“Keadilan sangat berbeda dengan balas dendam. Keadilan berarti keseimbangan, sedangkan balas dendam hanyalah pemuasan diri manusia.”
2
Saira melangkah mengikuti Leo memasuki kamar tidur mereka, tiba-tiba merasa takut kepada suaminya. Leo benar- benar terasa asing, seperti bukan
dirinya. Dan
Saira merasa tidak nyaman dengan Leo yang sekarang menjadi suaminya ini.
“Kenapa engkau marah-marah
kepadaku,
Leo?” Saira memberanikan diri bertanya, mencoba
bersikap lembut kepada suaminya. Bukankah dulu Leo berkata bahwa dia sangat menyukai kelembutan Saira?
Tetapi Leo tetap bersikap dingin,
sama sekali tidak tersentuh dengan kelembutan Saira, ditatapnya
Saira dengan sinis, “Suami mana yang tidak marah ketika istrinya
malahan mengunjungi
lelaki lain di hari pertama setelah mereka
menikah. Seolah tidak tahan untuk segera menghambur ke
pelukan lelaki itu?”
Wajah Saira memucat mendengar tuduhan Leo, tetapi
dia mencoba membela diri, “ Kau yang meninggalkanku untuk bekerja di hari pertama pernikahan kita, dan aku bingung tidak tahu harus bagaimana.
Lagipula aku ke sana bukan untuk
menemui Andre, aku ingin menengok rumah kacaku.”
“Alasan.” Leo menatap Saira dengan
merendahkan, “Dari
awal
aku sudah curiga ada sesuatu
yang
lebih di antara kalian. Dan jangan mencoba melempar kesalahan
dengan menyalahkanku karena pergi bekerja. Aku berkerja kau pikir
untuk siapa? Untuk menghidupi
istriku juga. Kau juga
menerima keuntungan
dari
rumah mewah, pakaian mahal, dan
makanan enak yang akan selalu disediakan untukmu. Jadi
kuharap kau menghargainya dan jangan menjadi perempuan
cengeng hanya karena aku pergi bekerja.”
Kata-kata kasar Leo sekali lagi telah membuat hari Saira terasa teriris. Dia sampai
mundur satu langkah,
menjauhi suaminya, menatap Leo dengan wajah tidak percaya,
“Leo..?” suaranya
bergetar, “Ada apa sebenarnya...?” tanyanya lirih. Menahan perasaan.
Leo tampaknya tidak tersentuh melihat ekspresi Saira,
dia menatap dingin, “Tidak ada apa-apa. Hanya saja tiba-tiba
aku menyesali keputusan
bodohku untuk menikahi seorang
perempuan kampung dari kelas rendahan yang tidak tahu terimakasih dan malahan sibuk menjalin affair dengan lelaki
lain.” Mata Leo tampak kejam menatapnya,
“Dan kupikir aku
terlalu muak untuk tidur sekamar denganmu. Keluar dari
kamarku, dan tidurlah di salah satu kamar kosong
di rumah ini.
Dimanapun itu, carilah yang paling jauh dari kamarku.”
“Leo?” kali ini Saira tidak mampu menahan air matanya,
dia merasa sangat bingung.
Leo melangkah ke pintu, sebelum ke luar dia menoleh
dengan dingin, “Aku akan pergi keluar, dan aku harap ketika aku pulang, kau cukup
tahu diri untuk memindahkan seluruh barangmu dari ruangan ini.”
***
Saira tidak tahu harus berbuat apa, ini adalah hari
pertama pernikahannya. Dan Leo sudah memperlakukannya dengan begitu kejam.
Sebenarnya
ada apa dengan leo? Apa salah Saira sehingga Leo setega itu dan sekasar itu kepadanya?
Benak Saira berpikir keras, tetapi dia tidak menemukan pertanda apapun. Bahkan setelah
pesta pernikahan itu sebelum Saira masuk ke kamar, Leo masih bersikap lembut kepadanya,
memeluknya mesra di dansa pengantin mereka sambil berbisik betapa bahagianya dia
ketika pada akhirnya bisa menikahi Saira.
Sambil mengusap air matanya, Saira mengemasi pakaiannya.
Dia sebenarnya tidak ingin melakukannya, diusir seperti ini dari kamar suaminya
dan direndahkan karena disuruh mengemasi pakaiannya sendiri dan berpindah tempat.
Tetapi harga
dirinya menuntutnya
melakukannya, dia tidak mau ketika Leo
pulang
nanti dan menemukan dirinya masih ada di kamar ini, Leo akan
semakin merendahkannya.
Apa yang harus dia lakukan? Nuraninya
menjerit, memintanya melarikan diri saja dan kabur dari rumah ini, kembali ke
lindungan rumah kacanya
yang
nyaman.
Tetapi Saira adalah perempuan
dewasa, bukan remaja lagi yang bisa
kabur kalau menemukan permasalahan
yang
tidak sanggup
untuk dia hadapi. Saira harus bisa berbicara dengan Leo dan meluruskan semuanya, mungkin saja Leo memang benar-benar
cemburu dan salah paham tentang hubungannya
dengan Andre? Saira akan menjelaskan bahwa Andre adalah gay dan Leo tidak perlu mencemaskan hubungannya
dengan Andre, begitu
ada kesempatan.
***
Leo memasuki rumah mewah itu, yang terletak dipinggiran kota yang tenang dan sepi. Sontak seorang pelayan
membukakan pintu untuknya dan membungkuk memberi
hormat, Leo menatapnya tenang,
“Bagaimana keadaannya?”
“Nona Leanna sangat baik kondisinya
sekarang, tuan.
Beliau bahkan bisa
meminum obatnya
tanpa perlawanan
seperti biasanya.”
“Apakah dia mau makan?” Leo bertanya cemas, karena dia
tahu persis, Leanna sering menjerit-jerit mencarinya
dan tidak mau
makan. Dia
akan
melemparkan makanannya
ke segala arah dan mengamuk,
yang
bisa menenangkannya hanyalah Leo. Leanna kebanyakan hanya mau makan kalau disuapi oleh Leo.
Sang pelayan menganggukkan kepalanya dengan
bersemangat,
“Nona sangat tenang hari ini, beliau meminum obatnya
dengan patuh dan kemudian mau memakan sup dan nasinya ketika pelayan menyuapinya.”
Bagus, dengan langkah tergesa Leo melangkah menaiki
tangga menuju lantai atas, ke ruangan yang terletak
di ujung, dengan pemandangan indah ke arah taman yang menghijau.
Leo membuka pintu dengan
hati-hati, kamar
itu temaram seperti biasa. Suasana kesukaan
Leanna, meskipun
sebenarnya tidak ada bedanya bagi Leanna, batin Leo dengan sedih.
Leana sedang duduk di atas kursi rodanya seperti
biasanya. Termenung menatap ke arah pemandangan
balkon.
Suasana
sudah menggelap, tetapi apakah Leanna
merasakan
perbedaannya? Leo kadang-kadang
bertanya-tanya ketika dirinya selalu menemukan Leanna sedang duduk termenung
menghadap pemandangan di
arah balkon, seolah-olah
perempuan itu sedang menikmati pemandangan.
Padahal Leo
persis bahwa tidak ada pemandangan apapun yang bisa dinikmati oleh Leanna dengan kedua matanya yang buta.
Dengan lembut Leo meremas pundak Leanna dan berdiri
di belakangnya.
“Hai sayang, kata pelayan kau sangat baik hari ini, aku
bangga padamu.”
Seulas senyum tampak
hadir di bibir Leanna ketika
merasakan kehadiran Leo.
“Leo? Bisiknya lemah,
jemarinya
dengan lembut
meremas tangan Leo di
pundaknya, “Kangen.”
“Aku juga merindukanmu,
Leanna, sangat, tapi kau tahu
terkadang
aku harus pergi bukan? Untuk membuat hidup kita semakin baik?” Dengan
lembut Leo memutar
dan
berlutut di
depan kursi roda Leanna, “Aku senang kau bersikap baik hari ini, tidak
memecahkan apapun dan
membuat
pelayan
kerepotan, kau membuatku sangat bangga.”
Ada secercah kebahagiaan di mata Leanna ketika
menunduk menatap Leo yang berlutut di bawahnya, “Aku senang membuatmu bangga.” Bisiknya lemah.
Leo menatap Leanna dengan penuh sayang dan keharuan. Leanna adalah perempuan yang sangat cantik, dulunya. Sekarang dia
begitu rapuh dan kurus, tampak
begitu lemah hingga
seolah kalau Leo
salah memegangnya, Leanna
akan hancur berkeping-keping.
Seperti biasanya, Leo merebahkan kepalanya di
pangkuan Leanna, membiarkan perempuan itu mengusap kepalanya, memberinya secercah kedamaian.
Leo memejamkan
matanya. Saatnya makin dekat.... saat
yang dia tunggu-tunggu sudah menjelang...
***
Saira pindah ke kamar tamu
yang berada di ujung lorong, dengan malu, karena semua pelayan tampak kaget
dengan kepindahannya. Tetapi Saira menegarkan hati, mengatakan bahwa ini
adalah
keputusannya sebagai nyonya rumah yang tidak dapat diganggu gugat. Seumur hidupnya Saira
tidak pernah menjadi
nyonya rumah, tetapi ternyata
menjadi
istri Leo ada
untungnya juga
di
rumah ini, karena semua pelayan takut dan tunduk kepadanya tanpa berani
membantahnya.
Kamar itu
sama bagusnya dengan kamar-kamar yang
lain di rumah itu, dan Saira mengatur pakaiannya
yang
hanya sedikit di dalam lemari yang sangat besar itu.
Setelah itu dia duduk dengan ragu, dan menunggu
Leo
pulang. Dalam hati dia bertanya-tanya,
apakah keputusanya mengikuti
perintah Leo tadi dengan pindah dari kamar utama
sudah benar? Ataukah ini hanya memperburuk keadaan?
Haruskah Saira bertahan saja di kamar itu dan memaksa Leo menjelaskan
semuanya kepadanya?
Tetapi bagaimanapun
juga
Saira tidak sanggup kalau harus menerima penghinaan dan sikap kasar Leo kepadanya.
Mungkin ini adalah keputusan yang tepat, ketika mereka berpisah kamar mungkin Leo bisa berpikir
dengan lebih tenang dan menyadari bahwa dia terlalu berlebihan
dalam
kecemburuannya
kepada Andre. Dan setelah Leo tenang, Saira
akan menjelaskan semuanya
kepada Leo,
kenyataan tentang Andre dan bahwa Leo sebenarnya tidak perlu cemburu
kepada Andre.
Tetapi ternyata penantian Saira sia-sia. Malam itu
ternyata Leo tidak pulang ke rumah.
***
Saira bangun dengan mata bengkak dan sembab,
semalam setelah menunggu berjam-jam dan menyadari bahwa Leo tidak pulang ke rumah. Saira menghabiskan
waktu dengan menangis dan meratapi diri, larut dalam kebingungan yang menakutkan. Dia
tidak tahu apa yang terjadi, dia tidak tahu
kenapa Leo memperlakukannya seperti ini.
Dan dia merasa sangat sendirian, benar-benar sendirian
di rumah
ini.
Sambil menghela napas, Saira
melangkah ke kamar mandi dan mencuci mukanya di
wastafel, ketika menatap ke arah kaca dia mengernyit
menatap matanya yang
bengkak dengan lingkaran hitam di sekitar matanya.
Ini bukanlah penampilan seorang pengantin yang sedang
berada di masa bulan madunya.
Tidak akan ada pengantin
berbahagia yang bangun tidur dengan kepala pening dan mata sembab, tidak mengetahui keberadaan suaminya...
Saira merasa matanya
kembali panas, ingin
menumpahkan air mata di sudut-sudutnya. Tetapi dia kemudian menghela
napas
panjang, berusaha
menenangkan
diri.
Masalah tidak akan bisa diselesaikan
hanya dengan
menangis.
Saira harus mencari tahu kenapa Leo tiba-tiba berubah
menjadi orang yang tidak dikenalnya. Leo yang menjadi suaminya
bukanlah lelaki lembut yang begitu penuh kasih sayang yang
dicintainya.Dan Saira
tidak
mau diam
saja, dia tidak mau diperlakukan kasar tanpa tahu apa kesalahannya.
Setelah mandi dan
berganti pakaian, Saira melangkah
keluar dan menuju ruang
makan. Sarapan lengkap sudah disiapkan di sana. Dan
tiba-tiba perut Saira berbunyi ketika
mencium harumnya
omelet dan nasi goreng yang tersedia di
sana. Tidak bisa dipungkiri, meski perasaannya berkecamuk, tubuhnya berteriak mengirimkan alram yang mengatakan
bahwa dia lapar. Karena semalam, setelah Leo pergi, tidak ada
sama
sekali nafsunya untuk makan.
Perutnya terasa perih dan melilit, dan meskipun
Saira tidak selera
makan,
dia
mengambil piring dan
mengisinya dengan sedikit omelet dan sayuran untuk mengganjal perutnya.
Saira tidak boleh jatuh sakit hanya karena dia kelaparan. Entah kenapa dia merasa
bahwa dirinya harus tetap kuat dan bertahan.
Karena yang lebih buruk mungkin akan datang.
Leo pulang beberapa saat kemudian,
ketika Saira sudah
berhasil menyelesaikan makannya yang dipaksakan dilakukannya meski dia tidak berselera. Suara khas mobil Leo yang memasuki halaman rumah yang luas itu membuat
Saira menegang. Dia meletakkan sendoknya dan duduk menanti
dengan cemas di meja makan.
Langkah-langkah Leo
tampak tergesa menaiki
tangga. Saira mendengarnya dengan waspada sampai kemudian mendengar suara lelaki itu membanting
pintu kamarnya, lalu
kemudian menarik napas lega.
Tak lama kemudian ketika tidak ada tanda-tanda Leo akan keluar dari kamarnya,
Saira melangkah menuju ruang
tengah, duduk di sudut sofa cokelat muda yang nyaman
dan merenung. Kenapa dia
jadi takut menghadapi pertemuannya
dengan Leo? Apakah karena penghinaan Leo begitu menggores hatinya sehingga membuatnya trauma bahkan hanya untuk
berbicara dengan lelaki itu?
Tetapi perempuan
mana yang tidak trauma ketika dilamar dengan penuh cinta, dinikahi dengan keyakinan
bahwa
dia telah menemukan belahan jiwanya yang akan menyayangi
dan menjaganya, hanya
untuk kemudian menemukan suaminya
telah berubah seperti
pria lain yang begitu kasar,
menghinanya dan bersikap sangat jahat kepadanya?
Sebuah gerakan dipintu mengalihkan perhatian
Saira
dan
membuatnya terkesiap. Leo berdiri di sana, dengan wajah dingin
dan tak terbacanya,
menatap Saira dengan tajam.
Rambutnya basah karena lelaki itu sepertinya
habis mandi. Ini
hari
Minggu jadi sepertinya
Leo tidak akan pergi ke kantornya.
Jantung Saira berdegup kencang, Apakah ini saatnya mereka berbicara
dan
meluruskan
semua salah
paham atau
entah apapun itu yang seolah membuat Leo sangat marah dan
membencinya?
Ekspresi Leo tidak
tetap tidak
terbaca ketika dia melangkah memasuki ruang baca dan bersedekap
menatap Saira,
“Kau pindah dari kamar.”
Saira mendongakkan dagunya, berusaha tampak tegar
di bawah tatapan
Leo yang tajam, “Ya. Sesuai permintaanmu.”
Batin Saira melanjutkan
bahwa permintaan Leo, dilakukan
dengan merendahkan dan menghina Saira. Tetapi tentu saja dia
tidak mengeluarkannya dalam kata-kata, dia tidak mau memperkeruh keadaan.
“Bagus,” Suara Leo sangat dingin hingga Saira terkesiap dan menatap
terkejut ke arah Leo. Dia tidak menyangka bahwa jawaban seperti itu yang keluar dari bibir suaminya.
“Kenapa kau bersikap seperti ini kepadaku, Leo?” Saira
mengernyit
menatap suaminya, mencoba mencari kelembutan dan kasih sayang di sana, yang biasanya terpancar
ketika suaminya itu menatapnya. Tetapi tidak ada apapun di ekspresi Leo yang
datar
dan dingin, yang ada
malahan
seulas sinar
kejam di sudut matanya,
“Karena aku kecewa kepadamu.” Leo menyipitkan matanya. “Karena setelah menikahimu
aku baru sadar bahwa aku tidak pernah mencintaimu.”
Kata-kata Leo bagaikan
petir yang
menyambar
hati Saira, langsung menghanguskannya tanpa ampun. Tetapi Saira bukanlah perempuan yang lemah, dia tegar. Kalau memang hal ini adalah kenyataan, dia akan menerimanya.
Leo bisa saja menghancurkan
hatinya dan membuatnya
menangis di kamar
karena hatinya hancur. Tetapi di depan Leo, Saira akan
berjuang supaya
bisa tegar, tidak akan
dibiarkannya dirinya
tampak lemah di depan Leo.
“Kalau begitu kau bisa membatalkan pernikahan
kita. Kau belum menyentuhku dan kita baru dua hari menikah.
Aku rasa kita bisa mengajukannya
ke
pengadilan.” Jawab Saira tenang. Kali ini giliran Leo yang menyipitkan
matanya, dia menatap Saira dengan pandangan menyelidik,
“Kenapa kau bisa semudah itu mengatakan
tentang perpisahan?”
kata-katanya
tajam menusuk, setajam ucapannya,
“Apakah kau memang tidak mencintaiku dan hanya mengincar
hartaku.
Jadi kau merasa senang ketika aku mengajukan perceraian?”
Leo mendekat
dengan mengancam, membuat
Saira otomatis memundurkan langkahnya, “Apakah kau sudah merencanakan ini bersama Andre kekasihmu? Kau pikir kau bisa
membodohiku?”
“Andre bukan kekasihku.” Saira menegaskan nada
suaranya, berusaha terdengar tegar meskipun bergetar,
“Dan kenapa kau memutarbalikkan fakta Leo? Bukankah kau yang
mengatakan menyesal menikahiku dan tidak menginginkan pernikahan lagi?”
Lama Leo terpaku,
menatap Saira dengan tatapan
terpaku, “Perempuan cerdik.” Gumamnya kemudian, “Kau pikir aku akan
menceraikanmu semudah
itu? Kalau
aku
membatalkan pernikahan
ini, aku harus memberikan
kompensasi kepadamu. Kalau aku
menceraikanmu, kau akan
mendapat bagian yang tak sedikit dari hartaku kepadamu,
semua hal itu menguntungkanmu,
dan
aku tidak akan membiarkannya,”
Mata Leo menyipit, “Tidak akan ada perceraian.” Desisnya, “Tidak sampai aku
bisa
membuktikan perselingkuhanmu
sehingga kau bisa kuceraikan tanpa
membawa apapun yang bukan
hakmu.”
Lalu seperti yang sebelumnya,
Leo membalikkan badannya dan meninggalkan Saira sendirian.
***
Saira sudah tidak tahan lagi, air matanya
sudah tumpah tak karuan di kamar luas yang sepi itu. Sementara
setelah
pertengkaran
tadi, Leo pergi lagi entah kemana. Sepertinya
lelaki itu sengaja pulang hanya untuk menyakitinya.
Sejak tadi Saira sudah menahan diri untuk
tidak
menghubungi Andre, dia tidak mau
sahabatnya
itu cemas. Selain itu jauh di dalam dirinya, Saira masih berharap kalau
semua ini hanyalah mimpi, kalau sebenarnya semuanya baik-
baik saja, kalau dia tinggal membuka matanya dan kemudian mendapati Leonya yang dulu sudah kembali.
Ada apa dengan Leo? Itulah pertanyaan yang selalu terngiang-ngiang di benak Saira. Kebingungan yang
menyakitkan,
membuat air matanya tumpah karena dirinya merasa disalahkan atas sesuatu yang tidak pernah dia perbuat.
Ada yang lebih besar dari kecemburuan Leo kepada Andre, hanya sesuatu
yang
besarlah yang bisa menyebabkan
sinar kebencian yang tiba-tiba menyeruak
begitu besar di mata Leo. Apapun itu Saira harus tahu, karena
dia tidak tahan
berdiam diri di sini, penuh air mata dan tak tahu harus berbuat apa.
Saat ini hanya satu orang yang bisa membantunya, sahabatnya
yang paling mengerti
dirinya di atas segalanya.
Saira mengambil resiko menyulut kemarahan Leo yang lebih
besar dengan menghubungi Andre, tetapi bagaimanapun juga
Leo toh sudah marah besar tanpa alasan kepadanya. Jadi tidak ada
gunanya
Saira sibuk
memikirkan menjaga
perasaan Leo
sementara lelaki itu tidak mempedulikannya.
Dipencetnya nama Andre di ponselnya,
dengan penuh
tekad, lalu Saira menunggu. Pada deringan ke tiga Andre mengangkat teleponnya,
“Saira?” suara Andre yang lembut terdengar di seberang.
Saira menghela napas panjang,
menahan
rasa tercekat
yang
dalam ketika tangisnya mulai menyeruak lagi,
“Andre...”
PEMBUNUH CAHAYA - SANTHY AGATHA - BAB 3
No comments:
Post a Comment