Bab 2
The Queen
"BESOK, jangan pada ke mana2," kata Ayah
saat makan malam. Ares dan Orion mendongak, lalu menatap Ayah heran.
"Emang ada apaan Yah?" tanya Orion.
"Besok aku ada kuliah, trus latihan basket."
"Bolos dulu kuliahnya," kata Ayah tak
peduli.
Ares menganga lebar. Ayah menyuruh Orion untuk
bolos kuliah. Pastilah hal ini sangat darurat. Mungkin besok Ayah akan
mengadakan acara pemancungan bagi Ares, dan Orion wajib bolos kuliah supaya
tidak melewatkannya.
"Bolos? Emang ada apaan sih?" desak Orion,
seakan setengah mati tak mau kehilangan satu hari kuliah demi hal yg tidak
benar2 penting.
"Pokoknya bolos saja. Ayah juga minta izin
sejam-dua jam dari kantor. Nanti kamu juga bakal tau," Ayah menutup
percakapan itu, lalu kembali melahap sarden-nya. Ares segera memutar rencana
pelarian dirinya.
"Ares! Bangun! Udah jam berapa ini?" seru
Ibu sambil mengetuk pintu kamar Ares dengan keras.
Ares tersentak, lalu terbangun. Dengan segera, dia
meraih wekernya. Jam itu ternyata mati di angka tujuh. Sialan. Rencana
pelariannya yg sudah dipikirkan secara matang lenyap sudah. Ares harus
menghadiri upacara pembantaian ini.
Ares bangun dengan seribu satu kutukan, sebelum
membuka pintu untuk Ibu. Ibu terlihat sangat rapi, juga heran.
"Kenapa kamu baru bangun jam segini? Ayo cepet
mandi!" teriaknya histeris lalu mendorong
Ares ke dalam kamar mandi. Tapi, sebelum sempat
masuk kamar mandi, bel berbunyi. "Biar aku-"
"AHH!!" seru Ibu membuat Ares kaget,
sekaligus memutus kalimatnya. Ares menatap Ibu yg seperti kebakaran jenggot.
"Udah Res, nggak usah mandi! Duduk aja di sana!" serunya panik, lalu
menarik Ares ke ruang tamu yg terlihat luar biasa ganjil.
Tak seperti biasanya, ruang tamu itu penuh dengan
pita, balon, juga makanan. Yg paling terlihat aneh adalah kue besar dengan
angka dua puluh di atasnya. Cukup lama waktu yg dibutuhkan Ares untuk
menyimpulkan bahwa ada seseorang yg berulang tahun. Saat melihat Orion yg
tampak berbunga-bunga, dia menyadari bahwa hari ini ulang tahun Orion. Dan oh,
benar, dirinya.
"Selamat ulang tahun!" seru Ibu sambil
mencium kedua pipi Ares. Ares sendiri belum bergerak, masih shock dengan
keadaan yg kacau itu.
Tak lama kemudian, Ayah muncul dari pintu depan,
lalu menyalami Ares dengan canggung, seolah Ares baru saja berhasil membaca
sebuah buku sampai selesai. Ares lantas duduk di sebelah Orion yg tak tampak
ingin menyelamatinya.
"Res? Kok bengong? Bukannya seneng," kata
Ibu.
"Seneng, kok," Ares berbohong. Sebenarnya
dia masih sangat terkejut. Seluruh paket ini: hari Senin, Ayah belum berangkat
ke kantor, Orion bolos kuliah, kue besar berangka dua puluh, hari ulang
tahunnya, semuanya membuatnya luar biasa bingung.
"Tadi siapa Yah, yg ngebel?" tanya Orion.
"Hah? Oh, bukan siapa2. Tukang susu,"
kata Ayah cepat2. Ares memandangnya tajam. Jelas saja bukan tukang susu. Ares
malah baru mendengar kalau keluarga ini berlangganan susu. "Eh, ngomong2,
kalian kok nggak saling kasih selamat?" tanya Ibu lagi, berusaha
membelokkan arah pembicaraan.
Ares dan Orion saling pandang bersamaan, lalu
secara bersamaan lagi membuang muka. "Selamet, deh," gumam Orion tak
jelas.
"Lo juga," balas Ares.
Ayah dan Ibu memandang mereka bergantian, tapi
langsung maklum. Ares sendiri menyadari bahwa ada yg aneh dari Ayah pagi ini.
Tampaknya dia sedang senang atau apa, karna tak ada sindiran2 yg biasa
dilancarkannya setiap pagi.
"Yah, sekarang aja nih?" tanya Ibu sambil
menatap Ayah dengan senyum penuh arti. Ares dan Orion sudah menyangka bahwa ada
yg tidak beres.
Ayah mengangguk, lalu bangkit. "Ya sudah.
Berhubung tidak ada acara lagi, Ayah mau kasih kalian hadiah."
Ares mendengus. Sejak kapan Ayah membelikan hadiah
saat ulang tahun? Untuk Orion masih mungkin, tapi Ayah seringkali berpura-pura
melupakan hari ulang tahun Ares yg -kebetulan sekali- sama dengan hari ulang
tahun Orion.
"Yg bener, Yah?" seru Orion dengan mata
berbinar, persis anak anjing di mata Ares.
"Bener. Tapi kali ini hadiahnya sangat
spesial. Kalian pasti tidak menyangka. Dan kalian harus berterima kasih kepada
Ayah atas hadiah ini," Ayah tersenyum misterius, lalu bergerak menuju
pintu depan. "Ayah sampe harus ngedatengin dari Amerika sana, lho."
Mendengar itu, Ares jadi sangat yakin hadiah itu
akan berupa motor Ducati atau apalah yg diinginkan Orion. Dan seperti biasa,
pastinya Ares tidak mendapatkan apa pun lagi.
Selama beberapa menit, Ayah menghilang dan kembali
dengan wajah semringah. Bukannya membawa kunci motor, dia malah membawa koper.
"Siap2 ya, ini hadiahnya!" seru Ayah,
lalu menyingkir sekitar dua langkah ke kiri.
Seorang gadis cantik dengan rambut yg sangat panjang
dan bergelombang muncul dari balik
Ayah, tersenyum bagai bidadari. Seorang gadis yg
sepertinya familier bagi Ares.
Selama beberapa detik, ruangan itu senyap. Baik
Ares dan Orion tidak ada yg bergerak. Keduanya terdiam menatap sosok gadis itu,
berusaha mengingat-ingat, menggali memori yg sudah sekian lama terkubur.
"Halo," sapa Reina ramah sambil tetap
tersenyum.
Yg pertama tersadar adalah Orion. Dia bangkit dan
tersaruk ke arah Reina, menyangka dirinya sedang berada di dalam mimpi.
"Rei... na?" gumam Orion tak percaya.
Reina mengangguk kecil. "Orion!" serunya,
lalu melompat ke arah Orion yg masih berdiri kaku. Reina memeluk Orion erat.
Sudah lama dia tidak bertemu dengan laki2 ini. Laki2 yg pernah menjadi bagian
dari memori masa kecilnya yg indah.
Orion balas memeluk Reina setelah sadar apa yg
terjadi, lalu menganyunnya sambil berputar- putar. Dia begitu merindukan sosok
gadis kecil ini, yg ternyata tumbuh dewasa sesuai dengan fantasinya. Tapi ini
bukan lagi di alam khayalnya. Ini nyata. Ini Reina yg nyata, yg ada di
depannya. Oh tidak, ada di dalam pelukannya.
Reina melepas pelukan Orion dan menatap kedua
matanya. Anak laki2 itu telah banyak berubah, walaupun Reina masih bisa
mengenalinya dengan mudah dari pancaran mata itu. Orion tumbuh menjadi laki2 yg
tampan dan tegap, sudah bukan lagi anak cengeng yg selalu minta perlindungan.
"Apa kabar?" tanya Reina dengan wajah
berseri-seri.
"Baik banget, nggak pernah sebaik ini!"
seru Orion, sedikit lepas kendali. "Kamu sendiri?" "Aku juga
baik!" sahut Reina. "Kaget ya?"
"You have no idea," jawab Orion, sambil
berusaha menahan diri untuk tidak memeluk gadis itu sekali lagi.
Reina tersenyum, lalu menoleh ke arah Ares yg masih
terduduk diam di sofa.
Ares sendiri hanya bisa menatap Reina nanar. Sosok
gadis itu yg nyata, yg berdiri di depannya ini membuat segala kenangan masa
lalunya berkelebat cepat di otaknya tanpa kendali. Semuanya benar2 memusingkan
kepalanya sehingga Ares tidak dapat bergerak.
Semuanya terputar di benak Ares seperti sebuah
video. Tanggal 14 Februari yg seharusnya menjadi tanggal pertemuan mereka,
kepergian Reina yg tiba2, keabsenan Reina memberi kabar, semua berkelebat cepat
dan menusuk segala pertahanan yg selama ini dibangun oleh Ares. Sosok yg pernah
mengkhianatinya tiba2 muncul dan terlihat sangat berkilauan di mata Ares,
sampai Ares tidak berani menatapnya lama2.
Ares menatap Reina yg berjalan riang menuju
dirinya, hatinya terasa geram. Masih bisa seceria ini setelah apa yg
dilakukannya dulu?
"Halo, Res!" seru Reina, berharap Ares
bangkit sehingga dia dapat memeluk sosok tegap itu. Tapi, Ares hanya menatapnya
tanpa ekspresi. Jadi, Reina berhenti dan menyodorkan tangan. "Hai,"
Ares membalasnya sedingin es, tak menyambut tangan Reina dan malah mengalihkan
pandangan. Dia benar2 tidak bisa berlama-lama menatap mata itu. Ares takut dia
dapat dengan mudah memaafkan Reina jika terlalu lama melakukannya.
Reina menatap Ares bingung sebentar, lalu
menurunkan tangannya.
"Ah, aduh! Rei, maafin Ares ya, dia emang suka
begitu," Ibu merangkul Reina dan membawanya duduk di depan Ares. Reina
menurutinya, tapi matanya masih terpancang ke arah Ares. Sementara itu, Orion
mengambil tempat duduk di samping Ares.
"Iya, dia memang suka kurang ajar," Ayah
menimpali. "Jadi, gimana perjalanannya, lancar?" "Eh? Oh, baik,
Om. Tadi malem sempat nginep di hotel," jawab Reina, tak bisa
berkonsentrasi. Matanya masih terpaku pada Ares yg malah memandang ke luar
jendela.
"Ayah, aku bener2 kaget!" seru Orion
terlihat senang. "Bisa-bisanya Ayah ngedatengin Reina ke sini."
"Bukan gitu. Sebulan yg lalu Reina telepon ke
sini, katanya dapat nomor telepon rumah kita dari kamu. Reina yg ngomong ke
Ayah kalo mau ke sini pas ulang tahun kalian, sekalian dia lagi habis lulus
SMA," jelas Ayah kepada Orion, lalu menghirup kopi.
"Wah? Udah lulus SMA? Udah gede dong,"
goda Orion, membuat pipi Reina bersemu.
"Ya iyalah, masa SMA melulu," kata Reina
sambil mengawasi Ares dari sudut matanya. Ares masih tak bereaksi.
"Trus, trus, gimana kamu selama di sana?"
tanya Orion lagi, tak sabar. Orion benar2 ingin mendengar apa saja yg Reina
lakukan selama ini.
Ayah mengernyit pada Orion. "Sabar dong, Ri.
Masih banyak waktu. Sekarang, kita tentuin aja dia bisa istirahat di
mana."
Mata Orion membelalak, sementara Ares bergerak
sedikit mendengar perkataan Ayah. "Reina nginep di sini, Yah?" seru
Orion, mewakili keingintahuan Ares.
"Nggak, di kantor Ayah. Ya di sini dong, Ri,
dia kan tamu kita?" Ayah melempar senyum kepada
Reina. "Dia nanti bakal di kamar kamu. Kamu
ntar sama Ares."
Orion bengong sesaat, tapi segera tersenyum ke arah
Reina yg tampak menatap Ares dengang pandangan khawatir.
"Ya udah, demi Reina, aku mau deh tinggal di
kandang sapi," kata Orion, lalu tertawa kecil. "Kalo lo keberatan, lo
bisa tidur di sofa depan TV," tandas Ares dan bangkit.
"Mau ke mana kamu?" sahut Ayah, tak bisa
menyembunyikan nada geramnya.
"Ke WC," jawab Ares singkat, lalu
berjalan menuju kamar mandi. Reina memandanginya sampai dia menghilang ke kamar
mandi.
Ayah menggeleng-gelengkan kepalanya. "Maaf, ya
Rei. Emang tabiatnya begitu." "Hah? Oh, nggak apa2 kok, Om,"
kata Reina cepat.
"Ya udah, sekarang kamu pindah-pindahin koper
kamu ya, dibantu sama Tante dan Orion. Om harus ke kantor nih, udah
telat," Ayah bangkit sementara Reina mengangguk.
"Ayo," Ibu mengajak Reina ke kamar Orion begitu
Ayah menghilang di balik pintu depan.
Langkah Reina tiba2 terhenti di depan kamar Ares
saat Ibu dan Orion menaruh barang- barangnya di kamar Orion. Di pintu kamar itu
tertempel gambar tengkorak dengan tulisan
'Biohazard. Dangerous.' sementara pita kuning
panjang bertuliskan 'Police Line. Do not Cross.' ditempel melintang. Reina
tersenyum geli, bertanya-tanya dari TKP mana Ares berhasil mencurinya, lalu
membuka pintu kamar itu dengan hati2.
Saat Reina menginjakkan kaki di kamar itu, dia
merasa seperti sedang masuk ke dunia lain. Seperti sedang menonton konser
berpuluh-puluh bintang rock sekaligus. Reina berdecak kagum melihat kamar itu.
Hanya langit-langitnya yg bersih dari poster.
Sambil menghindari berbagai benda di lantai, Reina
berjalan hati2 ke arah meja belajar Ares -yg sepertinya sudah berubah fungsi.
Alih2 buku teks, di meja itu berserak berbagai macam CD. Reina mengambil satu
secara acak. Ternyata Sex Pistols 'Anarchy in The UK'.
"Seleranya boleh juga," gumam Reina
sambil tersenyum. Saat dia hendak berbalik untuk mengagumi hal lain, Ares sudah
berdiri di ambang pintu. Reina terlonjak kaget.
"Lagi ngapain lo?" tanya Ares curiga.
"Ng... lagi liat2 aja," jawab Reina,
salah tingkah. Dia bersandar pada meja, menggapai barang apa saja di atasnya
untuk dijadikan alasan, tapi yg terambil ternyata celana boxer Ares. Reina
bengong sesaat, lalu melemparnya. Wajahnya langsung merah padam.
"Oh, sori, aku nggak..."
Ares meraih boxer yg dilempar Reina, lalu
memasukkannya ke keranjang pakaian kotor tanpa bicara. Reina mengamatinya. Ares
merasakan tatapan Reina, tapi dia mencoba untuk tidak peduli. Ares malah
memunguti pakaian kotor yg berserakan di kamarnya.
Ketika Reina baru akan membuka mulut, Ibu dan Orion
muncul di pintu.
"Lho, Rei? Ngapain di sini? Semua barangmu
udah di kamar Orion lho," kata Ibu.
"Ng... Tante? Boleh nggak kalo aku tidur di
sini aja?" pinta Reina membuat semua orang yg mendengarnya melongo.
Tumpukan baju yg tadinya digendong Ares melorot dan berjatuhan. "Hah? Di
kamar Ares? Berantakan dan nyeremin gini?" seru Orion tak percaya.
"Please... boleh ya?" Reina mengeluarkan
tatapan memohon. Ibu melempar pandangan ke arah yg Orion hanya mengangkat bahu.
"Yah... boleh sih, tapi-"
"Kata siapa boleh?" potong Ares cepat.
"Kenapa nggak di kamarnya Orion aja, sih? Nyusahin orang aja,"
sambungnya sambil kembali memunguti baju-bajunya yg terjatuh.
Reina menatap Ares sedih. Ibu langsung menghela
napas, tidak habis pikir dengan sikap sinis anaknya.
"Apa sih kamu ini, Res? Ya udah. Ri, ambilin
barang-barangnya Reina, taro sini. Res, kamu beresin kamar kamu sampe
bersih," kata Ibu lalu melangkah keluar kamar.
Reina tersenyum penuh kemenangan ke arah Ares yg
langsung membuang muka. Orion mendesah pendek, lalu menghilang.
"Nggak apa2 kan, Res?" Reina mendekati
Ares yg bergerak ke meja untuk membereskan CD- CD.
Ares tak menjawab. Harum tubuh Reina membuatnya tak
bisa berpikir. Saat ini, jaraknya dan Reina hanya satu meter saja, dan terus
berkurang. Ares berbalik cepat dan beralih membereskan gitarnya yg tergeletak
di samping jendela.
Melihat tingkah Ares, Reina menghela napas. Tak
lama kemudian, Orion datang mengantarkan barang2, lalu pergi lagi setelah
mengatakan dengan sangat2 menyesal kalau dia harus berlatih basket karna sudah
dekat pertandingan. Orion berjanji kepada Reina untuk pulang cepat karna ingin
mendengar ceritanya.
Kembali tinggal Ares dan Reina berdua di kamar.
Tapi tidak berlangsung lama. Detik berikutnya, Ibu masuk membawa seprai baru.
Reina segera menawarkan diri untuk memasang seprai. Merasa situasinya cukup
aman, Ares kembali membereskan CD.
"Diganti seprainya, Rei. Takut ada
apa-apanya," Ibu mengedipkan mata jenaka ke arah Reina yg
tertawa kecil. "Tau kan, laki-laki..."
lanjut Ibu lagi, membuat Ares memutar-mutar bola mata sambil mendesah panjang.
Ares menoleh sebentar dari kegiatan menyurun
CD-nya, lalu terbelalak saat melihat benda yg dipegang ibunya.
"Bu, motif seprai itu bunga2," kata Ares
dingin.
Ibu dan Reina menatap Ares dengan ekspresi bingung.
"Iya. Terus kenapa?" tanya Ibu tanpa rasa bersalah.
"Seprai motif bunga2 di kamarku," kata
Ares lagi dengan penekanan yg lebih di kata 'bunga- bunga' dan 'kamarku'.
"Ini bukan kamar Orion, Bu!"
"Ah, Ares ini. Nggak apa2, kan? Manis banget,
lagi," kata Ibu sambil membentangkan seprai itu ke ranjang Ares, tampak
kontras dengan poster Queen di belakangnya.
Ares menatap seprai itu jijik sesaat, geleng2
kepala, lalu meletakkan CD-CD-nya begitu saja di meja dan bergerak menuju
pintu.
"Aku sumpah nggak akan masuk lagi ke kamar ini
selama seprai itu masih di sana," kata Ares dengan wajah masam sebelum
keluar dari kamarnya. Ibu dan Reina terkikik bersama.
Malam ini, semuanya sudah berkumpul di ruang makan.
Makanan yg disuguhkan benar2 spesial. Ares sampai bingung sendiri karna meja
makan mereka tiba2 penuh sesak dengan gurami goreng tepung, capcay, dan sapo
tahu.
"Jadi, kamu mau sampe kapan di sini?"
tanya Orion kepada Reina.
"Oh, kamu nyuruh aku pulang ya?" Reina
pura2 merajuk. Orion, Ayah, dan Ibu tertawa.
"Nggak, aku sih pengennya kamu di sini terus,
nggak pulang ke Amerika lagi," kata Orion jujur. "Aduh, kalo gitu
nggak bisa," kata Reina. "Aku harus balik lagi ke Amerika sekitar
tiga mingguan lagi."
"Tiga minggu aja nggak cukup," Orion
berkata dengan wajah serius. "Harusnya kamu tinggal di sini."
Reina tertawa renyah. "Yah, pengennya juga
gitu," katanya sambil melirik Ares yg tampaknya sama sekali tidak tertarik
akan pembicaraan mereka.
"Res, kamu kok diem aja. Nggak kangen sama
Reina?" tanya Ibu, membuat Ares hampir saja tersedak tahu Jepang.
"Biasa aja," jawab Ares sambil meraih
gelasnya dan minum banyak2. Sejak itu, Reina tidak lagi tersenyum selama makan
malam.
Orion berhenti makan, lalu menatap Ares lekat2,
bertanya-tanya apa yg membuatnya tampak sinis seperti biasa di saat ada Reina
di sini, bersama mereka. Tidak mungkin Ares sudah begitu saja melupakan Reina.
Setelah selesai makan, Reina dan Orion mengobrol di
gazebo. Ares memilih untuk menonton TV, tidak ingin melihat Reina dan Orion
berdua.
Ares menyandarkan kepalanya di bantalan sofa.
Terlalu banyak yg terjadi hari ini dan entah kenapa Ares tidak mampu
menghadapinya. Ini bukan Orion. Ini bukan Ayah. Ini bukan Raul atau siapa pun
itu.
Ini Reina. Gadis yg selalu ada dalam mimpinya.
Reina menatap ke sekeliling ruangan kamar Ares.
Entah mengapa, semua ini, poster-posternya, suasananya yg gelap, udaranya yg
dingin, membuat Reina tenang. Reina merebahkan dirinya ke atas tempat tidur.
Ini tempat tidur Ares. Setiap hari Ares tidur di sini. Mungkin hal ini yg
membuatnya merasa nyaman.
Reina mencoba memejamkan mata, tapi yg terbayang
olehnya adalah saat makan malam tadi. Ares sama sekali tidak memandangnya,
tidak juga mencuri pandang. Sepertinya, Ares sudah sama sekali melupakannya.
Saat Reina baru datang tadi, Ares bahkan tidak mau menjabat tangannya.
Reina membalikkan badannya, lalu sebutir air mata
jatuh dari matanya.
Sebenarnya, Ares lah satu-satunya alasan Reina
datang kembali ke Indonesia. Tapi bahkan alasan itu tidak mengharapkan
kedatangannya.
Pagi ini, Ares terbangun dengan perasaan hampa. Dia
berharap kedatangan Reina hanya mimpi, tapi wangi tubuh gadis itu ada di mana2
di rumahnya.
Ares bangkit, mengambil handuk, lalu masuk ke kamar
mandi. Dia membasuh kepalanya dengan air, berharap air itu bisa menghapus
bayangan Reina di otaknya. Ares menengadahkan kepalanya, membiarkan air yg
dingin dari shower jatuh tepat ke wajahnya.
Tanggal 14 Februari 2005, kita ke sini lagi, terus
kita baca deh surat2 kita!
Ares menghajar tembok di depannya keras2 sampai
buku2 jarinya terasa nyeri.
Setelah selesai mandi, Ares segera melangkah menuju
kamarnya, sejenak lupa bahwa ada sesosok gadis yg tidur di sana. Dia baru
teringat setelah membuka pintunya dengan berisik dan mendapati Reina sedang
berbaring di tempat tidurnya.
Ares menghela napas. Dia sudah terlanjur masuk,
lagi pula semua baju-bajunya ada di kamarnya. Tak lama lagi Ares harus
berangkat kuliah.
Ares melangkah hati2 ke dalam kamar menuju lemari
pakaiannya yg terletak tepat di samping ranjang. Ares tak bisa menahan godaan
untuk tidak menoleh.
Reina terlihat sangat manis saat tertidur.
Rambutnya yg lembut menutupi sebagian wajahnya.
Ingin rasanya Ares membelai kepala gadis itu,
menyibak rambutnya supaya wajahnya yg cantik itu tidak tertutupi...
Detik berikutnya, Ares tersentak. Dia tidak boleh
membiarkan fantasinya terus berkeliaran. Ares segera membuka lemari dan
mengambil acak sebuah t-shirt hitam.
"Res?" kata Reina, ternyata terbangun
oleh suara deritan lemari.
Ares menoleh kaget, tapi segera menenangkan
perasaannya dengan memalingkan muka dan membuka kausnya. Reina menatapnya
takjub.
"Baju gue semua di sini," Ares
menjelaskan sambil melempar kaus kotornya ke seberang ruangan, yg masuk tepat
ke dalam keranjang baju kotor.
"Oh," gumam Reina sambil duduk bersandar
lalu mengawasi Ares yg mengenakan kaus baru. Ares merasakan tatapan itu, tapi
sebisa mungkin mengacuhkannya.
Reina tiba2 terkikik. "Res, kamu tau nggak,
kalo ada orang yg masuk sekarang, dia bisa aja salah paham."
Ares menoleh, mencari tahu maksud kata2 Reina, lalu
detik berikutnya paham. Keadaan di mana Ares sedang berganti baju dan Reina
sedang duduk di ranjang dengan selimut menutupinya, benar2 seperti adegan kalau
mereka baru menghabiskan malam bersama atau apa.
Ares membuang muka, lalu membanting pintu lemari
pakaiannya.
"Nggak ada yg akan salah paham," kata
Ares sambil menyambar ranselnya, menyurukkan buku2 yg dipilihnya secara acak,
lalu berderap ke luar kamar.
Reina menatap sedih punggung Ares yg menghilang di
balik pintu.
"Aduh, buku apa sih yg kebawa?" gumam
Ares kesal setelah sampai di kampus. Ternyata, tadi dia membawa novel Dave
Pelzer hadiah dari Lala setahun yg lalu. Hadiah yg ironis, menurut Ares. Dia
benar2 kesusahan membacanya, bahkan hanya prolognya. "Berat-beratin
aja," gumam Ares lagi sambil menyurukkannya kembali ke dalam ransel.
Ares menundukkan kepala, lalu memegangnya dengan
kedua tangan. Kepalanya berdenyut sangat hebat saat memikirkan kejadian tadi
pagi. Wajah Reina begitu cantik, bahkan saat dia baru bangun tidur. Ares tak
mengira Reina akan menjadi gadis secantik itu dalam tempo sepuluh tahun. Dulu,
Reina sangat culun dengan dua gigi depan besarnya dan kepang dua.
Ares hampir saja tertawa kalau tidak ingat gadis
itu sekarang ada di rumahnya. Semua ini terasa seperti keajaiban. Ares tak
pernah mengharapkan kedatangannya lagi, semenjak dia menyerah setelah menunggu
selama sepuluh tahun.
"Res? Lo kenapa? Sakit?" seru Lala yg
datang tiba2. Ares mendongakkan kepalanya.
Ares menggeleng tanpa menatap Lala. Sudah cukup
parah sakit kepalanya, tak perlu ditambah dengan kehadiran Lala segala.
Lala menatap Ares yg bergeming, menghela napas,
lalu duduk di sebelahnya.
"Lo masih marah, Res?" tanya Lala sambil
menatap Ares lekat2. Ares tak membalasnya. "Udah deh, lo nggak usak deket2
gue lagi. Terakhir kali lo ada di deket gue, gue udah mukul banyak orang,"
kata Ares ketus, tanpa memedulikan mata Lala yg membelalak.
"Apa? Lo diserang orang, Res? Di mana? Kapan?
Sama siapa?" tanyanya histeris.
Ares menatapnya sebal. "Lo nggak usah pura2
nggak tau, deh. Lo tau kan, fans lo yg cinta mati sama lo itu paling nggak bisa
kalah?"
Lala terpekur. Raul. Pasti anak itu. Dia terus
mengejar-ngejar Lala semenjak mereka putus dan tahu bahwa Lala memiliki
hubungan dengan Orion. Raul menolak menyerah saat tahu Lala sudah putus dengan
Orion dan malah menyukai Ares.
"Res, apa salah gue kalo dia suka sama gue?
Emangnya gue mau? Gue juga nggak mau, Res!" sahut Lala.
Ares terdiam. Memang bukan kesalahan Lala, tapi
Ares sudah terlanjur menganggapnya demikian. Kalau saja dulu Lala tidak memilih
Orion sehingga membuat Raul merasa tersaingi, tidak akan begini jadinya. Ares
meyakini ini sebagai sebuah karma.
"Lo tau? Ada satu hal yg bisa bikin kejadian
itu nggak terulang lagi. Lo jauh2 dari gue," kata Ares
dingin, lalu bangkit dan meninggalkan Lala.
Orion memasukkan bola basketnya ke loker sambil
bersiul. Hari ini dia tidak akan latihan. Dia sudah berjanji pada dirinya
sendiri untuk membolos latihan sesering mungkin selama Reina di Indonesia.
Orion tak ingin membuang waktu sedetik pun. Sudah cukup lama waktu terbuang,
dan sekarang, Orion ingin menebusnya.
"Ri, ntar jam tiga, ya!" seru Odi, teman
setimnya.
"Wah, sori, gue nggak bisa," kata Orion,
gagal menyembunyikan senyum lebar-nya. "Ntar2 gue juga bakalan jarang
latihan. Ada hal yg lebih penting."
Odi mengernyitkan dahi. "Lo becanda, kan? Bentar
lagi ada turnamen, Ri! Lo mau tempat lo digantiin sama Raul?"
"Sebodo," tukas Orion sambil menutup
lokernya. "Masih banyak turnamen lain. Yg ini, gue udah nunggu selama
sepuluh tahun. Gue nggak akan ninggalin dia cuma gara2 turnamen."
"Apaan sih? Sampe lo bisa-bisanya nyerahin
posisi lo buat Raul?"
"Sereorang," Orion kembali tersenyum
membayangkan Reina. "Seseorang yg lebih berharga dari apa pun juga di
dunia ini. Bahkan medali MVP."
Odi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya menatap
Orion yg sekarang telah menerawang jauh dengan ekspresi bahagia.
"Sini Rei bantu, Tan."
Reina mengambil bawang lalu mulai mengupasnya. Di
sampingnya, Tante Risa sedang memasak makanan untuk makan malam.
"Wah, bisa ngupas bawang, Rei?" tanya
Tante Risa, ibu dari Orion dan Ares.
"Ya bisa lah, Tan. Dalemnya kan masih orang
Indonesia," jawab Reina, membuat Tante Risa tertawa.
"Bahasa Indonesia kamu juga bagus banget.
Padahal waktu kamu pindah ke Amerika kan masih kecil," kata Tante Risa.
"Aku selama di rumah selalu pake bahasa Indonesia,
Tan," jelas Reina. "Lagian, temenku yg juga orang Indonesia di sana
banyak, tapi kebanyakan udah pada kuliah."
Tante Risa mengangguk-angguk mengerti. Selama
beberapa menit kemudian, mereka berdua sibuk dengan kegiatan masing2. Namun
akhirnya, Reina tidak tahan untuk tidak bertanya tentang Ares.
"Tant, Ares kuliahnya di jurusan apa?"
tanya Reina, merasa Ares tidak akan menjawab jika dia
menanyakannya langsung.
"Eh?" Tante Risa menghentikan kegiatan
mengaduk sayur, berusaha mengingat-ingat. "Ng... di mana ya? Tante kok
lupa? Kalo nggak salah sih di Teknik Industri... ato apa yah? Itu sih si
Orion..."
Reina bengong mendengar jawaban polos Tante Risa.
"Jadi?" tanya Reina lagi setelah beberapa lama menunggu.
"Ng... Tante lupa, Rei. Dulu pas mau masuk
kuliah, dia sendiri bingung milih apa sampai kita jadi nggak tau lagi. Ntar
tanyain aja sama anaknya langsung, yah?" katanya, lalu kembali mengaduk
sayur.
Reina semakin bingung. Kenapa Tante Risa sampai
tidak tahu anaknya kuliah di mana? Tapi Reina tidak ambil pusing. Mungkin saja
Tante Risa memang lupa.
"Terus Tan, anaknya emang nggak suka ngomong,
ya?" tanya Reina lagi. "Perasaan dulu nggak segitunya."
"Emang, dari kecil tabiatnya emang kayak
begitu. Tepatnya sih, setelah kamu pindah," kata
Tante Risa lagi. "Kamu dijudesin ya? Maklumin
aja ya, dia emang bandel."
Reina terdiam sesaat. Ternyata Ares sudah berubah
menjadi orang yg dingin. Dulu, Ares memang tidak banyak bicara, tapi itu kepada
semua orang kecuali Reina. Dulu Reina adalah orang yg paling sering diajak
bicara oleh Ares. Entah kenapa, sekarang Ares terkesan menjauhi Reina, padahal
Reina sangat merindukan Ares.
"Dia itu nakal banget, doyan berkelahi,"
kata Tante Risa lagi, wajahnya mengeruh. "Waktu SMP sama SMA, dia nggak
satu sekolah sama Orion."
Reina berhenti mengupas bawang lalu menatap Tante
Risa. "Nggak pernah satu sekolah? Kenapa?"
"Sebenernya Tante masukin dia di sekolah yg
sama dengan Orion, tapi dia selalu dikeluarin,"
Tante Risa tersenyum getir. "Kerjaannya
berantem melulu. Semua anak pernah ngerasain bogem mentahnya. Masuk BP sampe
berpuluh-puluh kali. Sempet mau nggak naik kelas karna keseringan bolos, tapi
setelah Tante ngelobi pihak sekolah, dia akhirnya bisa naik kelas. Tante sampe
terharu waktu sekolah nyatain Ares lulus SMA. Habis, rapotnya banyakan
merahnya." Reina ikut tersenyum mendengar Tante Risa bercerita. Reina tahu
Ares memang lemah dalam pelajaran, tapi tak menyangka akan pindah sekolah
sebanyak itu.
"Ares telat setahun masuk kuliah, soalnya
Orion ikut kelas akselerasi," kata Tante Risa lagi, membuat Reina
tertegun. "Atau lebih tepatnya, Orion lebih cepat setahun."
Ares masuk kuliah setahun setelah Orion. Reina tak
pernah tahu. Kenyataannya, Reina tak tahu apa pun tentang Ares lagi.
"Rei."
Orion menepuk bahu Reina, lalu duduk di sebelahnya.
Tadi sepulang kuliah, Orion melihat gadis itu sedang duduk sendirian di gazebo.
"Hei," balas Reina sambil tersenyum.
"Aku kirain Ares."
Senyumnya segera menghilang dari wajah Orion, tapi
detik berikutnya muncul lagi. "Emang segitu miripnya ya?"
Reina hanya menghela napas. Betapa dia sangat
mengharapkan yg tadi datang dan menyapanya adalah Ares.
"Ares belom pulang kuliah ya?" tanya
Reina lagi.
Orion menatap Reina lekat2, bertanya-tanya apa yg
sudah dilakukan Ares sehingga membuat Reina sedih seperti ini.
"Udah biasa dia hari gini belom pulang. Ntar
pulang2 kalo nggak mabok, pasti bonyok," kata Orion, membuat raut wajah
Reina seketika menjadi khawatir. "Becanda kok," ralat Orion.
"Paling lagi latihan nge-band."
Mata Reina membulat. "Nge-band?"
"Iya, dia punya band. Ancur sih, cuma dia
nggak mau ngakuin. Udah deh, dari tadi nanyain Ares mulu. Yg laen!" Orion
menyenggol bahu Reina dengan bahunya.
Reina tersenyum lemah. "Abis, dia kayak yg
udah ngelupain aku, Ri. Aku kan jadi sedih."
Orion menatap Reina lagi. Gadis ini dari dulu
memang lebih memerhatikan Ares daripada Orion, dan Orion tak pernah mau hal itu
terjadi lagi. Ares tak layak untuk mendapatkan perhatian Reina. Ares sudah
memutuskan untuk melupakan Reina, sedangkan Orion tak pernah berhenti memikirkannya.
"Dulu pas kita ketemu di internet, aku udah
bilang sama dia, tapi dia cuek aja," kata Orion. "Dan dia juga nggak
pernah nyebut2 nama kamu lagi selama sepuluh taun ini."
Orion sebenarnya tidak bermaksud untuk
menjelek-jelekkan Ares, tapi Ares memang melakukan semua itu. Orion juga tidak
mengerti kenapa Ares melakukannya. Bagi Orion, Reina adalah seseorang yg sangat
penting, tapi ternyata tidak begitu menurut Ares.
Reina menggigit bibirnya, menahan tangis. "Oh,
gitu," katanya pelan.
"Sori," Orion merengkuh tubuh Reina yg
mungil. "Aku nggak bermaksud ngomong kayak gitu. Tapi nggak ada yg bisa
ngerti Ares. Nggak ada seorang pun yg tau apa alasannya ngelupain lo."
Setelah mendengar kata2 Orion, Reina merasakan air mata jatuh di pipinya.
Ares ternyata telah benar2 melupakannya. Reina
mendengus miris. Kenapa juga Ares harus mengingatnya. Reina waktu itu hanyalah
gadis jelek berkepang dua.
Dia dan Orion tidak tahu bahwa sudah beberapa saat,
Ares mengawasi mereka berdua dari dalam rumah. Kaleng Pepsi remuk di tangannya,
menumpahkan isinya ke segala arah.
No comments:
Post a Comment