares, lalu
memegang tangannya dan melingkarkannya ke bahunya. Reina benar2 mempunyai
perasaan yg buruk soal baju ini, tapi melihat kondisi Ares yg benar2 baik, dia
mengusir perasaan itu. Mungkin ini hanya sugestinya.
Ares dan Reina keluar rumah lalu berjalan menuju
taman. Reina dapat merasakan hangatnya tubuh Ares. Reina benar2 senang Ares
bisa sesehat ini.
Pemakaman Ares sudah berakhir. Ayah dan Ibu tampak
masih shock. Kepergian Ares yg tak terduga kemarin memang mengejutkan banyak
orang. Orion tak menyangka kalau kemarin Ares hanya berpura-pura sehat.
Tapi Orion tak menyesal. Dia sudah berbaikan dengan
Ares. Orion merasa sangat lega sekaligus kehilangan pada saat yg bersamaan.
Lega karna akhirnya Ares terbebas dari penderitaan, kehilangan karna Orion
belum sempat menghabiskan banyak waktu bersama dengannya.
Tadi Ayah dan Ibu sangat terkejut dengan
penemuannya di kamar Ares. Mereka menemukan sebuah berkas berlabelkan Deraya
Flying School, sekolah penerbang yg ada di bandara Halim Perdana Kusuma. Berkas
itu berisi segala sesuatu tentang sekolah itu mulai dari brosur, copy formulir,
dan juga surat pengantar. Tak ada yg percaya bahwa Ares memiliki keinginan yg
kuat untuk menjadi pilot, dan dia berhasil membuktikan kepada semua orang bahwa
dia mampu. Ayah sampai menangis karnanya.
Dan seakan belum cukup, dokter Affandi, dokter umum
yg dulu sering menerima keluhan Ares, datang ke pemakaman dan mengatakan bahwa
Ares pengidap disleksia sejak kecil. Jelas, Ayah, Ibu, dan Orion terperanjat
saat mendengarnya. Selama ini, mereka menyangka Ares anak yg bodoh atau ber-IQ
rendah. Dokter Affandi malah bingung karna tak ada seorang pun dari keluarga
Ares yg mengetahui hal ini, padahal Ares mengatakan sebaliknya. Dia segera
meminta maaf karna merasa telah menambah kesedihan Ayah dan Ibu.
Ares sering mendapat perlakuan tak adil karna dia
menderita disleksia. Ayah lah yg paling menderita karna berita ini. Dia merasa
buruk karna telah salah paham, juga absen memerhatikan tanda2 disleksia pada
Ares kecil. Ibu pun menderita karna merasa dirinya bukan ibu yg baik karna tak
mengenali gejala penyakit itu. Orion juga merasa bersalah karna dulu dia malah
selalu berusaha menjadi lebih dari Ares. Segala persaingan yg pernah
dilakukannya dengan Ares terasa sangat membebani pikiran Orion. Seumur hidup,
Orion sudah bertarung dengan Ares dalam hal apa pun, tapi pada akhirnya memang
Ares-lah yg pantas menjadi juaranya.
Orion menatap Reina yg masih memandang pusaran Ares
yg dipenuhi bunga. Orion tahu Reina pasti sangat terpukul karna kehilangan
Ares, karna dia lah orang terakhir yg berada di samping
Ares menjelang ajalnya.
Lala, Dipo, dan Wanda berpamitan kepada Ayah dan
Ibu, lalu menghampiri Orion. Lala memeluknya kuat2, lalu tangisnya pecah lagi.
Orion mengelus-elus punggungnya yg berguncang. Setelah tenang, Orion melepasnya
untuk memeluk Dipo dan Wanda.
Sekarang, semua orang sudah pulang, begitu pula
Ayah dan Ibu. Ibu sempat pingsan beberapa kali saat jasad Ares dimasukkan ke
liang kubur, jadi Ayah segera membawanya pulang supaya dia bisa beristirahat.
Yg tertinggal hanyalah Reina dan Orion.
Reina tidak menangis. Dia sudah cukup menangis. Air
matanya nyaris habis. Dia hanya memandang pusaran Ares dengan tatapan kosong.
Tangannya menggenggam setangkai mawar putih.
Tidak ada yg berbicara di antara mereka selama
beberapa menit. Orion dan Reina sibuk dengan pikirannya masing2.
"Aku pernah bilang, kalo aku nggak akan bisa
hidup tanpa dia," kata Reina akhirnya. "Itu karna aku nggak
pernah berpikir kalau suatu saat dia akan pergi dengan cara seperti ini. Dia
pergi ke tempat yg nggak bisa aku ikutin."
Orion memandang Reina yg tampak hampa.
"Mungkin sekarang aku masih hidup tanpa dia,
tapi nggak akan sama," lanjut Reina. "Dia pergi dengan membawa
sebagian hatiku. Aku ragu apa aku nantinya bisa mencintai orang lain. Aku pun
nggak ingin mencintai orang lain."
Reina meletakkan bunga mawar itu di atas pusaran
Ares.
"Sebenernya dari dulu aku tau aku nggak akan
bisa menang dari dia. Dan seumur hidup aku udah mengidolakan dia. Aku
mengkhayalkan bagaimana hidup dengan bebas tanpa ekspektasi dari siapa pun
kayak dia," kata Orion.
Reina menatap Orion dengan mata berkaca-kaca. Orion
tak membalasnya. Dia memandangi kosong pusaran Ares.
"Dari kecil aku terbiasa liat dia yg selalu
ngelindungin aku. Dia udah kayak superhero-ku," Orion mendengus geli
sesaat, lalu detik berikutnya wajahnya kembali murung. "Dia selalu, selalu
jadi role model-ku. Entah kenapa akhirnya aku ngotot bersaing dengan dia,
padahal itu pertarungan yg nggak bisa aku menangin. Aku tau dia berusaha keras.
Tapi aku sama sekali nggak nyangka dia disleksia."
Orion mengeraskan rahangnya, menahan emosi.
"Aku, yg katanya pinter, cerdas, dan segala macem, nggak sadar kalo
kakakku sendiri menderita disleksia. Aku malah ikut-ikutan nyangka dia bodoh.
Tapi, dia bener2 udah membuktikan dirinya. Aku bangga banget punya kakak kayak
dia."
"Dia hebat kan, Ri?" tanya Reina, seulas
senyum terlukis di wajahnya yg lelah.
Orion menatapnya sebentar, lalu balas tersenyum.
"Ya, Rei. Dia hebat," katanya, lalu
kembali memandang pusaran Ares. "Dia hebat. Dia kakakku yg hebat. I wish I
knew it earlier." Orion mengambil bunga dari keranjang, lalu meletakkannya
persis di sebelah bunga Reina. "May you rest in peace, brother," kata
Orion pelan, lalu melirik Reina. "and lover." Reina tersenyum, lalu
bersama Orion pergi dari pemakaman, meninggalkan cintanya. Hanya untuk
sementara saja, janji Reina.
Epilog
ORION membuka kamar Ares lebar-lebar, berusaha menemukan
sosok yg sedang bermalas- malasan di tempat tidur sambil menggoyang-goyangkan
kepala dan mengayun-ayunkan tangannya dengan heboh.
Tapi tak ditemukannya. Dia hanya menemukan puluhan
poster-poster di dinding kamar Ares. Bagi Orion ini seperti mimpi. Tak pernah
sekalipun dia berpikir untuk kehilangan suara dentuman-dentuman dari kamar
Ares, teriakan-teriakan yang sering disebutnya sebagai nyanyian, suara-suara
bantingan barang... Dan tak pernah Orion melihat kamar Ares serapi ini. Orion
tiba-tiba membayangkan Ares duduk di jendela sambil menyanyi dan memainkan
gitar. Orion juga bisa melukiskan bagaimana keadaan Ares waktu itu. Rambut
acak-acakan, kaus usang, celana belel...
"Sialan!" sahut Orion sambil melemparkan
barang terdekat yang bisa diraihnya.
Orion tak bisa lagi menahan tangisnya. Tangis yg
selama setahun ini berusaha untuk disembunyikannya.
Orion membaca lagi surat dari Ares yang dulu
ditinggalkannya di kamar. Surat itu meminta Orion untuk menjaga Reina, juga
berisi pujian tentang permainan basket Orion, dan Ares bangga karnanya. Seorang
Ares bisa menulis itu semua, rasanya bagai mimpi bagi Orion.
Ares memang orang yang penuh kejutan. Selama ini,
dia selalu bertahan tanpa pernah
mengeluh. Ternyata dalam hal inilah dulu Orion
harusnya membantu Ares.
Orion tak pernah tahu. Siapapun tak pernah tahu.
Yang diketahuinya hanyalah, kakaknya adalah sebuah misteri baginya.
Selalu menjadi misteri. Bahkan pada saat-saat
terakhirnya.
Walaupun demikian, Ares akan selalu menjadi bagian
dari diri Orion. Selamanya. "I miss you, bro'," bisik Orion lemah.
Aku pertama kali melihatnya saat musim panas yang
terik
Dia datang tanpa ada seulas senyum pun di wajahnya
Dia tampak seperti seorang laki-laki yang kesepian
Menanti seseorang untuk menemukan kunci ke hatinya
yang gelap
Aku tak tahu ternyata akulah sang pemegang kunci
itu
Aku menyinari hatinya, sampai akhirnya dia mau
merekah
Aku menyukai caranya tersenyum untukku
Aku menyukai sikapnya yang membuatku merasa spesial
dan betapa sosoknya sudah menjadi menu utama dalam mimpiku
Dia adalah cinta pertama, juga sejatiku
Ares, sang angin yang berhembus sepoi di musim
panas kini telah kembali ke tempatnya berasal Walaupun tak lagi bersama, tapi
dia tetap akan menjadi hal terbaik yang pernah terjadi padaku Aku akan selalu
teringat padanya juga selalu tak sabar,
Menanti datangnya musim panas,
Saat di mana aku bisa kembali bertemu dengannya.
Reina tersenyum pedih saat membaca tulisannya. Dia
kemudian menggulung surat itu, memasukkannya ke kaleng, lalu menguburnya
kembali di bawah pohon perjanjian. Setelah itu, dia berdiri, menatap tulisan di
pohon yang sudah mulai hilang. Pohon itu mulai meranggas, karna cuaca yang
kering. Suasana persis seperti saat Ares meninggal. Daun-daun yang berguguran
mengingatkan Reina kembali pada saat mereka bertemu untuk pertama kalinya, juga
saat mereka berpisah untuk selamanya.
Sudah setahun semenjak kematian Ares. Reina baru
saja kembali dari Amerika. Hari ini tepat hari kematian Ares, dan Reina sudah
berjanji kepada keluarga Ares untuk datang berziarah. Sebelum itu, Reina
menyempatkan diri untuk membaca tulisan yang ditulisnya setahun yang lalu, yang
kemudian dikuburnya di bawah pohon akasia yang dulu pernah dijadikan tempat
perjanjian.
"Rei," panggil seseorang yang sudah
sangat dikenal Reina, membuatnya berbalik.
Reina mendapati Orion dan Lala yang sedang
menunggunya. "Kita pergi sekarang?" tanya Orion sambil tersenyum
lembut.
Reina mengangguk perlahan, lalu bergerak menuju
mereka. Reina menoleh ke arah pohon itu untuk yang kesekiankalinya, membayangkan
masa kecilnya bersama Ares yang indah.
Reina tak akan pernah meninggalkan apa pun di
belakang. Reina akan terus membawa kenangannya bersama Ares. Selamanya.
"I'll always love you," bisik Reina.
Setelah menatap cincin hijau di jari manisnya,
Reina tersenyum lalu masuk ke mobil.
No comments:
Post a Comment