Bab
5
Dreams
ARES terbangun dengan rasa sakit luar biasa
menyerang kepalanya. Perlahan, Ares membuka mata, lalu melihat ruang keluarga
yg sepi. Ares berjalan limbung ke arah meja makan dan menemukan surat di sama.
Dari Reina.
Dear Ares,
Aku ke kampus bareng Orion, mau nonton
pertandingan. Trust me, would you?
Love, Reina.
Ares melipat surat itu, lalu meletakkannya kembali
ke meja. Ares duduk di kursi makan dan mencomot sepotong sosis, tapi mulutnya
terlalu sakit untuk dibuka. Ares melempar sosis kesal lalu kembali berjalan ke
sofa dan memutuskan untuk menonton saja. Kepalanya sudah sangat sakit. Mungkin
setelah ini dia akan ke rumah sakit, karna sepertinya dia butuh beberapa
jahitan.
"Ayo Ri! Semangat!" seru Reina sambil
melonjak-lonjak di bangku penonton.
Reina sedang menyaksikan pertandingan perempat
final dari turnamen yg diikuti oleh tim Orion. Reina tidak menyadari bahwa
sedari tadi, Lala mengawasinya dari sisi berseberangan.
Ketika Lala bermaksud mendekati Reina, pertandingan
berakhir. Lala melihat Orion melangkah ceria ke arah Reina. "La."
Suara Raul terdengar sayup2, tapi Lala tidak
mendengarkan. Dia masih memerhatikan Orion yg sekarang sudah tertawa-tawa
bersama Reina.
"Lala," kata Raul lagi, kali ini sambil
mengguncang-guncang Lala. Lala mendelik pada Raul. "Apa sih?"
"Gue menang," Raul memberitahu dengan
senyum lebar.
"Oh," komentar Lala tak peduli, lalu
kembali mengawasi Reina dan Orion. "Bagus."
Raul mengikuti arah pandang Lala, lalu
mengernyitkan dahinya tak suka. Orion. Bocah tengik itu lagi. Setelah merebut
posisi kapten miliknya, sekarang Lala juga sudah kembali memerhatikan Orion.
Raul mengepalkan kedua tangannya kuat2. Tanpa diketahui Lala, Raul sudah
memutar rencana di dalam otaknya.
Lala sendiri sudah memutuskan untuk mendekati Orion
dan Reina. Lala memaksakan senyum kepada mereka berdua.
"Ri, selamat ya," kata Lala.
Orion nyengir lebar. "Wuah, thanks, La."
Lala tersenyum, lalu melirik Reina tajam. Reina
jadi segera salah tingkah. Orion memandang mereka bergantian, lalu merangkul
Reina. Lala memandang Orion penuh tanda tanya.
"Ares mana, Ri?" tanya Lala lagi, dan dia
menangkap ekspresi Reina yg sepertinya ingin tahu. "Di rumah," jawab
Orion ringan. "Ngapain juga lo tanya2 soal dia? Dia kan nggak bakal dateng
ke pertandingan gue."
"Pengen tanya aja," kata Lala.
"Soalnya ada yg pengen gue omongin sama dia."
Lala menatap Reina puas sebentar, lalu berbalik dan
memutuskan untuk ke rumah Ares. Lala benar2 ingin meluruskan sesuatu.
"Ri," kata Reina setelah Lala tidak
terlihat lagi. "Emang, Lala itu siapanya Ares sih?" Orion bengong
sebentar atas pertanyaan Reina, lalu tersenyum. "Mereka dulu pernah
sahabatan."
Reina merasakan sesuatu menusuk hatinya. Ares
pernah bersahabat dengan orang lain. Berarti Reina tidak sespesial yg pernah
dikiranya.
Lala mengintip melalui jendela rumah Ares, lalu
memutuskan untuk mengetuk pintunya. Beberapa saat kemudian, Ares sendiri yg
membuka pintu. Lala terkesiap begitu melihat wajah Ares babak belur.
Sama halnya dengan Lala, Ares juga terkejut melihat
Lala di depan pintu rumahnya. Lala tidak pernah datang lagi semenjak Ares
melarangnya.
"Res! Lo kenapa? Ya ampun... apa Raul
lagi?" jerit Lala begitu melihat Ares dengan kepala terbalut perban.
Ares segera menangkis tangan Lala yg berusaha
menggapainya. "Bukan," tukas Ares dingin. "Mau apa lo di
sini?"
Lala terdiam sesaat, lalu menatap Ares serius.
"Res, ada yg harus gue omongin." Ares terdiam. "Udah gue bilang,
nggak ada lagi yg har-"
"Ini tentang Reina," sambar Lala cepat.
"Apa dia cewek yg sepuluh tahun lalu itu?"
Ares terdiam lagi, tapi sejurus kemudian, dia
mengangguk tanpa melihat Lala. Lala mendesah pelan.
"Res," desak Lala. "Kalo aja gue
nggak berbuat kesalahan, kalo aja gue nggak pacaran sama Orion, lo bakal pilih
siapa?"
"La, nggak ada yg namanya 'kalo aja'. Semua
udah terjadi," kata Ares lelah. Kepalanya sekarang sudah kembali terasa
nyeri.
"Res, kalo gue bilang gue pacaran sama Orion
cuma pengen bikin lo cemburu, lo bakal percaya? Kalo gue bilang gue marah karna
lo nggak pernah jujur soal perasaan lo sama gue, lo bakal percaya?" sahut
Lala, membuat Ares membeku.
Detik berikutnya, Ares mendengus geli. "Gue
nggak percaya."
Namun Ares segera terdiam ketika melihat ekspresi
Lala. Dari matanya, Ares tahu betul Lala tidak sedang berbohong. Hanya saja,
Ares tak mau memercayainya. Bagi Ares, segalanya lebih mudah jika Lala emang
berpacaran dengan Orion tanpa ada maksud lain.
Ares menghantam tembok di sebelahnya dengan buku2 jarinya.
Lala hanya terisak di samping Ares.
"Gue pikir," kata Lala di sela isakannya.
"Lo bakal cemburu dan berusaha ngerebut gue dari tangan Orion. Nggak
taunya, lo malah pergi dari gue. Gue nggak tau harus ngapain lagi." Ares
ingin menyumbat telinganya dengan apa saja. Dia tak ingin mendengarkan Lala.
"Gue tau gue salah, dan gue pikir gue bisa
ngeyakinin lo, tapi gue terlambat. Orang itu tiba2 dateng, dan jelas, lo nggak
bakal pilih gue," isaknya lagi.
Ares menatap Lala, gadis yg dulu pernah menjadi
bagian dari hidupnya. Gadis yg pernah disayanginya.
Lala menggeleng-geleng pelan. "Gue sering
bertanya-tanya, apa sih bagusnya gue? Tapi, sebagus apa pun gue, walaupun gue
nggak berbuat kesalahan apa pun, lo pasti tetep milih dia, kan?"
Tanpa pikir panjang, Ares segera menarik tubuh
mungil itu dan mendekapnya erat2. Tangis Lala segera saja lepas tanpa kendali.
Ares sadar, dia sedang berada dalam situasi yg
pelik. Ares mungkin bisa lebih mudah memutuskan, kalau saja tidak ada yg
berubah. Dia bisa saja berpura-pura tidak memercayai Lala, tapi dia tidak bisa.
Ares tidak bisa tidak menghiraukan Lala. Ares tidak ingin Lala merasakan
ketidakadilan yg pernah dirasakannya.
"Res?"
Ares segera mengetahui bahwa hidupnya mulai
sekarang akan bertambah sulit begitu mendengar suara Reina. Ares mendongak,
lalu mendapati Reina dan Orion di pagar. Lala melepaskan diri dari pelukan
Ares, lalu memutar tubuhnya.
Reina menatap Ares dan Lala bergantian, meminta
penjelasan. Orion juga memandang Ares.
"Lo udah kasih tau dia ya, La?" tanya
Orion hati2.
Dulu, Orion menyanggupi permintaan Lala untuk
berpacaran, semata-mata karna Lala meminta bantuannya. Lala sering mengeluh
tentang Ares yg tidak pernah menyatakan perasaannya. Orion sebenarnya
menyayangi Lala, tapi Lala sudah memutuskan untuk siapa hatinya akan diberikan,
dan Orion tak bisa berbuat apa pun selain membantunya.
Mendengar pertanyaan Orion, Ares merasa darahnya
mendidih. Dia bergerak maju dan menyerbu Orion. Ternyata, selama ini Orion juga
menyembunyikannya.
Entah apa yg membuat Reina begitu berani, tetapi
dia menempatkan dirinya di depan Orion sehingga Ares tak bisa memukulnya. Ares
menatap Reina sebentar, menarik napas, lalu segera berderap keluar rumah.
Reina terdiam. Jelas sekali Ares dan Lala tidak
hanya bersahabat. Ternyata, keputusannya untuk kembali adalah salah.
Ares memukul pohon akasia keras2 sampai tangannya
berdarah. Ares tidak peduli. Ares terlalu kacau dan butuh pelampiasan. Setelah
lima belas menit menjadikan pohon sebagai karung samsak, Ares akhirnya terduduk
kelelahan. Belakang kepalanya berdenyut-denyut menyakitkan, rasanya seperti mau
pecah. Suara denging memenuhi kepalanya.
Di antara dengingan itu, terdengar bunyi langkah
seseorang. Ares bersumpah demi Tuhan tidak
ingin bertemu dengan siapa pun saat ini, tapi, yg muncul
malah yg sedang dipikirkannya. "Aku udah denger dari mereka berdua,
Res," kata Reina pelan.
Ares tak berani memandangnya. Ares telah berbuat
kesalahan karna menyukai gadis lain selain Reina. Dan ini bahkan bukan
kesalahan Reina, sebagaimana yg bertahun-tahun ini Ares sangka. "Tapi
belum dari kamu," sambung Reina.
"Apa yg kamu denger dari mereka udah
cukup," kata Ares. "Aku memang deket sama Lala setelah kamu pergi.
Waktu itu cuma dia yg peduli sama aku."
Reina menatap Ares sambil menggigit bibirnya. Ares
memang pernah menyukai Lala.
"Res, aku nggak sebaik yg kamu pikir,"
kata Reina sambil menghapus air matanya yg mulai menetes. "Jangan kamu
pikir aku nggak marah. Jangan kamu pikir aku bisa begitu aja nyerah." Ares
menatap Reina sedih. "Rei, aku nggak cukup baik buat kamu. Dari awal emang
harusnya bukan aku yg kamu pilih," kata Ares pelan. Ares ingin sekali
memeluk Reina. Tapi Ares harus menahan segala keegoisannya.
"Kenapa? Kenapa kamu ngomong kayak gitu?
Bukannya itu hak aku buat milih? Sekarang kamu yg harus milih! Kamu harus
tegas, Res!" sahut Reina. "Apa kamu mau egois dengan memperlakukan
aku kayak gini? Atau... kamu malah pengen ngelepasin aku?"
Ares tak menjawab Reina dan hanya menatapnya lama.
Reina pun segera mengetahui jawabannya. Jadi, Reina segera menangis.
Ares menundukkan kepalanya, tak tahu harus berbuat
apa. Ternyata, memiliki dua hal tidak selalu bagus. Ares sekarang malah
merindukan keadaannya dulu, saat dia tidak pernah memiliki apa pun.
"Res."
Ares kembali mendongakkan kepalanya. Satu orang
lagi gadis yg butuh penjelasan muncul, dan berdiri tepat di sebelah Reina. Ares
merasa dunianya akan hancur dalam hitungan detik. "Gue nggak pernah
meminta lo untuk memilih," kata Lala sambil tersenyum getir. Tangannya
merangkul Reina yg terlihat bingung. "Lo tau gue nggak akan buat lo
menderita lagi."
Ares menatap Lala bimbang, tak mengerti dengan
perkataannya.
"Res, gue nggak menuntut apa pun. Masa sih,
gue ngak bahagia liat lo bahagia? Gue cuma pengen kita balik kayak dulu lagi,
bersahabat. Kalo yg itu boleh kan Rei?" tanya Lala, lalu tersenyum kepada
Reina.
Mendadak, Ares merasakan kelegaan yg luar biasa
pada hatinya. Ternyata hal ini bisa juga
diselesaikan tanpa bunuh diri. Padahal, hal itu
sempat terbesit dalam pikiran Ares.
"Thanks, La," kata Ares tulus. Lala
bergerak ke arah Ares yg masih terduduk, lalu memeluk Ares. "That's what
friends are for," gumamnya. Perlahan, senyum Ares terkembang. Dia menatap
Reina yg juga tersenyum. Ares merasa, setelah ini,
tidak akan ada lagi masalah yg bisa menimpanya. Ares sudah memiliki Reina, dan
sekarang, dia mempunyai tambahan seorang teman. Ares tak bisa lebih bahagia
dari ini.
"Ngaku aja, kamu tadinya udah pengen
ngelepasin aku, kan?" tanya Reina malamnya di taman. Reina benar2
berterima kasih Lala mau melepaskan Ares.
"Aku udah pengen ngelepasin kalian
berdua," jawab Ares. "Jujur aja, nggak punya apa pun ternyata jauh
lebih baik daripada punya dua sekaligus."
Reina menatap Ares lama. "Jadi, kalo tadi Lala
nggak ngelepasin kamu, kamu bakal ngerelain aku?"
"Aku mohon Rei, jangan minta aku jawab itu.
Aku nggak mau kehilangan kamu, tapi aku juga nggak bisa mengabaikan Lala begitu
aja. Dia yg selalu ada buat aku kalo aku lagi susah," kata Ares pelan.
"Dan aku nggak nyangka dia berbuat kayak gitu. Jujur, aku tadi sempet
ngerasa kalo lebih baik dia dulu emang bener ngekhianatin aku."
"Trus?" tanya Reina lagi.
"Untungnya aku cepet sadar, kalo aja Lala
nggak ngaku, kami pasti bakal terus-terusan salah paham," kata Ares.
"Untuk sesuatu yg dia tanggung sendiri."
Memikirkan kata2 Ares, Reina terdiam. Reina dapat
membaca dengan jelas bahasa tubuh Ares yg terlihat lelah. Reina memang sakit
hati dengan kejadian tadi, tapi ini tidak membuat perasaan
Reina berubah.
"Aku nggak minta kamu untuk mengerti
aku," Ares menoleh kepada Reina dan menatapnya dalam2. "Jadi, kalo
kamu merasa aku nggak adil, aku nggak akan nyalahin kamu kalo kamu ninggalin
aku. Ini semua salahku."
Reina membalas tatapan Ares yg benar2 memohon.
Sesaat Reina merasa bimbang, tapi kemudian ditepisnya perasaan itu. Selama ini
Ares sudah cukup menderita. Seharusnya, Reina berterima kasih lebih banyak
kepada Lala, karna sudah membuat Ares setidaknya tetap hidup sampai bertemu
dengan Reina.
"Aku ngerti." Reina meletakkan kepalanya
ke bahu Ares. "Tadi, aku seharusnya nggak mendesak kamu buat milih. Maafin
aku,
Res."
Ares benar2 tidak percaya. Ares
pikir, Reina akan meninggalkannya. Ares pikir, dia
tidak akan punya kesempatan
lagi.
"Kamu tau," kata Reina sambil menatap
Ares. "Mulai sekarang kamu harus ngasih kesempatan kedua, karna semua
orang butuh itu."
Reina kembali meletakkan kepalanya pada bahu Ares.
Reina dapat merasakan Ares bahu Ares yg turun naik karna napasnya. Reina akan
melupakan semua masalah ini, karna bukan sepenuhnya salah Ares. Bagaimanapun
juga, Reina memiliki andil. Kalau saja Reina sempat mencatat alamat rumah atau
telepon Ares, pasti tidak akan begini jadinya.
"Jangan ngertiin aku karna kamu ikut-ikutan
Lala," kata Ares kemudian. "Tadi kamu sempet bilang kan, kalo kamu
nggak sebaik yg aku pikir."
"Emang, tapi rasa sayang aku buat kamu
melebihi rasa cemburu aku," kata Reina membuat Ares terkekeh.
"Kalo gitu, aku bisa terus-terusan selingkuh
dong," canda Ares. Reina mendelikinya. "Coba aja kalo berani."
Ares tertawa kecil, merengkuh Reina, lalu mencium lembut
puncak kepalanya.
Ares bukannya tidak berani. Ares tidak akan pernah
meninggalkan Reina demi wanita mana pun. Tidak akan terbesit sebuah niat pun.
Tak terasa, sudah hampir dua minggu Reina berada di
Indonesia. Reina sangat menyesali waktu yg terbuang begitu cepat. Andai saja
Reina bisa tinggal lebih lama, atau bahkan tinggal selamanya di Indonesia,
pasti akan sangat menyenangkan baginya.
Sekarang, hanya tinggal sepuluh hari lagi waktu yg
tersisa untuk bersama Ares. Walaupun demikian, Reina belum pernah menyinggung
masalah ini dengan Ares karna tak mau membuat Ares memikirkannya. Reina hanya
ingin bersama Ares selama yg dia bisa.
Reina berjalan gontai ke arah meja belajar Ares,
lalu menemukan fotonya dan Ares saat di mal tertimpa CD-CD. Reina mengernyit
sebal, lalu membawa foto itu ke luar kamar. Ares sedang berdiri di depan meja
makan, mulutnya penuh roti isi dengan mata terpancang ke TV. Dia hanya
mengerjapkan mata saat melihat Reina.
Reina menatap Ares sebal, kalu memberi sinyal agar
Ares mengikutinya ke gazebo. Ares menatap Reina heran sebentar, lalu melirik
kedua orangtuanya yg sepertinya tidak menyadari apapun. Ares pun mengikuti
Reina.
"Kenapa?" tanya Ares polos setelah mereka
sampai di gazebo.
"Kenapa? Aku yg mestinya tanya kenapa!"
sahut Reina berang, membuat Ares bingung. "Kenapa kamu nelantari foto
kita?"
Ares menatap fotonya dan Reina yg sekarang sudah
diacung-acungkan gadis itu tepat di depan wajahnya.
"Oh, itu doang. Kirain apaan, heboh
amat," komentar Ares, lalu duduk di gazebo.
"Itu doang? Ini bukan 'itu doang'! Kamu
nelantarin foto kita satu-satunya! Maksudnya, dua- duanya!" tambah Reina,
karna foto itu terdiri dari dua pose berbeda. "Kenapa nggak dirawat
sih?"
"Dirawat?" gumam Arer semakin bingung.
"Rei, itu cuma foto, bukan bayi. Santai aja."
"Tapi Ares, harusnya kamu masukin pigura atau
apa!" sahut Reina lagi.
Ares terdiam lalu memandang Reina sebal. "Apa
aku keliatan kayang orang yg biasa punya pigura?" tanyanya sinis.
Reina menghela napas. Benar juga. Ares pasti tak
pernah punya pigura. Bahkan Reina sangsi apa Ares punya foto lain.
"Ya udah. Dompet," perintah Reina sambil
menadahkan tangannya, sementara Ares bingung. "Dompet kamu!
Keluarin," kata Reina lagi.
Ares mengeluarkan dompetnya yg sudah tak jelas lagi
bentuknya. Itu adalah dompet yg dimiliki Ares semenjak SD, berwarna merah marun
dan bergambar Saint Seiya. Ares dapat melihat keheranan di wajah Reina, tapi
tak berlangsung lama. Reina segera menyambar dompet Ares lalu membukanya.
"Ya ampun, ini kan tempat foto! Kenapa malah
diisi KTP," keluh Reina sambil memindahkan KTP itu dan menggantinya dengan
foto mereka. "Gini baru normal."
Reina mengembalikan dompet Ares, lalu duduk di
sebelahnya. Reina masih mengamati dompet itu saat diselipkan ke saku celana
Ares.
"Kenapa? Jelek?" tanya Ares.
"Nggak. Antik," jawab Reina sambil
nyengir, lalu bersandar pada Ares.
Ada satu hal yg sedari dulu ingin diceritakannya
kepada Ares. Kehidupannya selama sepuluh tahun ini.
"Rei, gimana, asyik2 aja selama tinggal di
Indonesia?" tanya Ayah kepada Reina saat makan malam.
Reina mengangguk gembira seperti anak kecil, sambil
sesekali melirik Ares. "Asyik banget Om," jawab Reina.
"Udah ketemu apa yg dicari?" tanya Ayah
lagi. "Udah," kata Reina mantap.
Orion sudah mengetahui hal ini sejak lama. Hal
bahwa Reina kembali demi Ares. Tapi entah mengapa, seluruh tubuh Orion berusaha
mati-matian menolahknya. Jadi, Orion menatap Ares sebal. Ares langsung membalas
tatapannya dengan jauh lebih menyebalkan.
Ares sudah mengambil Lala. Dulu, Orhon harus
menahan semua perasaannya saat Lala memintanya untuk memantunya. Ares bahkan
sudah lebih dulu mengambil Reina. Reina hidup selama sepuluh tahun dengan
bayang2 Ares. Orion kalah total. Orion bahkan tidak tahu apa yg membuat Ares
sebegitu hebat sampai semua yg disayangi Orion berpindah ke tangannya.
"Ri!" tegur Ayah membuyarkan lamunan
Orion. "Kenapa Yah?" tanya Orion segera.
"Gimana kuliah kamu?" tanyanya, sedikit
heran melihat Orion yg kurang berkonsentrasi. "Bagus, Yah," jawab
Orion. "Semua tugas udah kukerjain."
Ayah mengangguk-anggukkan kepala, lalu pandangannya
beralih kepada Ares yg sudah terlihat menantang.
"Kalo kamu?" tanya Ayah, terdengar enggan
bagi Ares. Mungkin hanya formalitas karna Reina ada di sini.
"Begitu2 aja," jawab Ares malas.
Ayah mendengus. "Harusnya Ayah nggak
tanya," katanya, membuat suasana berubah suram. "Biasanya juga nggak
pernah," balas Ares, kehilangan selera makannya.
"Makanya sekarang Ayah coba2 tanya. Siapa tahu
ada perubahan," tukas Ayah, membuat Ares terdiam dan tak berani
menatapnya. "Padahal, Ayah sangat berharap," katanya lagi, lalu
meninggalkan meja makan.
Malam itu, Ares tak dapat tidur, memikirkan kata2
Ayah. Dia memiliki tugas untuk kuliahnya besok, dan sebelumnya, Ares tidak
pernah memiliki niat untuk mengerjakannya. Entah mengapa akhir2 ini Ares sangat
malas belajar. Mungkin karna penghargaan yg didamba-dambakan Ares tak kunjung
muncul, segiat apa pun usahanya.
Ares bangkit, lalu membuat secangkir kopi. Dia
membuka ransel, lalu mengeluarkan diktat2 kuliahnya. Ares segera saja merasa
pusing saat melihat tulisan2 kecil pada diktatnya. Tapi Ares tak menyerah, sama
seperti malam2 sebelumnya. Ares melakukan hal yg sudah seumur hidupnya
dilakukannya. Membaca dan membaca sampai termuntah-muntah.
Ares mengambil posisi enak untuk membaca, lalu
mulai membaca. Ares harus mengulang satu paragraf sebanyak lima kali sampai dia
betul2 mengerti, dan segera saja Ares merasa mual. Ares merangkum buku itu
sambil meminum pil pereda sakit kepala, sambil sesekali mengecek pekerjaannya
secara gramatikal. Terkadang, Ares masih belum bisa menulis kalimat yg benar
secara otomatis, terutama kalau dia sedang lelah. Setelah lima jam membaca dan
merangkum, Ares memutuskan untuk istirahat sejenak. Tahu2, matanya tertumbuk
pada sebuah amplop berwarna putih yg menyembul dari ranselnya. Ares menggapai
amplop itu, lalu membukanya.
Deraya Flying School. Ares mendapatkan brosur ini
dari salah seorang teman sekelasnya di kampus. Sedari dulu, Ares menginginkan
untuk menjadi pilot dan menerbangkan sebuah pesawat jet. Tapi mimpi ini mendadak
sirna begitu mengetahui bahwa dirinya seorang penderita disleksia.
Ares memang sudah berkembang ke arah yg lebih baik.
Ares sudah mahir berbicara karna terus berlatih. Ares juga sudah lebih lancar
membaca dan menulis, walaupun masih kesulitan dalam membaca tulisan2 kecil
dengan spasi yg terlalu dekat. Ares pun sudah bisa membaca jarum jam. Ares
tidak punya masalah dengan bahasa Inggris karna selain perkuliahannya memaksa
Ares mengerti bahasa Inggris, lagu2 yg sering didengarnya juga kebanyakan berbahasa
Inggris. Walaupun tidak banyak, Ares punya tabungan karna dia nyaris tak pernah
membeli apa pun seumur hidupnya, kecuali sebuah gitar yg dibelinya dari Dipo.
Ares membaca perlahan syarat2 yg ada pada brosur
tersebut. Ada satu syarat yg tak bisa dipenuhinya. Tanda tangan orangtua. Ayah
pasti akan tertawa terbahak-bahak begitu Ares meminta izin. Ares menyandarkan
kepalanya ke sofa. Dia harus mencari jalan keluar. Bukan Orion saja yg bisa
membuat Ayah bangga. Ares benar2 penasaran melihat bagaimana ekspresi bangga
Ayah terhadapnya
"Hai," sapa Lala begitu melihat Ares di
kampus, tapi langsung memekik ketika benar2 melihat wajah Ares. "Kenapa
lo?" sahutnya panik.
"Nggak apa2," jawab Ares pelan.
"Cuma begadang."
Lala memerhatikan Ares yg berjalan gontai, tersaruk
ke antara semak2. "Res! Lo nggak apa2 kan?"
"Duit," gumam Ares, mulai berhalusinasi.
"Gue butuh duit. Kurang nih."
Lala segera menangkap Ares yg kelihatan hendak
ambruk, lalu mendudukkannya ke kursi taman. Lala menatap Ares cemas. Wajah Ares
sangat pucat dan matanya terlihat lebam. "Res, lo nggak sakau kan?"
tanya Lala hati2.
Ares menoleh dan menatap Lala geli. "Gue udah
kekurangan duit, buat apa gue sakau? Udahlah, tenang aja, gue cuma pusing
berat."
"Lo abis ini ada kelas nggak?" tanya
Lala, dan Ares menggeleng. "Kalo gitu, tunggu bentar ya, gue cari
es."
Lala segera berlari menuju kantin dengan mata terus
mengawasi Ares. Ares punya banyak musuh di kampus ini, dan mudah saja bagi
mereka untuk menyerang Ares di saat dia lemah seperti ini. Setelah mendapatkan
esnya, Lala cepat2 kembali kepada Ares.
Lala menyerahkan esnya pada Ares. "Nih, lo
kompres deh kepala lo."
"Thanks," Ares menerimanya, lalu
menempelkan es itu pada kepalanya yg hampir meledak. "Duit buat apa sih
Res?" tanya Lala hati2.
"Emang tadi gue bilang soal duit, ya?"
tanya Ares bingung.
"Iya, lo bilang duit lo masih kurang. Emang lo
mau ngapain?" tanya Lala lagi.
"Nggak ngapa-ngapain. Anggep aja tadi gue
ngigau," kata Ares sambil kembali menempelkan es pada kepalanya.
Lala mengangguk-angguk kecil. Ares menatapnya, lalu
mengetuk kepalanya.
"Nggak usah pasang tampang kayak gitu,"
kata Ares. "Ntar juga lo tau," sambungnya, lalu tersenyum memandang
pesawat yg tiba2 lewat di atas mereka.
Lala ikut memandang pesawat itu heran.
"Orion! Lo niat nggak sih?! Konsentrasi!"
sahut Reno, pelatih basket tim kampus Orion.
Orion berhenti berlari, menyeka keringatnya, lalu
kembali menjaga Raul yg sedang berperan sebagai lawannya. Tapi berulang kali,
Raul bisa lolos dari pengawalan Orion.
"Orion!" sahut Reno lagi. "Lo pikir,
kita lagi main2? Dua hari lagi kita final!" "Kenapa gue dipindah ke
guard?" protes Orion kepada Reno.
"Kenapa? Kenapa, lo bilang? Coba lo pikir
kenapa! Lo pikir, gue mau nempatin lo di forward trus ngebiarin kita kalah
dengan mudah?!" teriak Reno emosi.
"Tapi kemaren kita menang pas gue di
forward!" sahut Orion lagi.
"Lo masih belum ngerti juga, ya? Beberapa hari
terakhir ini lo nggak bisa konsentrasi! Selalu gagal shoot, walau lay up sekali
pun! Sekarang, masih berani lo minta posisi?" seru Reno. Orion diam
walaupun emosi. Dia sadar perkataan Reno ada benarnya.
"Sekarang, gue taro lo di guard lo malah
ngelolosin semua lawan! Kalo lo terus-terusan kayak gini, lo nggak akan gue
turunin di final nanti! Inget itu!" sahut Reno lagi, lalu menoleh ke
timnya yg menonton. "Latihan sampe di sini dulu. Dan buat lo Ri, kalo
besok lo masih kayak gini, lo tau apa risikonya."
Reno meninggalkan lapangan sambil menendang apa pun
yg dilihatnya. Orion sendiri mengepalkan tangannya keras2, mengambil bola
basket, lalu membantingnya sampai memantul tinggi ke udara.
"Kenapa lo?" sahut Raul mengejek.
"Udah ilang semua rupanya mantra2 lo. Sekarang lo balik lagi jadi upik
abu."
Orion menatap Raul tajam, yg dibalas kekehan oleh
Raul.
"Nggak usah sok-sokan deh, Capt," kata
Raul lagi. "Ups, kayaknya sang kapten nggak bakalan diturunin pas final,
ya? Jadi, siapa dong kaptennya sekarang?"
"Elo!" seru teman2 Raul serempak.
Raul terkekeh lagi, lalu berjalan ke arah Orion.
"Udah deh, terima aja kalo lo nggak lebih baik dari gue," Raul
menepuk bahu Orion. "Nikmatin aja gelar kapten lo selama belum dicabut.
Gue ikhlas kok. Dah," kata Raul, disambut tawa oleh pengikutnya.
Orion menahan dirinya untuk tidak memukul Raul.
Orion tidak mau menambah masalah dengan dikeluarkan dari tim. Orion sangat
menginginkan final ini. Orion sangat menginginkan gelarnya sebagai MVP.
"Ada apa sih, bro?" tanya Odi prihatin.
Sedari tadi dia hanya bisa diam di samping Orion sementara dia dimarahi Reno.
"Kalo ada masalah, lebih baik lo selesain dulu. Inget Ri, lo pengen banget
final ini. Kapan lagi?"
Orion tidak menjawab. Dia tahu, Odi benar. Tapi
masalahnya, masalah ini tidak bisa diselesaikan begitu saja. Masalah ini sudah
menjadi masalah menahun. Masalahnya dengan Ares, kakak kembarnya. Masalah yg
melibatkan Reina.
Orion tidak langsung pulang begitu selesai latihan.
Orion kembali bermain basket di taman kompleks, walaupun saat itu sedang
gerimis.
Begitu banyak hal yg sedang dipikirkannya. Setelah
mengetahui dengan jelas bahwa Reina sekarang milik Ares, Orion tidak baik2
saja. Kemampuan belajarnya menurun drastis, dia pun tidak bisa berkonsentrasi
dalam berlatih basket.
Beberapa kali Orion melakukan shoot, beberapa kali
itu pula bolanya tidak masuk. Orion membanting bola itu kesal. "Kenapa,
Ri?"
Orion kaget, dan mendapati Reina sedang berdiri di
samping lapangan basket di bawah lindungan payung. Hari ini, dengan gaun
selutut berwarna pink, dia tampak manis sekali.
Orion menghela napas. Semua itu percuma saja. Reina
sudah tidak bisa diperjuangkannya lagi. Orion kembali melemparkan bola ke arah
ring, tapi meleset lagi. Saking kesalnya, Orion sampai sempat berpikiran bahwa
apa yg dikatakan Raul benar -tentang Orion yg hanya kena suatu mantra sihir
sampai bisa bermain basket dengan baik beberapa bulan terakhir.
"Ujan lho," Reina mengingatkan sambil
menatap Orion yg sekarang sudah basah. "Nanti sakit."
"Apa peduli kamu, sih?" sambar Orion
kesal. Orion tidak bermaksud begitu keras pada Reina, tapi kekesalannya sudah
memuncak.
"Ya peduli dong," jawab Reina. "Kamu
kenapa sih, Ri? Ada masalah?"
Orion berhenti melempar bola lalu memusatkan
perhatiannya kepada Reina. Mengapa dia masih bertanya hal2 semacam itu?
Bukankah seharusnya Reina tahu apa masalahnya?
"Ri, aku sama Ares udah..."
"Aku tau," tandas Orion, tak ingin mendengar
lebih. "Maafin a-"
"Kenapa?" sambar Orion cepat. Ternyata,
Orion menginginkan penjelasan. Orion tidak terima begitu saja. Harus ada alasan
yg tepat mengapa Reina malah memilih Ares dan bukan dirinya. Reina menatap
Orion yg basah kuyup. "Karna Ares adalah Ares," jawab Reina ragu, tak
yakin Orion bisa mengerti.
"Apa maksud kamu?" sahut Orion.
"Kenapa Ares? Kenapa bukan aku?"
Reina tak bisa menjawab. Air matanya mengalir
begitu Orion bergerak menjauh. Orion sekarang terlihat begitu defensif, padahal
Reina ingin sekali memeluknya.
"Kenapa dia? Padahal, kami kembar. Muka kami
sama. Kami kenal kamu di saat yg sama. Kenapa kamu malah pilih dia? Apa karna
dia banyak masalah? Apa karna dia pinter berkelahi? Apa karna dia lebih kuat
dari aku?" seru Orion lagi.
Reina menggeleng-gelengkan kepalanya sambil
terisak. Saat ini, Orion yg dikenalnya, yg berkepala dingin, sedang berada di
luar kendali.
"Kenapa, Rei? Apa karna di mata kalian para
cewek, Ares itu keren? Iya? Apa Ares itu semacem, apa, magnet cewek2? Padahal,
dia di kampus nggak begitu ngetop! Jadi, dia cuma jadi magnet buat cewek2 yg
aku sukain! Kenapa bisa begitu ya?" sahut Orion, lalu tertawa miris.
"Aku kurang apa ya, Rei? Bisa dibilang, aku malah lebih segalanya dari
Ares! Iya, kan? Aku lebih pinter, aku berprestasi, aku jago basket, aku lebih
segalanya! Dan kamu tau Rei, kenapa aku berusaha mati-matian untuk mendapatkan
itu semua? Ya, ya, kamu bener! Aku berusaha membuat kamu terkesan! Aku berusaha
jadi orang buat kamu!"
Isakan Reina semakin keras. Dia tak mampu
menghentikan Orion yg semakin lama semakin liar.
Orion sendiri tak peduli. Dia harus mengungkapkan
semua perasaan yg selama ini terpendam dalam hatinya.
"Tapi apa, Rei? Ya, kamu bener lagi! Kamu
malah milih Ares, sama kayak Lala milih Ares! Ares g bermasalah, Ares yg bego,
Ares yg nggak ada apa-apanya! Apa masalah lebih menarik buat kamu, Rei? Apa
kamu kasihan sama dia?" sahut Orion lagi.
Reina menggeleng. "Nggak," jawab Reina di
sela isakannya. "Bukan karna aku kasihan. Aku emang sayang sama dia, Ri.
Dari awal, aku emang sayang sama dia melebihi apa pun di dunia ini."
Orion terdiam sebentar mendengar jawaban Reina,
lalu terbahak. "Kamu udah memilih dari sejak kamu kenal sama kami,"
kata Orion, berhenti tertawa dan memandang nanar ke arah langit. "Dan sial
banget aku, nggak kepilih cuma karna... Rei, aku butuh satu alasan," kata
Orion lagi. "Alasan yg logis."
Reina menatap Orion yg tampak sudah mulai tenang.
"Ri, satu-satunya alasan kenapa aku sayang
sama Ares, yaitu karna Ares adalah Ares. Kalo aja dia orang lain, aku nggak
bakal sayang sama dia. Cuma dia yg aku mimpiin, cuma dia yg selalu ada di
pikiran aku, cuma dia satu-satunya orang yg bisa bikin aku lupa bernapas. Cuma
dia satu- satunya alasan aku bertahan," kata Reina sungguh2. "Dulu
kamu pernah bilang, kan, kalau kamu mau mukul Ares karna dia adalah dia.
Perasaan itu juga yg ada dalam hati aku. Aku sering kepikiran untuk membina
hubungan dengan orang lain waktu di Amerika, tapi aku selalu terhenti dengan
kata2 'orang ini bukan Ares'. Walaupun kedengarannya konyol, tapi sosok Ares
terus tumbuh dalam pikiran aku," lanjut Reina.
Orion tak bisa mengatakan bahwa pemikiran Reina
adalah hal yg konyol. Nyatanya, Orion melakukan hal yg sama. Sosok Reina juga
tumbuh dari hari ke hari dalam benaknya.
"Aku tau, sangat susah buat kamu untuk
ngertiin hal ini, mengingat kamu sama Ares udah berantem seumur hidup kamu. Aku
nggak akan meminta kamu untuk ngertiin aku," kata Reina lagi.
"Emangnya aku punya pilihan lain, Rei?"
sahut Orion sinis. "Apa aku harus hidup dengan pura2 nggak tau kalo kalian
pacaran? Lagian apa ada bedanya kalo aku ngertiin kamu atau nggak? Kalian bakal
terus bareng, kan?"
Reina menatap Orion sedih.
"Kenapa harus dia sih Rei? Kenapa bukan orang
lain? Kenapa harus kakak kembar aku? Kenapa harus orang
yg paling aku benci
di seluruh dunia
ini?"
sahut Orion. "Nggak usah
dijawab," lanjut Orion
sebelum Reina membuka mulutnya. "Karna Ares adalah Ares. Aku
tau."
Reina dan Orion
sama2 terdiam selama beberapa menit. Orion membiarkan
air
hujan membasahi wajahnya, juga
tubuhnya.
"Bukan berarti aku nggak sayang sama kamu,
Ri," kata Reina, membuat Orion mendengus.
"Nggak usah pake kasian segala, Rei. Simpen
aja-"
"Aku bukan kasian sama kamu!" sambar
Reina. "Tapi aku sayang sama kamu! Kamu pikir, karna aku cinta sama Ares
terus aku benci sama kamu? Nggak, Ri. Kamu udah aku anggep sebagai kakak aku
sendiri."
Orion menatap Reina. Orion bukannya tidak tahu
kalau gadis itu menyayanginya, tapi Orion masih belum bisa menerimanya. Tidak
sebagai kakak.
"Kamu nggak terbiasa kalah," gumam Reina
seolah bisa membaca pikiran Orion. Orion memalingkan wajahnya. "Jadi,
sekarang kamu mau bikin aku ngerasa kalah?"
"Bukan gitu," kata Reina tenang.
"Aku tau, sebenernya kamu udah bisa nerima kenyataan ini, cuma kamu masih
terlalu gengsi untuk menerima kekalahan. Kamu udah menang seumur hidup kamu.
Kamu nggak bisa kalah dari kakak kamu yg kurang segalanya dari kamu."
Orion menatap Reina. Dia tahu gadis itu benar.
"Ares itu," gumam Orion sambil menjambak
rambutnya. "Orang yg beruntung."
Reina menghampiri Orion, lalu memayunginya sambil
tersenyum lembut. "Kamu tau, Ri? Kamu nggak bisa bilang begitu. Ares masih
butuh pertolongan."
"Pertolongan? Pertolongan macem apa yg kamu
maksud? Ares bukan jenis orang yg butuh pertolongan," kata Orion, alisnya
bertaut. "Ares tuh orang paling keras yg pernah aku liat. Dia nggak pernah
mau dibantu, dia selalu aja ngelawan semua orang."
"Itu bukan mau dia," kata Reina sabar.
"Di dalam hatinya, dia kesepian, Ri."
"Kalo dia kesepian, kenapa dia nggak membuka
diri? Kenapa dia malah jadi anak yg bandel, nggak pernah nurut kata orangtua,
dan nggak pernah belajar? Kenapa dia berusaha untuk jadi yg terburuk? Apa itu
cara dia untuk cari perhatian?"
Reina hampir saja akan membeberkan rahasia Ares
kalau tidak ingat bahwa itu bukan haknya. "Ri, ada sesuatu hal yg
membuatnya begitu. Yg jelas, dia nggak pernah pengen bego, dia nggak pernah
pengen dimarahin orangtua kamu, dia nggak pernah pengen diremehin semua orang.
Dan kamu bener, dia berkelahi di sana-sini cuma untuk nyari perhatian orangtua
kamu yg udah tersedot habis buat kamu," jelas Reina miris. "Lagi
pula, kamu tau dia berkelahi untuk apa."
"Jadi, apa yg bikin dia kayak gitu?"
tanya Orion penasaran.
"Bukan hak aku untuk ngasih tau kamu,"
kata Reina. "Yg kamu harus tau, selama ini Ares menderita, dan ini sama
sekali bukan keinginannya."
Orion terdiam memikirkan kata2 Reina. Di satu sisi,
Orion merasa ini bukan waktu yg tepat untuk membicarakan orang yg baru saja
kembali merebut gadis yg disukainya. Tapi di sisi lain, Orion juga ingin tahu
apa yg menyebabkan Ares selama ini menjadi orang yg begitu menyebalkan. Kalau
Orion boleh jujur, selama ini Ares membuat semuanya menjadi mudah. Orion tidak
perlu belajar susah payah, karna dia tidak akan dimarahi, toh sudah ada Ares yg
masih belum lancar mengeja. Nilai2 ulangan Ares pun begitu buruk sehingga nilai
Orion yg tidak begitu bagus tidak terlalu kentara. Saat itu, semua perhatian
orangtuanya hanya tertuju pada Ares seorang. Namun, semakin hari Ares semakin
berkembang, membuat Orion tidak mau kalah. Orion mengejar semua peringkat,
sementara Ares tertinggal di belakang. Hal ini membuat orangtuanya menyerah
mengajar Ares yg bodoh, lalu memutuskan untuk hanya memerhatikan dan
membanggakan Orion yg selalu juara kelas.
Orion merasa bersalah bila mengingat itu semua,
tapi ini bukan sepenuhnya salah Orion. Salah
Ares mengapa dia dulu tak mau berusaha lebih keras.
Salah Ares mengapa dulu dia begitu malas. Salah Ares mengapa dulu dia tidak
belajar segiat Orion. Dan sampai sekarang, Orion tidak mengetahui penyebabnya.
Mungkin Ares hanya menyerah.
"Ri, aku mohon, jangan anggap remeh kakakmu
lagi," kata Reina.
"Kenapa aku harus peduli sama orang yg nggak
pernah peduli sama aku?" tanya Orion. "Dia peduli sama kamu,"
kata Reina pelan. "Kamu harus yakin itu. Dia kakak kamu. Nggak mungkin dia
nggak peduli sama kamu. Kamu inget? Dulu waktu kita kecil, waktu kamu
digangguin, dia langsung belain kamu dan pukul habis semua orang yg ngejek
kamu. Kamu udah lupa, Ri?"
Orion tidak pernah lupa. Hanya saja, kejadian
menyenangkan itu sudah tidak pernah terjadi lagi.
No comments:
Post a Comment