Telepon Pinky
KEINGINAN itu begitu kuat. Ia ingin menelepon. Deras. menggelitik, tak bisa ditawar-tawar. Ja harus menelepon.
Ada jalinan manis dulu. Mungkin cinta. Meski cuma sesaat.
Sampai di situ 111ne menggeleng. Tidak. Tiga tahun bukan waktu yang pendek, pikir- nya tak sepakat. Begitu banyak cerita indah
yang menyisakan kenangan. Begitu banyak senyum dan tawa.
Perternuan mereka memang singkat. Tapi . hubungan jarak jauh yang kemudian terbina, berjalan mulus. Surat-surat, kartu ulang tahun, kartu Valentine, hadiah-hadiah kecil. Sernua itu pernah meramaikan masa remajanya dulu. Tiga tahun yang ceria. riga tahun yang pinky, romantis, bersarna lelaki itu. Mas Aan.
Pertama kali lone mengenal cowok.
tulen itu adalah ketika ia menemani Mama bersilaturahmi ke tempat mantan guru Mama ketika SO dulu. Sambutan hangat keluarga guru Mama tersebut, tidak mem- buat Inne terbebas dari rasa rikuh dan sung- kan. Maklum, ia asing sarna sekali dengan guru tersayang yang disebut-sebut Mama. Perasaan itu baru cair ketika tiba-tiba, "Halo! Kenalkan, saya Anindra. Lengkapnya Anindra Wisnu. Kalau siang panggil saya Aan, kalau malam, panggil saya Ani."
Suara baritonnya ramah mengusap telinga Inne, memancing senyum. Tak perlu men- dongakkan kepala untuk melihat sebuah ta- ngan gagah kecokelatan terulur di hadapan- nya.
lnne ingat, ia sempat tersipu. Tapi segera saja kagum melihat pancaran cerdas yang berasal dari dua bola mata hitam pekat, di balik kacamata minus yang dikenakan cowok itu.
Saat tangan mereka bertaut, seketika itu juga kerikuhan Inne gugur. Berikutnya yang dia ingat, ia sudah berada di teras kamar Mas Aan, lengkap dengan saudara-saudara lelaki itu yang berjibun. Lima orang, bukan
jumlah sedikit dalam pikiran Inne.
Gadis yang saat itu masih duduk di kelas dua SMP tersebut ingat, betapa ia begitu bersemangat, hingga pipinya merah, saking kuatnya menyanyi dalam dentingan gitar Mas Aan. Lagu Kau Seputih Melati-nya Dian PP pun mengalun. Jauh dari indah, mengingat lelaki itu mengumandangkannya dengan logat Jawa plek, sementara ia lebih tepat disebut berteriak daripada bernyanyi.
Tapi kenangan mereka indah. Mas Aan menuliskan "lnne" dalam huruf-huruf Jawa di atas kartu berwarna rnerah. Juga menulis- kan nama dan data-data cow ok itu di balik kartunya. Dalam pikiran usia mudanya, Inne merasa hal itu sangat manis dan layak di- kenang. Juga saat ia mengobrak-abrik isi kamar Mas Aan bersama saudara-saudaranya yang seabrek tadi, dan menemukan buku rapor yang luar biasa. Luar biasa bagus dan luar biasa membuatnya minder. Angka ter- kecil yang ada di buku itu adalah sembilan. ltu pun hanya satu. Yang lainnya berderet nilai sepuluh!
"Aan itu pelajar teladan se-Iogja, Inne. Dia baru saja meraih PMDK untuk Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Sipil!"
Mbak Wiwi, kakak Mas Aan, menerangkan dengan antusias. Mendadak Inne merasa begitu kecil dibanding cowok Jogja tadi.
Singkat kata, ia jatuh cinta. Lebih-lebih karena rnereka berboncengan motor saat pu- lang. Mbak Wiwi memboneengkan Marna, dan Inne... tentu saja bersama Mas Aan.
Mereka bercanda. Tertawa. Satu lagi. Saling berjanji menulis surat. Sekali pertemuan. Tapi Inne, gadis kecil yang SMP pun kala itu belurn tarnat, boleh berbangga hati.
Tak sarnpai seminggu, sebuah surat berhiaskan bibir Mick Jager, diterimanya, Pe- ngirimnya? Anindra Wisnu.
Semula peristiwa saat remaja itu nyaris ter- lupakan. Ia sendiri tak ingat kenapa hubung- an mereka kemudian tiba-tiba terhenti. Di- mulai dari rasa asing, tawar, dan tiba-tiba ... stop. Mereka tak lagi berkirim surat dan rnernberi kabar. Barangkali karena saat itu ada ternan lain yang hadir, lebih nyata dan jauh rnelebihi tulisan atau untaian kata.
Keinginan menelepon cowok itu, apalagi membawa nostalgia merah jambu mereka, sebelurnnya sarna sekali tak pernah tebersit
di benak Inne, yang sekarang sudah jauh
lebih dewasa. Minggu depan ia berusia dua puluh tiga. Kuliahnya sudah setahun lalu selesai. Orang bilang ia cerdas .. Tapi setiap kali pula hatinya rnernbantah.
"Cerdas? Karnu belum lihat orang yang hanya rnerniliki satu angka . sernbilan di rapornya, karena yang lain bernilai sepuluh. ltu baru cerdas!"
Kekagurnan itu rupanya tak pernah hi- lang. Inne sendiri kaget, ketika ia rnenyelarni suara hatinya.
Tak pelak lagi. Hanya satu orang yang punya nilai seperti itu. Anindra Wisnu. Dan suka atau tidak, ia harus rnengakui se- konyong-konyong dirinya dilanda rasa pena- saran, dan barangkali kerinduan. Apalagi setelah dalam satu upaya bersih-bersih di rurnah, .ia rnenemukan surat-surat lama, kartu-kartu lama, hadiah-hadiah keeil itu ... kerinduannya pun meluap,
Tapi salah kalau ternan-temannya rnengira cinta pertama itu yang rnernbuatnya rindu. Sarna sekali salah. Setidaknya rnenurut gadis itu sendiri.
"Lantas?"
Sita, ternan kampus yang dijadikan tempat curhatnya tarnpak tak rnengerti.
"Aku cuma penasaran. Rindu."
"Rindu itu tanda-tanda cinta!" Inne menggeleng.
"Tidak. Ini bukan cinta. Ini cuma rindu masa lalu. Kenangan. Penasaran terhadap nasib kawan baik."
"Bohong!"
"Hei, jangan menuduh!"
"Si Aan itu bukan kawan baik. Kamu sendiri ngaku dulu pernah naksir dia. Ya, kan?"
"Tapi itu dulu! Sekarang cuma rindu yang alarni... yang wajar ... /I
5ita tampak kukuh dengan pendapatnya. "Inne, cuma ada satu alasan kenapa kamu tiba-tiba penasaran dengan Anindra-mu itu.
Cinta titik• "
Kepala Inne menggeleng lagi.
"Ini bukan cinta! Cuma kangen terhadap masa lalu. Apa salahnya aku tahu kabarnya sekarang? Tinggal di mana? Bekerja di mana ... "
"Sudah married atau belum? Kalau sudah sarna siapa? Impulsive!" kalimatnya diserobot Sita dengan memanyunkan bibirnya.
Ya, itu betul. Ia juga ingin tahu itu. Tapi... ahh, ini bukan Menyaksikan cinta!
Wajah Inne yang menjadi muram, Sita, gadis berkerudung itu me- nyerah juga.
"Terserahlah."
"Jadi aku boleh menelepon?"
"Tak ada salahnya menelepon. Lagian me- mangnya aku bagian perizinan?"
"Bukan. Bukan perizinan. Tapi controlling! Hehe."
lnne serta-merta memeluk Sita.
"Yang salah, kalau kamu punya ekspektasi berlebihan, Ne. Padahal dia mungkin sudah punya kehidupan sendiri. Hati-hati dengan perasaanmu. Ya?"
Ia tak bisa menahan bin tang untuk tak menari-nari di matanya. Sita pasti rnelihat keriangan itu. Biar saja, Sita memang begitu. Petuahnya soal jaga hati, manajemen kalbu, dan segala macam memang khas. Di kampus dulu Sita memang anak rohis, yang punya kuliah segudang soal akhlak dan hati. Lebih-lebih soal cinta.
Inne belum mengenakan kerudung seperti ternan baiknya itu. Tapi kebaikan memang menjadi milik nurani. Mungkin itu pula yang membuatnya merasa bersalah jika tak membagi niatnya dengan gadis hitam manis berkerudung itu.
Komen Sita bisa ditebak, kan? Apa tadi kalimatnya terakhir?
Hati-ha.ti dengan perasaanmu. Ya?
Ahh, Sita mestinya tahu, Inne hanya ingin menelepon. Take it easy. Cuma menelepon. Bukan yang lain. Ekspektasi apa pun ia tak punya. Kalaupun ada, hanya ingin menjalin percakapan sederhana yang menarik. Yang meninggalkan kesan. Cuma itu.
Keinginan Inne untuk menelepon dan me- ngetahui kabar cowok Jawa itu, tak segera terkabul. Pasalnya, Mama butuh waktu lebih dari dua bulan untuk menemukan kembali daftar alamat yang menyimpan nomor tele- pon guru Marna, ibu Mas Aan.
"Kenapa sih kamu tiba-tiba ingin sekali menelepon Mas Aan?"
Pertanyaan Mama hanya dijawabnya de- ngan senyum. Orangtua selalu ingin tahu. Sudah dari sananya begitu. Tapi senyumnya melahirkan cubitan ketika Adi, adiknya yang baru masuk kuliah meledek, "Mungkin Kak Inne frustrasi, Mam, belum ada yang lamar juga sampai sekarang! Haha... makanya ngorek-ngorek ternan lama!"
Sembarangan!
Ia tak peduli kalau Adi meringis-ringis karena cubitan kecil yang membekas merah di kulitnya.
Ketika nomor telepon Mas Aan akhirnya terlacak, anehnya Inne bukannya merasa senang, malah resah.
Awalnya ia begitu ingin menelepon cowok itu. Bertukar kabar. Tapi sekarang?
Inne melirik gagang telepon berwarna abu-abu di kamarnya. Menggoda. Setia menunggu aksinya.
Keinginan itu bukan pupus. Malah semakin deras. Menjadi keharusan yang mesti dilakoni. Hanya saja, ia luput satu hal. Itu yang mem- buat hati Inne sekarang maju-mundur, Apa yang akan dikatakannya pada Mas Aan nanti? Pastilah cowok itu kaget luar biasa menerima telepon dari seseorang di masa lalu, yang sudah lama hilang kontak.
Inne melirik lagi telepon yang terduduk angkuh di atas tempat tidur, Tangannya sudah nyaris terulur. Tapi tak jadi meraih gagang telepon. Sebaliknya mengambang di udara, menari-nari tepat di atas telepon. Dipejamkannya mata. Mencoba menebak- nebak reaksi Mas Aan ketika mendengar suaranya nanti.
"Halo?"
"Ya, dari siapa nih?" "Inne!"
"Inne? Ya amp un, apa kabarmu? Sudah lama sekali. Aku rindu!"
Inne membuka matanya. Mustahil Mas Aan langsung mengatakan rindu. Meski kalau itu yang terjadi, ia tak bisa me- mungkiri, perasaannya pasti senang. Siapa yang tak senang dirindukan?
Terserah rindu apa tidak, Tapi ia yakin Mas Aan akan senang dan ceria menerima teleponnya. Bukankah kenangan mereka indah dan lucu? Surat-surat konyol yang mengundang gelak tawa?
Tapi sesudah itu, apa yang harus diucapkannya? Apa yang bisa menjelaskan alas an ia tiba-tiba menelepon? Bagaimanapun ia seorang perempuan yang harus menjaga harkat dan martabat, dan tidak boleh terkesan agresif. Seperti propaganda Sita.
"Mama titip salam, Mas."
Alasan gampang. Mengambinghitamkan Mama. Tapi apa itu sopan? Bagaimana kalau Adi saja? Inne menepis pikiran ngawurnya. Adi?
Kenal saja tidak Mas Aan dengan adik lelaki- nya itu. Lantas?
"Silaturahmi, Mas. Gimana kabarnya? Sudah menikah? Sarna siapa, Mas? Teman kampus dulu? Trus sudah punya anak berapa, Mas?"
Hm ... Inne menggelengkan kepala. TIdak. Itu terlalu terburu-buru, Masa baru mulai kontak lagi sudah membombardir dengan pertanyaan seperti itu? Bagaimana kalau Mas Aan ternyata sudah punya anak lima, lalu balik melontarkan pertanyaan serupa padanya?
Pasti dengan tersipu-sipu dan suara pelan, ia akan menjawab, "Anu ... , Mas. Inne ... Inne belum punya anak!"
Maka ketahuanlah bahwa ia ternyata belum berkeluarga, belum ada yang me- ngawini, belum ada yang melamar. Pendek- nya, belum laku!
Tidak. Pertanyaan ke arah sana harus di hindari. Bisa jadi jebakan yang membuat personal record-nya jelek. Jangan-jangan dikira ia menelepon karena belum laku lagi.
Sebaiknya berhenti saja pada kata silatu- rahmi. ltu sudah bagus. Apa jeleknya silatu- rahmi?
Inne rnenatap telepon yang sudah berada di pangkuannya. Keraguan memang masih ada. Tapi keinginan itu mengalir kian deras. Sekarang sudah mencapai stadium air bah. Ia harus menelepon segera!
Detak jantungnya ,berdebar•• kian cepat, Makin keras. Makin mengetuk-ngetuk. Makin menyiksa:. . ~' .
Dengan satu sentakan kuat, Inne meng- ambil gagang telepon. Namun keringat yang mengalir di dahi membuat matanya tak bisa jernih melihat angka-angka. Gadis itu cepat menaruh kembali gagang .telepon. Meraih tisu di dekatnya., Mendekapkan .kedua tela- pak tangan ke wajah. Ya Allah, kenapa urus- an menelepon ini jadi begitu merisaukan?
"Cuma ada satu. alasan kenapa kamu •tiba-tiba penasaran dengan Anindra-ma iiu. Cinta! Titikl"
Cinta? Benarkah?
Tapi tidak, Ia yakin tak akan terpukul bahkan bila Mas Aan sudah menikah, de- ngafl satu atau dua orang istri, atau empat sekalian, tak masalah. Punya anak atau tidak. Ia tak peduli. Ia hanya ingin bertukar, kabar. Sungguh.
Tapi kenapa. begitu berat? i ,Inne tercenung. Di telinganya bertumpu gagang telepon, •membunyikan nada tunggu.
Tanpa disadari gaelis itu, jemarinya sudah sejak beberapa menit lalu memutar nomor telepon Mas Aan. Interlokal ke Batam.
"Halo? Anindra Wisnu eli sini." Sebuah suara bariton terdengar, ramah. Menyanyikan meloeli masa silam.
"Halo! Kenalkan, saya Anindra. Lengkapnya Anindra Wisnu. Kalau siang panggil saya Aan, kalau malam, panggil saya Ani."
Inne tersenyurn. Suara itu masih sama ramah seperti kala pertama ia mendengar- nya. Mewah dengan keakraban,
"Halo? Mau bicara dengan siapa, ya?" Sapa yang kedua. Inne lega. Ia meraih
sebuah bantal, lalu menyandarkan punggung dengan lebih santai, di senderan tempat tidur. Jemari lentiknya memainkan kabel telepon. Benaknya menari-narikan pikiran bahagia. Ahh, seperti apa Mas Aan sekarang?
"Halo?"
Inne tergeragap. Bibirnya menyungging- kan senyurn cerah. Lantas saja gadis itu menjawab. Hangat dan antusias.
"Ini Inne, Mas. Apa kabar?"
Suasana beku melayang beberapa detik. Inne bukan tidak merasakan itu. Untunglah kemudian dari seberang sana terdengar sua- ra tawa renyah. Mengalir teratur dan sopan. Ahh, syukurlah. Mas Aan pasti teringat juga kekonyolan masa remaja mereka. Waktu itu memang
"Umm ... Inne yang mana, ya.?"
Inne tersentak. Lelaki itu tidak ingat? Memangnya berapa Inne yang dikenalnya?
"Halo? Maaf, Inne. Ini Inne yang mana, ya?"
Mulut Inne mengatup kencang. Sungguh, ia tak siap dilupakan. Tidak setelah ia ber- usaha membuat percakapan nostalgia yang berkesan. Memperkenalkan ulang dirinya secara panjang-Iebar, sungguh di luar ske- nario yang selama ini disiapkannya.
Inne masih mematung. Terpukul. Sementara lelaki yang dikaguminya, di-
seberang sana masih terus bersuara.
"Inne Asokawati? Bukan? Inne Febriyantika yang anak diplomat? Bukan juga? Inne anak Mesin '87? Inne-nya Bulik Tini? Inne ... Inne yang mana sih?"
Jendela Rara
Sebuah rumah imui
Dengan dinding hijau berlumui,
Jendela-jendela besar yang menjaring maiahari
Dan halaman mungil berumpun melati
APA lagi?
Rara, anak perempuan berusia sembilan tahun itu terus menggambari belakang kertas bungkus cabe, yang eliambilnya dari los sa- yur Yu Emi. Sebuah pensil pendek terselip eli jarinya. Mata Rara masih memandangi gambar rumah mungil, yang menjadi impiannya. Mulut kecilnya menyumbang se- nyum. Manis.
"Mak, kapan kita punya rumah?"
Sejak ia mengerti arti tempat tinggal, per- tanyaan itu kerap disampaikannya pada Emak, Mulanya perempuan berusia 45-an
yang rambutnya beruban di sana-sini itu, tak menjawab. Baginya tak terlalu penting apa yang ditanyakan anak-anak. Kerasnya kehidupan mernbuat ia dan lakinya, hanyut dalam kepanikan setiap .hari: soal apa yang bisa dimakan anak-anak esok? Maka pertanyaan apa pun dari anak-anak, lebih sering hanya lewat telinga, tanpa menetap lama di hati.
"Mak, kapan kita punya rumah?"
Kanak-kanak seusia Rara, tak mengenal jera atau bosan mengulang pertanyaan se- rupa. Dan kali .ini, ia berhasil mendapat perhatian lebih dari Emak. Sambil menyan- darkan punggungnya di dinding tripleks me- reka yang tipis, Emak menatap sekeliling. Matanya .menyenter rumah kotak mereka yang empat sisinya terbuat dan tripleks. Hanya satu ruangan, di situlah mereka sekeluarga, ia, suami, dan lima anaknya sekarang empat memulai dan mengakhiri hari-hari. Tak ada j.endela, karena rumah-rumah di kolong jembatan jalan tol menuju. bandara itu terlalu berdempet. Bahkan. nyaris tak ada celah untuk sekadar lalu-lalang, kecuali gang senggol yang terbentuk -tak sengaja akibat ketidakberaturan pendirian rurnah rumah tripleks di sana. Beberapa yang ber- untung mendapatkan tiang rurnah yang lebih kokoh, langsung dari beton tebal yang menyangga jalan tol di atas rnereka. Kamar mandi? Ada MCK umum yang biasa mereka pakai sehari-hari. Cukup bayar tiga ratus rupiah, sudah bisa mandi puas.
Belasan tahun mereka tinggal di sana. Tidak perlu bayar pajak, hanya uang sewa tiap bulan yang disetorkan ke Rozak, Ketua RT mereka, sekaligus orang paling berkuasa di perkampungan sini, juga uang listrik ala kadarnya. Mernang semua sangat sederhana, tapi baginya tempat tinggal ini tetap ...
"Ini rumah kita, Ra!"
Rara menggeleng. Ekor kuda di kepalanya yang kemerahan, karena sering ditempa ga- rang matahari, bergoyang beberapa kali. Di benaknya bermain bayangan rumah tinggal yang diimpikannya
Sebuah rumah imut
Dengan dinding kehijauan berlumui, Jendela-jendela besar yang menjaring matahari
Dan halaman mungil berumpun melati
Emak tampak kaget dengan tanggapan anaknya.
"Rara mau punya rumah yang ada jendelanya, Mak!"
"Bisa. Besok kita minta abangmu buatkan jendela satu, ya? Kecil saja tak apa, kan?" ujar Emak sambil tertawa dengan pikiran mengambang, Ke mana jendela itu akan menghadap nanti? pikirnya. Ke rumah Mas Dadang, tetangga merekakah? Apa iya me- reka mau diintip kegiatannya setiap hari?
Tapi siapa tahu. Paling tidak hal itu mung- kin bisa membuat Rara senang. Kalau dia menolak ngamen di perempatan lampu me- rah nanti, apa tidak repot?
Anak Emak lima orang. Yang tertua jadi tukang pukul di tempat Mami Lisa, kom- pleks pelacuran dekat tempat tinggal mereka. Anak kedua, entah apa kerjanya, kadang pulang, lebih sering menghilang. Anak yang ketiga perempuan, sebetulnya dulu rajin se- kolahnya, apa daya ia tak sanggup lagi me- nyekolahkan si Asih. Jadilah gadis lima belas tahun itu drop out dari sekolah, dan sekarang
kabarnya sudah jadi anak buah Mami.
Entahlah. Anaknya yang keempat selisih dua tahun dari Rara, tapi bocah lak-laki itu tewas dua bulan yang lalu, dengan luka di bagian leher dan anus. Mungkin jadi korban laki- laki gendeng yang suka menyantap anak- anak kecil, ketimbang perernpuan dewasa.
Rara anaknya yang bontot. Keras kepala dan punya keinginan kuat. Sekarang masih sekolah di rnadrasah ibtidaiyah, itu pun karena kebaikan hati kakak pengajar di sana, ia tak harus rnembayar sepeser pun. Syukurlah.
"Jendelanya bisa rnasuk rnatahari, gak, Mak?"
Rara menggoyang bahu ernaknya. Tapi kali ini perernpuan yang melahirkannya itu hanya menghela napas berat, dan me- ninggalkan Rara dengan bayangan jendela- jendela besar yang rnenjaring sinar matahari.
"Kata Ernak, rurnahku akan punya jendela!" Rara berbisik ke telinga ternan sebangku- nya. Di sekitarnya, kawan-kawan madrasah sedang mengikuti bunyi surat Al Maun, yang diucapkan Kak Rohana. "Yang bener, Ra?"
Dua bola mata bulat rnilik Inah membesar.
Ia ikut senang jika impian Rara terwujud.
Sejak dulu Rara sering bicara soaI keinginan- nya memiliki rumah kecil dengan jendela- jendela besar yang memungkinkan sinar ma- tahari masuk ke dalamnya.
"Kita bisa hemat listrikl Gak usah idupin lampu lagi kaIo siang!"
Rara menambahkan. Giginya yang kecil- kecil tampak seiring senyumnya yang lebar.
"Bisa belajar di sana dong?"
"Iya! Gak harus ke gardu dulu untuk baca buku. Kan udah terang?"
Senyum lebarnya terkembang lagi. Inah tampak ikut senang.
"Aku mau minta ibuku bikinin jendela juga ah!"
"Aku juga!"
"Apa? Jendela di rumah Rara?"
"Gue juga deh. Mau bilang Bapak!" "Enak ada jendela!"
Tiba-tiba suasana kelas riuh seperti pasar. Berita Rara yang rumahnya akan punya jendela menyebar luas. Ternyata apa yang diinginkan gadis kecil itu juga menjadi mimpi anak-anak yang lain.
"Jendelaku nanti paling besuar!"
Ipul, anak salah satu karyawan Marni Lisa,
mengakhiri obrolan mereka sore itu sepulang dari madrasah.
"Jadi bikin jendela, Ra?"
Bang Jun, mencolek pipinya. Mata laki- laki berusia dua puluh tahun itu mengamati hasil coretan adiknya.
"Udah malam kok belum tidur?"
Rara tidak menjawab. Tangannya masih asyik menari-nari di atas secarik kertas usang yang diambilnya lagi dari Yu Emi.
"Eh, itu gambar apa, Ra?" komentar
abangnya lagi. "Jendela? Kok gede banget!" Rara menghentikan kegiatan menggambar- nya. Bola matanya yang cokelat menatap Bang Jun yang perhatiannya terpusat pada gambar. Gadis kecil itu menganggukkan ke-
pala. Senyumnya bungah.
"Jadi, kan, Bang Jun bikinin Rara jendela?" ucapnya dengan tatapan penuh harapun hanya menatap Emak dan Bapak yang tiduran di bawah, di atas sehelai tikar usang. Wajah kedua orangtuanya itu tampak letih. Pastilah. Bukan pekerjaan ringan mencomoti barang dari tempat sampah satu ke tempat sampah lain. Belum lagi jika hasil mulung Bapak, ternyata besi-besi tua. Memang membawa untung yang lebih besar. Tapi beban yang dipikul juga jelas jauh lebih berat dibandingkan sampah plastik botol Aqua atau barang-barang lain. Malah akhir-akhir itu cuaca makin panas saja,
-"Bang ... "
Rara menarik kaus oblong yang dipakai abangnya. Beberapa saatRara dan abangnya bertatapan, dengan pikiran masing-masing yang tak terpantulkan. Keheningan mereka buyar oleh langkah-langkah yang terdengar dari depan. Asih muncul di balik pintu. Matanya yang sayu segera saja menatap. keduanya tak semangat.
"Masih ngeributin soal jendela?"
Rara tak menjawab, tangannya meraih tas murahan yang dibawa Asih. Dengan sigap, gadis kecil itu mengambil air di teko dan mengulurkan ke kakaknya. 'Iapr Asih yang mulutnya bau minuman keras itu menepis- kannya.
"gue ngantuk. Malah tadi laki-laki yang gue temenin minumnya kuat banget. Mau nolak, gak enak sama Mami."
"Bilang aja 10 sakit, Sih! Tadi aja .gue pulang duluan. Lagian pegawai Mami Lisa kan gak cuma elo."
"Iya, tapi itu kan sama aja nolak rezeki! Gimana sih, Jun!"
Rara mendengarkan saja percakapan kedua saudaranya dengan diam. Tapi mendengar kalimat kakaknya barusan, sekonyong- konyong muncul keinginan untuk menimpali, "Kata guru Rara di madrasah, rezeki kan dari Allah, Kak. Bukan dari tamu!"
Kalimat yang lugu itu dengan cepat di- patahkan kakaknya.
"Ahh, anak kecil sok tau. Tunggu nanti kamu gede, baru ngerasain. Hidup tuh cari yang haram aja susah, apalagi yang halal!"
Rara menundukkan kepala. Kakaknya dulu lembut dan baik hati. Malah Asih sempat juga mengaji di madrasah seperti dia. Tapi setelah putus sekolah dan jadi karyawan di tempat Mami, gadis berkulit hitam manis itu berubah.• Dandanan makin menor. Ke mana-mana pakai kaus dan celana panjang serba ketat. Omongannya juga jadi kasar.
Rara juga tahu, tidak cuma kakaknya yang berubah. Tapi juga kakak si Inah, ibu si Ipul, dan banyak lagi. Konon mereka dulu juga anak madrasahan. Tapi ternyata daya tarik rumah pelacuran, yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari madrasah, terlalu menggoda. ltu jalan pintas dapat duit, Rea- litas masyarakat di banyak sudut-sudut Jakarta yang mungkin tak banyak diperhati- kan orang.
Rara tercenung. Mungkin benar, hidup jadi orang dewasa itu sulit, pikirnya. Mung- kin itu sebabnya mereka tak sering lagi tersenyum.
"Eh, Ra! Kalo mau punya jendela, modal sendiri dong!" lantang suara kakaknya mengagetkan Rara.
"Asih!"
Asih yang mabuk terus bicara dan tak menggubris teguran Jun.
"Kebutuhan tuh banyak. Udah bagus gue sama Jun kerja. Pake buat yang lebih penting dong!" cerocos Asih seraya tangannya menjewer kuping Rara.
Rara tak gentar. Matanya yang jernih menatap luxus ke arah Asih yang mulai menyalakan rokok dan menghirup asapnya nikmat. Bagaimanapun Kak Asih hams tahu kalo jendela itu ...
"Jendela itu penting, Kak. Buat keluar- masuk udara. Terus kalo siang kita gak perlu nyalain lampu. Udah terang karena sinar matahari yang mas uk!" jawab Rara dengan tak kalah keras.
"Tapi banyak yang lebih penting dari jendela," Asih tak mau kalah. "Makan kamu misalnya!" lanjutnya kesal. Bayangkan, ia sudah capek-capek tiap malam, kadang lem- bur merelakan badannya melayani empat tamu dalam semalam. Apa adiknya itu tahu?
"Tapi kata Emak, Bang Jun bakal bikini Rara jendela. Ya, kan, Bang?"
Suara Rara kemudian. Sangat lirih, nyaris hanya berupa isakan. Jun yang melihatnya jadi tidak tega. Tangan cowok itu membelai- belai kepala adiknya. Lalu menatap Rara lunak.
"Iya. Tapi Rara juga ikut kumpulin duit, ya? Iangan dipake jajan! Kita perlu uang untuk bell kayu, kaca, bikin kusennya ... "
"Dan itu mahal, tau, Ra!"
"Ssst ... Asih ."
Keributan yang kemudian tak terelakkan antara Jun dan Asih, membuat Rara melari- kan diri ke sudut rumah. Ia berjongkok, mata cokelatnya berkaca-kaca. Bertambah- tambah perasaan gundahnya kala Bapak ter- bangun lantaran suara berisik yang timbul,
lalu menempeleng kedua kakaknya.
Dan semua gara-gara jendela besar Rara. Ahh. Rara mengusap air mata yang jatuh di pipinya. Besok ia akan mengamen lebih giat. Kalau perlu sambil jual koran, semir sepatu, atau membersihkan kaca mobil-mobil yang berhenti di lampu merah. Apa saja, pikir Rara.
Belakangan, lelah dan air mata membuat Rara tertidur. Pikiran kanak-kanak mem- bawanya pada impian. Malam itu Rara bermimpi menari di antara jendela-jendela besar yang mengantarkan sinar matahari padanya.
Juga kerlip bintang-bintang malam hari.
Selama seminggu lebih, Rara berhemat, Ia bahkan menghemat mandi, sehari sekali, supaya bisa menyimpan tiga ratus rupiah disakunya. Uang perolehannya ngamen dan bekerja di perempatan, tak dipakainya sesen pun untuk beli es mambo di warung, kuaci, permen, dan Jajanan lain. Ia betul-hetul berhemat.
Dan sore ini Rara pulang dengan hati melonjak-lonjak. Menurut gadis kecil dengan rambut diekor kuda itu, tabungannya cukup untuk membuat sebuah jendela yang besar.
Bahkan jika tidak ada halangan, lusa
mungkin ia sudah bisa menatap sinar matahari menghangatkan lantai tanah di ru- mah mereka. Membayangkan itu, perasaan Rara makin tak keruan. Seperti meluncur dari tempat yang tinggi. Sangat tinggi.
“Assalamualaikum! Emak?"
Rara menghambur ke arah Emak yang sedang menyapu lantai. Bohlam sepuluh watt mengalirkan hawa panas yang me- rembesi baju Emak. Padahal di luar sana masih terang.
"Mak, Sini” Rara menyeret tangan perempuan itu, me- maksanya duduk di bangku kayu yang satu kakinya telah patah.
“Apaan sih, Ra?"
Emak menatap anak bungsunya dengan pandangan sedikit cemas. Apa lagi sekarang? Baru semingguan ia merasa lega, karena Rara tidak lagi mengutarakan keinginannya untuk punya jendela. Yang dikatakan bapaknya si Rara memang benar. Anak kecil gak usah terlalu dianggap serius. Mereka kadang me- mang menggebu-gebu minta sesuatu. Namun biasanya, keinginan itu juga cepat menguap ke udara dan hilang dari ingatan.
Rara masih memandang .Emak dengan mata bercahaya. Keriangan anak-anak ter- pancar eli wajahnya yang oval.
"Mak, tebak!"
"Apaan?"
Aduh, jangan soal jendela lagi, Iangan- jangan elia minta punya dua pintu lagi? Atau kamar sendiri? batin perempuan itu sedikit cemas.
Rara menyerahkan sejumlah uang dalam kepalannya, ke telapak tangan Emak yang basah karena keringat.
"Buat bikin jendela! Jadi kalo kulit Rara sekarang lebih geseng, bukan karena main, Males! Tapi karena Rara kerja banting tulang buat jendela kita!" papar gadis kecil itu ceriwis.
Jendela?
Mata penat Emak menatap berganti-ganti, dari uang di tangannya ke raut wajah si bungsu. Begitu terus selama beberapa saat. Sayang, Rara terlalu riang untuk memperhatikan perubahan wajah emaknya. Bocah perempuan itu malah terus bicara de- ngan kalimat-kalimat panjang, kadang nyaris tersedak, karena kebahagiaan yang meletup- letup.
"Jendelanya nanti eli sebelah sini, ya, Mak. Rara maunya kusennya warna cokelat tua, Mak. Malam ini Rara mau begadang nungguin Bang Juri. Mau kasih tau modelnya. Besok pagi, biar Rara temenin Bang Jun ke toko material. Kita bisa beli kayu, kusen yang udah jadi, terus kaca, terus ... "
Emak tak begitu mendengar lagi penjelas- an Rara. Benaknya digayuti kejadian siang tadi, ketika Pak RT datang bersarna sekre- tarisnya, dan berbicara serius padanya.
"Gara-gara Rara, semua anak-anak di sini pada minta dibuatin jendela sarna orangtua- nya. Saya bukannya tidak mau mengizinkan. Tapi kan Ibu tahu sendiri situasinya. Rumah- rumah saling menempel, dinding yang satu menjadi dinding yang lain. Lagi pula, kalau dipaksakan, percuma, tidak akan bisa masuk sinar matahari. Kecuali kalau mau ngebor jalan tol di atas sana! Saya sebagai Ketua RT tidak bisa mengizinkan!"
Mata lelah Emak mulai menggenang. Andai saja ia bisa memantulkan pikiran di benaknya. Pastilah seperti cermin yang memantulkan dua sisi bayangan. Rumahnya dan penduduk lain di kolong jembatan ini, di satu sisi. Dan rumah Pak RT, di sisi lain, dengan jendela jendela kaca yang besar.
Waktu masih terisi celotehan antusias Rara. Di dekatnya, Emak masih menatapi gumpal- an uang kertas dan receh di tangannya.
KOLEKSI ASMA NADIA LAINNYA
No comments:
Post a Comment